0

“Even so, in death the same unknown will appear as ever known to me. And because I love this life, I know I shall love death as well.”  (Gitanjali, Rabindranat Tagore)

“Tuhan, lindungilah Karin, kumohon …”
Danar tertunduk dalam-dalam. Jemarinya bertaut bergenggaman. Dilafalkannya doa-doa sepenuh hati.
“jangan sekarang, Tuhan. Beri dia kesempatan,” wajahnya yang tirus menunduk. Ujung kelopak matanya melelehkan air mata.   
Detak waktu melambat. Sunyi. Senyap. Tarikan nafas -hembusan nafas, tak terasa lagi.
Lantas ditatapnya ruang operasi penuh duga.
“Tidak, Karin pasti selamat. Dia harus selamat,” Danar  menyemangati diri. Ia tak ingin menduga-duga.
Masih teringat wajah layu Karin yang limbung di pangkuannya. Darah mengalir dari dadanya.
“Karin, ya Tuhan,” batin Danar pecah mengingat kejadian beberapa jam lalu. Ia kembali melafalkan doa sepenuh hati.
Karintyas, semua kejadian memang ada awalnya.  
Ya Tuhan, Danar menggeleng tak percaya. Perlahan-lahan ingatannya dikacaukan suasana hati. Isi kepalanya berbayang-bayang segala sesuatu tentang Karin.
Karintyas Ayuningrum. Pertemuan pertamanya di depan Taman Ismail Marzuki, di areal parkir, di depan gedung bercungkup yang memanggul teropong pengintip langit. Karin ketika itu sedang asyik membidikkan kameranya. Dengan dandanan nyentrik : celana kargo, kaos lengan pendek, rambut panjang terurai –perempuan itu asyik menyendiri menikmati kebebasannya.  
“DLSR tipe D7000,fitur kamera yang lumayan sempurna,”demikian Danar membuka percakapannya.
Karin sejenak memandang. Menyelidik. Ia tak lantas menimpali.
lu fotografer ?”
“sebenarnya enggak, hanya saja gue punya kawan yang hobi fotografi,”
“oh, gitu,” Karin berseloroh. Tangannya lantas membidik beberapa obyek humaniora di sekitarnya. Crrt crrt !
lu sendiri ngapain ?” Karin menilik sekilas.
“nggak ngapa-ngapain,”
“nggak ngapa-ngapain ?!! aneh,” Karin tersenyum tak percaya. Danar nyengir sekenanya.
Suntuk aja bawaannya. Pengen cari suasana segar,”
“suntuk ?! hmm ..” Karin mengaitkan alis
“iya. Gue suntuk.”
hidup terlalu indah buat  dipake suntuk,” Karin menggeleng pelan, “pasti masalah kerjaan,lanjut Karin yang menebak.
yup. kerjaan
alaaahh .. nggak usah mikirin kerjaan nyampe terlalu, mikirin kerjaan nggak ada habisnya. Ludigaji saat kerja doang. Sepulang kerja, lupain masalah kantor. Itu waktu buat nyenangin diri, keluarga, ato teman lu,” Karin berkata sembari menjepretkan kameranya ke beberapa sudut
“apa bisa begitu ?” kejar Danar
“yaa, itu sih terserah lu kalo emang penyakitan workaholic, kalo menurut gue sih, masalah kantor berhenti saat jam kerja berakhir, toh gue nggak dikasih duit lembur buat mikirin kerjaan,” Karin tersenyum manis.
Zendagi migzara,” lanjutnya
“apaan ?”
Zendagi migzara. Live will always go on, itu bahasa Afghan.” Karin berkata sembari melangkah pergi.
eit, tunggu, kita belum kenalan,” kejar Danar, “gue Danar, lu ?” ujarnya mengulurkan tangan.
gue Karin. Karintyas Ayuningrum.”
“boleh gue ikut keliling ?” Danar nyengir. Karin berpikir sejenak.
