0

Dini hari memantik hawa dingin yang beku. Bulir-bulir keringat mengaliri keempat penambang belerang nekat itu. Ya. Mereka memang nekat. Mereka perintis terbukanya medan pendakian setelah tertutupi material longsoran akibat amukan badai. Penambang belerang lain pasti sangat berterima kasih dengan upaya mereka. Dan sudah menjadi kebiasaan bagi mereka yang berjasa membersihkan jalur pendakian –akan disambut pada saat turun gunung dengan perayaan seadanya ; makan-makan, bahkan tak jarang diantara mereka yang mahir berburu menyiapkan panggangan daging rusa.
Jiman, Parmin, Jarwo, dan Narto, mendaki kian tinggi. Jam menunjuk pukul 2 dini hari. Bintang-bintang di langit berpendar sempurna. Akan tetapi di sekeliling mereka, ketinggian daratan yang mendekati 2900 meter di atas permukaan laut –menghadirkan gumpalan-gumpalan kabut pekat. Jarak pandang yang tersisa tak lebih dari 20 meter.
Jiman yang paling berumur berupaya mengatur irama pendakian. Perjuangan menembus medan yang penuh rintangan membuat sebagian besar tenanganya terkuras. Jiman memilih beristirahat menghela nafas, sementara di sampingnya –Jarwo menyandarkan punggung di sebuah batu besar. Jemari tangan Jarwo memijat-mijat pangkal lengannya yang terasa mau copot  seusai menebas dahan berkali-kali. Narto dan Parmin tersenyum-senyum melihat polah Jarwo.
“tak apa-apa tanganmu ?”  tanya Parmin, dengan dada naik turun mengatur nafas.
“pasti ngilu tangannya, Min. Lenganku saja mau lepas rasanya,” Narto malah menimpal.
“gendeng ! banyak sekali pohon roboh,” Jarwo geleng-geleng kepala.
“badai kemarin sore memang memang luar biasa, Wo,” celetuk Jiman. “badai kali ini sama persis badai tujuh tahun lalu. Aku ingat benar, saat itu jalan ke kawah tak bisa dilewati selama seminggu,”
“tujuh tahun lalu –bukannya yang banyak pendaki mati itu, Kang ?” Parmin mengernyit
“ya .. ya .. betul. Banyak pendaki mati saat itu. Badai campur petir di bulan desember,”
Narto dan Parmin saling berpandangan mendengar jawaban Jiman.
“seringkali anak-anak muda itu nekat, Kang,” Jarwo menimpal
“bukan hanya nekat, Wo. Mereka salah perhitungan. Pegunungan Arjuno-Welirang ini susah ditebak. Pagi cerah, eh –sorenya bisa saja hujan petir. Persis kejadian tadi sore,” ucap Jiman, memijit-mijit betisnya. “kalangan kita yang beratus kali naik-turun gunung, eh –kadang-kadang bisa tersesat. Apalagi mereka yang baru kemarin sore,” Jiman geleng-geleng kepala. “bukannya kemarin siang kalian lihat segelintir pendaki ? kemana mereka ? sudah turun gunung ?”
Tiba-tiba pertanyaan Jiman menyadarkan ketiga penambang lain.
“”ah –iya –ya,”, “betul, Kang,”,
“aku tahu persis mereka naik ke atas, Kang. Pas kita baru nyampe di pondok penambang. Malah aku lihat salah satunya perempuan. Dia lewat tak jauh dari pondokku,”
“wadhuhh !! gawatt !! semoga tak apa-apa. Badai tadi sore tak main-main. Kalau sampai gagal menghindar .. Dhuhh !” Jiman menepuk jidatnya, lantas geleng-geleng.
Fajar di langit timur merekah. Prosesi pendakian yang dilakukan keempat penambang belerang itu belum menampakkan hasil. Setelah empat jam bergerak menuju kawah, mereka terhenti di tekukan-tekukan lembah yang memiliki pinus-pinus berukuran raksasa. Di tempat itu pinus-pinus berukuran besar tumbang saling tindih. Medan yang licin, longsoran-longsoran yang menggunduk, ah –mereka terpaksa mengakui kedahsyatan badai kemarin sore. Kemampuan mereka bertahun-tahun  menembus medan belantara tak banyak membantu.

***

Posting Komentar

 
Top