0

Awan hitam berlayar rendah di langit. Mengerikan. Mengerikan lantaran jenis awan itu adalah awan comulunimbus –awan hitam pekat yang berbentuk cendawan raksasa.  Awan comulunimbus adalah pemantik badai,  dan badai di atas gunung bisa diartikan ancaman kematian bagi pendaki gunung. Tak nampak intipan mentari. Belantara rimba terselip di kepekatan.
Aku teramat khawatir. Pikiranku tak fokus. Setelah tadi malam terpapar dingin dan angin kencang, satu-persatu fisik kami bertumbangan. Semua peralatan pendakian yang kami bawa tak banyak membantu. Suhu minus 7 derajat  menyiksa pelan-pelan. Angin di luar tenda terasa menampar-nampar permukaan tenda. Berisik. Sangat-sangat berisik.
Amara tergeletak tak berdaya. Kesadarannya tinggal sisa-sisa. Wajahnya pucat. Bibirnya membiru. Matanya rapat terpejam. Ingin rasanya aku berbuat sesuatu, tetapi, apalah daya, aku tak mampu menolongnya. Jalan pulang yang seharusnya nampak, lenyap tak berbekas. Kami berlima terkucil di tengah rimba, terselip di antara julangan pepohonan berusia ratusan tahun. Tak terdengar secericit pun suara burung. Aneh. Sangat-sangat aneh.
“Kris, bagaimana dengan Amara ?” tanyaku sembari memandang Krisna, pacar Amara. Namun Krisna membisu. Tatap matanya menerawang. Benny yang berada di samping Krisna memandangku.
“Begini, Ryan. Kita mengalami situasi yang pelik. Makanan menipis, kita tak pernah tahu kapan awan sialan ini menyingkir dari langit,” Benny menerocos. Sekilas terbaca kilat matanya yang licik.
“apa maksud kata-katamu, Ben ?” tanyaku cepat. Di hatiku terpantik curiga. Semoga tak ada niatan baginya meninggalkan Amara.
“kita berempat harus secepatnya mencari jalan keluar. Usulku, kita bagi menjadi dua tim. Aku dan Krisna, sementara kau dan Soni,” jawabnya enteng.
“kuharap niatanmu bukan berarti meninggalkan Amara,” rupanya Soni sependapat denganku. Dia melirikku seraya minta dukungan.
Soni kemudian memandang Krisna dengan tatapan tak mengerti. Krisna mematung. Raut wajah Soni berubah jengkel.
“ayolah, Kris. Jangan diam saja ! kau yang paling mengerti kondisi alam di antara kita ! kami butuh pendapatmu !!” suara Soni membentak. Tapi Krisna tak bereaksi.
“kalau pendapatku masih tetap sama, Son. Kita harus secepatnya mencari jalan keluar. Kalau perlu meninggalkan Amara. Kukira Krisna sependapat denganku. Iya kan, Kris ?”
“kau sudah sinting, Ben !!” teriakku  
“mending berkorban seorang daripada semua terkena imbas. Kita harus secepatnya mengambil keputusan. Mending mengambil keputusan salah daripada tidak sama sekali. Bertahan di tempat ini sama artinya menanti mati !”
Bantahan Benny terdengar memuakkan di telingaku. Ingin kuhajar mulutnya agar tak nyinyir semacam itu. Soni tak mampu berbuat banyak. Meski tak menerima kata-kata Benny, Soni tak memiliki solusi yang lebih baik. Kurasa dia menumpukan harapan kepada Krisna –pemimpin rombongan kami yang kini bersikap tolol.
Tidak seperti yang kubuktikan, konon Krisna memiliki segudang pengalaman bertahan hidup di alam bebas. Puluhan gunung didakinya. Repetisi pendakiannya setidaknya ratusan kali. Konon lagi menurut cerita yang membuatku kagum, Krisna sempat dinyatakan hilang selama beberapa hari ketika mendaki pegunungan Argopuro yang merupakan jalur pendakian terpanjang di pulau Jawa. Setelah upaya pencarian tim SAR dilakukan, Krisna ditemukan dalam keadaan tak kurang suatu apapun. Menurut cerita yang kudengar, Krisna menggunakan kemampuan survivalnya dengan baik. Dia berhasil belakukan orientasi medan dan mencari jalan pulang –meski harus menerobos hutan perawan sembari bertahan hidup dari dedaunan dan buah-buahan hutan. Tetapi –
Krisna yang kusaksikan kali ini amatlah jauh dari kisah heroik. Krisna yang kubuktikan lebih mirip lelaki tolol. Lelaki sinting yang hanya bisa menerawang saat Benny mengusulkannya meninggalkan Amara.
Andai aku yang di posisi Krisna, aku akan tetap menungguinya meski badai terburuk menerpaku. Amara memang manis, gadis periang yang mencuri hati banyak lelaki termasuk diriku. Cantik. Ibarat bunga, Amara berasal dari jenis yang terliar. Jenis yang selama ini tersembunyi di tempat-tempat tertinggi. Amara sangat pas jika kumetaforakan secantik edelweiss. Liar. Eksotik. Mekar di tempat bunga lain tak mungkin tumbuh. Amara adalah segelintir pendaki perempuan yang gemar naik-turun memanjati titik-titik tertinggi di muka bumi. Saat pertama kali melihatnya di Alun-alun Suryakencana, aku langsung jatuh hati. Namun tidak seperti Krisna, aku tak memiliki keberanian mengungkapkan perasaanku. Amara akhirnya dipacari Krisna. Aku tinggal mengagumi dari jauh. Kurasa salah satu alasan Amara menerima Krisna lantaran mengagumi cerita-cerita hiperbolis tentang kehebatan lelaki tolol itu.  

