0

Di tengah kabut pekat yang menyelimuti kebekuan lembah, belaian hangat telapak tangan Dita perlahan-lahan membangunkan Rheno dari tidur. Saat kelopak matanya membuka, dilihatnya Dita tersenyum kepadanya. Senyum yang paling cantik.

“kok, sudah bangun, Dit ?” tanya Rheno dengan suara serak. Jemarinya menyeka wajah.
“iya, aku kedinginan di dalam,”
 “kedinginan ?” Rheno bangkit dari tidur. Ia melepas kantung tidur. Tangannya cekatan meraih ranting-ranting dan meletakkannya di tengah sisa-sisa bara.
“kubuatkan minuman hangat. Kopi susu, ya ?” ujar Rheno sambil meniup bara api. Dita mengangguk manja.
Nyala api unggun membuat tubuh Dita terasa hangat. Sikap Rheno yang seperti inilah uang membuat Dita tergila-gila.
“Rifki berangkat mendaki jam berapa, Rhen ?” tanya Dita sambil menggosok jari-jarinya yang beku.
“Rifki ? ah, iya !” spontan Rheno sadar jika Rifki sudah tak berada diantara mereka.
“aku juga nggak tahu, Dit. Dia berangkat pas aku tidur,” reaksi Rheno seakan menyesal. Dita terlihat biasa.
“barangkali dia gak mau ganggu kamu,” sambung Dita yang bergeser merapat ke perapian. Rheno mengangguk pelan.

“kakimu sudah pulih, Dit ?” tanya Rheno. Tatapannya menyapu lembut wajah Dita. Tangan Rheno menuang air ke dalam panci.
“kakiku nggak apa-apa. Tapi persendianku agak ngilu. Kena dingin,”
“jadi kita ke puncak Arjuna ?” lanjut Dita bertanya.  Rheno diam sejenak. Berpikir.
“bagaimana kalau ke puncak Welirang, Dit ? menyusul Rifki. Kukira jalur pendakian lebih mudah,”
“kamu yakin ?” Dita ragu
“biasanya jalur pendakian yang dilewati penambang belerang lebih lebar dan terjaga, tak perlu khawatir tersesat. Lagipula menurut Rifki, jalur ke puncak Welirang memutar menyisir punggung bukit. Tak ada jurang, tak ada tebing,  yang perlu diwaspadai cuma jurang curam bernama Jurang Gede. Di tempat itu jalur pendakian mengecil. Di sebelah kanan tebing setinggi dua-puluh meter, di sebelah kiri terdapat jurang berbentuk ngarai. Panjang jalur berbahaya ini tak lebih dari lima-ratus meter.” Rheno berhenti sejenak. Dita nampak ragu.
“kurasa Rifki tidak asing dengan pegunungan ini, Dit. Buktinya dia berani mendaki tanpa partner. Dia menghabiskan lima-belas jam perjalanan untuk sampai disini, dan terus terang aku salut.”
Dita tersenyum mendengarnya. Perempuan itu mengangguk. Mengiyakan.
“tapi aku masih lebih mengagumimu, Rhen. Kamu sudah menjagaku. Dan aku mencintaimu,”
Binar mata Dita berbinar saat mengucap. Hati Rheno terasa hangat. Impuls-impuls romantic bertebaran, Rheno merapat ke sisi Dita. Tangan Rheno kemudian melingkari punggung Dita dan menariknya ke dalam pelukan.
Udara dingin dan kabut pekat berpendar-pendar.
“kalau memang fisik kita memungkinkan, setelah puncak Welirang, kita bermalam lagi di tempat ini, esoknya kita lanjut ke Puncak Arjuna,”
“I’m with you, Rhen. Always,” Dita tersenyum bahagia. Senyum yang terbit dari perempuan diamuk cinta. Teramat bergairah, sebagaimana anggrek hutan yang bunganya bermekaran di musim pancaroba.

Fajar di langit timur mengintip. Kegelapan lembah perlahan-lahan tersibak. Kebekuan udara meninggalkan butiran-butiran embun di punggung batu.
Kepulan asap perapian meliuk. Tiupan angin gunung sedikit kasar –menyenandungkan nyanyian-nyanyian panjang saat mengalir di sela dedaunan pinus-cemara.
Sementara di puncak Welirang, Rifki tengah berdiri sambil tatap matanya tak lepas memandangi gugusan bukit, cekungan jurang-lembah, kurva-kurva bumi –yang baginya teramat agung. Wajah Rifki terlihat lelah.  Bibirnya kering pecah-pecah. Semenit kemudian, ketika bulatan penuh matahari mengintip di langit timur, Rifki dengan suara lantang berteriak-teriak melepas perasaannya.


sumber gambar : tourdejatim.wordpress.com

Posting Komentar

 
Top