0

Sementara matahari perlahan-lahan menuruni langit. Warna yang sebelumnya perak menyala, berubah merah meneduhkan. Senja hampir datang, burung-burung bersiap pulang ke sarang.

Dita baru selesai membersihkan tubuh di areal mata air. Dita melangkah menuju gubug ilalang tempat Rheno dan dirinya bermalam. Nampak tak jauh dari gubug, Rheno menghangatkan tubuh di belakang api unggun sembari menyeduh minuman penghangat.
Udara senja kian dingin. Batang-batang kayu perapian bergemeratak dilalap api. Jari-jari tangan Rheno terbuka menangkapi radiasi perapian. Dan saat Dita hadir di sampingnya, pemuda itu tersenyum bangga. Dilihatnya paras kekasihnya itu begitu memikat. Eksotis. Seperti sekuntum anggrek hutan yang bermekaran di musim penghujan. Dita tersenyum sembari membetulkan resleting jaketnya.
“nggak mandi, Rhen ? mumpung belum dingin,”
“kamu mandi ?” Rheno malah ganti bertanya.
“iya. Aku mandi. Airnya segerrr,” Dita antusias menjawab.” Rugi kalo nggak mandi. Mata air di tempat ini mata air tertinggi,”
“emangnya kenapa ?”
“bikin awet muda tau !”
Rheno enggan menanggapi. Lelaki itu memilih bercumbu dengan perapian. Jemarinya terus terbuka menangkapi radiasi api unggun.
“eh, buruan, keburu malem,”  
“ogah, ah, Din,”
“kalo nggak gitu cuci muka, gih, biar segeran dikit, muka kamu kucel tuh,” Dita sedikit jengkel.
Sedikit terpaksa Rheno bangkit menuruti kata-kata kekasihnya. Pemuda itu melangkah malas menuju areal mata air.  Dita kemudian menggantikan posisi Rheno bersila menikmati kehangatan api unggun. Jemari tangannya terkembang menangkapi radiasi perapian.
Tiupan hawa dingin menelusup di sela-sela pepohonan. Tiupan angin itu membuat nyala perapian menjadi lebih besar. Api membakar dahan mengeluarkan suara bergemeretak. Asap putih berkepul membumbung. Kobaran api yang memakan dahan pinus kering kian menjadi-jadi. Tak butuh lama dahan kering itu mengabu dan rontok di atas tanah.
Beberapa saat berselang, bersamaan Dita menjorokkan kayu perapian ke dalam kobaran api, telinganya menangkap bunyi derak ranting kering terinjak sepatu. Kesadaran Dita tersita. Gadis itu menoleh mencari asal suara. Dari arah 10 meter di depannya, sesosok pemuda yang sedang memanggul ransel melangkah terseok mendekatinya. Pemuda itu nampak kelelahan.

Tatap mata Dita tak beralih dari sosok lelaki berambut sebahu itu. Rahang yang terlihat kokoh. Kulit putih kecoklatan. Postur tubuh yang hampir sama dengan Rheno, 175 cm. Sesaat sebelum tiba di depan api unggun, pemuda itu melempar senyum.

“boleh gue numpang menghangatkan diri ?” tanya lelaki itu sambil tetap menyungging senyum. Ya. Senyum yang lelah. Tatap mata lelaki itu tak lepas mengagumi paras Dita yang manis. Apalagi paras Dita nampak kemerahan terpantul pancaran api unggun.

ya, boleh, silakan” Dita membalas senyum. Hati pemuda itu serasa dijentik melihatnya.
Dengan wajah senang, lelaki itu menurunkan ranselnya yang besar.
“Kenalin, gue Rifky,” ujar lelaki itu mengulurkan tangan
“Dita,” balas Dita yang membalas uluran tangan Rifky
“kamu sendirian ?” tanya Dita, mengamat-amati.  Pemuda di depannya ini pasti bukan pendaki sembarangan. Gaya dan sikapnya yang tenang mencerminkan kedekatannya dengan kegiatan alam bebas.
“Yup. Gue sendirian. Mendaki gunung Arjuna dari sisi timur. Untung aja nggak kemaleman di jalan,” lelaki bernama Rifky itu cengengesan. Rifky kemudian berselonjor di depan api unggun. Melepas ngilu-ngilu kaki setelah berjalan berjam-jam menuruni puncak gunung.
“kalo Lu sendirian ?” Rifky balik bertanya
“aku berdua. Sama kawan. Dia lagi ke sumber air,”
“oh,” Rifky berekspresi manggut-manggut serupa kambing mengunyah rumput. “pacar ?” lanjutnya tanpa beban. Dita tersipu dan mengangguk.

Senja menaburi langit dengan warna merah. Sinar yang menerobos rimbunan pucuk cemara-pinus membentuk siluet bayang-bayang yang menggetarkan penatapnya.
Sambil menghangatkan tubuh, sesekali Rifky mencuri pandang ke arah Dita.
‘ya, Tuhan. Betul-betul gadis yang manis, cantik, dan natural ..  so perfect,’ Rifky berkata dalam hati. Kecantikan Dita kecantikan yang sederhana tanpa campur tangan pemanis wajah. Sejak dulu Rifky membayangkan memiliki kekasih pendaki gunung –sesuai hobinya. Di mata Rifky, pendaki perempuan adalah makhluk tersendiri yang sanggup memukaunya. Ketika kelembutan perempuan berpadu keliaran alam raya, ketika figur feminin ditempa keterjalan bebukitan, tebing-tebing, dan puncak-puncak tertinggi, baginya pendaki perempuan serupa mawar gunung yang tumbuh di tempat bunga lain tak mungkin tumbuh.
Jilatan api membakar kayu, mengeluarkan letupan-letupan kecil. Kayu kering yang terpapar panas perlahan pecah, dilalap api, hingga warna yang semula kuning kecoklatan berubah merah dan akhirnya menjadi hitam keabuan. Pendar cahaya perapian memantul-mantul ke sekeliling, membawa sejumput terang di areal yang nyaris gelap. Di kejauhan, di antara dahan-dahan cemara, muncul segerombol burung jalak kelabu. Mereka sekawanan burung terakhir yang keasyikan mencari makan hingga lupa waktu. Gerakan kaki mereka membuat beberapa helai daun cemara runtuh ke tanah.


Matahari menuruni langit. Taburan warna keemasan di ufuk barat terlihat meneduhkan. Tepat ketika matahari memunggungi bumi, kegelapan berkuasa. Pepohonan cemara-pinus- dan rasamala tak nampak. Kehadiran mereka ditandai dedaunannya yang berisik ketika terusik angin. Bunyi yang syahdu, lembut, sekaligus kudus, serupa lantunan pepujian panjang yang melukis keindahan ciptaan Tuhan.

Posting Komentar

 
Top