0


Langkah kaki yang berbeda arah menggurat jejak di kala fajar. Jalan setapak yang porak poranda, embun yang membasahi dedaunan,  hutan beserta hawa pagi yang membeku, peristiwa besar yang baru terjadi tak berarti apa-apa. Matahari tetap beranjak terbit. Rembulan bintang lekas berpulang. Kabut-kabut tebal mengendap di ceruk-ceruk jurang lembah yang tak terjamah kehangatan fajar.
Tiga puluh menit kemudian, matahari naik sepenggalan. Kegelapan hanya tersisa di dasar jurang, ceruk-ceruk lembah, dan tebing-tebing yang dihimpit bebukitan.
Parmin, Narto, dan Jarwo –melangkah setengah berlari. Pijak kaki mereka cekatan menapaki medan pendakian. Kayu pinus penumpu menderit menahan beban. Tubuh Dita memantul terayun-ayun. Ketiga penambang belerang itu butuh kurang dari dua jam mengevakuasi Dita menuju pondok penambang.
Di langit, matahari pagi telah sempurna mengusir gelap. Posisinya naik sepenggalan, tetapi, udara tetap dingin. Embun-embun yang memantul sinar matahari berkilauan seperti permata. Setibanya rombongan di pondok penambang, para penambang yang tengah berkumpul di depan gubug tersita perhatiannya. Mereka lekas berdiri. Beberapa berlari menyongsong. Pertanyaan gugup bersahut-sahutan.
“siapa dia, Min ?”, “kau temukan dimana ?”, “pasti korban badai,”
Lekas dari mereka mengambil alih batang penandu dari pundak Narto dan Parmin.
“bukan dari kita, dia pendaki gunung,” ucap Narto menghela nafas lelah.
“Ya. Da terjebak di Jurang Gede. Pacarnya yang membawa turun berpapasan dengan kami sebelum padang edelweis,” Jarwo menguatkan
“mana pacarnya ?” tanya yang lain
“kembali ke atas. Menyelamatkan satu lagi di dasar Jurang Gede,”
“dimana ?”
“Jurang Gede. Kata pacar gadis ini, Jurang Gede sudah runtuh. Tak bisa dilewati. “
Sementara dua penambang yang menandu Dita meletakkan Dita tiga meter dari perapian. Kedatangan Dita seketika disambut kerumunan belasan penambang. Jarwo, Narto, dan Parmin diberondong pertanyaan bertubi-tubi.
“mana Kang Jiman, Wo ?”
“kang Jiman menemani pacar gadis ini,” jawab Jarwo mengatur nafas.
“sekarang begini rencananya .. kuminta sepuluh orang dari kita menyusul Kang Jiman ke Jurang Gede. Sisanya membantu membawa gadis ini menuju desa terakhir. Disana kita bisa minta bantuan dokter di bawah.”
“dokter Nanda yang di puskesmas itu maksudmu ?”
 “Ya – ya. Dokter Nanda, siapa lagi, “
“eh-eh ! dekatkan gadis dengan perapian. Biar dia hangat,” celetuk Narto setengah berteriak. Tubuh Dita lantas diangkat dan diletakkan lebih dekat dengan perapian.
“bagaimana kondisi gadis itu, To ?” tanya seorang penambang kepada Narto
 “parah. Kondisinya parah. Sudah hampir tak sadar. Untuk minum saja susah. Kalau dipaksa bisa-bisa tersedak. Peristiwa tujuh tahun lalu terulang. Meskipun jumlah korban tak sebanyak yang dulu,” terang Narto. Ucapan Narto membuat seluruh penambang bermuka keruh.
“Min, di pondokku masih ada madu sebotol, ambillah. Kita oleskan di bibirnya sambil menunggu badannya hangat,”  celetuk Jarwo sambil memijit-mijit perjelangan tangan. Parmin lekas bangkit menuruti kata-kata Jarwo.
Dita terlentang sejarak 1.5 meter dari perapian. Pancaran perapian perlahan-lahan mengembalikan panas tubuhnya. Kesadaran Dita berangsur-angsur terbit kembali. Gadis itu bisa merasakan manisnya madu di bibirnya. Dita mengerang sesekali. Air matanya kembali menggenang di kelopak mata.
“bagaimana, Wo ? kita turun sekarang ?” Parmin menatap Jarwo.
“lima menit lagi, biat tubuh gadis itu hangat kembali,”
“kau yakin dia bisa selamat ?’ tanya Parmin
“ya. Aku yakin. Memangnya kenapa ?”
 “entahlah. Firasatku seperti membawa orang mati saja. Aku teringat tujuh tahun lalu saat menurunkan mayat dari Jurang Gede,”
Jarwo menatap Parmin seksama. Parmin geleng-geleng kepala.
“aku heran, apa yang ada di pikiran mereka. Memilih jauh dari kenyamanan. Dingin, jurang, binatang buas, tak jarang pendaki-pendaki ini malah mati. Aneh benar pikiran mereka itu,” Parmin mengusap muka keriputnya berkali-kali. Jarwo menelan ludah.
