0

“angkat, Bang ! angkat, Bang !” teriak Rossi cengingisan.
Aku tersenyum kesal, cengingisnya kian lebar di tengah hiruk pikuk kemacetan Mampang Prapatan.
“jangan tertawa, Ros !” teriakku gugup lantaran Bus Transjakarta melaju kencang dari arah Ragunan.
“sabar, Bang .. sabar .. “
“sabar-sabar ! sabar dengkulmu ?! kau mau kita modhar di jalur busway ?“
“sopirnya pasti ngerem, Bang .. nggak akan senekat itu ..” bantahnya. Ia pun membungkuk bersiap mengangkat motor keluar jalur bus.
“Abang di depan, dong ! jangan diem aja !” protesnya saat melihatku tak beranjak
“kelakuanmu ini kurang ajar, Ros ! ngerjain aku ! oke-oke ! tapi ongkosnya harus lebih murah,”
“yaahh .. pelit amat, bayar cuman duapuluh ribu masih minta potongan harga, ini sih namanya mencari kesempatan di tengah kesempitan, Bang. Persis cacing kremi !” tukasnya
“lagian, Ros. Masak penumpang kau suruh angkat motormu ! penumpang adalah raja, Ros. Pokoknya korting harga !!”
“ya udah buruan !!! punya pelanggan satuuu aja .. bawelnya setengah hidup !!! perhitungan !!!” mulut Rossi memanjang persis tapir kehausan.
“bercanda, Ros .. bercanda ..  hayohhh .. “
“angkat depan ya, Bang .. tu .. wa.. ga ..huuppss ..”
Kanan-kiri depan-belakang, lengking klakson bertindih-tindih memekakkan. Membuat gatal. Memantul-mantul berlompatan di gendang telinga. Bus Transjakarta terpaksa melambat karena jalurnya tergarong puluhan motor. Asap kendaraan berkepul-kepul serupa asap sampah yang terbakar.
Aku dan Rossi tak peduli dengan puluhan pasang mata yang memandangi kami laiknya hakim pengadil. Sinis. Penuh kejengkelan. Toh sekawanan kami banyak, tak cuma aku dan pengojek langgananku, si Rossi. Beberapa motor lain di depan kami mengaum-ngaum menasbihkan diri sebagai raja jalanan. Mempersetankan Bus Transjakarta yang hanya mampu menggeram-geram di belakang, persis tingkah ksatria berbadan besar namun kehilangan kejantanan lantaran dikebiri.
“naik lagi, Bang .. naik lagi,” teriak Rossi buru-buru. Mimik mukanya tak peduli dengan tatapan pengemudi mobil di sekeliling kami. Maklum saja, deretan kendaraan yang terjebak kemacetan menyisakan spasi-spasi kecil nan sempit.
“kali ini target masih tetep sama, Ros .. Stasiun Gambir .. berapa lama, Ros ?”
“16 menit,”
“enam belas menit ?!! sinting kau, Ros .. rekormu delapan belas menit sudah kuanggap gila !! jangan keterlaluan, Ros ! ini jalanan Jakarta! bukan sirkuit sentul !! kemarin itu pantat motormu nyaris dicium kopaja P-20 !!”
“aahh  .. udahlah, Bang. Serahkan pada ahlinya,”
Jawaban Rossi membungkam protesku. Kakinya seketika tegas mengayun starter. Motor pun kembali menggeram dan siap berlari di landas pacu.
“Abang naik kereta Gumarang, kan ?”
“yup,” jawabku singkat.
“berangkat mesti tepat waktu, kan ?”
“jelas ! harus !! kenapa, Ros ?”
Sambil bertanya kutilik wajahnya. Ia tersenyum. Ciri khasnya berupa gigi tanggal mirip pacul sawah menyelinap malu-malu di balik bibirnya.
“catat, Bang ! sekarang masih pukul lima sore  .. aktifkan Stopwatch HP Abang .. target waktu enam belas menit sampai di gerbang Gambir,” mata Rossi jeli menilik lampu lalu lintas. Serupa singa memata-matai antelopedi padangAfrika. Kelopaknya tak berkedip.
“siaaaappp ??!!”
Go !!!”
“anjing kau, Ros !! anjing kurap !!”
“hahahaha !!!”
