0

Rongga dada Meyna sesak. Wajahnya bermendung. Hiruk-pikuk ruang tunggu terminal internasional bandara Soekarno-Hatta tak sedikitpun mengusiknya. Membaca kembali Blackberry Messenger Anton 2 minggu lalu membuatnya kian khawatir.
anton_climb : Mey, sorry. Aku telat ngasih kabar. Miko mengalami kecelakaan pendakian
Meyna : kecelakaan ?! ya Tuhan ! kapan ?! Miko kenapa ?!
anton_climb : sampai detik ini aku nggak tahu pasti, Mey. Secepatnya aku meluncur ke basecamp.
Meyna: tapi Miko gapapa, kan, Ton ? duuhh ..
anton_climb : semoga gapapa, Mey. Kabar terakhir dia terserang frostbite. Dia dirawat Himalayan Medical Rescue.
Meyna: ya Tuhan .. Please bantu dia ya, Ton.
Last mesage received Jan 12,2011 11.04 pm

Air mata Meyna menitik. Perempuan itu membayangkan Miko tergeletak di hamparan salju, tersiksa, menggigil kaku di suhu ekstrim minus 30 derajat Celsius. Rasa sesal seketika memenuhi rongga dadanya.
Bagi Meyna, Miko lelaki nekat, sekaligus keras kepala. Bagaimana tidak, tiga bulan lalu dirinya sudah melarang Miko berangkat mendaki puncak Annapurna I, gunung di Nepal dengan ketinggian 8.091 meter di atas permukaan laut. Gunung tertinggi ke-2 di dunia, gunung paling berbahaya dalam dunia pendakian -meski arti sesungguhnya dari nama Annapurna adalah Dewi Kesuburan.
Dari Jakarta, Miko berangkat dengan Anton. Setiba di kota Pokhara, mereka memilih melanjutkan pendakian menuju areal basecamp Machhapuchhre di ketinggian 3700 demi melakukan aklimatisasi. Namun di tengah proses aklimatisasi, paru-paru Anton mengalami peradangan sehingga paramedis memaksa Anton turun gunung. Setelah memastikan Anton mendapatkan perawatan medis di kota Pokhara, Miko memutuskan bergabung dengan rombongan pendaki Norwegia yang berencana menaklukkan puncak Annapurna I dari sisi selatan. Dan sungguh, demi mendengar rekam jejak keangkuhan julangan tebing-tebing es di rute sisi selatan, sudah dipastikan perjuangan menaklukkan puncak Annapurna bukanlah ambisi yang mudah. Tetapi Miko dan rombongan pendaki Norwegia sudah berhitung segalanya. Mereka bersiap menaklukkan puncak gunung meski menghadapi resiko terburuk sekalipun.
***

Sementara sore menjelang senja. Barisan sinar lampu Instrument Landing System membentuk titik-titik indah di atas kegelapan runway. Meski pesawat tujuan Nepal-Jakarta dinyatakan telat, Meyna memilih menunggu. Wajah cantiknya serupa purnama diganggu gerhana, kekhawatiran merampas keriangan hatinya. Di saat yang demikian kenangan dirinya bersama Miko -datang mengusik.
“aku  ingin menulis puisi untukmu, Mey”, begitu kata-kata Miko tujuh tahun lalu, ketika mereka kuliah di semester pertama, juga di fakultas yang sama.
“menulis puisi ?! buatku ?!”  kening Meyna berkerut.
“Iy ..Iya, Mey. Puisi,” ketika itu Miko menjawab dengan sedikit tergagap. Meyna tertawa kecil. Dia merasa kawan barunya itu sedikit nyentrik.
“mengapa kamu ingin menulis puisi buatku ?” Meyna menghentikan tawanya dengan menyimpul senyum.
“tapi, kamu jangan marah, Mey. Janji.”
Meyna mengangguk melihat tatapan tulus Miko.
“sepertinya .. aku mencintaimu, Mey.”
Sesaat jantung Meyna berhenti berdetak. Udara berhenti bertiup.
“hah ?? cinta ? nggak salah ?!!” otak Meyna berhenti mencerna. Sorot matanya menyirat ketidakpercayaan.
“Bagaimana kamu bisa jatuh cinta denganku ? kita baru kenal,”
“entahlah, Mey. Aku sendiri nggak ngerti,”
“nggak ngerti ?!,” Meyna menggeleng pelan sambil berangsur-angsur tertawa.
“apakah selamanya cinta harus memiliki alasan, Mey ?” pertanyaan Miko yang terkesan serius membuat Meyna menghentikan tawanya. Perempuan itu menatap Miko dengan tatapan serius.
“Menurutku cinta pasti punya alasan, Mik. Cinta itu logis, harus bisa dijelaskan. Bukan lantaran kamu ingin membuatkan aku puisi, lantas kamu simpulkan perasaanmu sebagai cinta, iya 'kan ?” binar mata Meyna membuat jantung Miko berdesiran.
“menurutku cinta justru tak butuh alasan, Mey. Cinta itu ranah hati, bukan ranah otak,” 

