0

Tahun 1540,

Lukman bilang kepadaku, jikalau hati manusia adalah kunci segala sesuatu. Karena Tuhan –tentu saja, melihat manusia melalui hatinya. Sedangkan bagi manusia –dia menilai kehadiran Tuhan juga lewat hatinya.

Ah, kata-kata yang teduh dan menyejukkan, tak ada makna pertentangan. Dengan kelembutan budi yang dimiliki Lukman, tak butuh lama baginya untuk memikat kami -para penduduk kampung. Tak lebih dari sebulan, ya, tak lebih dari sebulan.

Di awal kedatangan Lukman, kampung kami masih porak-poranda. Kampung yang terpencil, tersingkir dari wajah peradaban. Penduduk kami sangatlah bodoh, nyaris tak memiliki pengetahuan tentang agama. Di hari tertentu kami datangi sumber-sumber air sambil meletakkan sesajian. Pepohonan besar yang banyak tumbuh di lembah dan gigir tebing –tak luput dari sentuhan dupa dan kemenyan. Tuhan yang acapkali dilantunkan dalam doa-doa kami dirasa tak cukup. Wajiblah terucap nama danyang-danyang penghuni pohon besar, penguasa sumber air, penghuni alam lelembut di rimbun bebukitan dan lembah yang kami percayai turut campur memakmurkan tanah sekeliling.

Aku masih ingat kedatangan Lukman di kampung kami untuk kali yang pertama. Aku, Tarmuji, adalah tokoh kampung yang amat kuat menolak kehadirannya. Dandanan Lukman serupa gangguan di pikiranku. Bersorban putih, berjubah panjang, terlihat tak pantas karena umurnya masih terlalu muda. Mengapa kukatakan jika dandangan Lukman yang bersorban dan berjubah panjang menggangguku, karena tentu saja setahun sebelum kedatangan Lukman, kampung kami didatangi lelaki yang bernama Baidawi. Dia berpakaian persis seperti pakaian yang dikenakan Lukman.  Tetapi, raut wajah Baidawi terlihat lebih tua 5 tahun. Kening Baidawi selalu berkerut seperti pemurung.

Mula mula, kedatangan Baidawi disambut hangat penduduk kampung. Dia mengenalkan diri sebagai mubaligh yang berkelana untuk mengabarkan syariat Tuhan. Aku –sebagai lelaki yang dipercaya menjadi dukun kampung, menunggu perkembangan keadaan. Dalam hati tentu saja aku tak ingin polah tingkah Baidawi mengacak-acak adat yang kupercaya. Aku tak ingin kedatangan Baidawi melemahkan posisiku di mata penduduk kampung.

Baidawi kemudian tinggal diantara kami. Dia sedemikian cermat mempelajari dan mengukur kebiasaan penduduk kampung beserta adat istiadatnya. Hingga kemudian, suatu hari, dia berdiri tegak di tengah perkampungan. Kedua tangannya menengadah. Wajah murungnya mendongak serupa manusia putus asa.
“Tuhan, kampung ini memilih bersekutu dengan syaitan. Ijinkan aku memberantasnya secepat mungkin,”
Baidawi berteriak beberapa kali dengan sikap yang angkuh.

Seisi kampung lantas berkerumun di sekeliling Baidawi. Kami mulai bingung dengan polah tingkah pendatang yang berani memaki-maki adat dan kebiasaan. Semua saling pandang. Di antara mereka –akulah yang paling tersinggung.
“hentikanlah kelakuan kalian, Saudaraku. Kalian sudah seperti layang-layang yang putus tali. Pohon-pohon kalian datangi untuk meminta kekayaan. Jin dan syaitan kalian jadikan tempat meminta pertolongan. Ketahuilah, Saudaraku. Kebiasaan menaruh sesajian hanya akan mengantar kalian ke gerbang neraka,”