Hentakan starternya nyaris membuat pantatku terpelanting dari jok. Anjing kurap ! dia malah tertawa penuh nafsu. Dari flyover Tendean, ratusan kendaraan seketika menerjang. Raungan ratusan motor berpilinan, persis dengungan lebah birahi yang marah saat ratunya terusik.
Motor kami berada di posisi terdepan. Meninggalkan motor-motor lain yang laiknya nenek tua memanggul gembolan, tak lincah dan kikuk terkungkung usia. Kami melintasi Jalan Rasuna Said tanpa hambatan. Jalanan yang lurus memanjang hanya dalam hitungan detik terlibas roda motor kami.
Rossi memang lihai. Tangannya cekatan, perhitungannya selalu pas mengambil sela. Ia tahu benar bagaimana menyalip Kopaja yang kebanyakan tak punya tata krama berlalu lintas. Sambil menyalip, biasanya ia tancap gas sekencang-kencangnya sembari membunyikan klakson panjang. Kanan-kiri lajur jalan adalah celah baginya untuk memecahkan rekor kecepatan. Spasi selebar 1.5 meter terasa cukup untuk meledek kendaraan di depannya. Ruas jalan Kuningan yang lurus memanjang menjadi titik klimaks kecepatan. GOR Sumantri, Indorama, Kantor KPK, Sentra Mulia, dilibas dalam hitungan yang tak wajar. Spidometer berdenyut-denyut mengikuti akselerasi takikan rem dan tancapan gas. Deretan kendaraan tak mampu menghalanginya, Rossi terus tancap gas sambil mengukur persepsinya. Sedangkan aku yang menggigil di belakang, tak urung bersibuk diri mengatasi pancaran adrenalin yang mengayun jantung sekencang-kencangnya.
“anjing kau, Ros !! anjing kurap !! monyet rabiessss !!” umpatanku mendesis-desis dilarikan angin. Hanya sejengkal jarak slebor motor dengan moncong Metromini.
Rossi tak memperlambat laju. Menjelang flyovermonumen angkatan 66 kecepatannya kian meninggi. Tapi aku tahu sebentar lagi lampu merah. Kenekatannya hanya bisa dihentikan lampu lalu lintas.
Pemuda yang kupanggil Rossi ini bernama asli Lentikno. Dia tukang ojek langgananku yang selalu mangkal di perempatan Mampang Prapatan. Setahun lalu sebelum tobat, dia salah satu dari puluhan pembalap liar yang acapkali kucing-kucingan dengan patroli polisi di jalanan Jakarta. Memacu gas sekencang-kencangnya, meliuk menghindar laiknya tikus diuber kucing. Ia tobat dari balap liar setelah menyaksikan kawan karibnya pecah kepala lantaran terpelanting menghantam trotoar. Motornya hancur berantakan,  kawannya tewas tanpa sempat mengaduh. Akhirnya empat bulan setelahnya, Rossi memutuskan menikah untuk mengakhiri aksi jalanannya.
Sesaat sebelum memasuki ruas jalan kawasan Menteng, Valentikno Rossi memperlambat laju. Gerombol kendaraan yang terhenti memaksanya meliuk-liuk di antara sisa spasi kendaraan.
“Rekorku harus pecah, Bang”
“tak usah maksa, Ros ! duapuluh lima menit sudah cukup ! aku masih sempat memburu kereta !”
“ini bukan masalah kereta, Bang. Ini masalah lain !”
“masalah apa, Ros ?” tanyaku setengah berteriak.
“masalah pembuktian, Bang”
“pembuktian ? pembuktian apa, Ros ? kupikir selama ini kau sudah berhenti dari kelakuan masa lalumu !”
“itu beda, Bang” bantahnya
“beda apa, Ros ? dulu kau balapan di tengah malam, di saat kendaraan sepi. Sekarang kau malah mempertaruhkan nyawa di antara bemper-bemper bus kota! ini malah gila, Ros ! untung aku bukan nenek tua yang memakai gigi palsu !”
“memangnya kenapa, Bang ?” tanyanya
“gigi palsunya bisa terbang, Ros ! terlempar karena angin ! kau pikir dari tadi aku tak memegangi helm-mu yang tak standar ini ! ini bukan helm, Ros ! ini gayung buat cebok !”
“ngledek kau, Bang. Hahahaha !” suara Rossi terbahak di antara pekikan klakson. Sopir-sopir tengah tak sabar menyaksikan lampu hijau menyala.
