0

Entah- bagaimana caranya perjalanan datang.
Dan entah, bagaimana caranya  ia berbicara kepada manusia

Apakah ia datang dari tempat yang teramat jauh.
Ataukah ia datang – dari tempat yang berjarak tak lebih panjang –
Dari toreh jejak dan lekuk kaki.

Padahal –
Apakah manusia semacam aku
Tertidur ketika waktu semakin berumur.

Ataupun,
Ketika perjalanan semakin menampakkan diri -
Melalui lelaki tua bertongkat renta

Kuakui,
Akupun lelah.
Dan sesekali ingin terduduk letih.

Padahal –
Aku masih ingin berjalan di dasar samudera
Aku masih ingin menyentuhi langit
Aku masih ingin merenung di palung-palung gunung

Tapi –entahlah.
Hidup dan perjalanan terasa seperti lorong yang magis
Terkadang terang –terkadang gelap.
Terkadang pula terbingung bermandi cahaya yang nyaris putus.

Ah diriku,
Aku ambigu –
untuk memilih antara hidup yang seperti angin - ataukah debu.

Jika seperti debu,
Aku ingin tabah belajar terbang kepada udara yang bertiup.
Aku bisa jatuh –aku bisa lepas.
Tapi aku bisa memahami bagaimana kepasrahan menjadi ideology.

Dan jika diriku ingin seperti angin,
Saat bertiup lembut –aku membelai sebuah paras seperti buai rindu seorang kekasih.

 Saat aku menderu,
Aku bisa menerbangkan debu dan layang-layang belajar terbang
Aku bisa mengantar layar-layar dengan tegar
Aku bisa menggiring ombak melompati punggung karang

sedangkan jika aku menggeram,
Aku terlihat seperti putaran beliung  hitam

Aku berbadai
Aku berderai
Aku menerjang siapa-siapa

Ah,
Apakah itu arti pejalan hidup yang kucari.

Mungkin saja.
Tapi –aku kini merasa perlu untuk lebih setia kepada waktu.

Bersedia mengambil diam.
Melepas kepal dendam.

Membuka jemari –

bagi jiwa dengan tangan yang masih saja rapat tergenggam.

Malang, Vinolia,  6 Agustus 2006
gambar : qousa.wordpress.com

Posting Komentar

 
Top