Telingaku panas mendengar ocehan Baidawi. Dadaku menarik nafas lebih cepat. Tiba-tiba sebagian besar penduduk kampung mengalihkan tatapannya ke arahku. Tatap mereka seolah memintaku berkata sesuatu. Sejenak aku menelan ludah.
“Hei, Baidawi. Kusambut kau dengan cara yang baik. Tetapi seperti inikah pembalasamu dengan mengolok-olok kami,” suaraku lantang namun parau.
“meskipun aku tidak lebih pintar darimu masalah agama, terus terang telingaku gatal mendengarmu membawa-bawa kata neraka. Kau sama saja menyumpahi kami,” lanjutku yang mulai emosi.
“kalau Ki Tarmuji dan saudara-saudara sekalian jengah mendengar kata-kata neraka, mengapa pula kalian mondar-mandir dengan perbuatan yang membawa kalian mendiami kerak neraka. Perbuatan kalian sudah termasuk syikir. Syirik artinya menyekutukan Tuhan. Dan dosa yang tidak diampuni Tuhan adalah dosa yang menyandingkan sesembahan lain di samping Tuhan Allah seperti layaknya sesajian kalian di pohon keramat dan mata air,”
Telingaku makin gatal mendengarnya. Demikian juga dengan tanganku.
“jadi kau mau berkata jika perbuatan kami salah dan tak diampuni Tuhan ?!” sudutku kepadanya.
“ya .. tentu saja jika perbuatan itu tak diakhiri padahal aku sudah memberi tahu !”
“jadi kami sekampung ini para pendosa ! calon penghuni neraka menurutmu, hah ! katakan ! apa begitu maksudmu ?!” teriakku nyalang.
“tentu iya, Saudaraku. Kalian sebenarnya sudah tahu ! karena itu hindarilah jilatan api neraka dengan menghentikan kebodohan itu ! hentikan sesajian kalian yang tak berguna !”     
“Bah !!” umpatku kepadanya. Dia memalingkan muka padaku. Penduduk kampung mendukungku.
“kau ini !! tahu apa kau tentang dosa, Baidawi !! jangan kira dengan bermodal sorban dan jubah kau bisa menghakimi kelakuan kami ! ketahuilah, kami tak pernah berprasangka ada sesembahan lain yang lebih besar atau setara dengan Tuhan ! kami menaruh sesajian untuk  menghormati kekuatan lain yang bertebaran di alam raya !!”
“betul-betul !” “ya !” “tepat !” bersahutan penduduk kampung menguatkanku. Dadaku membusung.
“kelakuan yang diterangkan Ki Tarmuji itu sama saja, Saudaraku.  Kalian sama saja bersekutu dengan jin dan syaitan. Kalian telah membuka pintu neraka ! karena itulah –“
“aaaahh sudahh !!” potong salah satu penduduk desa.
“jangan kau teruskan cerocosmu tentang neraka, Baidawi ! kau sudah membuat kampung ini resah ! segera kemasi barang-barangmu ! pergi dari kampung! bagaiman sodara-sodara ? bagaimana ki Tarmuji ?” teriaknya.
“ya !” “ya ! ” “usir saja !!” “pergi dari kampung !!” bersahutan suara di sekeliling Baidawi. Yang tak berteriak memilih menggumam geram dan marah.
“lihatlah, Baidawi. Penduduk kampung tak menginginkanmu tinggal disini. Kau harus segera angkat kaki. Dan ingat, jangan kembali!” ancamku kepadanya.
Mendengar desakan yang bertubi-tubi, Baidawi terpaksa angkat kaki. Mukanya murung. Jemarinya mengepal. Bibirnya bergetaran seolah menggumam doa kutukan.
Aku merasa menang. Penduduk kampung menatapku bangga. Kami sekampung berhasil menyingkirkan aral yang berniat mengacaukan kepercayaan. Ah, ya. Kebahagiaanku terasa penuh lantaran kemenanganku seolah dirayakan pula guyuran hujan sepanjang malam. Danyang-danyang dan diriku serasa melayang berpesta pora. Tetapi –
Ah, tidak. Ternyata rasa menangku tidaklah bertahan lama. Keesokan hari, aku dikejutkan peristiwa yang menampar kehormatanku sebagai pemuka kepercayaan kampung.
 Kujumpai sesajian porak-poranda terbanting sana sini. Lokasi mata air yang menjadi titik pusat penyajian sengaja ditutupi cabang dan ranting tebangan pohon. Dan yang lebih menyakitkan, pohon terbesar yang biasa disimpuhi sesajian telah tumbang ke bumi. Pohon yang kuanggap paling keramat, tempat danyang-danyang sakti berkumpul bercengkrama, kehilangan keangkerannya.
“bangsat !! kelakuan siapa ini !!” teriak salah satu penduduk dengan wajah murka.
“pasti Baidawi ! siapa lagi kalau bukan dia !”
“ya ! tak ada lagi yang bisa dicurigai ! bajingan itu minta dihajar !”
Teriakan demi teriakan bersahutan.
“dia pasti menebang pohon sejak tadi malam, Ki. Kita kecolongan karena tadi malam kampung ini diguyur hujan lebat.  Kita tak mendengar bunyi kapak menghantam kayu. Kita masih asyik tidur,” ujar salah satu penduduk kepadaku. Tatap matanya terlihat layu.
“kita harus cari Baidawi. Dia harus bertanggung jawab atas hinaan ini,” sahutku
“saya sepakat denganmu, Ki. Kita cari keparat bangsat itu. Dia pasti masih berkeliaran di sekitaran kampung,”
Tanpa dikomando, kami bergerak menyisir pinggiran kampung. Kami yakin jika Baidawi berdiam diri sambil menunggu reaksi kami. Dan benar saja, keyakinan itu tidaklah salah. Baidawi berhasil ditemukan di pinggir sungai, sebelah utara kampung. Ketika itu dia tengah pura-pura bersuci.
“kau harus membayar perbuatanmu, Bangsat !” teriak salah satu penduduk yang diikuti kerumunan massa. Mereka bergerak cepat mengerubuti Baidawi.
“kau sudah mencoreng-coreng muka kami ! kau mulai berani menantang kami !”
Plak !! ayunan telapak tangan menghantam pelipis Baidawi. Dia terhuyung. Aku mendiamkan.
“Hoi !! kita apakan dia ?!” teriak yang lain.
“telanjangi dia !! telanjangi !!”,“hajar saja biar mampus sekalian !!” teriakan bersahutan. Namun Baidawi berusaha tenang sambil bibirnya menggumam sesuatu.