“sekalian gue ngilangin suntuk,” Danar mencoba meyakinkan. Dipandangnya Karin yang tengah berpikir.
oke, asal lu jangan pasang tampang suntuk, gue ogah ikut-ikutan nggak mood,”
“beres,” Danar tersenyum bahagia.
Mereka kemudian berkeliling di sekitaran TIM. Menemui penyair tua yang menjaga toko buku di gedung belakang, mencari obyek foto di antara bocah-bocah teater yang tengah berlatih pementasan, ekspresi yang  muncul dirasa sangat menarik. Karin tak henti-hentinya mengambil gambar.
“kenapa lu suka fotografi ?” benak Danar tergelitik melihat Karin sedemikian serius.
“pertanyaan aneh,”
loh, kok  aneh?” Danar bereaksi spontan
“ni pertanyaan serius ?” Karin ganti bertanya. Ia menoleh ke arah Danar. Saat dirasanya Danar memasang tampang serius, Karin lantas tersenyum.
 “bagi gue, fotografi itu penghargaan terhadap peristiwa. Ada obyek, ada waktu, ada pula aktifitas. Ketiga unsur itu terangkai dan punya cerita,” Karin berkata lepas. Tangannya kemudian bergerak membidik obyek di depannya –gadis kecil yang tengah memainkan perannya sebagai puteri.
Foto mengabadikan peristiwa dalam sepersekian detik. Dan, mustahil terjadi peristiwa yang serupa di masa depan. Itulah mengapa gue bilang foto itu penghargaan terhadap waktu.” Karin melanjutkan sambil membidikkan kameranya. Crrt ! Crrt !
“gue baru denger pernyataan ini dari lo, Rin. Puitis juga,”
Karin tertawa mendengarnya. Dirasanya sanjungan Danar berlebihan.
“lu suka traveling ?” tanya Karin.
“nggak. Gue anak rumahan.” Danar menjawab lugu
“nggak pernah menjelajah ?”
“nggak, Rin. Nggak pernah,”
kasihan,” Karin tertawa kecil. Tatap matanya menyayangkan.
 “Jakarta punya sudut-sudut eksotis yang mestii dijelajahi. Jakarta tidak melulu macet dan ruwet, ada sisi pandang yang menarik dari Jakarta,” Karin melanjutkan.
“sudah kubilang gua anak rumahan, Rin,”
“sapa yang bilang lu gelandangan, gue juga anak rumahan,”
“maksud gua, gua nggak pernah traveling ke tempat yang lu katakan,” Danar memelas. Ia sedikit malu. Ditatapnya Karin dengan kagum, sekaligus aneh.
“kalo lu mau, lu bisa ikut gue menjelajah,pancing Karin
 “kemana ?” tanya Danar antusias
“sekitaran Jakarta dulu, baru nanti kita menjelajah yang lainnya,”
“wah, sip-sip… oke-oke. Gue terima tantangan lu, “ sahut Danar yang tertantang.

Karintyas Ayuningrum. Sebenarnya perempuan itu bukanlah gadis yang tergolong cantik. Tetapi, Karin manis. Kulitnya kecoklatan terbakar matahari. Dandanan rambutnya lurus memanjang bergaya 90’an, pakaian yang dikenakannya selalu a la backpacker yang mengesankan jika Karin penggemar berat traveling. Dan, ada magnet kuat yang membuat Karin terlihat menarik di mata lelaki. Senyum Karin yang manis, bahkan teramat manis, membuat hati lelaki mana pun terasa dijentik saat menyaksikannya.
Seminggu kemudian Karin mengajak Danar menjelajah. Ke bantaran Kali Ciliwung.
“apa menariknya dengan tempat ini, Rin ?” Danar bertanya demikian. Karin meresponnya dengan tersenyum.
