0

Di padang rumput kami beristirahat sejenak. Menikmati pemandangan indah sembari mengenang pendakian-pendakian yang telah kami lakukan sebelumnya. Ah, lengkap sudah pendakian kami. Udara sejuk. Cuaca cerah benderah. Matahari yang menuruni langit barat mengemilaukan bayang-bayang bebukitan di sekitarnya. Sore itu yang tak menyepakati keriangan kami hanyalah segerombol awan comulus di ujung jauh. Tapi aku tak melihatnya sebagai bahaya, Krisna pun demikian. Pendeknya semua orang tak punya kekhawatiran dengan awan itu. Kami lantas melanjutkan perjalanan membelah padang rumput yang kurasa adalah savana terindah yang pernah kusaksikan.
***
Tiga puluh menit setelah melanjutkan perjalanan, mendadak kabut tebal turun hingga mengganggu jarak pandang. Bebukitan di kejauhan tak nampak lagi, semuanya lenyap. Perlahan-lahan kami menghadapi situasi yang mengkhawatirkan. Terpapar di padang rumput tak berpelindung. Apalagi kemudian, kulitku merasakan sentuhan kondensasi kabut yang dingin mencekat.

Situasi kemudian berubah drastis. Raut wajah kami menegang menghadapi jarak pandang yang kian pendek. Sinar matahari tak mampu menembus. Angin gunung mulai mengamuk. Wajah Amara memucat, paras Benny panik. Namun Krisna meyakinkan kami agar tetap solid dan bersegera mungkin tiba di shelter selanjutnya.

Mendadak tiupan angin kian kencang. Menampar-nampar. Membuat kami harus berjuang keras menopang keseimbangan tubuh. Topi rimba yang dikenakan Soni lenyap terlempar angin. Matanya terpicing-picing mengatasi deru angin.
“aku mencium bau air !!” teriak Soni kencang-kencang. Suaranya nyaris lenyap dilarikan angin.
“semoga tak terjadi badai, Son !  kita pasti berantakan menghadapinya ! disini tak ada shelter alam !” sahutku panik. “ tenda kita tak mungkin mampu bertahan di tempat ini ! dilempar angin !” lanjutku sekuatnya.
Baru saja aku selesai berkata-kata, tiba-tiba guntur meledak seratus meter di sisi kananku. Bibirku gemetar ketakutan. Amara menjerit kencang.
Saat itu, terpapar tepat di tengah padang rumput, tak berarti lagi keputusan terus melangkah maju ataukah mundur. Yang penting secepatnya kami harus menemukan perlindungan. Dan perlindungan itu kutahu berada di depan kami, kelebatan rimba belantara yang akan melindungi kami dari hajaran badai secara langsung.

Beban berat membuat langkah tertatih-tatih. Namun, belumlah reda angin, hujan deras datang menggemuruh. Arah hujan seakan menyamping, serupa ratusan anak panah yang menghajar bertubi-tubi tak kenal ampun.

Suhu udara turun drastis secekat-cekatnya. Tubuh basah kuyup, tak punya perlindungan. Yang kutahu adalah, hujan, angin, dan dingin –merupakan pembunuh para pendaki ketika masing masing unsur perpadu. Windchill. Sejenis kata menakutkan yang para pendaki terhebatpun tak ingin merasakan sentuhan kematiannya.

Tubuhku menggigil tak karuan. Serasa terendam di cairan es. Kulihat Amara, perempuan yang kucintai itu porak poranda. Benny mengumpat-ngumpat. Ia jatuh bangun mengatasi keseimbangan. Soni menggigil. Geraham Krisna menegang melawan gigitan dingin.

