0


***
Penantianku akan datangnya Sang Pendamai –anakku, tiba sudah. Di malam senin, bulan Rabiul Awal, tanggal ke-11, putera pertamaku lahir. Pertama kali melihatnya –aku menangis. Matanya bening, bercahaya, dahinya lebar seperti dahi ayahandanya. Sedangkan hidungnya, mancung seperti hidung Kyai Manar. Nyaris sebagian besar paras anakku diturunkan dari keluarga besar suamiku. Yang mirip denganku cuma bibirnya. Ya. Bibir puteraku tipis. Kata orang-orang jaman dulu, bibir yang tipis menandakan kepandaian berbicara puteraku di atas rata-rata. Tapi semoga puteraku tak cuma pandai berbicara, semoga ia pandai pula mengaji, pintar pula menyejukkan hati banyak orang.
Mas Munir, suamiku, bersuka cita tak terkira atas kelahiran buah hati kami. Serta merta ia mengabarkannya kepada santri-santri suraunya beserta tetangga kanan kiri.
Namun di suatu sore, ia mengutarakan niatnya yang mengejutkanku.
“Surtikanti tercintaku, ingin rasanya aku menemui Abah. Aku ingin mengabarkan suka-cita ini,” begitu kata-katanya. Rasa-rasanya tenggorokanku terganjal untuk sekedar menimpalinya.
Aku memilih diam. Kupandang wajahnya yang penuh harap.
“semoga Abah bergembira dengan kedatangannya di dunia ini, Sur. Semoga Abah bersedia memotong rambut anak kita saat aqiqahnanti, aku berharap banyak.” begitu lanjutnya. Aku pun mengangguk mengiyakan niatnya.
Maka, di hari ketiga setelah kelahiran putera kami, berangkatlah suamiku ke kediaman kiyai Manar. Ia meninggalkanku sendirian setelah menyiapkan segala keperluan yang memperingan bebanku. Aku berdoa semoga niatannya terkabul. Aku berdoa semoga Gusti Allah melimpahkan karunia selengkap-lengkapnya kepada kami sekeluarga.
Menjelang maghrib, cakrawala di ufuk barat memerah tertabur senja. Burung-burung tak terdengar kicauannya, yang terdengar ramai di sekitar rumah kami hanyalah serangga senja yang menyanyi berkepanjangan. Dan memang, menjelang maghrib seperti sekarang situasi perkampungan pastilah sepi. Jarak antar rumah yang jauh membuat mereka memilih beristirahat sebelum berangkat ke surau.
Mas Munir belum datang, aku sedikit khawatir. Apalagi sejak beberapa saat lalu, hatiku terasa tak enak. Kurasakan firasat ganjil yang tak tertafsirkan. Aku bingung.
Tiba-tiba aku terkesiap bukan kepalang. Iblis yang selama ini kutakuti mendadak muncul di halaman rumahku. Duh Gusti, lindungilah keluargaku. Kudekap puteraku dengan cinta yang penuh.
Makhluk laknat itu berdiri kaku menampakkan wajah bengis. Aku ketakutan setengah mati. Terlebih yang membuat hatiku terasa luruh, lubang mata yang mengerikan itu dibiarkannya tanpa tudung. Mengerikan. Mengerikan. Melengkapi muka setannya yang acak-acakan. Ya Allah, cobaan apalagi ini.
 “apa kabarmu perempuan lacur ?” suara seraknya membekukanku. Sesekali jemarinya mengusap gagang badik yang menyelip di pinggang.
“Kau disini rupanya, bersembunyi di dekapan setan alas.”
Aku ketakutan. Kudekap anakku kian erat. Ia bergerak lemah, meringkuk seolah butuh perlindungan.
“puas kau membuatku picak ?! puas kau membuatku seperti dajjal ?! harusnya kubunuh kau jauh-jauh hari !!” dengusnya menggumpal dendam. Ia mendekatiku. Aku beringsut mundur. Kudekap anakku kian erat.
“perempuan lacur ! perempuan laknat ! kau kirim aku ke bui lalu kau kawini sekutumu ! jangan kau kira mampu mengelabuhiku, hah ?!”
“susah-susah aku lari dari penjara hanya untukmu.”
Batinku kian luruh mendengarnya. Jarwo bergerak mendekatiku.
“pergi kau ! jangan ganggu anakku !” suaraku bergetar mengucapnya. Ia kian cepat mendekatiku. Aku beringsut mundur tetapi, ya Tuhan, aku tersudut tak beruang. Kusaksikan muka Jarwo dari jarak yang tak jauh. Dua meter. Satu meter. Hingga saat tangan kasarnya memegang rahangku, aku tak mampu berontak. Meski sakit luar biasa, aku tak ingin puteraku tersakiti.
Jemarinya menekan rahangku kuat-kuat. Dia kemudian menghempaskanku. Aku terhuyung. Aku terjatuh. Aku mengisak tangis.
Anakku  menangis. Ia merasa terancam. Untunglah ia masih kudekap saat bajingan itu menghempaskanku.
“perempuan jadah !!!” “plakkk !” ditamparnya kepalaku. Ditendangnya punggungku. Ya Allah, kutitipkan anakku kepadaMu.
“kau boleh menyakiti aku, tapi kumohon .. biarkan anakku, Jarwo” aku mengiba dalam tangis.
“keturunanmu sama lacurnya denganmu. Pantas jika dibunuh !” tangan Jarwo kembali mencengkeram rahangku. Jempolnya mencekikku.
“kumohon Jarwo ! kumohon  .. Akhhh .. de.. mi.. Allahhh..  “  nafasku patah-patah. Dadaku sesak. Namun tiba-tiba,
“Astaghfirullahan Adzim !! ya Allah !! ya Allah !! lepaskan istriku, Jarwo !! lepaskan istriku !! kumohon !!”   kudengar getar suara suami tercintaku. Ya Allah, kuatkan dia. Tabahkan Mas Munir.
“kau .. kau, Setan Alas ! kau harus menebus pesakitanku ! dan tebusannya berarti mati !!” teriaknya sambil terus mencekikku.
“iy .. iya. Tapi .. tapi.. demi Allah lepaskan Surti, lepaskanlah anakku, kita bisa bicara baik-baik,” suara Mas Munir mengiba.
Setan itu kemudian menghempaskanku dengan kasar. Aku terjerembab. Anakku terlepas dari dekapanku. Ia terjatuh dan menjerit kencang. Aku pun menangis sejadi-jadinya.
“kau bukan manusia lagi, Jarwo ! kau iblis !” Mas Munir menggeram. Secepatnya ia menghadapi Jarwo yang menghadang.
“Munir.. Munir .. terserah kau mau ngoceh apapun. Tapi kurasa janganlah buang-buang waktu. Pilihlah cara kematianmu, he he he” Jarwo terkekeh tanda senang. Tangan kanannya mulai menyentuh badik di belakang punggung.
Mas Munir seketika menerjang. Jarwo memasang kuda-kuda. Namun tendangan kaki Mas Munir berhasil menghantam setan itu hingga terpelanting. Bangsat itu jatuh terjerembab. Mas Munir sempat terpukul dan terpental.  

