0

***
Menjelang dini hari, langit cemerlang menampakkan bintang-bintang. Awan pemantik badai sudah menyingkir. Namun jejak-jejak amukan badai tertampak jelas. Ribuan pohon pinus dan cemara patah bertumbangan. Tak jauh dari base camp, dua pohon Rasamala berukuran raksasa roboh hingga akar-akarnya tersingkap dari tanah. Akar tunjang yang menghujam kedalaman tanah tak mampu menahan hempasan angin.
Sementara itu jejak badai yang lebih nyata terpapar di areal basecamp penambang belerang. Gubug-gubug beratap ilalang terserak di semua tempat. Tak ada lagi jejak gubug pernah berdiri di tempat itu. Para penambang yang sedianya berniat mendaki menuju kawah –terpaksa mengurungkan niatnya. Mereka tak menyangka hujan dan badai masih terjadi meskipun penanda kalender seharusnya memasuki musim kemarau.
Para penambang yang terjebak badai memilih berlindung di cekungan-cekungan kecil mirip goa –yang banyak tersebar di areal mata air. Dan setelah badai reda, mereka bekerja sama mengumpulkan puing-puing gubug yang bisa dimanfaatkan. Mereka bersyukur tidak terjebak badai saat berada di puncak gunung atau di areal kawah. Andaikata hal itu terjadi, kondisi yang bakal ditemui tak lebih dari dua kosa kata –sekarat –ataukah mati kesepian sambil menggigil kedinginan.
Meski hari menjelang dini hari, para penambang tak berhenti mengumpulkan sisa-sisa reruntuhan gubug. Bagi mereka sepetak gubug reyot di punggung gunung bagaikan surga tersendiri. Surga yang memberi perlindungan di tengah keterbatasan. Puing-puing yang mereka kumpulkan dikumpulkan untuk membangun gubug baru. Gubug yang diharap memberi perlindingan hingga badai penghancur berikutnya menerjang kembali di areal basecamp.
Rembulan kian tinggi memanjati langit. Tak jauh darinya, bintang kejora berpendar cemerlang –serupa binar mata perawan cantik yang tak jemu memamerkan kerlingnya. Sesaat setelah mengukur keadaan, sembari menatap beningnya langit, empat orang penambang belerang memutuskan berangkat mendaki menuju puncak gunung Welirang. Insting alami yang mereka miliki mengatakan –badai berikutnya tak mungkin terjadi berdekatan dengan badai sebelumnya. Lagipula tuntutan memenuhi kebutuhan hidup dirasa sangat mendesak. Dengan langkah hati-hati sembari memikul sepasang keranjang, mereka melangkah beriringan menuti jalur pendakian.
“banyak rokok yang kau bawa, Min ?” celetuk yang tertua di antara mereka, Jiman. Di lehernya terlilit sarung, usia 53 tahun tak menghalanginya bergerak sigap meniti jalur pendakian.
“sayangnya cuman dua bungkus, Kang Jiman,” Parmin yang bertubuh ceking bergoyang-goyang menahan keseimbangan.
“haduuh, alamat masam mulutku. Punyaku habis di Pondokan,” ujar Jiman sembari bibirnya bergerak-gerak membayangkan sebatang rokok terselip di bibirnya.
“tenang, Kang. Aku bawa banyak,” celetuk Jarwo dengan suara mendengus. Kali ini keranjangnya tersangkut ranting perdu.
“tapi rokok yang dibawa Jarwo pasti rokok aneh itu. Rokok macam kemenyan baunya,” timpal Narto yang hapal dengan rokok kegemaran Jarwo. “Bikin paru-paru hangus,” lanjutnya tersenyum kecut. Jalan licin memaksa dirinya lebih waspada.
“daripada mulut masam, rokok bau kemenyan pun jadi,” sambung Jiman terkekeh
“tapi bikin merinding, Kang,” timpal Narto, “Kemenyan itu kan camilannya jin, gondoruwo, dan sebangsa lelembut lainnya, kalo –“
“huss !! mulutmu itu, To !” sontak Parmin dan Narto membentak bersamaan. Jiman tersenyum dan menggeleng.
“omonganmu itu nguwurr !! salah tempat !!” Parmin bersungut-sungut.
“loh, apanya yang salah tempat, Min ?! kan memang benar kalo jin, gondoruwo, dan dhemit-dhemit doyan sama asap kemenyan,” Narto bertahan.
“tapi ngomong seperti itu mesti ada anggah-ungguhnya,”
“nah-nah ! betul omongan Parmin. Persis !” Jarwo menguatkan pendapat Parmin. “kita ini sedang berada di tengah hutan, To. Bukan di pasar. Hutan adalah sarang terakhir bangsa lelembut setelah tergusur keramaian. Lha mulutmu yang asal nguap itu apa nggak bikin marah ?!”
“wis ! sudah ! cukup ! nggak usah ngobrol masalah dhemit lagi !” Jiman yang paling tua menengahi. “omongan kalian ini muter-muter persis gasing,”
Parmin, Narto dan Jarwo surut mendengar kalimat Jiman. Akhirnya, mereka berempat memilih diam sambil hati-hati memilih pijakan. Bahkan beberapa rintangan batu teramat merepotkan. Apalagi, tumbangan pohon yang melintang di tengah jalan seringkali membuat lubang-lubang keranjang tersangkut ranting.
Keempat lelaki itu setengah mati menapaki jalur pendakian yang tak normal. Sebelumnya menurut perkiraan mereka, kawan Welirang pasti dicapai dalam waktu kurang dari 3 jam –mengingat kemampuan fisik mereka yang terasah naik turun gunung bertahun-tahun. Tetapi, setelah menapaki kondisi medan yang nyaris terisolasi, mereka sadar tak mungkin mampu menerobos jalur pendakian seperti biasa. Berkali-kali tebasan parang terpaksa diayunkan untuk membuka blokade pohon yang yak mungkin dilewati dengan cara melompat atau merunduk.

Kerjasama alami yang mereka lakukan serupa sekawanan semut. Cekatan, tanpa banyak bicara. Narto yang bertubuh paling kekar bertugas memotong tumbangan pohon. Dia bergantian dengan Jarwo bertenaga kuat meskipun postur tubuhnya sedikit tambun. Setelah batang-batang pohon rintangan terpotong, Jiman dan Parmin bertugas menyeret dan menyingkirkannya ke tepian. Ada kalanya ketika berada di pinggir jurang, potongan pohon itu diseret dan digelincirkan ke mulut jurang.

Posting Komentar

 
Top