Tiba-tiba, entah siapa yang memulai, massa serentak bertidak kasar melucuti pakaian Baidawi. Sorbannya dirampas. Jubahnya ditarik beramai-ramai. Graakk !! Graaak !!
“terkutuk kalian !! terkutuk !! terkutuklah sampai kiamat !!” muka Baidawi memucat menyumpah-nyumpah. Aku melangkah menjauh sembari melempar tatapan beku.
“biadab !! laknat kalian !! terkutuuukk !!” Baidawi meronta namun kalah tenaga. Mukanya luruh. Apalagi saat tubuhnya telanjang bulat dan dilempar ke tengah kali. Baidawi menangis sejadi-jadinya.
“Hei Baidawi, pakailah daun talas buat menutupi ular kadutmu yang sebesar kelingking itu ! hahaha ! kalau setelah ini kau masih berani berkeliaran di kampung, kau akan menerima hukuman yang lebih dari yang kau bayangkan,”
“Ya, Keparat ! bersyukurlah kali ini cuma jubah dan sorbanmu yang kukencingi ! besok kalau kau masih berani menampakkan mukamu, aku bersumpah kepala dan jenggotmu yang kukencingi !”
“hahahaha !“  massa tertawa beramai-ramai. Mereka puas menertawakan Baidawi yang basah kuyup seperti kucing terseret banjir.
Aku saat itu tak peduli. Yang jelas, sesaat kemudian kulihat Baidawi berhasil menepi ke pinggi kali. Tangannya menggelayut akar pepohonan. Bibirnya bergetar-getar ketakutan.
***
Setelah peristiwa penghukuman, Baidawi lenyap entah kemana. Keberanian Ustad bangsat itu berhasil dikebiri. Ia tak mungkin berani mempertaruhkan kepala dan jenggotnya dikencingi beramai-ramai.
Sejenak perkampungan kembali tenang seperti tak terjadi apa-apa. Upacara adat berlanjut seperti sedia kala. Namun, kelakuan Baidawi yang menebang pohon terbesar di areal mata air ternyata menuai buah yang menyakitkan. Mata air yang menjadi sumber minum perlahan-lahan menyurut. Bahkan, di musim kemarau setelah penebangan, kami harus berlama-lama hanya untuk mendapatkan segentong air. Huh, betul-betul musim kemarau yang pantas untuk dikutuk.
Pernah suatu ketika, beberapa penduduk bertanya kepadaku perihal sumber air yang menyurut. Mereka menghubung-hubungkannya dengan danyang-danyang yang dianggapnya marah lantaran sesajian kurang beragam atau kurang memuaskan.
Kujawab, “Bukan, semua ini bukan lantaran sajian kurang memuaskan, tetapi, danyang-danyang yang mendiami pohon besar  murka karena istananya ditumbangkan Baidawi. Ini merupakan bentuk hukuman karena kita lalai mencegah Baidawi menebang pohon,”
Mereka mengangguk-angguk mendengar paparanku. Mereka kemudian bertanya perihal sesuatu yang bisa mengatasi surutnya mata air. Kujawab, “sabarlah sementara waktu. Biar kucari wangsit untuk mengurai masalah ini. Butuh waktu untuk bisa berdamai dengan danyang-danyang yang sedang marah. Bisa satu minggu, bisa satu bulan, bisa tiga bulan, semoga tak sampai bertahun-tahun,” kuucap kalimat itu untuk menenangkan mereka, padahal, aku sendiri sungguh-sungguh tak yakin dengan perkataanku.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Mata air terus menyurut. Hingga kemudian tepat setahun setelah peristiwa penebangan pohon oleh Baidawi, mata air yang puluhan tahun memancarkan air jernih tiada henti akhirnya mengering tak menyisa segenang pun. Seluruh penduduk kampung menangis. Aku pun putus asa. Seperti inikah ujung kutukan yang digumam Baidawi ? ah, tidak. Bagaimana bisa otak Baidawi memutuskan menumbangkan pohon padahal sumber air adalah hal paling utama di kampung kami. Sumber air keramat yang dinaungi istana danyang-danyang sudah barang tentu keramat pula. Ah. Lelaki sial itu tak berpikir panjang. Baidawi berhasil membuktikan dirinya sebagai pendakwah berotak dengkul.
Penduduk kampung lantas mendesakku. Mereka mulai meragukan kemampuanku sebagai dukun kampung.
“Ki Tarmuji, sampai kapan keadaan ini kita derita ? katakan, apa yang kau hasilkan dari pencarian wangsitmu berbulan-bulan,”
“sabarlah kalian, sabar. Danyang-danyang masih enggan menemuiku. Kuminta kalian semakin rajinlah mengantar sesajian. Hati kalian harus ikhlas, jangan sambil menggerutu,”
“haduuh, sampai  berapa lama lagi, Ki. Kita sudah capek menunggu. Bahkan sesajian yang kita hantar lebih sering dari biasanya,” keluh yang lain.
Aku terdiam mendengar bantahan mereka. Aku sendiri ngeri membayangkan kampungku dilanda kekeringan bertahun-tahun.
“bagaimana, Ki ? tidak adakah sesuatu yang bisa digunakan untuk menangkal malapetaka ini ?” pertanyaan mereka terdengar putus asa.
“hmmm .. baiklah. Kuminta kalian seluruhnya berkumpul di sekitaran mata air. Kita adakan upacara permohonan maaf kepada danyang-danyang,”
“kapan itu, Ki ?” salah satu mereka bertanya atusias
“tepatnya jum’at legi yang akan datang. Jangan lupa kalian sediakan ayam cemani dan empat ekor burung gagak.  Nantinya, biar kusembelih masing-masing binatang itu disana. Danyang-danyang dan para lelembut pasti tergoda mendatangi kita saat mencium aroma campuran darah ayam cemani dan burung gagak,”
“baiklah, Ki. Baiklah. Kita akan persiapkan sebaik-baiknya,” mereka menyahut sembari manggut-manggut.
Perkataanku kepada mereka kemudian diartikan laiknya petunjuk suci. Bagaimana tidak, tiga hari kemudian seluruh penduduk bergerombol di sekitaran mata air yang mengering. Mereka tak alpa membawa ayam cemani, dan juga hasil tangkapan burung gagak yang terbaik. Bahkan, mereka tak hanya membawa empat ekor burung gagak, mereka juga membawa cadangan hingga tujuh ekor lantaran khawatir upacara penyajian nantinya kurang sempurna.