“anjing !! anjing !!” umpat Jarwo memegangi perut.
Mas Munir bersegera bangkit dan tergopoh menghampiriku. Ia menangis memelukku. Dibelainya puteraku sambil mendekatkan wajahnya.
“maafkan aku, Sur. Maafkan aku. Ya Allah, ampuni aku,” Mas Munir merintih mengalirkan air mata.  Aku menangis sejadi-jadinya.
Tiba-tiba sambil meringis kesakitan, Jarwo berdiri dengan sikap tak sempurna. Mas Munir lantas menyerahkan puteraku ke pelukanku. Tetapi, Ya Allah,  setan itu telah berhasil menarik badik yang terselip di pinggangnya. 
Kudekap anakku kuat-kuat.
“berdoalah, Sur. Berdoalah,” suamiku berucap dan mengecup keningku.
“mati kau, Setan alas !! mati kau !!”
Jarwo menyeruak. Bajingan itu menyerbu. Badiknya teracung kuat-kuat.
Wuzzz !! wuzzz !!  Mas Munir mampu berkelit. Ia malah berhasil mendaratkan tendangan kakinya.
“anjing kurap !!!” Jarwo kian kalap.  Ia mengamuk membabi buta. 
“mati kau ! mati kau !” badiknya menebas-nebas tak karuan. Aku memejam mata tak ingin menyaksikannya.
Crazz ! crazz !
“ya Allah ! ya Allah !”
Jantungku berhenti mendengar teriakan Mas Munir. Saat kubuka mata, tak tertahan diriku menyaksikannya bersimbah darah. Tebasan badik itu mengenai dadanya. Ya Allah, ia limbung dan terjatuh. Aku menjerit sekuat-kuatnya menjerit. Kuingin jeritanku terdengar sampai ke langit.
Bajingan itu merasa menang. Senyumnya kian bengis. Ia menatap suamiku laiknya anjing pemburu. Meski tubuhnya tegak tak penuh, di tangannya badik berlumuran darah itu teracung kuat-kuat.
Menyaksikan paparan kebiadaban, sisi lemah kewanitaanku mendadak sirna. Rintihanku lenyap.    
Kukecup kening puteraku seraya minta diri, aku pun telah pasrah. Kuletakkan puteraku di atas tanah seraya menitipkannya ke bumi. Dia menangis lebih kencang seolah tahu bencana yang menimpaku.
Bajingan itu nyengir bengis melihatku bangkit. Pandangannya beralih-alih antara aku dan Mas Munir. Aku tahu cepat atau lambat dia pasti membunuh kami. Satu persatu, atau sekaligus. Ya Allah, bantulah aku.
Setan itu mengacungkan badik ke arahku, ia lantas bergerak menuju Mas Munir. Duh, Gusti.
Jrass !! jrasss !!!  “ya Allah ! ya Allah !!” Jlagg !! “aaaahhh !!! bangsat !!”
Ayunan badik yang berniat membabat perut, tertahan kaki suamiku.  Ya Allah, yang terjadi terjadilah. Meski kaki Mas Munir tertebas, ia berhasil menjejak Jarwo hingga bajingan itu roboh terjengkang. Badik biadab itu terlempar tak jauh dari tempatku.
Aku berlari. Aku menyeruak dalam marah. Kuambil badik biadab itu dan kupegang kuat-kuat. Samar-samar tangisan puteraku membuncahkan kenekatanku.
Aku menghambur mendekati Jarwo. Bajingan itu mengaduh. Suaranya menguik-nguik seperti babi kena panah.
Kuayun badik membabi buta. Setan itu berupaya mengumpulkan tenaga. Melihatnya ingin meloloskan diri malah membangkitkan sisi kejamku.
Jrasss !! jrass !! “aaahhhhhkkk perempuan lacurr  !!!!”