“ambil kompas kalian,” tiba-tiba suara serak Krisna menyentuh kesadaranku. Aku dan Soni berpandangan. Kami lantas meraih kompas masing-masing.
“bidikkan ke pohon pinus itu, pohon yang tertinggi,” suara Krisna terdengar gentar saat mengucap. Lagi-lagi aku dan Soni berpandangan tak mengerti.
“bidik saja, Son. Dan baca hasilnya. Kau juga, Ryan.” Krisna menelan ludah. Bola matanya terlihat pasrah.
Aku dan Soni bersegera membidikkan kompasku ke pohon pinus yang dimaksud.
“arah barat, angle 271,” ucapku sambil menilik jarum kompas.
“arah timur, angle 91”, Soni terbelalak menyaksikan jarum kompasnya. Kedua alisnya tertaut.
“salah satu dari kompas ini pasti ada yang rusak. Tak mungkin seperti ini,” Soni menggoyang kompasnya kiri kanan. Ia kebingungan.
“kompasmu baik-baik saja, Son. Kompas kita tak ada masalah,” suara Krisna yang bergetar memantik kekhawatiranku.
“jarum kompasku persis ke arah utara. Angle 0 derajat. Kupinjam kompas Benny, jarumnya menunjuk bearing angle 181 derajat. Semua kompas yang kita miliki menunjuk arah yang berbeda,”
“bagaimana dengan GPS-mu?” sela Soni khawatir
“GPS-ku habis batere, termasuk cadangannya. Kurasa terserang dingin,” Krisna bergantian memandangi kami.
“kalau boleh kukatakan, kita terperangkap di tempat ini. Mata kita buta, telinga kita tuli. Yang bisa kita lakukan hanya berharap keajaiban,”
“anjing ! “ umpat Benny. “tak seharusnya kau bercakap seperti itu, Kris. Kukira kau pernah mengalami kejadian yang lebih berat. Kau pernah tersesat berhari-hari di belantara !” paras Benny terlihat murka.
“iya. Tapi .. tapi .. tapi kondisinya tidak seperti sekarang, Ben. Waktu itu tak ada badai. Langit cerah sehingga aku bisa mengetahui posisiku di peta. Tapi lihatlah sekarang. Badai masih mengamuk. Jarak pandang tak lebih dari 20 meter. Kalau kau memaksa, mayatmu pasti teronggok di dasar jurang,”
Suasana tiba-tiba hening mendengar kalimat Krisna. Aku ngeri membayangkannya.
“apa kau punya solusi, Kris ?” tanyaku yang terpantik gentar. Krisna memandangku.
“begini, Ryan. Ada sesuatu yang tak kumengerti dengan tempat ini. Kompas kita tak berfungsi, medan magnet tak mengikuti pola yang seharusnya, sepertinya-”
“Aaahhh !! aku tahu kalau itu,” Soni memotong. “tapi kau punya solusi atau tidak, itu yang lebih penting !! kita tak boleh menyerah ! pacarmu dalam kondisi kritis !” Soni meradang mendengar jawaban Krisna yang bertele-tele.
Krisna seketika terdiam. Lelaki tolol itu memandangi kami satu persatu seraya tatapannya meminta maaf. Sedangkan Benny, keparat oportunis itu nampak kesal dengan sikap Krisna.
“yang bisa kita lakukan hanya menunggu badai ini reda. Seandainya nanti malam langit cerah, kita lakukan orientasi medan menggunakan tanda-tanda astronomi,”
“tanda-tanda astronomi ?! kau yakin dengan omonganmu, Kris ?” sahut Benny sembari menatap Krisna tak percaya. Emosinya mulai labil.
“kalau memang nanti malam langit mendung, tak ada pilihan lain, kita harus menunggu,”
“apa ?!! menunggu ??!! tidak ! aku tak mau menunggu cuaca sial ini reda ! kau pikir cadangan makanan cukup ?!!” Benny mulai kalap.
“ya,cadangan makanan memang tak cukup, Kris” imbuh Soni sambil mengusap wajah.
“aku tahu, Kawan. Maafkan aku. Tapi setidaknya berharaplah keajaiban, itu saja.”
“bangsat !!!” Benny membanting keras kompasnya. Dia memaki murka. Kurasa Benny tak siap dengan kondisi seperti sekarang. Kondisi kritis, kondisi yang memaksa kami berjuang merangkak dari lubang kematian.