Saat itulah, ya, ketika tajam pisauku menggores leger burung gagak yang keempat –kulihat sosok Lukman di kejauhan. Wajahnya teduh. Namun gurat matanya menyirat kebingungan. Pakaiannya yang serba putih seketika memantik ingatanku kepada Baidawi. Bahkan, saking tersitanya perhatianku, jari-jemariku nyaris saja tergores sayatan pisauku.
Saat itu kerumunan penduduk tak menyadari kehadirannya. Ia berdiri di deretan paling belakang. Tapi meskipun demikian, aku tahu Lukman tengah mempelajari keadaan. Hingga setelah upacara berakhir, barulah para penduduk tersadar dengan kehadiran penyusup sejenis Baidawi. Sontak mereka mengerubuti Lukman.
“Siapa namamu, Anak muda. Perlu apa datang ke kampung ini ?” salah satu penduduk menanyai Lukman dengan nada menelisik. Ia kemudian memandangku seraya minta ijin melancangi.
“nama saya Lukman, Pak. Kebetulan ketika dalam perjalanan, saya menjumpai perkampungan ini. Mungkin ada baiknya saya bersilaturahmi dengan sedulur-sedulur sekalian,”
“asalmu dari mana ?” tanya penduduk lain sambil memandangi dandanan Lukman dari atas sampai bawah.
“asal saya dari jauh, Pak. Pesisir utara Jawa, Ampeldenta.”
“oh,” yang lain manggut-manggut berpandangan. Beberapa dari mereka sekilas menatapku. Mereka menunggu reaksiku.
“kalau diperbolehkan, saya ingin singgah di kampung ini barang beberapa hari, apakah diijinkan ?” pertanyaan Lukman yang tanpa basa-basi membuat seluruh penduduk kampung mengalihkan tatapannya kepadaku. Aku menelan ludah.
“begini, Anak muda. Sebenarnya –di masa lalu, kampung ini sudah cukup banyak direpotkan lelaki sepertimu,” ujarku berwibawa.
“kesulitan yang ditimbulkan tak cuma sesaat, bahkan kami harus menanggungnya hingga saat ini.  Kau tahu dia mewariskan apa ?” lanjutku sambil bertanya.
“lelaki yang berdandan sepertimu, yang selalu berkoar-koar neraka di telinga kami, yang selalu menghakimi tata cara adat kami sebagai menyekutuan Tuhan –dia telah mewariskan malapetaka kutukan yang tak kunjung berujung,“ suaraku parau dilarung emosi. Aku menghela nafas sejenak.
“Pohon terbesar di kampung ini ditebangnya. Danyang-danyang mengamuk. Sumber air menyurut hingga kali di utara kampung berubah menjadi kali mati. Sekarang, katakan kepadaku, Nak. Untuk alasan apakah kami harus menerima kedatanganmu –padahal kau adalah lelaki sejenis dengan dia ?”
Pertanyaanku kepada Lukman membuat seluruh penduduk menahan nafas. Rasa-rasanya uneg-uneg mereka tersampaikan. Mereka menatapku penuh kebanggaan.