Terkenang peristiwa di padang rumput seperti membayangkan berada di neraka. Tersiksa tanpa ampun. Tercerai berai hingga menolong diri sendiri pun serasa tak sanggup. Karena hajaran angin itulah Amara kemudian terserang hypothermia. Setiba di pintu hutan yang memisahkan padang rumput dan belantara lebat, tubuh Amara jatuh tersungkur. Setelah itu menyusul Benny yang mengeluh kelelahan hingga memintaku dan Soni membawakan isi tas punggungnya. Amara tak sadarkan diri. Untunglah Benny masih bertahan meski fisiknya berantakan terhajar badai.

Hujan terus deras tertumpah. Angin kian mengamuk. Krisna meminta kami lebih jauh menerobos hutan hingga efek badai tak lagi memapar tubuh kami. Kurasa disitulah kesalahan Krisna, keputusannya yang kurasa tak tepat memicu tersesatnya rombongan kami di rimba belantara.

Aku dan Krisna memapah Amara jauh menerobos hutan. Soni di belakang kami, sedangkan Benny –meski dengan beban seringan kapuk, dia mati-matian mengerahkan kemampuan fisiknya mengikuti ritme pendakian yang kami lakukan.

Hingga setiba di tempat yang dirasanya pas, Krisna memintaku berhenti. Dirasanya kami sudah cukup jauh menerobos hutan. Dan memang, meski langit gelap gulita mempertunjukkan keganasan badai, efek tamparan angin tak sekuat seperti sebelumnya.

“Son ! secepatnya kau buka tenda !!” teriakku sambil mendudukkan Amara. Soni mengangguk. Krisna kemudian memandangku.
“bukalah baju Amara,” katanya
“bajunya ?!” aku tertegun. Linglung
“ya. Cepat kau buka bajunya. Biar kucari pakaiannya yang kering. Cepat, Ryan” dalam kebingungan aku mengangguk. Kupandangi perempuan yang kucintai di depanku. Hatiku terasa hancur.
Kududukkan Amara di depanku. Kubuka bajunya, pakaian dalamnya, kupandangi tubuh telanjangnya ketika kulepas pakaian basahnya satu persatu. Ya Tuhan, aku menangis, namun tangisanku tersamarkan titik hujan yang jatuh di pipiku.
“tenda sudah siap, Son ?” teriakku sambil jemari menyeka air mata
“ya, kau bawa Amara kemari,” Soni mengangguk sambil membuang wajah. Kurasa dia terlalu sedih melihat kondisi Amara.
“bantu aku, Son. Cepat” ujarku mengiba
Aku dan Soni lantas mengangkat Amara ke dalam tenda. Soni cepat-cepat meninggalkan aku dan Amara setelah permintaanku selesai.
Lagi-lagi aku menangis. Kupandangi tubuh Amara yang porak-poranda. Parasnya yang cantik seakan tersembunyikan.
“Ryan. Kenakan ke tubuhnya. Cepat !” tiba-tiba Krisna memasuki tenda dan mengulurkan pakaian Amara.
Krisna kemudian melepas celana Amara. Seluruh pakaian bawahnya terlucuti. Kubantu Krisna mengenakan celana Amara.
“biarlah Amara memakai sleeping bag-ku. Kurasa punyaku lebih hangat dari miliknya,” kuucap kata-kata itu spontan. Aku tak peduli lagi. Krisna pun mengangguk. Tatapannya kosong.
“setelah ini tolong kau panaskan air, Ryan. Kita harus menghangatkan Amara,” kata-kata Krisna terdengar letih. Ia lantas berbaring di samping Amara, memeluknya, menciumnya, aku keluar dari tenda dengan perasaan terluka.

***

Pukul 20.00, hari ini.

Kondisi Amara kian memburuk. Suhu tubuhnya turun drastis. Gerakan bibirnya terus meracau. Upaya yang kami lakukan untuk membuatnya hangat seolah tak berhasil. Dalam situasi menunggu seperti sekarang, yang bisa kulakukan hanyalah berharap keajaiban.

