0

Fajar di langit timur kian memerah. Pucuk-pucuk pinus bernyanyi seiring hembusan angin gunung yang mulai kencang.
Lomgsoran yang menutupi jalan setapak membuat Rifky nyaris putus asa. Tanah yang lembek, basah –membuat kakinya terbenam hingga selutut. Menerobos medan pendakian berat semacam ini membuat Rifky kehilangan harapan. Apalagi setrelah dirinya limbung hingga Dita terjatuh dari gendongan.
Teriakan putus asa itulah yang tertangkap telinga Jiman dan ketiga rekannya. Mereka terus bergerak melompati rintangan. Insting mereka mengatakan sesuatu yang buruk telah terjadi.  Hingga lima belas menit berselang, sorot sinar senter Jiman menangkap sosok Rifky yang tengah menangis. Rifky menyandarkan punggung di batang cemara. Kepalanya tertunduk diantara dua kakinya yang tetekuk. Rifky meratapi Dita yang meringkuk di depannya.
Jiman, Narto, Parmin, dan Jarwo,  bergegas mendekati Rifky. Langkah kaki mereka setengah berlari. Setiba di depan Rifky,
“benar dugaanku, pasti jatuh korban, “ Jiman berbisik pelan ke arah Jarwo.
“setahuku memang ada pendaki yang naik, Kang, aku yakin mereka yang kujumpai di pondok,” Jarwo balas berbisik.
“apa yang terjadi, Dik ?”, “ kau tak apa-apas ?” Narto dan Parmin berujar nyaris bersamaan. Narto dan Parmin mendekat, berjongkok di samping Rifky. Tangan Parmin menyentuh pelan pundak Rifky.
“tolong .. tolong saya, Pak. Kawan saya butuh bantuan, secepatnya ..” Rifky berkata tergagap-gagap. Dadanya berasa sesak menahan sedih. Tangan Parmin bisa merasakan pundak Rifky berguncang-guncang.
Jiman merapat mendekati Dita. Jarwo menyusul.
“Duh, Gusti. Perempuan, Kang,” ujar Jarwo terkejut. Sinar senternya menyapu wajah Dita yang pucat.
“sudah berapa lama dia seperti ini, Dik ?” tanya Jiman yang menoleh ke arah Rifky.  Suara Jiman tercekat.
“kira .. kira ... lima jam lebih. Dia terjebak badai dan jatuh ke dalam jurang, Pak. Dua kilometer dari puncak,”
“pasti di Jurang Gedhe, Kang.” Celetuk Narto
“ya, Jurang Gedhe, To. Pasti disana,” Parmin menguatkan.
“ada korban lain ?” tanya Jiman.
“masih ada, Pak. Masih satu ..tolonglah dia ..”  jawab Rifky, bersuara lemah.
Bibir Jarwo mencondong di telinga Jiman.
“mungkin dia sudah mati, Kang,” bisik Jarwo teramat pelan. Jiman manggut-manggut.
“kau sendiri tidak apa-apa, Dik ?” ujarnya kemudian
“saya .. saya tidak apa-apa, Pak. Saya cuman kelelahan. Banyak pohon tumbang di atas sana”
“sudah berapa lama kau berjalan ?” tanya Jiman
“hampir tiga jam.”
Jiman dan Jarwo berpandangan. Demikian pula dengan Narto dan Parmin.
“berarti jalur ini memang terputus. Tak mungkin penambangan dilakukan jika kondisinya seperti ini. Apalagi di Jurang Gedhe. Aku yakin jalan di  tempat sudah lenyap,” Jiman menarik nafas panjang.
“ kita mesti menyelamatkan gadis ini, Kang. Secepatnya. Sekalian memperingatkan kawan-kawan agar jangan naik menambang,” celetuk Jarwo.
“tapi .. tapi  .. saya butuh bantuan mengevakuasi kawa saya satunya, Pak. Dia masih di dasar jurang.” Rifky memohon
“kawanmu itu kemungkinan besar sudah mati. Ikhlaskan. Kita selamatkan yang masih bisa diselamatkan. Pacarmu itu butuh pertolongan. Apalagi dirimu sendiri kelelahan. Besok siang biar penambang belerang naik mengambil tubuh temanmu itu,”
Tiba-tiba Dita merintih-rintih. Perempuan itu seakan ingin berbuat sesuatu. Lelehan air menggenangi kelopak matanya.
Rifky mendekat. Menjorokkan telinga di bibir Dita yang menggumam sesuatu.
“kenapa, Dit ? kenapa ? kumohon .. bertahanlah ..”