Meyna mengernyit serius mendengar jawaban Miko.
“Iya, aku tahu.Tapi meskipun cinta ranah hati, cinta itu terdefinisikan dan punya alasan. Kalau cintamu cinta yang abstrak, berarti cintamu cinta sentimentil, cinta jenis itu cuma milik pelamun, dan lamunanmu itulah yang mendorongmu membuat puisi, paham ?!”
“tidak, bukannya seperti itu, Mey,” Miko menatap Meyna dalam dalam.
“Kuakui aku jatuh cinta denganmu dan bagiku itu cukup. Cintaku bukannya abstrak, tetapi sederhana–hingga tak perlu dijelaskan. Haruskah kukatakan aku mencintaimu karena kamu cantik, karena rambutmu yang indah, matamu yang teduh, atau .. karena kamu yang baik, pintar, cocok diajak ngobrol. Demi Tuhan tidak seperti itu, Mey”
Kalimat pembelaan Miko membuat Meyna menarik nafas dalam-dalam. Baginya Miko lelaki sedikit naif.
“tetapi bagaimanapun itu, aku masih percaya jika cinta harus punya alasan, Mik. Cinta yang tak punya alasan hanya cinta yang dimiliki pelamun,” tatap mata Meyna menunjukkan jika ia tak ingin mengalah
“lagipula aku belum mengenalmu dengan baik. Kalau kamu cuma ingin mengutarakan cintamu, maka aku tersanjung. Tapi kalau dirimu berharap lebih, maafkan aku, aku tak bisa. Karena kamu tak punya alasan atas cintamu, aku pun tak bersedia mengatakan alasanku bersikap demikian,”
Seketika Miko diam tak bereaksi. Dadanya perih mengetahui cintanya patah di tengah jalan. Miko mengumpulkan kata-kata.
“apakah .. ada kemungkinan dirimu berubah pikiran, Mey ? apakah ada harapan suatu saat kau mencintaiku ?”
Pertanyaan Miko membuat kepala Meyna terasa berat. Perempuan itu kemudian memandang Miko dengan tatapan iba.
“Kuharap dirimu jangan berharap terlalu banyak. Ketahuilah, aku ini perempuan yang tak suka mengambil resiko. Bagiku ranah perasaan itu bukan ajang coba-coba. Cinta jenis perjuangan yang mahal, butuh waktu sekaligus pembuktian. Bukan sekedar iya atau tidak,”
Miko tertunduk mendengar kata-kata Meyna. Ia kecewa. Tapi kata-kata Meyna membuat cintanya menancap semakin dalam. Bagi Miko, cinta Meyna adalah cinta yang layak diperjuangkan.
“Mey, masih bolehkah aku menulis puisi buatmu ?”
Meyna mengernyit mendengar pertanyaan Miko, keheranan. “Kalau kubilang aku tak percaya puisi, apa kau masih ingin membuatkanku puisi ?” paras Meyna serius.
“aku ingin membuatkanmu puisi dengan cara yang tak pernah dilakukan siapapun sebelumnya, semoga dengan itu kamu terus mengingatku,”
“maksudmu ?”
“aku ingin membuatkanmu puisi dari titik-titik tertinggi, dari puncak gunung-gunung,”
Spontan Meyna terkejut mendengar kata-kata Miko. Ia tak habis pikir. Baginya rencana itu rencana yang gila.
“Jangan memperlakukanku demikian, Mik. Itu sama halnya menyiksa dirimu sendiri,” kata-kata Meyna bernada keberatan.
“tidak, Mey. Kamu salah mengartikan. Sebenarnya -”
“lalu untuk apa dirimu bersusah payah menulis puisi di puncak gunung?! untuk pembuktian ?! aku tak butuh tindakan sok heroik macam itu ! lagipula sudah kubilang aku tak percaya puisi. Caramu yang demikian mirip selebritis pencari sensasi,” tiba-tiba suara Meyna bernada kesal. Miko diam untuk sementara, mencari kata-kata.
“maafkan aku yang membuatmu jengkel, Mey. Bagiku dirimu inspirasi. Aku percaya cintaku kepadamu adalah kekuatan,” Miko menatap Meyna seraya mengharap pengertian.
“lagipula sejak lama hobiku mendaki gunung. Di puncak-puncak tertinggi aku akan membuatkanmu puisi, meskipun dirimu tak bersedia, atau meskipun dirimu tak percaya apa itu puisi,”
“sentimentil, keras kepala, perpaduan paling payah dari keangkuhan kaum lelaki ! sudah kubilang aku tak butuh pembuktian semacam itu,”
kalimat Meyna seketika mengunci bibir Miko. Lelaki itu hanya mampu menatap nanar saat perempuan yang dicintainya memilih pergi meninggalkannya.
Sementara waktu terus berjalan. Rembulan-matahari yang bergantian memanjati langit -merangkai peristiwa di masa depan.
Meyna melanjutkan hari-harinya dengan menepis Miko dari hidupnya. Dirinya tak ingin lelaki itu mengusiknya dengan ambisi-ambisi gila. Akan tetapi, demikianlah cinta membuktikan keteguhannya. Ketenangan Meyna tak berumur panjang. Setiap kali Miko selesai menjalani ekspedisi, datanglah puisi, cerita, dan foto-foto penjelajahan Miko melalui e-mailnya. Gambaran kecantikan sungai yang mengalir jernih, keeksotisan hutan pinus-cemara, keindahan danau yang dikelilingi bebukitan, hamparan padang ilalang, secara kerinduan Miko kepada Meyna tertancap lebih dalam saat bertualang di alam bebas.
Tak ada yang tak hadir tentangmu disisiku, Mey.
Apalagi di kala malam.
Semoga malam ini kau dan aku memandang rembulan yang sama, Pikat-rinduku.
Awalnya Meyna tak menanggapi, terlebih membalas puluhan e-mail Miko. Tetapi demi menyaksikan foto-foto eksotik kiriman Miko, Meyna penasaran dan mencari tahu titik-titik penjelajahan Miko melalui internet. Meyna akhirnya mengerti jika puisi yang ditulis Miko berasal dari padang ilalang Surya Kencana di gunung Gede, di puncak vulkanik gunung Merapi, di puncak Mahameru, Danau Segara Anak di Rinjani, tebing-tebing Tambora, dan bahkan penggalan puisi yang meluluhkan hatinya ditulis saat berekspedisi ke Cartenz Pyramid di Papua.
Badai, tebing-tebing salju, dan tamparan angin, aku siap menanggungnya.
Tapi aku tak kuasa menghadang badai hatiku, kala merindumu, Mey.
(Cartenz Pyramid, 13thMay 2010)