Angin badai tak lagi terdengar. Hujan baru berhenti. Malam dingin mencekat, kesunyian merajalela. Tak terdengar secericit pun binatang hutan di tempat ini. Aneh. Semua seolah membisu. Kami semua terpekur terkalahkan. Antara gentar, takut, nyali yang tersisa tinggal seujung kuku. Kulihat samar-samar dari jendela tenda cemerat cahaya rembulan yang menerobos kelebatan.
Kusodok Soni yang menunduk menggunakan sikutku,
“Son. Badai sudah berhenti,”
“ap.. apa ? apa ? kenapa ?” badai berhenti ?” gagapnya cepat. Ia setengah sadar.
“ya. Badai berhenti. Sepertinya langit tak lagi mendung. Kalau memungkinkan, kita lakukan orientasi malam ini menggunakan rasi bintang, besok pagi aku khawatir badai mengamuk lagi,” jelasku. Soni mengangguk
“Kris, badai berhenti. Langit sepertinya cerah,” Soni kemudian menggoyang punggung Krisna.
“kenapa ?! kenapa ? langit cerah ? kita harus bergerak malam ini,” Krisna berbicara seperti tergopoh. Ia lantas mengajak aku dan Soni keluar tenda, meninggalkan Benny yang tengah meringkuk di pojok tenda.
Kulihat langit sangatlah cerah. Bintang-bintang yang terselip di sela dedaunan berkedip-kerlip. Tapi sayang, kami masih buta dengan situasi sekitar.
“bagaimana rencanamu ?” tanyaku kepada Krisna.
“begini, kompas kita kehilangan fungsi di tempat ini. GPS kita juga habis batere. Tapi kita masih punya 2 altimeter dan 2 salinan peta kontur, semoga dengan ini kita bisa mencari posisi kita,” Krisna memandangi kami bergantian. Penuh harap.
 “carilah rasi bintang crux si sisi selatan, kemudian plot lah elevasi yang tertera di altimeter. Kita bisa memprediksi posisi dengan kemampuan bernavigasi ke sisi selatan sambil menebak rupa kontur,”
“apa tidak lebih baik kita bagi menjadi dua tim ?” usul Soni yang memandang Krisna.
“ya, maksudku memang demikian. Aku menuju ke sana, dan kalian menuju kesana,” Krisna menunjuk dua arah yang saling berlawanan.
“carilah tempat yang terhalang, kalau memungkinkan di titik tertinggi,”
“bagaimana dengan Amara ? apa Benny mampu menjaganya,” tanyaku ragu dengan keseriusan Benny menjaga Amara.
“Benny biarlah disini menjaga Amara, kalau perlu -”