Tangan Rossi seketika menghentak gas. Sekali lagi pantatku nyaris terpelanting. Kuumpat berkali-kali tapi Rossi hanya menyeringai kecil.
“enambelas menit, Bang ! enambelas menit di pintu Gambir !” teriak Rossi bersemangat
“persetan, Ros ! persetan ! terserah kau ! yang penting jangan bikin aku mampus di tengah jalan  !” balasku meradang
Motor Rossi melaju meninggalkan kendaraan lain, mengikuti alinyemen jalan yang perlahan menikung. Saat itu kurasakan kecepatannya tak melambat. Rossi malah mempercepat laju sambil memiringkan motornya.
”perempatan, Ros ! jangan nekat, Ros !” teriakku saat kecepatan motor tak melambat. Duaratus meter di depan kami lampu lalulintas berwarna merah.
Rossi tak bereaksi. Tangannya tetap menahan gas sesuai posisi awal.
“keparat kau, Ros ! berhenti, Ros ! kau pengen kita mampus dan diselimuti koran bekas ?!! ”  teriakku kian khawatir
Lagi-lagi Rossi tersenyum dingin. Ia seperti mengukur keadaaan. Menjelang sisa jarak yang hanya seratus meter dari lampu lalulintas, tangannya malah mengencangkan tarikan gas.
“monyeeetttt !!!” teriakku mengencangkan tautan tangan. Motor semakin kencang. Jarak tersisa limapuluh meter, empat puluh meter, tiga puluh meter, nampak jajaran motor di depan kami menggeram-geram menunggu lampu hijau.
“Rem, Ros !! Rem !!” teriakku sambil menahan nafas.  Aku kebingungan tak mampu berpikir. Mataku memicing ingin memejam.
Wuizzzzzhhh
Motor Rossi memilih spasi di seberang marka, jarak duapuluh lima meter, limabelas meter, limameter,
“rem, Ros !! Rem !!”
Blap !!
Lampu hijau menyala. Tanpa memperlambat kecepatan, motor Rossi memotong perempatan dan menikung dengan sempurna. Hampir saja motornya menabrak motor lain yang memaksa menerobos lampu merah.
“sialan kau, Ros !! jangkrik !! jantungku mau copot  !!”
“hahahaha !! kan mendingan naik motor ini daripada naik halilintar di Ancol, Bang ! lebih murah !!”
“murah dengkul-mu anjlog!! “ umpatku memakai bahasa daerahku.
Motor terus melaju menghamburkan tawa Rossi yang berkepanjangan. Nampak tugu Tani, nampak pula gedung-gedung di sekitar pusat kota. Kantor Pertamina, Gedung PLN, Departemen Kelautan dan Perikanan, bahkan di kejauhan, Tugu Monumen Nasional terlihat gagah menusuk langit.
“berapa lama catatan waktuku, Bang ?” tanya Rossi saat melintasi lampu lalulintas sebelum Gambir.
“persetan, Ros. Aku tak peduli !”
“rekor pecah, Bang ?” tanyanya sambil menoleh sekilas
“entahlah, Ros”
“lihat dong, Bang !” teriaknya memantik jengkel
“oke-oke !“ sahutku menenangkan
mmm .. sepertinya limabelas menit tigapuluh detik, Ros !” lanjutku setelah menilik stopwatch
yuhui ! rekor pecah ! rekor pecah !” teriaknya berkali-kali
“persetan, Ros ! aku tak peduli ! sepanjang enambelas menit kita nyaris mati !” timpalku tak peduli
Motor tepat berhenti di gerbang Weltevredenalias stasiun Gambir. Calon penumpang lalu-lalang, berjalan tergesa sambil menyeret tas-tas berukuran besar.
“kau tahu isinya, Bang ?” tanya Rossi sambil menilik cewek seksi yang menyeret tas berukuran besar.
“apa isinya, Ros ?” timpalku menyenangkan hatinya
“kotang dan sempak !!”
“sempak dengkulmu !!” timpalku mengumpat gurauannya.
“kau sudah kawin, Ros ! jangan suka mencela perempuan dan perabotnya ! tak kasihan kau sama istrimu ?” ujarku sekenanya
“becanda, Bang. Becanda,”
“aku tahu kau bercanda, tapi jangan begitu, Ros. Tak baik, pamali kata orang,” jelasku seperti seorang moralis.
“Bagaimana kabar istrimu ?” lanjutku sambil mengambil dompet di saku celana.