Di langit, awan hitam mendadak menumpahkan deraian hujan. Kami berempat seketika beringsut memasuki tenda yang telah porak-poranda lantaran dihajar badai sejak semalam. Dari dalam tenda hempasan angin terasa kuat. Bunyi tamparan angin terdengar begitu kencang. Blak-blak-blak ! menampar-nampar tanpa ampun.
Secara tak sadar aku menangis. Aku takut. Aku bertingkah seperti pengecut. Terlebih itu aku tak mampu berbuat banyak untuk Amara yang sedang berjuang melawan hypothermia. Badai terkutuk ! badai bangsat ! bunuhlah aku jika kau mampu !
Aah, pikiranku mulai kacau. Pikiranku terserak-serak berantakan seperti sampah.
Aku duduk mendekap kaki. Dingin udara menusuk-nusuk sendi, nyeri bukan main. Meski pakaian yang kukenakan terrangkapi tiga lapis, tubuhku masih enggan berhenti menggigil.
Soni tertunduk memejam mata. Bibirnya pucatnya bergerak-gerak melafal sesuatu. Entah doa, atau umpatan. Kurasa fisiknya cukup lumayan untuk bertahan hari ini, sama seperti fisikku. Tapi jika cuaca tak membaik, mungkin nasibku dan nasib Soni akan serupa nasib Amara.
Di pojok dalam tenda, Benny, lelaki sialan itu tak henti-hentinya mengumpat. Meski kata-katanya terkaburkan deru badai, aku bisa menangkap jelas umpatannya. Ya. Ia menyalahkan masing-masing kami, satu persatu, yang menurutnya turut andil menciptakan masalah.

“sudah kuduga jalan kita seharusnya ke kiri. Tapi kau, Kris. Kau memilih ke kanan !” cerocosnya.
“aku yakin belokan yang kita ambil sudah benar,” Krisna membela diri.
“hah ?!! sudah benar katamu ?!!  coba buktikan isi mulutmu! kita sekarat disini gara-gara kau !”
“sudahlah, Ben. Apa kau tak bisa diam ?” Soni menengahi.
“kasihan Amara, Ben. Dia butuh ketenangan,” sambungku kesal
“Amara sudah habis !  kita pasti habis ! mati sengsara di tengah hutan !!”
“keparaat !! kalau kau tak bisa diam, biar kurobek mulutmu !!” Soni mendadak nyalang. Tangannya meraba gagang belati di pinggang.
“jangan cuma mulutnya yang kau robek, Son. Kalau dia mati, dengan senang hati aku akan melemparnya ke jurang. Bangkainya pasti susah ditemukan. Sejak awal aku muak melihat tingkahnya.” Aku yang habis kesabaran ikut-ikutan mengeluarkan belati. Kupandangi Benny, dia beringsut. Krisna malah membeku. Tak bereaksi.
“ayo ! keluarkan lagi ocehan sampahmu ! “ kuacungkan belatiku ke arah Benny. Dia menggigil.
“aku.. aku .. maaff .. maaff kan aku Ryan, Son”
“anjing, kau !”
Soni tersenyum pahit melihat Benny tergagap. Rupanya badanku yang kekar ditambah ancamanku berhasil mengerdilkan Benny. Aku lantas meludah ke mukanya. Cih !
Udara kian dingin. Jam menunjuk pukul lima 5 sore. Kulihat dari jendela tenda, samar-samar di sebelah barat siluet warna merah terkaburkan kabut tebal. Namun, meskipun mataku menangkap secercah cahaya senja, hujan berbadai masih tak berhenti menerpa.