“kau bisa bayangkan keluarga gadis itu ?” ucap Parmin. “pasti sangat terpukul seandainya dia sampai mati,” lanjut Parmin, bersedih.
“ya .. ya .. harusnya mereka waspada. Kalau dikejauhan langit gelap, harusnya cepat- turun, jangan memaksakan diri ke atas,” sambung Jarwo
“tapi gunung kita ini lain dari yang lain, Wo. Kau ingat tujuh tahu lalu ? kawan kita banyak yang mati,”
“kalau itu lain, Min. Penguasa Gunung turut campur.”
“ah, aku tak percaya ada lelembut turut campur,” Parmin geleng-geleng kepala.
“tapi itulah yang terjadi. Kang Jiman sendiri yang bilang. Dia juga nyaris mati waktu itu ? andai saja .. ah,”
“dia cerita apa, Wo ?”
Pertanyaan Parmin membuat Jarwo menarik nafas dalam-dalam. Menelan ludah. Mencari kata-kata.
“kejadian tujuh tahun lalu sangat mengerikan. Kau tentu ingat berapa korbannya. Dua puluh orang terjebak di puncak gunung,” kenang Jarwo. ‘lima belas pendaki, sisanya penambang belerang termasuk Kang Jiman. Tujuh pendaki mati. Sisanya digotong turun gunung. Kejadian itu memaksa seluruh penambang dilibatkan menggotong para korban,” Jarwo bernafas panjang.
“bagaimana dengan penambang yang terjebak ? maksudku cerita misterius dari Kang Jiman,”
“Begini ..” Jarwo mengusap wajahnya, “kau tentu ingat korban dari kita dua orang. Satu mati karena tertimpa batu besar. Satu lagi mati tersambar petir,”
“ya – ya. Aku ingat,” sahut Parmin
“menurut Kang Jiman, sebenarnya tubuh kita sudah terlatih di gunung. Meskipun angin kencang datang, kita bisa bertahan dengan semua yang ada di hutan. Tapi waktu itu kondisinya lain. Sebenarnya mereka sudah diperingatkan jangan meneruskan perjalanan,”
“siapa yang memperingatkan, Wo ?”
“kalau kau tanya siapa yang memperingatkan, aku sendiri tak bisa menjawab. Kata Kang Jiman, yang memperingatkan bertampang kakek-kakek bertubuh kerempeng, berpunggung bongkok, berjenggot panjang semata kaki, membawa tongkat bambu sebesar kelingking. Dia mampu berjalan cepat dengan kondisi renta semacam itu,“
“hmmm ... aku pernah mendengar cerita semacam itu, tapi aku memilih tak percaya,” ujar Parmin, tercekat. “dimana mereka bertemu kakek itu ?”
“di Jurang Gede. Kakek itu melarang rombongan ke kawah. Tapi mereka memilih  menolak,”
“menolak ? kenapa ?”
“kata Kang Jiman, kawan kita yang mati itu terlilit utang. Keduanya kalah judi, jadi memaksa naik buat bayar,”
“aku masih tak percaya cerita ini. Puluhan tahun menambang, aku tak pernah melihat sosok yang aneh-aneh,” celetuk Narto
“Tak melihat bukan berati tak ada, To,” sahut Jarwo. Parmin manggut-manggut menguatkan.
“Kang Jiman sendiri yang melihatnya saat batu besar menggelinding menimpa almarhum Martono. Kakek itu cangkruk di dahan pohon. Dia seperti terbang,”
“ah, bisa saja Kang Jiman ngigau. Seperti orang takut, bayangannya suka macam-macam,” Narto menyeletuk lagi
“ kau ini, To !” protes Jarwo
“sudahlah. Jangan terlalu percaya takayul. Coba tanya semua orang disini, apa pernah emreka melihat kakek tua yang diceritakan Kang Jiman ? kau sendiri sudah pernah melihat ? “ ujar Narto terkesan menang.
“Ya, sudah belasan tahun disini, sudah bukan lagi hitungan hari, dan kita tidak pernah melihat yang aneh-aneh,” Parmin menguatkan
Sementara Jarwo diam. Antara percaya dan tidak percaya.
“takayul membuat otak kita mati. Yang penting kita hati-hati, jangan lupa berdoa,” Parmin menandaskan.
Siang terasa sunyi. Suara-suara serasa diterbangkan angin, tak diijinkan tinggal terlalu lama. Yang tersisa hanya desau-desau angin di pucuk cemara.
Sementara asap perapian berkepul-kepul lurus ke langit. Meninggalkan gubug-gubug yang porak-poranda. Nampak tujuh penambang mengumpulkan sisa-sisa gubug yang bisa diselamatkan, membakar yang tak bisa dimanfaatkan. Salah satu dari mereka mendekati Jarwo, Narto, dan Jiman.
“bagaimana, Wo ? apa kita turun sekarang ?” ujarnya sambil membetulkan sarung tangan
:ya, kita berangkat sekarang. Berapa orang ?” tanya Jarwo.
“dua belas turun, sisanya naik.“

“baiklah.” Jarwo manggut-manggut.

Posting Komentar

 
Top