0


"Kalo sampe gubernur menolak menemui, kita terobos barikade,ucapku berapi-api, "bagaimana ? berani ?" tantangku kepada koordinator-koordinator lapangan yang mengerumuniku.
"tapi resikonya besar, Bang, kasihan anak-anak, pasti muka mereka merah-merah kena rotan, belum lagi kalo kena gebug," Purwanto memelas,
"iya, Bang. Mending tak usah ambil resiko, kita datar-datar saja, daripada benjut," Gatot ikut-ikutan
"haduuhh .. kalian ini .." aku geleng-geleng kepala, "resiko perjuangan nggak sebanding dengan hantaman rotan. Terlalu murah kataku !! Mending pelipis ini yang ditodong pistol, jauh lebih pantas !! Lawan rotan saja mundur .. macam singa banci kalian ini !!"
Purwanto dan Gatot mendadak surut.
"hei, kalian berdua, camkan ! satu yang mesti kita ingat ! perjuangan kita sudah bulat !! UMR dua setengah juta harga mati ! titik !! tak ada tawar-tawaran ! sudah terlalu lama kita di-kancil-i pengusaha, dan gobloknya lagi kita memilih bungkam !!" ucapku dengan tangan terkepal.
"baik, Bang !", "sepakat, Bang !" tegas mereka
"kalau perlu, kita sandera gubernur .. Kita paksa dia menyetujui tuntutan kita .. suruh dia naik podium, kasih testimoni yang menyetujui tuntutan kita,"
 "baik, Bang Zul, kita ikuti petunjuk, Abang" Gatot menyambut antusias.
Purwanto dan Gatot selaku koordinator lapangan segera beringsut. Mereka bersiap mengatur pergerakan. Panji buruh sudah dikibarkan, pantang langkah tertebang.
Aku melangkah menuju podium. ribuan pasang mata menatapku tanpa kedip. Kuambil corong speaker, ribuan orang bersorak.
"hidup buruh ! hidup buruh ! buruh bersatu tak bisa dikalahkan !!"
Barikade pasukan Anti Huru-Hara membentuk pagar di depan gedung pemerintahan, sejarak seratus meter di depanku. Tatapan mereka sigap dan nyalang. Tangan-tangan rapat menggenggam tameng, sementara wajah beku berbalut senyum kecut tersembunyi di balik kaca helm. Sedangkan sang komandan mondar-mandir, polisi berperut buncit itu sibuk berkoordinasi menggunakan HT.
"buruh bersatu tak bisa dikalahkan !! buruh bersatu tak bisa dikalahkan !!"
"hidup buruh ! Hidup buruh ! Hidup buruh !" suara bergemuruh menyambutku.
"sudah lama kita merindukan kedaulatan yang terampas ! Sudah lama kita dijadikan kuli di negeri sendiri ! nasib angin-anginan ! dijadikan manekin rapuh para pengusaha ! apa ini yang namanya kemerdekaan ?! apa ini yang namanya kesetaraan ?!"
"tidaaakk ", "bukaaann", Massa di sekelilingku terbakar
"ya..ya..ya.. memang bukan. Kita semua paham, kita semua yakin, tripartit sudah gagal, nasib semakin runyam di meja perundingan yang konon diwakili pihak dari buruh ! tapi buruh yang mana .. kita semua tak tahu !!!" dengusku marah.
"mulai saat ini, kita kecam tipu-tipuan, kita benci manipulasi, saatnya kita mengukur nasib sepantasnya ! Kita tuntut gubernur mengesahkan tuntutan kita ! UMR dua setengah juta adalah harga mati !! Harga itu mati tak tertawar! Hidup buruh !! Hidup buruh !! Hidup buruh !! stop buruh kontrak dan segala bentuk penyimpangannya !!" seisi lapangan bergemuruh mengikuti kepalan tanganku. Aku turun dari podium. Orator lain ganti berorasi.
Kuterawang sekeliling, mengukur keadaan. Buruh-buruh kian banyak bergabung. Mereka berjejal-jejal membawa spanduk yang dikibas-kibas menantang angin. Mungkin hampir tujuh ribu, ya, tujuh ribu buruh kupikir cukup untuk membalik keadaan, lagipula petugas keamanan tak ditambah lagi, jelas-jelas keadaan ini menguntungkan bagi kami.