Amara sesekali  merintih. Nafasnya patah-patah. Perempuan yang kucintai itu meregang nyawa di depan mataku. Melihat kondisinya membuat dadaku terasa sesak. Hatiku perih bukan kepalang.

Rasa-rasanya perjalanan yang kami lakukan perlahan-lahan tergambar secara lengkap, membentuk kesatuan cerita yang saling terangkai satu sama lain. Empat hari lalu, saat di desa terakhir, kami berlima bercanda hingga terkesan berlebihan. Kami puas tertawa-tawa melarung kenyamanan yang segera tergantikan kesenyapan belantara.

Amara, pacar Krisna yang kucintai, memukauku lebih dari biasanya. Dia berkali-kali memamerkan jaket anti dinginnya yang berwarna merah. Jaket baru katanya. Cocok dipakai di ketinggian lebih dari 3000 meter di atas permukaan laut. Dia terlihat anggun. Lesung pipitnya tertakik jelas. Hatiku terasa dijentik menyaksikan kerling indahnya. Namun, hatiku pun terpantik cemburu menyaksikan tangan Amara menggelayut manja di pinggang Krisna. Ah Amara, gadisku. Cintaku kepadanya serupa mutiara yang tenggelam di palung terdalam. Takkan nampak ke permukaan kecuali keajaiban memberinya sirip untuk berenang ke permukaan dan kemudian mengarungi luas lautan. Ah,

Saat pertama menapaki jalur pendakian, tak nampak sedikitpun keoportunisan si Benny. Dia nampak baik-baik saja. Bahkan, Benny yang baru kukenal terlihat solider. Konon menurut Amara, Benny tertarik bergabung lantaran diajak Krisna. Benny dan Krisna adalah kawan karib semasa SMU.

Semasa di kaki gunung perasaan kami terasa sama. Perasaan aneh, yang kadang tak terjelaskan. Perasaan ini sejenis perasaan egois yang hanya dimiliki mereka yang gemar bermain-main di garis batas. Para petualang, penempuh rimba pendaki gunung, penyusur gua, pemanjat tebing, jenis perasaan yang acapkali meletup-letup mencumbui adrenalin. Perasaan itulah yang saat itu mencumbui kesadaran kami.

Di musim hujan, ketika langit terlihat cerah selama tiga hari, aku dan Soni akhirnya memutuskan bergabung mendaki. Gunung yang lain dari yang lain. Gunung yang membutuhkan insting kuat untuk menaklukkannya. Di samping tercandui atmosfir tipis puncak pegunungan, bercengkrama dengan Amara kujadikan alasan implisitku.  Ah, aku mungkin gila. Aku mencintai perempuan yang menjadi kekasih orang lain.