Lukman terdiam. Senyumnya sirna. Tatap mata yang sebelumnya teduh berangsur-angsur menyirat duka.
“saya turut berduka dengan kampung ini, Pak. Saya turut prihatin,”
Perkataan Lukman mengagetkanku. Tak kukira dia mengungkapkan perasaan sedih. Seluruh penduduk saling pandang.
“kalau yang dipermasalahkan sedulur-sedulur sekalian adalah sorban dan jubah ini, baiklah, ijinkan saya berganti pakaian seperti yang sedulur-sedulur kenakan. Saya tak ingin jalinan persaudaraan tersekat hanya karena jubah dan sorban saya yang sepele ini,” Lukman memandangi kami seraya ingin dimengerti.
“andai saya bisa membantu memecahkan permasalahan yang menimpa kampung ini, tentunya saya akan bersenang hati,” lanjutnya
“tak ada yang bisa kau lakukan di kampung ini, Nak. Kami sudah berpuluh kali mencoba berdamai dengan danyang-danyang. Bahkan Ki Tarmuji –dukun kami yang sakti ini, dia belum bisa meredakan kemarahan mereka,”
“ya”, “betul”, “danyang-danyang masih murka,” sahutan massa bertubi-tubi menanggapi celetukan salah satu dari mereka. 
“kehadiranmu justru kutakutkan membuat danyang-danyang lebih murka. Kami tak ingin mengalami kekeringan lebih lama,”
“ya”, “betul”,”malapetaka ini menyiksa kami,” kembali massa berteriak bersahutan. Lukman terlihat gugup.
“beri saya kesempatan, berilah saya kesempatan,” teriak Lukman mengiba. Kedua tangannya terangkat mencoba menenangkan.
“kalau kau mampu membasahi halaman rumah kami yang kering kerontang, kau boleh tinggal di kampung kami, sesukamu,”
“ya”, “sepakat”, “setuju,” tangan-tangan penduduk terkepal ke langit.