“lu mesti tahu rasanya keluar dari keteraturan. Seperti atom elektron yang keluar dari orbitnya, spontanitas yang keluar dari diri lu menghasilkan sensasi adrenalin yang akan segera jadi candu. Sedikit demi sedikit lu akan ketagihan menjelajah ke tempat-tempat seperti ini,” Karin memandang Danar dengan tatapan lembut.
“setelah dari sini, lu gue ajak menjelajahi lipatan-lipatan masa lalu. Ke stasiun Senen, kota tua, menyaksikan guratan maestro di museum seni rupa, sekalian kita kunjungi lekukan-lekukan paling kumuh dari kota Jakarta,” bola mata Karin berbinar mengucapkannya.
Di tempat-tempat kumuh mereka menapaki lorong-lorong sempit, gang-gang tikus, tanjakan dan curaman yang disesaki gubug-gubug reyot bantaran tepi kali. Karin asyik membidikkan kameranya –sementara Danar berusaha mencerna pemandangan di depannya. Danar mulai menemui realitas lain. Lama kelamaan langkah mereka menyusur kian jauh. Menjelajahi potret tersembunyi yang selama ini terselip di antara julangan gedung-gedung tinggi kota Jakarta.
Bocah-bocah berlompatan di kali keruh, mereka nampak bahagia. Perempuan-perempuan yang mencuci-mandi di kali, mereka menghadapi keterbatasan. Kakus dan jamban bertebaran. Sampah-sampah yang tersangkut. Lumpur endapan yang bergumpal-gumpal. Ah, terkadang keteraturan memupuk kebosanan. Di tempat ini Danar mulai menyukuri kehidupannya. Kesuntukannya menguap.
Danar terus mengikuti langkah Karin. Dalam hati, ia mengagumi pilihan kesenangan Karin. Apalagi, menyaksikan sapaan ramah penghuni gubug-gubug reyot yang ditujukan kepada Karin. Rasa-rasanya hubungan mereka dengan Karin sangatlah karib.
“lu percaya jika gambar yang gue ambil bisa bicara ?” Karin tiba-tiba bertanya demikian. Danar memilih diam. Menunggu.
“lu harus bercaya jika semua yang lu anggap diam bisa bicara, Dan” tatapan Karin menyapu wajah Danar. “dengan itu lu akan lebih menghargai makna sebuah peristiwa, sekecil apapun” lanjutnya.
“foto-foto ini biasa gue –upload di internet. Orang lain bisa melihat realitas. Tanggal dan waktu tercatat jelas. Meskipun foto adalah gambar tak bergerak, tetapi foto bisa bercerita melebihi apapun,” ucap Karin meyakinkan. Danar memilih mendengarkan.
“keyakinan gue jika gambar bisa bicara –tumbuh setelah foto gue berhasil memenjarakan orang,”
 “memenjarakan orang ?!” Danar terperanjat. Karin malah tersenyum. Tetapi senyumnya menyirat kenangan pahit.
“sekitar tiga tahun lalu, saat gue berniat mengambil uang di ATM, tak sengaja gue memergoki segerombol pembobol yang tengah beraksi. Mereka menenteng senjata api,”
“kejadiannya dimana ?” Danar terkejut tak menyangka.
“Daerah Matraman, dekat persimpangan yang ke tiga, sekitar pukul 11 malam,” jawab Karin sedih. Ia terkenang.
“dari jarak jauh, gue lihat kamera CCTV dirusak, petugas keamanan dilumpuhkan. Pembobol itu mengenakan helm teropong yang menyembunyikan identitasnya,”
Danar menarik nafas mendengar cerita Karin. Tegang.
“gue bidik mereka dari jarak 40 meter. Gue bersembunyi di lekukan profil gedung. Tetapi, pantulan lensa menyadarkan mereka,”
Danar tak menyangka Karin sedemikian berani. Ia menarik nafas panjang.