Saat kemudian meninggalkan desa terakhir, kami berlima beriringan menapaki jalan setapak yang cukup terjal. Jalan itu adalah jalan yang membelah perladangan dan hutan pinus di kanan-kiri. Amara melangkah di deretan terdepan sambil bersenandung, Krisna membuntuti di belakangnya. Sementara di deretan tengah, Benny tak henti-hentinya menceritakan penjelajahannya yang menantang bahaya. Konon menurut ceritanya, ia pernah diterkam panthera pardus alias macan kumbang saat melakukan pendakian solo ke gunung Salak. Namun berbekal kegesitan beladiri taeguk 9 taekwondo, Benny berhasil membuat binatang buas itu mengerti artinya salah mangsa. Dengan sebatang dahan sebesar lengan, Konon ia berhasil memukul hidung karnivor itu hingga lari terkaing-kaing. Namun, 2 jam kemudian saat dihantam badai, saat melihat fisiknya pontang-panting menghadapi keterjalan medan pendakian, aku dan Soni merasa seperti keledai. Ya. Keparat sialan itu berhasil membuali kami berdua. Belum lagi kemudian beban tas punggungnya dilimpahkannya kepadaku dan Soni. Ah, bajingan itu fisiknya tak lebih kuat dari Amara. Kalau pun di malam badai ini fisiknya masih lumayan, itu bukan lantaran kemampuan fisiknya yang luar biasa. Tetapi semua dikarenakan kemampuan oportunisnya yang membebankan semua beban beratnya kepada orang lain –menyisakan bahan makanan ringan plus celana dalamnya saja yang terpanggul di punggungnya.
***
Angin di luar tenda mereda. Dingin sangat mencekat meski hujan berjatuhan rintik-rintik. Soni yang berada di sampingku memandang nanar kepadaku. Kurasa dialah diantara kami yang paling tenang menghadapi keadaan. Sesekali tatap matanya memandang muak ke arah Benny, tetapi Benny membuang muka. Kurasa mahkluk sialan itu merasa ditelanjangi. Ya. Tatap matanya tak lagi nyalang. Tatap matanya berubah luruh seperti tatap mata kelinci di hadapan serigala.

Mendengar deru angin yang mulai melemah, rasa optimisku perlahan bangkit. Kulihat Krisna, dia duduk memeluk kaki. Kurasa memburuknya kondisi Amara sangat-sangat memukul jiwanya. Lelaki pendiam itu hilang kekuatan. Atau, ah, semoga ia sedang memikirkan cara terbaik mengevakuasi Amara.

Kucoba mengingat saat-saat yang membuat pendakian kami hilang kendali. Dengan harapan semoga menemukan secercah petunjuk untuk menghindari ancaman kematian di belantara.

Setelah menapaki jalur pendakian kurang lebih 6 jam, kami tiba di kawasan hutan heterogen yang sangat lebat. Pepohonan cemara –Casuarina Junghuhnia seolah tegak menunjuk langit. Dahan, ranting dan dedaunan, bersatu padu mencegah sinar matahari jatuh ke tanah. Hutan yang sangat gelap. Bahkan di cuaca yang paling terik sekalipun. Kami merasakan hawa mencekat ketika memasukinya.

Dalam perjalanan memasuki kelebatan hutan, kami berpapasan dengan sosok kakek tua misterius. Tubuhnya kurus. Pakaiannya serba hitam. Kurasa kakek itu penangkap burung. Di tangannya tertenteng sangkar berisi 5 ekor burung jalak.