“tidak, Kris !! tidak !!  aku tak mau tinggal disini ! aku ikut kau !” tiba-tiba dari dalam tenda Benny berteriak.
“aku tak mau menjaga orang sekarat, Amara tak mungkin selamat,” ujarnya enteng. Entah setan apa yang merasukinya
Aku terbelalak. Soni pun demikian. Ingin cepat-cepat kutarik belatiku dan kutancapkan di mulutnya.
Krisna tak bereaksi. Inilah yang kusayangkan darinya. Krisna tak membela habis-habisan Amara yang nyata-nyata kekasihnya. Krisna malah nampak dungu serupa monyet menelan karbit.
“ baiklah, kau ikut aku, Ben” ujar Krisna. Aku terbelalak.
“Kris !! apa-apaan kau !!! Amara tak mungkin sendirian !!!” potongku kalap. Mual rasanya mendengar kata-katanya.
“Amara sudah tak mungkin selamat. Kondisinya terus memburuk. Kemungkinan bertahan hidupnya sangat tipis, Ryan. Saat ini yang penting kita ambil keputusan berdasar skala prioritas. Kita selamatkan yang masih punya harapan. Maafkan aku,”
 Darahku menggelegak mendengar kata-kata Krisna. Emosiku mendidih. Kutarik belatiku namun tangan Soni secepatnya mencegahku.
“tahanlah, Ryan. Tahan. Kita semua dalam kondisi labil. Kumohon, jangan memperburuk dengan emosi,” Soni berkata selembut mungkin.
“aku hanya tak habis pikir dengan isi otak monyet-monyet ini, Son. Mereka menganggap rendah kehidupan Amara. Anjing !!” suaraku bergetaran melontar emosi. Dadaku terasa sesak. Kini kutahu watak asli Krisna.
“sekali lagi maafkan aku, Ryan.  Hanya saja, di situasi seperti sekarang, kewarasan otak harus menjadi prioritas. Bukannya perasaan,”
“cukup, Kris !! simpan sampah mulutmu daripada kusumpal dengan belati !!” tanganku reflek meraba pegangan belatiku.
“kumohon, Ryan. Tahan emosimu, sekali lagi kumohon ..” lagi-lagi tangan Soni mencegahku mencabut belati. Kali ini pegangannya lebih kuat.
“secepatnya kita lakukan tugas kita, Ryan. Amara biarlah sendirian barang sejenak. Aku yakin ia pasti baik-baik saja. Percayalah padaku,” Soni membisikiku dengan lembut. Tatapannya mengiba.
Mendengar kalimat Soni, emosiku perlahan turun. Secepatnya kualihkan tatap mataku daripada menyaksikan dua makhluk pengecut mempertunjukkan ketololannya di hadapanku. Aku sungguh-sungguh muak.

“baiklah, aku dan Benny berangkat,” ujar Krisna kepada Soni. Mereka mengambil jalan dan segera lenyap menerobos hutan.
“mau pergi ke neraka pun aku tak peduli,” umpatku menyahuti.
“sudahlah, Ryan. Mari berangkat.” tangan Soni memegang pundakku
“Kau berangkatlah dulu, Son. Tapi jangan jauh-jauh. Kupastikan dulu Amara tak apa-apa,” ujarku meminta pengertiannya.
“baiklah. Aku berangkat lebih dulu. Pastikan jarakku dan jarakmu tak terpaut jauh. Kau ikuti sinar senterku,”
Aku mengangguk mengiyakan Soni.
Soni kemudian bergegas meninggalkanku. Ia mengambil jalan berlawanan dengan jalan yang diambil Krisna dan Benny.

Malam ini, meski badai telah reda, tak kurasakan ketenangan menyelimuti batinku. Malahan kurasa badai yang sepanjang hari mengamuk menghantamiku telah pindah ke dadaku.

Untuk sekejap kutengadahkan kepalaku, aku memejam mata. Kuharap cahaya lembut rembulan yang menerobos sela dedaunan mengantar doaku menuju langit. Agar Amara terselamatkan. Agar sesegera mungkin kulewati segala  kegilaan ini.

Kulangkahkan kakiku memasuki tenda yang tak lagi tegak. Kelopak mataku seketika berair. Betapa malang Amara malam ini, betapa tak berdayanya perempuan yang kucintai dicampakkan. Apakah tak berati lagi kata-kata lembutnya di mata Krisna ? ah, kekasih hatiku, Amara-ku yang kucintai, betapa malang dirimu malam ini, Sayang. Aku yang tak berdaya menangisimu memohon maaf.

Kubelai paras pucat Amara dengan tanganku, ia bereaksi. Kubelai lagi, kubelai berkali-kali, kusibak rambutnya dengan lembut, selembut yang kubisa.
“ Amara, maafkan aku yang mencintaimu dan tak mampu berbuat apa-apa,”  kudekatkan bibirku ke telinganya. Aku berbisik selembut mungkin.
“aku bersumpah akan menjagamu, apapun yang terjadi. Janganlah kau takut, Ra. Biar semua beban takutmu akulah yang menanggungnya. Kita akan keluar dari tempat ini secepat mungkin,”  jiwaku luruh mengisak tangis. Dadaku sesak bercampur perih.
Kukecup lembut kening Amara. Kubelai wajahnya sekali lagi. Aku kemudian meninggalkannya dengan lelehan air mata.

