0

 “Pokoknya Abah tak setuju ! titik !”
“tetapi, Bah. Abah tak punya alasan tak setuju,”
 “ketidaksetujuanku tak butuh alasan, Nir.”
“harus, Abah. Harus ada alasan. Yang tak butuh alasan berbuat sesuatu hanyalah Gusti Allah,”
“ampuni Munir, Abah. Munir bukannya menggurui,” Munir berjuang keras menahan kesedihan.
“kalau kau mau, silahkan pilih murid-murid Abah.  Mereka gadis-gadis terjaga. Perempuan-perempuan terhormat !”
“Surti juga perempuan terhormat, Bah. Demi Allah saya mengambil keputusan bukannya tanpa pertimbangan. Istikharahsudah saya lakukan. Demi Allah saya cinta dia, Abah. Demi Allah !”
Tak kubayangkan bagaimana berkecamuknya dada kiyai Manar mendengar bantahan yang dilontarkan putera tercintanya, Munir. Tak habis dinalar, bagaimana bisa Munir jatuh cinta denganku –janda kembang bekas lelaki mursal semacam Jarwo.
Tak tertahan lagi Kiyai Manar berlaku lembut. Disengajakannya berkata keras agar aku yang berada di samping Munir –mendengar kalimat tegasnya. Duh Munir, sungguh naif pikiranmu.
Kiyai Manar menatap Munir dalam-dalam. Dengan tatapan cinta, bercampur kecewa. Sesekali beliau menatapku dengan tatapan tak percaya. Aku menunduk. Luruh tak kuat apapun. Lelaki sekharismatik Kiyai Manar di saat lembut pastinya membuatku salah tingkah, apalagi di saat marah. Dadaku bergetaran luar biasa. Antara sedih, marah, putus asa, berantakan. Hanya lelehan air mata mewakili buncahan perasaanku. Ingin rasanya aku membela diri. Berteriak lantang bahwa – aku juga perempuan yang masih berhak disinggahi cinta seorang lelaki, bahwa aku perempuan terhormat, bahwa hanya takdir sajalah yang membuatku terpeleset hingga jatuh di pelukan Jarwo.
Kutarik nafas perlahan. Panjang – kian panjang. Aku menenangkan diri. Kukumpulkan remah-remah keberanian untuk mengucap sesuatu –meski hanya satu kata.