‘kalian mau kemana ?” tanyanya waktu itu dengan suara serak. Dia kemudian terkekeh hingga dadanya berguncangan.
Amara yang mendaki paling depan menyahutinya dengan mengatakan tujuan kami yaitu mendaki hingga ke puncak gunung. Namun, jawaban Amara membuat wajahnya bermendung.
“kalian jangan ke sana. Cuaca sedang buruk. Burung-burung saja lebih suka berada di dalam sangkarku daripada beterbangan kesana kemari. Hehehe “ ujarnya sembari mempertunjukkan isi sangkar. Empat ekor burung berwarna hitam, sementara seekor lagi berwarna merah. Saat itu kusaksikan burung berwarna merah tak lagi bisa terbang. Kurasa sayapnya patah.
“kurasa cuaca cukup cerah, Kek” timpal Krisna sambil melempar pandang ke langit, “kalau cuaca memburuk, kami akan turun secepatnya,” kata-kata Krisna terdengar lembut. Kami mengiyakan kalimatnya.
“burung-burung itu kau tangkap dimana ?” tiba-tiba Benny menyeletuk dengan kalimat tegas.
 “aku tak pernah menangkapnya. Burung-burung inilah yang datang sendiri ke sangkarku, he he he”
“tak mungkin” dengus Benny
“burung-burung itu seharusnya dilindungi, tak boleh ditangkapi. Menangkapi makhluk hidup sama artinya memangkas kebebasan mereka,” sambung Benny cepat-cepat.
“apalagi kalau tujuanmu hanya kau jual,” pungkasnya
Krisna dan Soni terkaget. Amara terbelalak. Meski memilih diam, dalam hati aku mengiyakan kalimat Benny, tapi tidak dengan caranya.
“mungkin ada benarnya jika burung-burung itu dilepaskan saja, Kek” ujar Krisna lembut.
“tidak ... Sudah kubilang aku tak pernah punya niatan menangkapi mereka. Burung-burung inilah yang datang sendiri kepadaku,”
“bagaimana dengan burung warna merah itu ? apa burung yang patah sayap bisa terbang sendirian dan memilih lubang sangkar milikmu ? sangat tidak mungkin ! mustahil !!” Benny bersungut-sungut.
“hehe .. burung yang merah ini akan kulepaskan .. si cantik ini sedang sakit .. hehe,”
“aneh !!” potong Benny
“burung sakit jika kau lepaskan sudah pasti mati. Mengapa bukan yang hitam saja yang kau lepaskan ?! Kau bisa merawat burung yang merah hingga sembuh, baru dilepaskan” “kalimat Benny keras menyengat. Amara tak enak hati mendengarnya.
“pokoknya si merah ini akan kulepaskan. Yang hitam terserah aku .. hehehe” lagi-lagi si Kakek terkekeh sambil memandangi sangkar.
“sudahlah, Ben. Biarkan” Krisna menenangkan. Soni pun mengangguk.
“baiklah. Tapi semoga dia berubah pikiran,” tukas Benny bersungut-sungut. Merasa benar sendiri.
“baiklah kalau begitu, aku permisi dulu, hehehe .. ” ujar Kakek sambil melempar senyum kepada kami. Satu-persatu.

Setelah sang Kakek berjalan sepuluh meteran, kami bersiap melanjutkan pendakian menerobos hutan. Namun Amara sejenak berpaling ke belakang.
“hati-hati di jalan, Kek !” teriak Amara kencang-kencang
“hati-hati juga  kalian ! sang Gunung menyimpan murka ! hehehe hehehe” suara balasan Kakek tua itu samar-samar terkaburkan angin gunung. Namun -
Mendadak Amara yang menengok ke belakang jatuh terduduk. Ia terperangah.
“kakek itu .. kakek itu ..”  Amara tergagap-gagap. Kami kebingungan mengerubutinya.
“kenapa, Ra?” Krisna memeluk Amara. Hatiku panas.
“kakek itu ... kakek itu .. melepas burung warna merah, Kris.  Burung itu terbang. Burung itu sembuh. Burung yang patah sayap itu terbang ..” Amara menunjuk ke arah lenyapnya sang Kakek.
“Amara berhalusinasi, Kris. Mungkin dia kelelahan,” sergah Benny.
“tak mungkin dia halusinasi. Fisiknya sedang bagus.” Soni membantah. Aku dan Soni berpandangan tak mengerti.


Setelah kejadian yang menimpa Amara, masing-masing kami berupaya menguatkan diri. Kami memilih melanjutkan perjalanan. Hutan belantara lebat terbelah setapak demi setapak. Tanjakan, curaman, gigiran lembah dan bukit tertoreh pijakan kami yang ringkih di alam raya. Ketakjuban kami serasa bermuara menyaksikan keelokan gunung ini. Apalagi di saat cerah, ketika kami tiba di hamparan padang ilalang yang tak lagi berpohon. Dataran rendah di ujung jauh terlihat memukau. Areal perladangan penduduk bergaris-garis membentuk skematik yang eksotik. Rasa-rasanya, saat itu kesuntukanku luruh mencair. Bagai burung elang yang terbang di udara, sayapku terbentang selebar-lebarnya menjemput kebebasan. Amara tersenyum manis. Juluran rambut yang terusik angin sesekali mengganggu wajahnya. Cantik. Hatiku beresonansi melihatnya. Krisna yang memang coolpura-pura memendam ekspresi. Dibiarkannya tangan Amara menggelayut manja di pinggangnya. Ah, sial.  Aku menelan bara cemburu. Bara panas yang hanya melukai batinku, tapi tidak dengan perempuan yang kucintai. 

Posting Komentar

 
Top