0

“ayolah, Dit. Secepatnya kita keluar dari tempat ini. Lebih cepat, lebih baik.” Rifky menyentuh pelan pundak Dita. Dita menoleh, menatap  Rifky seraya memohon pertolongan. Emosi menggelombang di dada Dita. Dita tak kuasa meninggalkan kekasihnya terpuruk di dasar jurang.
“ayo, Dit,” Rifky kembali mengingatkan setelah Dita terdiam sekian lama.
Demi melihat tatap mata Rifky yang tulus, Dita pasrah saat tangan Rifky membuat simpul­-simpul ikatan mengelilingi tubuhnya.
“kau akan kugendong di punggungku, doakan aku kuat,” Rifky berujar setengah berharap. Rifky sekilas menilik jam di pergelangan tangan.
“pukul 12, tepat tengah malam,” Rifky menelan ludah, “Tuhan, beri aku kekuatan,” ucapnya, menghembuskan nafas panjang.
Tebing yang membeku masih basah, butuh perjuangan kuat dan kehati-hatian menitinya hingga sampai ke puncak.
Dita menggelayut di punggung Rifky. Dengan kekuatan penuh, Rifky bangkit dan  bersiap mengerahkan kekuatan menaklukkan dinding tebing.
Genangan air menggenang di dasar jurang. Saat Rifky melintas, tak sengaja kakinya tercebur ke dalam genangan itu. Kebekuan air terasa menggigit kulit kaki dan menusuk persendian. Rifky terus melangkah. Dita merebahkan kepalanya di punggung kanan Rifky. Kepalanya lunglai. Gadis itu nampak tak bertenaga.
Rifky kemudian meraih tali dan mengikatkan tubuhnya. Sesaat tali-tali itu ditariknya kuat-kuat menjajal kekuatan simpul tali.
“Kita bersiap naik,” ujar Rifky kepada Dita. Namun Dita tak bereaksi.
Seiring tarikan kuat kedua tangan Rifky, kaki Rifky menapak dinding tebing. Tali bergoyang kuat. Otot-otot tangan menegang.  Beban berat tubuh Dita membuat Rifky mengerahkan seluruh energi.  Lututnya bergetaran menumpu beban. Nafas yang sesak mengalir sempit. Urat-urat lehernya bertonjolan sebesar kelingking.
Sementara kabut yang menebal membuat jarak pandang terbatas. Beruntung kabut-kabut itu hanya mengendap di dasar jurang dengan ketinggian 10 meter. Selepas menapaki dinding jurang dan menggantung di gigir tebing, samar-samar Rifky melihat jejak alur longsoran.
 Peluh mengucur deras membasahi tubuh Rifky. Udara beku tak berpengaruh. Jemari Rifky mencengkeram kuat, pijak kakinya menapak-napak mencari tumpuan.  Dita yang menempel di punggung Rifky tak merasakan lagi keganasan tebing yang menghempaskan tubuhnya beberapa jam lalu. Gadis itu tergolek lemah, menyisakan serpih-serpih kecil kesadaran.
Tebing yang labil masih menyisa ancaman. Rifky berupaya keras menjaga keseimbangan. Apalagi, hentakan-hentakan tenaganya seringkali membuat Dita terayun-ayun. Sesekali gadis itu merespon dengan rintihan lemah. Di saat bibir jurang berjarak dua meter lagi, perasaan Rifky girang bukan kepalang.  Rifky semakin bersemangat menaklukkannya. Adrenalin di tubuhnya memancar deras.
“sebentar lagi kita keluar dari jurang –berdoalah,” Rifky menyemangati diri sendiri seolah-olah berujar kepada Dita.
Tangan Rifky terus menggapai tali yang lebih tinggi. Otot-otot tangannya bertonjolan. Namun di saat kakinya mencari pijakan, tiba-tiba telapak kakinya merasakan dinding yang rapuh.
BRRRLLLL .. JRRRTT !!!
Tubuh Rifky limbung terpelanting. Posisi kepala Dita yang sebelumnya tertumpu di pundak Rifky –kini rebah menggantung. Rifky sekuat tenaga mengembalikan keseimbangan. Tangannya menggapai-gapai dinding tebing. Jemarinya berupaya meraih tonjolan batu yang kokoh.
Dita merintih lemah. Tenaganya tak mungkin mampu mengatur keseimbangan. Andai saja tali yang mengikat tubuhnya putus, sudah pasti nyawanya pupus. Sementara nafas Rifky terburu. Detak jantungnya berlari. Tanpa sadar air mata menggenang di kelopak mata Rifky. Lututnya bergetar karena gentar. Sekuat tenaga Rifky meraih kepala Dita. Dengan tarikan tangan yang sedikit menghentak, kepala Dita akhirnya kembali tertumpu di punggung Rifky. Namun Rifky merasakan sedikit kesakitan di belikatnya. Dan saat digerakkan, rasa sakit itu semakin hebat. Rifky kemudian sadar bahwa tulang belikatnya mengalami cidera, tulang lengannya bergeser dari persendian.
Kesunyian alam raya merajalela. Hening. Senyap. Bahkan sekepalan batu yang rontok ke dasar jurang pasti terdengar. Sembari kedua geraham beradu menahan sakit, Rifky terus menapak-napak mengangkat tubuh. Tali yang menggantung bergoyang menegang –erangan dan desahan nafas Rifky keras terdengar. Bulir-bulir keringat berjatuhan –seiring titik-titik embun mencair dan menetes.
Nafas Dita mengembus lemah. Aliran air mata terus meleleh.
“bertahanlah, Dit,” Rifky berujar dengan suara bergetar.
Tenaga Rifky nyaris habis. Bahkan, dirinya gamang apakah mampu menggendong Dita menuruni gunung. Rintangan begitu banyak. Tumbangan kayu, guguran tebing –untuk sesaat hatinya gentar. Tetapi demi melihat ujung tali yang tak seberapa jauh, semangat Rifky membuncah. Tinggal beberapa gapaian lagi dirinya keluar dari lubang kematian.

Rifky terus menarik tubuhnya melawan gravitasi. Nyeri di persendian belikatnya kian parah. Hampir-hampir lengan tangannya terasa dipelintir hingga putus. Seluruh tubuhnya menegang. Detak jantungnya berdentam-dentam. Hingga setelah beberapa kali kakinya menjejak tebing, Rifky dan Dita berhasil keluar dari jurang. Rifky menjauhi bibir jurang sembari merangkak di jalan setapak. Dengus nafasnya kencang tedengar. Rifky menuju dinding tebing yang aman. Tali yang mengikat tubuh Dita dilepas pelan-pelan. Rifky kemudian merebahkan tubuh Dita di atas tanah yang rata. Selepas itu Rifky bangkit dan melangkah sempoyongan. Rifky menghadap jurang dan kemudian berteriak sekencang-kencangnya. Teriakan itu melengking panjang hingga mirip jeritan binatang liar yang terluka. Rifky menangis sekencang-kencangnya.  Rifky menangisi dirinya yang tak mampu berbuat banyak menyelamatkan Rheno dan Dita.

Posting Komentar

 
Top