“am .. ampunkan saya, Kiyai ..”  suara serakku menyela kesadaran dua lelaki di depanku.
Kiyai Manar tersentak. Munir cepat menoleh ke arahku. Wajahnya terkejut.
“saya .. saya .. tak bersedia lagi menjadi istri Mas Munir, Kiyai”
“demi Allah jangan, Sur. Jangan kamu ucapkan itu. Biarlah beban ini aku yang menanggungnya, jangan kamu,” suara Munir terdengar kecewa
“tetapi, Mas .. “ aku tercekat. Tenagaku luruh. Air mataku meleleh deras. 
“Surtikanthi, percayakanlah semuanya padaku. Demi Allah. Aku bulat hati menikahimu. Kalau memang Abah tak mempercayai niatan baikku, cukuplah Allah menjadi saksi,”
Munir memandangku sedih. Wajahnya terlihat lelah. Ditatapnya pula wajah Kiyai Manar dengan tatapan tak mengerti.
“Abah,” ucapnya parau. “Demi Allah saya mencintai Surti, saya mohon doa restu Abah,”
Beranjak Munir menggelesot maju. Namun, Kiyai Manar tak bereaksi. Ekspresi wajahnya sekaku karang. Tangan Munir kemudian terulur menggenggam tangan Kiyai Manar –memohon belas kasih.  Kurasa Munir tak mampu berkata lagi.
Jantungku berhenti memompa. Tak lagi beda dengan mati. Yang kubisa hanyalah bersimpuh menunggu sesuatu yang tak lagi kuharapkan.  
Munir. Pemuda Berbudi. Tampan. Baik hati. Mewarisi ilmu pekerti yang nyaris sempurna. Dia pertama kali menjumpaiku di gerbang lokalisasi, tempat ketika kehormatanku sebagai istri terpaksa tertanggalkan. Aku setengah telanjang saat itu. Bajuku koyak moyak. Sorban yang terulur dari tangannya kemudian menutupi tubuhku.
Ya. Semua itu karena Jarwo, dan aku benci dengan Jarwo, bahkan teramat muak. Hari demi hari kusumpahi lelaki itu teronggok di kerak neraka lantaran tega menghianati aku dan juga mendurhakai bapak ibuku. Jarwo ternyata bajingan penipu. Sikap baiknya hanya ditunjukkannya ketika mendekatiku. Di depan ibuku dia berpolah seperti pengkhotbah, solah tingkahnya seperti lelaki yang bertanggung jawab mengantar istrinya masuk sorga.  Namun, belumlah genap empat bulan menikahiku, belang Jarwo mulai terkuak. Dia tak lagi menafkahi keseharianku. Datang meminta uang, pergi tak tentu waktu. Minuman keras mengubahnya seperti anjing. Liar. Kasar. Gemar menampakkan taring dan auman. Apalagi Jarwo sempat mengancamku akan meracun bapak-ibuku jika warisanku tak cepat kudapatkan. Duh Gusti. Hatiku hancur saat itu, apalagi, suatu hari kuputuskan membuntuti kemana Jarwo pergi.
Bajingan itu ternyata mangkal di lokalisasi. Najis biadab. Habis sudah kesabaranku. Kulabrak dia saat menggauli pelacur sambil setengah mabuk. Kucakar wajahnya. Ingin kurobek-robek mukanya hingga tersisa serpihan yang paling kecil. Aku hancur. Aku menangis menangisi hidupku.
Jarwo meradang. Ia menamparku. Menendangku. Meninggalkan pelacurnya yang menyingkir mengumpat-umpat.
 “Perempuan Lacur !!!” teriaknya. “setan betina !! mampus saja kau !!! buat apa kemari !!” 
Tangan Jarwo menjambak rambutku kuat-kuat. Kepalaku terkunci. Ia mengancam orang-orang agar tak mencampuri urusan keluarganya.
Aku berupaya berontak, tapi sia-sia. Usahaku malah membuatnya murka. Tangannya lantas merobek-robek bajuku. Seluruh bajuku.
“Perempuan pembawa sial !!!” teriaknya yang merobek pakaianku
“mau apa kau ! lepaskan, Bajingan !!” aku meronta sebisanya
Jarwo menarik bajuku kuat-kuat. Matanya nyalang seperti setan. Bajingan itu tak berhenti meski disaksikan lelaki lain. Terkutuklah dia yang tega melucuti pakaian istrinya di hadapan lelaki lain.
“Silakan kalau kalian menginginkan perempuan terkutuk ini !! dia sudah kupecat jadi istriku !!”
Aku menangis sejadi-jadinya. Aku meronta sekuat tenaga. Kutendang sekenanya. Kucakar muka setannya. Ia mencengkeram kian kasar dan membenturkan kepalaku di tembok kamar.
“Iblis betina !! iblis tak tahu diri !!” teriaknya nyalang bercampur aroma arak yang memuakkan.
Ketika tangannya membenturkan kepalaku di tembok, kesakitanku meletupkan energi bawah sadarku. Jemariku meraup mukanya. Ia kelabakan. Aku nekat melawannya tak takut lagi terbunuh.
Aku mencakar kian kuat. Aku meraup mukanya tanpa ampun. Hingga ketika ada kesempatan, jempol jemariku kutekan kuat-kuat di mata kirinya.
Jleb !
Jarwo mengerang. Ia menjerit kuat dan memakiku seperti iblis. Ia meradang sembari memegangi matanya yang telah buta. Darah mengalir dari mata kirinya, aku terlepas dari cengkeramannya.
Aku lantas terjatuh. Bernafas patah-patah. Kukumpulkan tenagaku, aku berniat menyingkir. Dengan repihan tenagaku, aku bangkit dan melarikan diri. Baju atasku yang koyak-moyak tak lagi berbentuk. Aku nyaris tanpa baju. Dengan langkah terhuyung, aku keluar dari kamar dan meninggalkan setan itu meradang kesakitan.