Di akhir e-mailnya, Miko menulis,“Dua bulan lagiaku akan ke Annapurna di Nepal, disana akan kutulis puisi untukmu,Mey”
Message sent,May 13, 2010 10.10 am.
Kelopak mata Meyna berembun membacanya. Dirinya kagum dengan Miko yang memilih setia dengan kebodohannya. Meyna kemudian mengetik kata “Annapurna” di google search engine, namun tak lama kemudian, batinnya tersentak.
“ya, Tuhan, rencana apalagi ini,” Meyna menggumam perlahan. Dia kemudian membuka Blackberry Messenger. Jemarinya seketika menari di atas keyboard.
Meyna : Miko, jangan nekat. Jangan menyiksa diri seperti itu. Sudahlah, buat apa ke Nepal segala.
Miko_adv : aih, Meyna, Pikat-rinduku. Bagaimana kabarmu hari ini ?. lama nggak ngobrol malah marah-marah.
Meyna : sudahlah, aku nggak mau basa-basi. Kabarku baik, tapi itu sebelum membaca emailmu yang ke Nepal segala. Buat apa sih terus-terusan menyiksa diri seperti itu.
Miko_adv : Ups ! cinta tak pernah ada kata siksa, Mey. Semua bisa berubah menjadi manis. Hehe . Sorry, bercanda. Aku tahu kau pasti marah membaca emailku.Tetapi semestinya kamu tahu,Mey. Di dunia ini aku  hanya memiliki dua medan pendakian yang sama-sama ingin kuraih puncaknya.Yang pertama adalah puncak-puncak gunung, dan yang kedua adalah hatimu. Dan hatimu itulah gunung paling terjal yang pernah kudaki.
Meyna : sentimentil !! keras kepala !! berkali-kali kukatakan selama ini kamu tidak membuktikan apa-apa ! kalau kamu ingin membuktikan cintamu, cara seperti itu adalah cara yang salah !
Miko_adv : sebenarnya aku enggan berdebat salah atau benar, Mey. Tetapi kalau kamu bilang selama ini aku tidak membuktikan apa-apa, akuilah jika kamu bohong, waktu-lah yang mengatakan isi hatimu saat ini
Membaca tulisan terakhir Miko di messenger membuat Meyna menyerah. Dia seketika menelepon Miko.
“tak mengertikah aku mengkhawatirkanmu ! kubaca di internet -Annapurna gunung yang berbahaya ! puluhan pendaki mati di tempat itu !!”
”Mey, sebenarnya –“
“cukup ! aku tak ingin mendengarmu beralasan, karena aku tahu kau pasti berangkat meskipun aku memintamu tidak berangkat ! kumohon, berhati-hatilah,”
Seketika Meyna menutup ponsel tanpa memberi kesempatan Miko berkata-kata. Selanjutnya Meyna berkali-kali me-reject panggilan telepon dari Miko.