“berondongan tembakan memaksa gue menyingkir. Gue menghindar secepat mungkin. Tetapi, bersamaan letupan senjata tiba-tiba betis kiri gue terasa nyeri dan panas, ternyata kaki gue terkena tembakan,” Karin memandang Danar saat bercerita.
“Saat itu gue takut banget, Dan. Apalagi gue berhasil disusul salah satu pembobol. Gue menyerah di bawah todongan pistol,” Karin menghentikan ceritanya. Ia menghembuskan nafas dalam-dalam.   
 “pembobol itu berniat merampas kamera gue. Gue berusaha mempertahankan. Tiba-tiba terdengar sirine polisi. Pembobol di depan gue gugup, “serahkan ! atau kutembak !!” dia mengancam. Saat itu gue tahu dia perempuan.”
“dia bergerak lebih merapat. Tangan kirinya kasar merampas. Patroli yang mendekat membuatnya lengah, dia mencari-cari gerombolannya. Saat lengah itulah gue hantam pelipisnya pake kamera. Dia terhuyung. Gue rampas pistolnya, dia mempertahankan. Hingga kemudian gue tak sadar jika pelatuknya tertarik.  DARR !! Gue tersentak bukan kepalang, ” Karin menunduk sedih. Danar menarik nafas panjang.
“darah muncrat di tangan –baju –dan muka gue. Pembobol di depan gue ambrug. Ternyata peluru itu menembus leher dia,”
“gue yang masih shock tiba-tiba dikejutkan berondongan peluru. Gue tersadar dan berlari lintang pukang tak memedulikan sakit luar biasa di betis. Gue menghindar sebisa mungkin,”
“sirine kian kencang. Tiba-tiba gue jatuh terduduk tak kuat bangkit. Nafas gue sesak sepatah-sepatah. Peluh membasahi seluruh tubuh. Saat itu gue sadar jika nyawa terselamatkan. Seluruh pembobol lain melarikan diri pontang-panting,”

“bagaimana dengan pembobol yang berniat merampas kamera lu ?” Danar menarik nafas pelan-pelan.
“petugas mengevakuasinya, dia tewas. Dari hasil pengembangan kasus lewat petunjuk foto gue, keseluruhan pembobol akhirnya berhasil diringkus dan dijebloskan ke penjara.  Di pengadilan gue tahu jika pembobol yang tewas adalah adik salah satu dari mereka. Dia perempuan. Berusia dua tahun di atas gue” Karintyas mengenang dengan raut sedih. Ia terseret memasuki lembaran buku waktu masa lalunya.
***
Dua tahun kemudian,
Demikianlah keajaiban waktu berjalan. Matahari yang ratusan kali memanjati langit menyemai banyak pesona –termasuk hati Danar. Berawal dari kekaguman, timbul rasa simpati. Rasa simpati berkembang menebar kegelisahan, dan kegelisahan kemudian merekah memantik cinta.
Tetapi, demikianlah adanya cinta. Cinta yang tak terkata terasa sesak di dada. Bayangan Karintyas menari-nari menggelisahkan Danar. Menyeretnya memasuki nuansa rindu yang terkadang tak tercerna.
Puluhan perjalanan dilalui Danar bersama Karin. Menjelajah museum-museum sejarah, menelisik karya adiluhung para perupa, mengunjungi sudut-sudut paling eksotik di lipatan kota Jakarta. Karin perlahan-lahan berhasil membongkar cara pandang Danar melihat kehidupan. Kesuntukan rutinitas yang sebelumnya mengungkung –terlibas pengalaman menjelajah. Danar akhirnya ketagihan. Lelaki itu kecanduan traveling. Tetapi di samping itu, hati Danar senantiasa berbunga menikmati senyuman Karin yang memang manis. Hingga setelah berpikir ratusan kali, Danar lantas memantapkan hati meminang hati Karin. Dia memilih mengungkapkan isi hati saat menjelajahi pelabuhan tua Sunda Kelapa.