Kukejar Soni secepat mungkin. Ayunan langkahku menerobos sela rapat pepohonan. Menyeruak, menyibak-nyibak. Kutahu dari kelebatan sinar senter di depanku, Soni tak seberapa jauh dari posisiku.
“Son ! Soni !!” teriakku yang mencabut belati. Kubabat batang-batang perdu dengan niatan meninggalkan jejak.
“Ryan ! terus saja lurus !” sahut Soni dengan suara tinggi.
“sudahkah kau temukan posisi bagus ?” teriakku lagi
“masih belum nampak ! kita harus lebih tinggi mendaki !” sahutnya menimpaliku
Hingga tak kurang dari tiga menit, kujumpai Soni tengah bersandar di pohon pinus tinggi besar. Nafasnya terengah-engah.
“kurasa hampir mustahil menemukan tempat orientasi yang bagus,” ujarnya kepadaku sambil mengatur nafas.
“kau yakin tak ada tempat terbuka ?” tanyaku memastikan
“kurasa tak jauh lagi pastilah ada, cuman, posisinya merapat jurang, kau pasti merasakan udara lebih dingin di seberang sana. Disitu pasti bibir jurang. Orientasi di tempat itu sama artinya mempertaruhkan nyawamu,”
“apa kau ingin kembali, Son ?”tanyaku menawarkan
“tidak, Ryan. Aku tak ingin bertaruh setengah-setengah. Kita selesaikan saja semua ini,” katanya optimis. Semangatku terinduksi kata-katanya.
Soni kemudian membimbingku menuju tempat yang memiliki hawa lebih dingin.  Tempat semacam itu pastilah punggungan lembah atau gigiran jurang yang angin tak terhalangi rapatnya pepohonan. Kami melangkah berhati-hati. Soni sesekali memberiku peringatan adanya rintangan ranting di atas tanah.  Hingga hawa kian dingin, kurasa wajahku merasakan hembusan angin yang mulai kencang. Bunyi dedaunan cemara-pinus yang terusik angin terdengar magis.
“kita hampir mendekati bibir jurang,” ujar Soni yang waspada. Dan memang, kurang dari semenit dari kata-katanya, kami akhirnya tiba di bibir jurang.
“posisinya cukup bagus,” kata Soni yang tersenyum kepadaku. Pandangannya menelisik sekeliling.
“semoga Benny dan Krisna menemukan hal sama,” sambungnya lagi.
Soni lantas melakukan orientasi medan. Dikeluarkannya peta topografi beserta altimeter dari sakunya.
“coba kau bidik kompasmu ke arah crux, yang itu, Ryan” Soni menunjuk rasi salib selatan.
“bukannya kompas kita kehilangan arah ?” aku ingin konfirmasi.
“Iya. Aku tahu. Kita gunakan sebagai data sekunder,” jawabnya singkat sambil menandai prediksi lokasi di peta.
“berapa bearing-mu?” tanyanya kemudian
“178 derajat,” jawabku.
“arah selatan ! syukurlah ! berarti di tempat ini kompas kita normal !” kata-katanya membuat batinku melonjak.
“sudah kau plot posisinya, Son ?” tanyaku memastikan
“sudah .. sudah .. sudah fix” jawabnya. “sebentar, Ryan. Aku kencing dulu ..” ujarnya yang menyingkir menjauh.
“posisi yang kita dapatkan sedikit kasar. Semoga dengan hasil orientasi Krisna bisa lebih meyakinkan,” katanya dengan suara mengejan.
“kuharap tim SAR sudah bergerak menyisir jejak kita,” sambungnya. 