Aku melangkah menyisir tepian kerumunan. Kuraih Handy Talky,
"segera kondisikan, ganti"
krssskkk.. Kroohhkkk..
[siap, Bang],[lanjutkan],Purwanto dan Gatot  menyahuti.
Kutilik di kejauhan, puluhan buruh mengikuti Gatot dan Purwanto, mereka bergerak menuju barikade petugas.
"hapus buruh kontrak !! hapus pemerahan manusia sekarang juga !!" teriakan nyaring datang dari atas podium. Membakar. Bikin dadaku meledak-ledak.
'tit tit tit tiiiittttt'
Tiba-tiba ponsel di celanaku berbunyi.
'hmmm .. Khayrina,' bisikku saat membaca tulisan di layar ponsel. Beberapa bulan ini nama Khayrina terdengar lebih indah saat terucap. Calon istriku yang lembut dan santun itu berhasil memakan bulat-bulat hatiku. Wajah cantik dan tatap matanya yang lembut, aih, jujur aku bagai gula dijemur matahari, luluh dalam kehangatan saat menghadapi dirinya.
"Khayrina, ada apa ?"
[abang dimana ?]
"aku di gubernuran, Khay,"
[demo buruh itu, Bang ?]
"iya, Sayang. Demo buruh. Nuntut UMR lebih patut dan pantas .. hehehe"
Kemudian suara Khayrina menghilang. Diam beberapa detik.
[Bang, hati-hati ya ... jangan ngawur]
nah-nah-nah, terbukti sudah cinta Khayrina kepadaku. Terbukti paten duapuluh empat karat. Buktinya dia khawatir keselamatanku.
[sekalian aku mau bilang kepada Abang, hari ini aku pulang agak siangan, ada rapat dewan guru membahas wisuda anak-anak]
hah ?! wisuda ?! Apa kupingku tak salah dengar.
"Bocah masih doyan ngompol kok pake wisuda-wisudaan segala, Khay"
[iihh .. sudahlah, Bang. Aku ini cuma guru bantu. Tak pantaslah protes-protes macam
kelakuan Abang,]
duh, hatiku leleh mendengar suara lembutnya yang seolah minta dikasihani.    
[ya, sudah kalo begitu .. Abang hati-hati ya .. jangan macam-macam .. nanti kena pentungan polisi,]
"abang ga mungkin macam-macam, tenang saja. Tapi .. di atas itu semua, kita tak mungkin bersembunyi dari ketidak-adilan, Khay,disitulah inti perjuangan. Dan abang memilih turun ke jalan daripada mulut dan hati Abang terbungkam melihat ketidakadilan,"
Hmm. heroik benar kata-kataku. Kebanggaanku meletup. Barangkalikebanggaan Khayrina kepadaku meledak berlipat-lipat, hehehe.
Setelah Khayrina menutup ponselnya, aku senyum-senyum sendiri. Namun seketika senyumku sirna menyaksikan Purwanto dan Gatot bersitegang dengan petugas keamanan. Aksi main dorong terjadi.
"kami mau menemui gubernur !!!"
"ya ! ya ! gubernur harus menyetujui tuntutan kami !!"
Gatot dan Purwanto berhadapan di garis depan. Lengan mereka bersinggungan dengan tameng. Aku bergerak mendekati mereka.
"kalian jangan berlaku anarkis. Aksi demo boleh dilakukan, tapi tidak dengan anarkis !'" suara corong petugas menyodok-nyodok telingaku. Suara sok tahu.
"hoi, bapak-bapak petugas yang kami hormati, kami hanya ingin menemui gubernur ! Kami ingin gubernur berdiri di pihak kami ! Apa itu salah ?!" teriakku yang mengacungkan tangan di muka komandan. Mereka diam. Wajah-wajah dibalik tameng menegang.
Tiba-tiba dorongan kuat menghempasku ke dinding tameng. Barikade yang sebelumnya lurus tiba-tiba meliuk seperti ular. Aku nyaris terjatuh. Beberapa petugas roboh terjengkang.
"buruh bersatu tak bisa dikalahkan !!! Buruh bersatu tak bisa dikalahkan !!! Buruh bersatu tak bisa dikalahkan !!!" sayup-sayup suara itu terdengar indah, kudus, membangkitkan keberanianku ke titik tertinggi. Kupejamkan mata sesaat, menikmati aura suci perjuangan. Namun –
'Jletakkkk !!'
Buggghh !!

