0

CHAPTER II : API UNGGUN
Nyala api yang membakar kayu perlahan-lahan mengecil. Yang tersisa dari perapian hanya tumpukan bara yang sesekali memerah ketika angin bertiup kencang. Dita lelap dalam tidur. Sedangkan Rheno sesekali menggigil saat tiupan angin membawa kebekuan ke wajahnya. Kantung tidur yang tebal tak mampu melawan kebekuan.

Saat rembulan condong ke barat, Rifky terbangun. Sendi-sendi pergelangan tangan dan kaki terasa ngilu dan beku.
Dilihatnya Rheno tidur pulas melingkarkan tubuh. Nyala perapian di dekatnya hamper padam. Rifky kemudian bangkit. Dicarinya dahan kering untuk menyalakan lagi perapian. Setelah sepuluh menit berkeliling, Rifki berhasil mendapatkan dua batang dahan kering sebesar lengan.
Rifki menyusun perapian. Ditiupnya sisa-sisa bara hingga api kembali menyala.
“saatnya menjerang air. Udara di puncak pasti dingin” gumam Rifki  sambil menggigil

Samar-samar di kejauhan terdengar lolongan anjing hutan –Cuon Alpinus. Terdengar pula riuh suara penambang belerang yang baru tiba dari kaki gunung.  Pastinya mereka akan menuju kawah belerang pada pagi hari, kawah itu berada 1 kilometer di bawah puncak.

Sambil menjerang air, jemari tangan Rifki terbuka menangkap radiasi perapian. Dilihatnya Rheno lebih nyaman dan hangat. Kebekuan dini hari tak lagi mengusiknya. Dalam hati Rifki salut dengan Rheno yang sedikit pendiam dan kharismatik. Lelaki itu  mampu membimbing Dita mendaki gunung-gunung tinggi seperti sekarang.  Menghadapi keterjalan medan dengan membawa beban sendiri saja sudah sulit, apalagi ditambah menjaga perempuan –yang di atas kertas kekuatan fisiknya tak lebih kuat dari dirinya. Apalagi jalur pendakian belum bersih dari tumbangan-tumbangan pohon, apalagi di beberapa titik julangan tebing masih belum stabil dan mengancam siapapun yang berjalan di bawahnya.

Rifki kemudian bangkit dan menggulung kantung tidur.  Dia tak ingin membangunkan Rheno. barang –barang yang terserak ditatanya kembali ke dalam ransel. Rifki mempersiapkan diri mendaki puncak Welirang di ketinggian 3150 meter di atas permukaan air laut.

Rifki menilik jam tangan, pukul 01.32.
“hmm .. sudah saatnya,” Rifki menggumam sendiri. Tangannya kemudian menarik ransel dan memanggulnya. Tubuhnya sedikit oleng lantaran beban berat. Sekilas Rifki menilik Rheno. Samar-samar api unggun menampakkan wajah Rheno yang pulas. Tatap mata Rifki kemudian beralih ke pintu gubug ilalang tempat Dita bermalam.
“semoga Dita baik-baik saja,” ucapnya dalam hati.

Rifki kemudian bergegas meninggalkan base-camp dan mengambil jalan setapak menuju puncak gunung.
Kabut tebal menyelimuti seluruh punggung pegunungan hingga jarak pandang tersisa lima meter. Sinar lampu senter di tangan Rifki tak sanggup menembus kepekatan kabut yang bergumpal tebal seperti dinding kapas.

Perjalanan masih jauh. Medan pendakian kian angkuh menantang. Tumbangan-tumbangan pohon berserakan. Longsoran batu seukuran badan kerbau  beberapa kali menghadang di tengah jalan. Rifki terpaksa bersusah payah merayap di atasnya. Dalam hati dirinya membayangkan Rheno dan Dita yang nantinya meniti medan pendakian yang sama.

Rifki terus mendaki membelah kabut dini hari. Langir cerah, bintang-bintang menyala lebih terang. Setelah mendaki hamper sejam, langit di sisi timur merona merah. Sementara di base-camp terakhir pendakian,  para penambang belerang berdatangan dari kaki gunung. Mereka berjalan kaki delapan jam untuk sampai di tempat itu. Dandanan mereka serupa kupu-kupu yang matang namun enggan keluar dari kepompong. Begitu rapat.

Ketika sampai di gubug masing-masing, penambang-penambang itu menyalakan perapian. Suara-suara cengkerama di antara mereka membangunkan Dita yang tengah meringkuk di dalam kantung tidur. Dita kemudian bangkit dan melepas kantung tidur. Pintu gubug ilalang digeser, Nampak perapian ringkih yang hamper mati. Di samping perapian itu kekasihnya meringkuk melawan kebekuan. Saat dilihat Rifki tak ada di tempat, Dita melangkah mendekati Rheno. Dia duduk di samping Rheno dan menghadap perapian.  Perempuan itu menatap kekasihnya penuh cinta. Dibelainya paras Rheno yang dingin. Pikirannya melenting mengunjungi masa lalu.

Rheno adalah lelaki pertama yang berhasil memikatnya, dan beruntung hobi mereka sama-sama bertualang. Setelah resmi berpacaran, tempat-tempat eksotik dimana pun  menjadi incaran penjelajahan. Di masa-masa bertualang, Rheno menunjukkan perhatian teramat dalam, dan hal demikian membuat Dita kian mencintainya. Dita percaya jika alam liar dan rimba belantara adalah zona yang menelanjangi watak tersembunyi seseorang. Jika watak aslinya egois, alam liar menampakkan keegoisan orang itu seketika. Berada di zona keterbatasan acapkali membuat manusia lebih berpikir menyelamatkan diri sendiri ketimbang orang lain.


Rheno dan Dita bukan penjelajah kemarin sore. Pegunungan dan belantara di Jawa Barat dan Jawa Tengah hamper seluruhnya dijelajahi. Gede-Pangrango, puncak tertinggi Jawa Barat –Ciremai,  Gunung Slamet, mereka lebih sering mendaki berkelompok daripada mendaki berdua. Namun kali ini lain. Pegunungan Arjuno-Welirang adalah dataran tinggi ke-4 yang menjadi incarannya dalam rangka penaklukan 7 puncak tertinggi di Pulau Jawa.

Posting Komentar

 
Top