Dan kini, di ruang tunggu terminal bandara Soekarno-Hatta, Meyna tersentak mendengar pengumuman penerbangan Nepal-Jakarta telah mendarat. Meyna bergegas setengah berlari, lentik jemari menyeka embun di kelopak matanya.
Ketika dijumpainya Miko berdiri dan tersenyum ke arahnya, langkah Meyna tiba-tiba terhenti. Anton yang berada di samping Miko memilih menyingkir dan memberi ruang.
Keharuan Meyna menggelombang. Genangan di kelopak matanya tak tertahan. Meyna cepat berlari. Tubuhnya kemudian menubruk dan merangkul Miko.
“sentimentil ! keras kepala ! kamu jahat !” Meyna terisak lirih. Miko sedikit kikuk dengan sikap Meyna kepadanya.
“sstt .. sudahlah, Mey. Aku tak apa-apa. Hanya .. dua ruas jari tangan yang selnya mati terpaksa berpisah dari tubuhku,”
Meyna mendongakkan kepala, menatap Miko. Sesaat kemudian ditatapnya Anton dengan tatapan terima kasih. Air mata perempuan itu mengalir.
“tapi aku masih bisa menulis puisi buatmu, Mey. Jutaan kata pun masih bisa,” Miko tersenyum lembut. “Kau masih percaya jika cinta harus punya alasan ?” Dada Miko berdesir menatap bola mata Meyna yang berbinar.
“sudahlah, Mik. Jangan berpolemik semacam itu. Aku lelah, sekalgus takut berurusan dengan lelaki sentimentil sepertimu. Yang jelas ada satu kebenaran tak terbantahkan tentang dirimu. Kamu adalah lelaki sentimentil, keras kepala, sekaligus pelamun gila yang gemar naik-turun gunung. Dan aku kalah melawanmu.”
Meyna tersenyum haru, Miko tertawa bahagia. Langkah kaki mereka menetap-netap meninggalkan selasar bandara.

***
sumber gambar : explorerweb.com

Posting Komentar

 
Top