Tak kusahuti kata-kata Soni. Aku tengah asyik mengagumi gambaran langit di atasku. Rembulan sabit menguasai langit tengah. Di sekelilingnya terserak jutaan bintang yang terengkuh galaksi yang tak tercerna lagi jangkauannya. Namun tiba-tiba,

BRRRLLLL  GGRRROOAAKK !!!  JLEGGHH !! BRAAAGGHH BRRDDLLL ..!!
“longsoooorrrr !!! lariii, Ryaaann !! lariiii !!!”
Brgggh .. jleggg .. SRRRRRAAAAAKKKK !!!
Aku tersentak tak karuan. Berlari. Serupa rusa paling pengecut yang mendengar ledak senapan. Kakiku berlari tak berarah. Menerjang-nerjang. Menyelamatkan diri sendiri yang tak tahu kejadian sebenarnya. Benakku berfirasat jika gemuruh dahsyat yang membuatku pontang-panting adalah patahan tebing batu–bercampur tumbangan pohon yang meluncur ke dasar jurang ratusan meter.
Aku terus berlari sekencangnya. Menghambur sebisa-bisanya. Beruntunglah akhirnya kutemukan jejak perdu yang sebelumnya tertebas belatiku. Aku berhenti. Aku terjatuh. Jantungku serasa pecah. Hingga –
“Soni !! Soni !!” teriakku dengan nafas tersengal. Aku berteriak sekencangnya namun tak ada sahutan.
Dadaku bergetaran dikuasai khawatir. Aku bangkit. Kembali ke awal ke bibir jurang.
“Soni !! Soni !! dimana kau !!” perasaanku kian tak enak. Kelopak mataku menghangat.
Hingga setibaku di bibir jurang, aku jatuh terduduk, lemas tak bertenaga. Tempat dimana Soni kulihat terakhir kali tak tersisa lagi.
“Soni .. dimana kau, Son” Aku merintih mengisak tangis. Suaraku seraya tertelan kesenyapan belantara beserta dasar jurang di bawahku.  Aku menangis sejadi-jadinya. Meratapi Soni yang tak mungkin lagi menyahuti teriakanku.

Kukumpulkan puing-puing jiwaku setelah terhempas sehancur-hancurnya. Aku bangkit berdiri. Amara. Ya, di pikiranku hanya tersisa Amara.
Kuusap lelehan air mata, aku melangkah menuju tenda. Sepanjang jalan nampaklah jelas jejak pelarianku ketika meninggalkan Soni. Aku terlingkup penyesalan. Namun setelah melihat tenda nan ringkih di depanku, setitik harapanku tumbuh kembali. Kulangkahkan kaki memasuki tenda, dan –
“Amara !! Amara !! dimana kau ?”
“ ya Tuhaaannn .. apa lagi ini !!” aku menangis. Aku meradang. Aku kehilangan kesegalaan.
Tak kutemukan Amara di dalam tenda. Amara lenyap entah kemana.

Bangil –Surabaya, Juli 2010
“dalam tragedi pendakian gunung di bulan Desember itu, tercatat 3 pendaki gunung menjadi korban. Krisna tewas terjatuh ke dasar jurang ratusan meter. Jasadnya ditemukan tersangkut di atas pohon di dasar jurang. Sedangkan Benny dan Soni, kedua pendaki tersebut dinyatakan hilang setelah upaya pencarian tim SAR tak membuahkan hasil.
Amara berhasil selamat. Konon menurut penduduk desa yang terlibat upaya pencarian, Amara ditemukan oleh sesosok kakek tua misterius yang kemudian membawanya turun gunung menuju desa terakhir. 
Sedangkan Ryan, tim SAR berhasil menyelamatkannya. Tetapi guncangan yang hebat membuatnya harus dirawat berbulan-bulan di rumah sakit gangguan mental,”

[cerpen JEJAK TERAKHIR, “mengenang para pendaki yang tak pernah menemukan jalan pulang”


Thanks to : “ Mentari” by Iwan Abdurrahman

Posting Komentar

 
Top