***
"wah, Abang Zul sudah siuman,"
suara Gatot terdengar timbul tenggelam. Kubuka kelopak mata, masih kabur. Kepalaku pening. Pelipisku nyeri. Perlahan-lahan penglihatan kaburku jelas kembali.
Ruangan putih yang bersih. Aroma obat menyengat. Di depanku Gatot dan Purwanto tegang bercampur senang. Sementara di ranjang sampingku, seorang petugas keamanan mengaduh kesakitan. Sebagian besar mukanya diplester hingga mirip mummy.
"kita berhasil, Bang. Kita berhasil,"
"berhasil apanya ?! Maksudmu kepalaku yang berhasil digetok rotan ?!!" kulempar senyum kecut kepada Gatot.
"bukan, Bang. Gubernur menyetujui tuntutan kita. Setelah berhasil menerobos barikade, gubernur berhasil kita sandera, kita bawa dia ke podium, dia berjanji mengesahkan tuntutan kita,"
Oalah ! luput pula aku dari kisah heroik perjuangan buruh. Tubuhku ambyukgara-gara kepalaku digetok rotan.
"kepala Abang kena pukul rotan, Bang. Abang pingsan di tengah kerumunan. Untung saja Abang ga sampe keinjak-injak. Aparat-aparat itu memang semprul, Bang ! maen getok seenak dengkul sendiri !!" Gatot menatap sinis kepada Petugas yang mirip mummy. Petugas itu menggerutu dan misuh-misuh. Kami cengengesan tak ambil peduli. Petugas itu lantas berbaring memunggungi kami.
"sebentar lagi ada yang menjengukmu, Bang. Dia masih di perjalanan," Gatot tersenyum menggoda
"siapa, Tot ?"
"yang jelas dia ini lebih hebat dari gubernur, Bang. Abang pasti jinak di depannya, hahaha !" Purwanto turut campur. Keduanya meringis. Kepalaku berdenyut-denyut melihatnya. Lima menit kemudian ternyata Khayrina yang datang. Oh, dewiku, Khayrinaku,
***
Khayrina duduk di sampingku, tatap matanya menyapu wajahku.
"apa sih yang Abang cari, Bang"
"Abang hanya menyuarakan keadilan, Khay, kesetaraan, kelayakan,"
"apa mesti dengan cara seperti ini ? pukul-pukulan segala ?"
Pertanyaan Khayrina melelehkan pundi kekukuhanku.
"Kamu sendiri jika dihadapkan ketidaklayakan pasti akan berlaku demikian, Khay. Itu sudah fitrah manusia, iya, kan ?"
Khayrina menunduk sejenak. Sepertinya dia tak setuju.
"ketidaklayakan tidak selamanya berujung tidak bahagia, Bang. Jika kita menjalani dengan cinta, semua tergantikan,"
"tidak bisa begitu, Khay. Tidak layak tetap saja tidak layak, jangan dipelintir,” aku protes.
"tunggu, kau digaji berapa oleh yayasan itu," lanjutku.
"itu tidak penting, Bang"
"penting, Khay. Keringat kita itu penting, sepenting nasi bagi perut kita,"
"tapi bagiku itu tidak penting, Bang. Selama  aku bisa mengajar, bisa memberi sesuatu bagi anak-anak, bagiku itu lebih penting,"
"berapa kau digaji oleh yayasanmu ?" kuulangi lagi pertanyaanku
"mm .. seratus lima puluh ribu,"
Dheg ! Dadaku tiba-tiba sesak. Rahangku kaku.  Kabel-kabel di otakku putus seketika.
Petugas di ranjang sebelah tiba-tiba merintih kesakitan. Khayrina tersita perhatiannya.
Gadisku itu berdiri dari samping ranjangku. Dia menengokke arah petugas dengan tatapan penasaran.
"mas .. Joko .." ujarnya pelan, seakan ragu antara memanggil dan tidak.
Mummy di ranjang sebelah membalik punggung, dia terbelalak.
"Khayrina, kok kamu .. disini .. auhh .. auhhh,” katanya menahan sakit
“calon suamiku, Mas,” Khayrina sekilas kearahku
“siapa dia, Khay ?” bisikku lembut
“mas Joko, sepupuku yang dinas di Polda,”
Wadhuh !!
***
Didedikasikan untuk guru playgroup Anakku,
sumber gambar : Tribunnews.com 
Januari 2013

Posting Komentar

 
Top