***
Dua tahun kemudian, di sebuah desa yang terpencil dari peradaban.
Mas Munir. Begitu aku memanggilnya. Meski usianya dua tahun di bawahku, aku mengagumi kedewasaannya. Cara berpikirnya menenangkan, tutur katanya lembut menyejukkan. Aku seperti dianugerahi lelaki dari langit. Lelaki yang kurasa diidamkan jutaan perempuan di muka bumi. Dia mencintaiku sepenuhnya, aku pun mencintainya hingga takut kehilangan, bagiku itu sudah lebih dari cukup.
Meskipun kami menikah setahun yang lalu, aku masih bersedih kala teringat kata-kata Kiyai Manar –mertuaku yang tak mengakuiku.
“Kalau memang watakmu tak bisa ditekuk lagi,  bawa pergi Surtikanti ! jangan pernah kembali !”
“apa dengan kepergian kami –Abah merestui pernikahan kami ?”  
Kiyai Manar saat itu terpekam mendengar pertanyaan Mas Munir. Tak ada sepatah kata-pun keluar dari bibirnya. Beliau kemudian meninggalkan kami dengan batin terluka.
Meski terkadang teringat peristiwa menyedihkan itu, Mas Munir menghiburku dengan kata-katanya yang menyejukkan.
“Jika masa lalu hanya berlaku sebagai belenggu, tanggalkan saja, Sur. Berharaplah kepada Tuhan atas kebaikanNya di masa depan. Percayalah, jauh di dalam lubuk hati Abah, beliau menyayangimu. Beliau pasti mendoakan kebaikan keluarga kita,”
Hatiku yang berliput mendung tercerahkan kata-katanya. Ia mengelus kepalaku dan membelai rambutku. Tatap matanya kemudian beralih ke perut buncitku. Ia tersenyum.
“berdoalah segera lahir Sang Pendamai. Semoga anak kita meretas tali yang selama ini terputus. Semoga rahmat Allah berlimpah tak terkira.”
Ya. Saat ini aku tengah hamil anak pertamaku. Begitu membuatku cemas. Karena itulah Mas Munir acapkali mengingatkanku agar tak bersedih, apalagi mengingat sesuatu yang buruk-buruk. Katanya, agar kelak anak kami tak jadi anak yang pemurung. Agar kelak anakku yang kukandung tak mengenal kata menyerah. 
Aku mengiyakan nasihatnya. Aku tak ingin membayangkan sesuatu yang tidak-tidak. Apalagi, ah, aku ingin menghapus sebersih-bersihnya Jarwo terkutuk dari otakku. Lelaki mursal itu semoga diasingkan di tempat terjauh di kutub bumi. Agar aku tak lagi melihat muka setannya. Duh Gusti, Astaghfirullahan Adzim, hapuslah lelaki bajingan itu dari hidupku. Hanya kepada suamiku-lah kuabdikan seluruh hidupku. Yang di hari jahanam itu, kau kirim dia menutupi tubuh telanjangku dengan sorbannya. Ya Allah, lelaki langit itu kau kirim di saat aku berada di titik nadir. Di titik harkat paling rendah karena direndahkan bajingan itu.

Kuingat Mas Munir saat itu menitikkan air mata. Ia tak kuasa menyaksikan perempuan terkoyak kehormatannya. Astaghfirullahal Adzim, Astaghfirullahal Adzim.

Posting Komentar

 
Top