Saat itulah kusaksikan penyingkiran diriku perlahan-lahan. Para penduduk tak membutuhkan pendapatku lagi. Teriakan demi teriakan mengartikan kelelahan mereka yang menanti kepastikan. Dan mungkin saja –mereka mulai menganggap kata-kataku sebagai bualan.
“baiklah, Sedulur. Baiklah. Jika Tuhan mengjinkan .. jika Tuhan mengijinkan, tak ada yang tak mungkin ..” demikian Lukman mengulang kata-katanya. Anak muda itu secara gegabah menyanggupi syarat berat yang diajukan.
Penduduk kampung merasa puas –kecuali diriku yang merasa ditelikung. Tetapi saat itu, aku dan seluruh penduduk yakin seyakin-yakinnya jika Lukman tak mungkin memenuhi syarat itu. Anak muda itu tak mungkin mampu membujuk danyang-danyang penguasa mata air menyudahi kutukannya.

Kami kemudian membubarkan diri meninggalkan Lukman –sendirian –yang tentu saja kuyakin tengah kebingungan. Kami memasuki rumah seolah tak terjadi suatu apapun. Terik yang menyengat memaksa kami tinggal di dalam rumah daripada tenggorokan haus terpanggang matahari.
Waktu sejenak berlalu. Pikiran kami melupakan Lukman. Hawa kian panas-kian panas. Pancaran matahari menguapkan cairan di tenggorokan. Hingga kemudian –aku yang sedang berbaring bertelekan bale bambu dikejutkan teriakan bersahut-sahutan dari luar rumah.
“mendung, Ki ! mendung tebal ! sebentar lagi hujan !”

“keluarkan semua gentong ! keluarkan wadah penampung air yang kalian miliki ! hujan datang sebentar lagi !” 

(bersambung)

Posting Komentar

 
Top