0





Udara perlahan dingin, angin yang menuruni bukit menjamah lembah-lembah. Nyala perapian bergoyang kuat, namun geliat api seolah menantang sang angin untuk mematikannya.

“Lu sama Dita berangkat kapan, Rhen ?” Rifky mengakrabkan diri.
kita berangkat 3 hari lalu, dari stasiun Hall, turun di Stasiun Turi,”  Rheno menjawab sambil sekilas melirik Dita
“kalo kamu ?” Dita ganti bertanya
“Gue malah seminggu lalu bareng kawan-kawan kampus. Rencana awal mendaki Mahameru, cuma seturunnya dari Mahameru kita pisah di jalan. Kawan-kawan balik Jakarta, Gue mampir dulu ke rumah Om di Malang. Nah mumpung lagi di Malang, sekalian Gue kemari,”
“kamu mendaki dari rute selatan ?” tanya Rheno, sambil menggeser kayu sebesar lengan ke arah api.
“nggak. Rute timur,” Rifky menggeleng pelan
“berarti dari puncak Arjuna langsung turun kemari ?”
“yup. Ntar malem rencana gue mau summit attack ke puncak Welirang,”

Rheno dan Dita sekilas saling berpandangan. Mereka senang berhasil mengorek informasi tentang jalur pendakian yang dilewati Rifky. Bisa dikatakan Rifky berhasil menjelajah duapertiga jalur pendakian di kawasan pegunungan Arjuna-Welirang.
“kalau rencana Lu gimana, Rhen ?” Rifky ganti bertanya sembari menyodorkan kayu ke lingkaran api. Tubuhnya sedikit menggigil lantaran dingin.
“sebenarnya. kita baru sekali ini kemari,” Rheno menilik Dita di sampingnya. Kekasihnya itu mengangguk.”Kita mendaki dari jalur utara, jalur yang ternyata panjang dan melelahkan,”
“butuh 8 jam nyampe sini, Rif. Jalurnya monoton, menyusuri jalan berbatu,” Dita menambahkan
“tadi pagi kita sempat berangkat ke puncak, medan pendakian masih kacau, banyak tumbangan pohon menghadang,”
Dita menghentikan kalimatnya
“kira-kira satu jam pendakian, kaki Dita tersandung ranting, dia terlempar dan jatuh berguling. Luka memarnya mengkhawatirkan, kuputuskan turun ke sini daripada kepayahan di perjalanan,”
Dita mengangguk. Rheno menoleh ke arah Dita, sementara Rifky memasang wajah simpati.
 “jalur pendakian memang masih kacau. Masih belum ada yang membersihkan tumbangan pohon. Perjalanan dari sisi timur harus memakan waktu ekstra,” Rifky menguatkan
“sebenarnya jalur pendakian sisi timur jalur yang paling cantik. Melewati kebun teh, padang ilalang, hutan pinus, tapi keterjalan medan memang luar biasa.”
“dua jam menjelang puncak malahan lebih ekstrim. Lima kali melangkah, nafas ogah berkompromi. Kemiringan jalur nyaris 75 derajat, total perjalanan 9 jam nyampe puncak, tenaga gue terkuras habis,

Rheno terkejut mendengar penjelasan Rifky, Dita tersenyum membayangkan, Rifky menggosok-gosok tubuh menikmati kehangatan perapian. Sementara, angin yang bertiup kencang menabur hawa beku.
tapi .. untunglah Gue ketemu Lu berdua sehingga bisa nebeng api unggun, sekalian memulihkan stamina,” Rifky cengengesan
dan kalau dini hari nanti cuaca bagus, Gue berencana ke puncak Welirang. Dari tempat ini kira-kira butuh waktu 3 hingga 4 jam. Kalau beruntung, Gue nyampe disana menjelang sunrise,”
Rifky mencuri pandang ke arah Dita. Tatap mata mereka bertemu. Binar mata Dita yang memantul cahaya perapian membuat hati Rifky serasa dijentik.
 “apa Lu berdua akan melanjutkan perjalanan ?”
Pandangan Rifky beralih-alih anatara Rheno dan Dita.
“sepertinya –“
“ya. Kita akan lanjut pendaki,” Dita memotong kalimat Rheno.  Rheno terkejut.
“kakimu masih sakit, Din,” ujar Rheno, keberatan
“kakiku tak apa-apa, Rhen. Cuma memar biasa,”
“iya, tapi perjalanan masih jauh. Ada baiknya kita mendaki siang hari biar tumbangan pohon jelas terlihat, kakimu pun belum pulih betul,”

Kalimat Rheno membuat Dita berpikir sejenak. Dalam hati, ia mengharap bisa bergabung mendaki bersama Rifky yang sudah barang tentu mengetahui kondisi medan pendakian. Dita kemudian memandang Rheno dengan tatapan ingin dimengerti.
“kakiku tak apa-apa, Rhen. Apa nggak lebih baik kita ke puncak dini hari nanti ?”
“kumohon jangan memaksakan diri, gunung ini belum pernah kita daki, kita belum hafal benar medan pendakian.”
“tapi, kan, ada Rifky, Rhen. Dia bisa jadi guide,
Rheno  terdiam. Rifky memilih bungkam. Dita memandang Rheno dan Rifky bergantian.
“kamu tak keberatan, kan, Rif, kita mendaki bersama ?” tanya Dita sambil menepis dingin dengan menggosok lengan berkali-kali.
Rifky salah tingkah. Dia mencari kata-kata yang tepat sebelum menjawab.
“sebaiknya Lu nggak mendaki malam ini, Dit. Benar kata Rheno, Lo mesti istirahat,”
“tapi kakiku baik-baik saja. Kalian harus tahu itu,” Dita sedikit jengkel
“sejujurnya, jika Gue jadi Rheno, Gue akan bersikap sama. Rheno mengkhawatirkan Lu, Dit. Itu jauh lebih penting dari sekedar mencapai puncak.”
Kata-kata Rifky membuat dada Rheno terkembang. Baginya kata-kata Rifky adalah kata-kata yang lahir dari kebesaran jiwa. Dita memilih tak diam. Perempuan itu menatap Rheno dengan tatapan penuh cinta.
“baiklah, aku nggak akan maksa,” ujar Dita yang tersenyum kecil. Wajah Dita kian cantik saat terpancari cahaya api unggun. Rheno membalas tatap mata Dita dengan tatapan lembut.
“terus terang kalian berdua membuat gue iri,” celetuk Rifky. Dita dan Rheno seketika menoleh ke arah Rifky.
“ya. Bagaimana tidak. Sepasang pendaki yang bebas menjelajah kemana pun mereka suka. Saling menjaga satu sama lain, saling peduli. Gue pikir nggak ada yang lebih eksotis dari tindakan itu,” Rifky cengengesan hingga deretan giginya terlihat.


Sementara malam merayap, cahaya rembulan yang jatuh di sela-sela daun pinus membentuk siluet jingga yang lembut. Udara kian beku. Koak jalak sesekali terdengar. Tiupan angin gunung membuat atap-atap ilalang berisik bergesekan.

Posting Komentar

 
Top