Angin bertiup lembut. Goyangan ombak pantai memantul-mantul lambung kapal. Pelabuhan tua yang menjadi saksi kedahsyatan putaran roda sejarah seolah mengalami keletihan. Pelabuhan itu terlihat klasik. Perahu-perahu berbadan kecil dan sedang –singgah menautkan jangkar dan tali. di saat yang demikianlah perburuan Karin memuaskan hasrat dimulai,
“sikap lu aneh, Dan. Tak seperti biasa. Ada masalah ?” demikian pertanyaan Karin yang tak menilik Danar di sampingnya. Ia tengah memandangi perahu yang tertambat di dermaga. Angin laut menggerai pelan rambutnya. Eksotik.
“Danar, lu melamun ?” tanya Karin yang merasa tak direspon.
“ah, nggak, Rin.” Danar cepat-cepat mengelak. Namun parasnya tak mampu menyembunyikan kegelisahan.
Matahari mulai menyengat. Pantulan sinar di atas air –terombang-ambing menyaji kesempurnaan di atas ketidakteraturan. Lalu lalang nelayan tradisional, kuli bongkar muat, deru mesin perahu yang memutar arus buritan, keriak burung camar di kejauhan, aroma garam yang digenggam angin dan disebar sekenanya, bau amis ikan.
“kalo lu ada masalah dan butuh curhat, bilang aja. Jangan dipendam,” ujar Karin yang lantas mengambil obyek perahu di kejauhan.
Angin menggerai pelan rambut Karin. Sesekali juntaian rambut yang terayun mengganggu wajah Karin.
“sebenarnya –gue memang ada masalah, Rin. Tapi ntar aja setelah lu ambil gambar ceritanya,”
“kok nanti ?! bukannya sekarang ?! masalah apa, Dan ?” Karin memandang Danar dalam-dalam.
“ini menyangkut perasaan gue, Rin. Menyangkut cewek yang sepertinya gue jatuh cinta dengannya. Karena lu perempuan, gue ingin tahu pendapat lu tentang itu,”
“jatuh cinta?!” Karin berekspresi. Ia lebih serius memandang Danar.
“anak mana ? kok nggak dikenalin gue ?” protes Karin. Diam-diam di hatinya terpantik cemburu.
“nanti lu pasti tahu, Rin. Lu lebih mengenal dia dibanding siapapun,”
“maksud lu ?”
“ah, sudah, nanti aja gue ceritain,”
Kalimat Danar mengerutkan kening Karin. Perempuan itu sulit mencernanya. Tapi Karin memilih diam.
Mereka kemudian melangkah menuju dermaga. Panas udara mengeringkan tenggorokan, membuat peluh menitik deras, membuat kulit kuli pengangkut mengkilap memantul matahari. Tetapi, di sudut lain yang tak jauh, sosok lelaki bermata nyalang mengamati Danar dan Karin. Dada lelaki itu panas mengepal dendam. Bayangan adik perempuan yang tewas tertembus peluru membuatnya rela menembus apapun –termasuk kabur dari jeruji penjara. Lelaki bermata nyalang itu menunggu kesempatan. Tingkahnya serupa alap-alap mengintai anak ayam. Karin tak sadar. Danar tak sadar. Keduanya memilih beristirahat di atas dermaga.
“panas banget, Dan. Gue lupa bawa minum,” Karin mengerih dan memicing. Tangannya terkibas-kibas sembari tatapannya menoleh sekeliling.
“kalau lu masih pengen ambil gambar, biar gue yang cari minuman,”
“kemana ?” tanya Karin
“tadi gue lihat warung kecil di sebelah sana,” telunjuk Danar mengarah ke sisi jauh.
“baiklah,” Karin tersenyum cantik. “cepetan, ya. Gue haus,” lanjutnya sedikit mengiba. Danar kemudian melangkah meninggalkan Karin.
