0

***
Sementara angin gunung mulai bangkit dari tidur. Tiupannya mengurai kepekatan kabut di kawasan puncak. Rifky jadi lebih leluasa mengamati pijak kaki di jalur pendakian.
Keletihan di tubuh Rifky mencapai puncaknya. Peluh bercucuran, dengus nafasnya serupa mesin kereta di medan tanjakan. Berkali-kali tubuh Rifky terhuyung  tersangkut ranting. Beban tubuh Dita di gendongannya membuat tempo evakuasi melambat. Berkali-kali Rifky beristirahat di tengah perjalanan. Di saat yang demikian, Rifky menurunkan Dita dari gendongan dan disandarkan di pokok pepohonan. Dita kehabisan tenaga. Bahkan untuk menegakkan kepala pun tak sanggup.  Kondisi tragis yang dialami Dita membuat Rifky merasa gagal. Rifky tak mampu berbuat banyak. Yang lebih menghawatirkan lagi, Suhu tubuh Dita kian menurun. Tangannya membeku, wajahnya membeku, kehangatan di tubuh Dita seakan menguap. Merasakan hembusan nafas Dita yang menyentuh kulit lehernya membuat Rifky bersyukur. Ya. Setidaknya Dita masih bertahan menaut kehidupan.
Sementara Rifky terus berpacu melawan waktu. Di saat jalur pendakian lurus dan tak terhalang tumbangan pohon, Rifky melangkah setengah berlari. Namun di saat tumbangan pohon dan runtuhan batu menghadang, Rifky berteriak kesal mencari-cari jalan terobosan menembus blokade medan. Tiba-tiba saja keempat penambang belerang yang tengah beristirahat tersita perhatiannya. Samar-samar mereka mendengar teriakan Rifky.
“suara apa itu, Kang ?”Jarwo yang pertama berkomentar bersijingkat. Polahnya serupa kijang menyadari tanda bahaya.
“apa mungkin kawan-kawan kita ada yang terjebak di atas ?” Jiman memasang telinga. Memperhatikan. Jiman lantas berdiri.
“tidak mungkin, Kang Jiman. Nggak ada kawan-kawan kita yang bergerak ke atas. Aku yakin itu,” sahut Narto.         
“tapi telingaku jelas-jelas mendengar lolong teriakan. Apa kalian mendengar juga ?”
“Iya, Kang !”, “betul”, “aku juga mendengarnya. Malahan jelas sekali,” Narto Jarwo dan Parmin menjawab permintaan konfirmasi Jiman. Mereka bertiga kemudian berdiri dengan sikap menyelidik memasang telinga. Mencari asal suara.
“hmmm .. berati telingaku tidak salah,” Jiman manggut-manggut. “
kalau begitu kita harus cepat-cepat ke atas. Ada yang butuh pertolongan. Aku yakin suara itu suara manusia,” lanjut Jiman, menyarungkan parang.
“aku  .. aku .. punya firasat buruk, Kang Jiman. Firasatku tak enak,” Parmin ragu,
“sudahlah, simpan dulu firasatmu, Min ! aku yakin semuanya pasti baik-baik saja,” Narto balas menimpal.

Tanpa berpikir panjang, keempat penambang belerang itu menerobos jalan setapak yang terisolir. Tumbangan-tumbangan pohon mereka biarkan melintang. Mereka lebih memilih merunduk, atau melompati rintangan dari pada menyingkirkannya.

Posting Komentar

 
Top