“sekarang ini dia ke dokter, Bang”
“ke dokter ? memangnya istrimu kenapa, Ros ? sakit ?”
“entahlah, Bang. Dia keseringan mual-mual. Sekarang ini seharusnya aku mendapat kabar darinya,”
“dasar goblok kau, Ros ! mungkin dia sedang bunting,”
“bunting, Bang ?” Rossi terkejut
“iya. Melendung perutnya karena cula buntungmu itu ! mulai sekarang jaga kelakuanmu, Ros ! jangan bertingkah seperti setan jalanan !!”
“jangan bergurau, Bang !”
“terserah .. buktikan saja omonganku nanti !! istrimu itu sedang bunting !” aku pun berlalu setelah menyerahkan uang limapuluh ribu dan meninggalkannya
“kembaliannya, Bang !” teriak Rossi
“anggap saja hadiah kehadiran calon keponakanku, Ros,” sahutku sambil melangkah meninggalkannya.
“hati-hati kalo pulang !!” teriakku kemudian. Ia pun memandangku sambil tersenyum
***
Kereta yang kutumpangi berlari seperti kuda kebesaran testis. Kuduga lokomotifnya sedang bobrok. Loyo tak karuan. Hawa panas bercampur prengus keringat bercampur pula bau pesing. Anjing !! seluruh penghuni gerbong menggerutu berkepanjangan. Yang tak menggerutu hanyalah nenek tua di sebelahku yang tertidur sambil mulutnya terbuka hingga nyaris meneteskan liurnya. 
Ting tung ning nung –ting tung ning nung- ngok ngok !! Blarrr !!!
Ringtone ponselku berdering kencang. Membangunkan nenek tua yang kaget tergagap-gagap.
“Halo !!” kuangkat ponsel tanpa menilik nama.
[halo, Bang !! ternyata istriku memang hamil, Bang !! hahahaha !! tebakanmu benar !!]
“Kau, Ros !! selamat !! selamat !! hahahaha !!! bertuah juga cula buntung-mu !!” teriakku senang. Nenek tua di sampingku memandang kesal. Tak kupedulikan.
[hehehe. Iya, Bang. Syukur. Sekarang Abang musti cari tukang ojek lain,] ujarnya antusias.
“memangnya kenapa, Ros ? kau ada kerjaan lain ?”
[tidak, Bang. Aku tetap narik. Tapi aku tak mau ngebut lagi buat ngejar kereta,]
“hahaha ! monyet kau, Ros ! dasar monyet  rabies !! kau takut anakmu mengikuti jejakmu, hah ?! jadi pembalap jalanan ?!!” gurauku blak-blakan. Nenek tua di sampingku memandangku muak. Persetan !
[hehehe .. tahu lah, Abang. Kali ini buah harus jatuh menjauhi pohonnya], timpalnya spontan
“bisa, Ros ! bisa ! asal buah itu jatuh ketika banjir !! hahahaha !! semoga anakmu tak mengikuti kesintinganmu jadi setan jalanan !!!” gurauku kencang-kencang. Nenek tua di sampingku mulai memasang susur di bibirnya.
[Abang nyampe mana ?] tanya Rossi cepat-cepat
“nyampe Karawang, Ros”
[oh, nyampe Karawang, duduk di samping  cewek seksi itu, Bang ?]
“cewek seksi ? cewek seksi yang mana ?” tanyaku sambil menatap sekilas nenek tua di sampingku. Bibirnya memerah, tangan keriputnya bergerak cepat memutar susur.
[yang itu, Bang. Yang tasnya berisi kotang dan sempak !!]
“sempak dengkul-mu, Ros !! sempak kepalamu !!” umpatku kencang-kencang
“aku duduk di samping cewek jaman kompeni, Ros !! bukan cewek seksi !! disini saja bau minyak gosok anti mabok !! hahahaha !!” sambil terbahak kutilik nenek tua di sampingku. Aku pun tertawa puas. Namun,
Crott !! crot !! cuih !!
Anjing !!
Bibirnya meludahkan cairan merah di kemejaku. Aku tak bereaksi, aku terhenyak tak percaya .
“mulutmu itu nggak pernah sekolah madarasah!! Cuma dipakai buang kentut !! ” tukas nenek tua sambil menjejalkan susurnya di mulutku. Nyot ! cuih ! cuih !
***

Mampang Prapatan, 19/01/10

Posting Komentar

 
Top