Kubabat kepala Jarwo namun tangan kanannya ingin menangkis. Putus. Pergelangan tangannya terputus. Potongan tangannya menggelepar-gelepar seperti ekor cicak. Entah dari mana datangnya tenagaku, aku tak mengerti.
Kuayun lagi badik ke kepalanya.Jrattt !!
“akhhh !! akhh !! setan ! setan !! keparaaatt !! aahhh ahhh”
Darah segar muncrat ke wajahku. Ayunan badikku menghajar wajahnya, tepat membelah mata kanannya.
Bajingan itu menguik-nguik persis monyet disembelih. Tangannya menggapai-gapai ingin membalasku. Aku menghindar. 
Badik di tanganku kuayun lagi ke lehernya. Jrass !! keparat itu langsung melolong dan roboh terjerembab. Ia mengaduh sekencangnya. Tangannya yang tersisa memegangi lehernya yang menganga. Ya Allah, ampuni aku.  Bangkit sudah kebiadabanku.
Kulempar jauh-jauh badik dari tanganku. Aku menghambur menuju Mas Munir. Masya Allah, tak ingin kusaksikan kegilaan ini.
Kuangkat puteraku dari tanah. Tangisnya masih kencang. Sambil kudekap dan kuciumi puteraku, aku berlari ke luar rumah dan berteriak meminta pertolongan.
***
Jarwo, bajingan itu, lenyap sudah dari dunia. Kedua matanya picak. Picak lantaran perbuatan tanganku ini. Tapi anehnya tak kusesali perbuatanku. Tidak. Sedikitpun tidak.
Setelah mendengar bencana yang menimpaku, Kiyai Manar segera hadir di rumahku. Wajahnya luruh. Pucat memendam sesal. Saat dilihatnya Mas Munir tergeletak lemah di atas bale, ia menangis sesenggukan.
“ya Allah. Apa benar selama ini aku telah mengujinya dan bukan menghukumnya ..” Kiyai tua itu merintih mengalirkan air mata.
Ditatapnya aku yang kemudian, tangannya terulur seraya meminta puteraku dari gendonganku.
“ijinkan aku menggendongnya,  Anakku. Dia juga cucuku,”
Ya Allah. Kiyai Manar menyebutku Anakku. Kelopak mataku seketika berembun.
Kuulur puteraku ke dekapan Kiyai Manar. Aku menunduk seraya meminta restu dan maaf.
“maafkan aku, Nduk. Maafkan Bapakmu telah khilaf,” begitu suara seraknya menyentuh telingaku. Ia mengusap kepalaku dan menciumnya.
“Abaaahh .. abaaahhh,” Mas Munir merintih memanggil Kiyai Manar. Kiyai Tua itu berangsur mendekat sambil membawa puteraku di dekapannya.
“Abaaahh, jauh dalam hati hhh ..  kuingin Abah memotong rambut puteraku saat .. saat .. aqiqah nanti .. apakah .. apakah .. kini Abah bersedia ?” suara Mas Munir patah-patah. Aku menangis mendengarnya.
“iya Anakku. Iya, Abah bersedia. Maafkan kelakuan Abah yang tempo hari tak bersedia menemuimu. Abah sangat menyesal, Astaghfirullahal Adzim,” bulir air mata Kiyai Manar bertetesan
“Tidak Abbbaaa..hhh. Selama ini .. sel a ma ini .. Abah tidak pernah punya salahhh kepadaku. Maafkan akuu Abbaahhh .. maafff kan laahh Surti,”
Batinku pecah mendengarnya. Kesedihanku memancar deras. Malam ini, di kala rembulan terang memendar, tak kurasakan sinarnya menghiburku. Kurasa malam ini rembulan sedang gerhana. Ya. Tak ada setitikpun cahaya. Meski rembulan sedang purnama.


Juni 2010

Posting Komentar

 
Top