Tiupan angin menggerai rambut Karin. Mengganggunya. Dahaga yang sangat sedikit terlipur obyek menarik di kejauhan. Kapal-perahu yang bersiap melayar, bendera yang berkibar gagah, pusaran air yang bergulung-gulung di buritan. Karin memejam mata menikmati cumbuan angin di wajahnya. Hatinya teramat tenteram. Tetapi –
Mendadak lelaki bermata nyalang mendekati Karin. Cepat. Kian cepat. Langkahnya berubah setengah berlari. Tangan kanannya meraih belati yang terselip di pinggang. Genggamannya sangat kuat.
Karin menutup mata. Ia menarik nafas dalam-dalam. Kesejukan mengaliri rongga dadanya. Jiwanya damai seperti aliran air yang menggemericik. Hingga –
Jlab !!
“ya Tuhan .. ya Tuhan,” Karin mendekap dadanya yang perih. Ia tak mampu berteriak. Bibirnya bergetaran melawan sakit. Sesaat, tangannya meraih tangan lelaki yang menatapnya benci.
Penglihatan Karin kabur berkunang-kunang. Ia serentak roboh saat dorongan kuat menyentaknya seiring cabutan belati.
Penglihatan Karin meredup. Tangan dan dadanya berlumuran darah. Lelehan air mata mengalir mengiringi katupan kelopak mata.
Lelaki bermata nyalang berupaya melarikan diri. Belati berdarah dilemparnya ke perairan. Ia kemudian berjalan cepat. Bergegas. Langkahnya hampir berlari.
“Wooiii !! tangkap pembunuh itu !!! tangkap!!!”sesosok nelayan berteriak kencang. Dijumpainya Karin bersimpah darah.
“tangkap !!” kejar !!” “hajar !!” serentak kuli panggul –nelayan –petugas dermaga, mengejar lelaki bermata nyalang. Tangan-tangan mereka otomatis menggenggam benda keras ataupun senjata tajam –sekenanya. Lelaki nyalang berusaha meloloskan diri. Tetapi, ia tak punya kesempatan karena dikepung dari segenap penjuru.
“bajingan !!” “biadab !!”
BRAG !! BRAG !! “ampuunn” JRAG !! JLESS !! “ aduuuhhh !!“ “mampus kau, hah ?!”
Massa mengamuk sekenanya. Tangan-tangan kasar terayun. Tendangan mendarat bertubi-tubi. Darah mengucur dari kepala –mulut –dan telinga. Lelaki nyalang tewas di tempat kejadian.
Danar yang melihat kegaduhan merasa khawatir. Ia bersegera menemui Karin. Tetapi, ah, tiba-tiba hatinya jatuh menyaksikan sesosok perempuan dipapah para nelayan. Perempuan itu dipastikan Karin. Danar berlari. Jantungnya berayun-ayun
“Rin ! Karin ! ya, Tuhan,“
Danar menyeruak cepat. Didekapnya Karin. Ia menangis.
“Pak ! tolong, Pak ! bantu saya membawanya ke rumah sakit ! demi Tuhan !” Danar mengiba luar biasa. Jiwanya luruh tak terkir.
“maafkan gue, Rin. Gue cinta lu. Maafkan aku, Sayang,” batin Danar terasa patah. Dibisikkannya kata-kata itu sambil menangis.
Danar –nelayan –kuli panggul, kemudian membawa Karin ke rumah sakit.
Selang beberapa jam ditangani dokter, Danar akhirnya bangkit menyongsong dokter yang keluar dari ruang operasi.
“bagaimana Karin, Dokter ?” jantung Danar serasa berhenti berdetak. Ia pasrah menunggu jawaban.
“berdoalah, semoga pacarmu baik-baik saja. Dia sudah melewati masa kritis,”
Danar tunduk pasrah. Batinnya terasa patah. Senyum Karin yang paling manis membayanginya menerobos kegelapan tanda tanya.
***

 Akhir Desember  2010,

Posting Komentar

 
Top