“demi Tuhan, sellla .. sellammm sellammatkannn  Rhe...nooo .. kau .. janjiii.”
Suara teramat pelan keluar dari bibir Dita. Rifky kemudian bangkit berdiri.
“saya sudah berjanji menyelamatkan kawan saya, Pak. Saya harus kembali dan mengangkatnya dari dasar jurang. Saya mohon bantuannya,”
Jiman dan ketiga rekannya saling berpandangan. Mereka berpikir keras.
“nanti biarlah saya yang turun ke dasar jurang. Saya butuh bantuan Bapak-Bapak menandu Dita turun ke desa terakhir,”
Jiman menelan ludah. Dia menyadari proses evakuasi teramat susah lantaran jalur pendakian porak-poranda. Tapi,
“begini saja, Dik. Pacarmu itu biar dibawa Jarwo, Narto, dan Parmin, turun ke pondok penambang. Penambang-penambang yang lain tengah berkumpul di sana. Nanti setelah dirawat sebentar, secepatnya biar dibawa turun gunung. Di kaki gunung ada Bu Dokter. Biar Bu Dokter yang memutuskan pertolongan selanjutnya. Bagaimana ?”
“iya, Kang. Sesampai di pondok belerang. Kita minta bantuan yang lain menyusul Kang Jiman dan pemuda ini,” Jarwo menguatkan.
“baiklah, Pak. Lebih cepat, lebih baik,” ujar Rifky dengan tatapan terima kasih.
“berikan sarungmu,” Jiman menatap Narto dan Parmin, “setelah ini cepat cari batang pinus seukuran lengan,” 
Narto dan Parmin melepas sarungnya di leher. Mereka mengulurkannnya ke Jiman. Kedua penambang itu lekas meluncur mencari kayu pinus di sekitaran jalur pendakian.
“sarung ini untuk selongsong pacarmu. Kita buat tandu sederhana. Kau istirahatlah dulu. Tenagamu masih dibutuhkan,” terang Jiman, sambil menepuk-nepuk pundak Rifky. Tangannya kemudian merogoh perbekalan. Jiman mengambil sebotol kecil cairan kekuningan yang keruh.
“ini, minumlah buat penghangat tubuhmu. Madu rimba asli gunung Arjuna. Tenagamu pasti pulih secepatnya.”
Uluran tangan Jiman tak segera bersambut. Rifky melihat benda di tangan Jiman dengan tatapan bingung.
“ayo, ambil. Tenagamu sudah habis. Pikiranmu sudah kosong. Kalau kau paksakan, nyawamu pasti tumbang,”
Rifky kemudian meraih botol madu di tangan Jiman. Tanpa banyak cara, ditenggaknya botol kecil itu tanpa ukuran. Jiman menatap Rifky dengan seksama. Ia tak yakin sisa tenaga di tubuh Rifky cukup untuk kembali ke Jurang Gede.
“Kang Jiman ! tandu sudah siap !” teriakan Jarwo seketika memutus perhatian Jiman.
Jiman menghampiri Dita, berniat membopongnya ke tandu.  Rifky menyusul di belakang. Jiman lantas menunduk setengah jongkok. Tangannya merogoh jaket Dita di posisi leher. Telunjuk Jiman mencari denyut nadi.
“gawat. Pacarmu ini gawat. Mesti cepat turun gunung. Perutnya pasti muntah jika dikasih minum. Oleskan madu di bibirnya, Dik” ujar Diman, menatap Rifky dalam-dalam. Rifky mengikuti kata-kata Jiman dengan mengoleskan madu di bibir Dita.
“Jarwo, Narto, dan kau, Min, secepatnya kalian bawa tandu ini turun gunung. Kalau perlu sambil berlari, dan kalau lelah .. gantian. Sesampai di pondok penambang, suruh kawan-kawan menyusulku ke Jurang Gede, sekalian kalian minta tambahan tenaga buat mengantar gadis ini ke ibu dokter Nanda. Paham ?”
“paham, Kang”, “mengerti, Kang” Jarwo dan Narto manggut-manggut.
“baiklah, kita berpisah disini. Aku berangkat ke atas,” ucap Jiman seraya menumpukan harapan di pundak kawan-kawannya.
“ayo, Dik, kita ke atas,” ucap Jiman, sembari menepuk pundak Rifky. Namun Rifky mematung.
“ayo, percayakan pacarmu kepada mereka,” suara Jiman sedikit meninggi.
Parmin dan Narto kemudian membopong Dita dan meletakkannya di selongsong sarung. Tubuh Dita membujur di lubang sarung hingga mirip kepompong.

Posting Komentar

 
Top