0

Desa Gemaharja dikelilingi bukit-bukit tandus. Tanah kering kerontang. Berhawa panas. Penuh debu-debu dan pasir. Hampir tidak ada tetumbuhan yang bisa hidup di desa itu. Hanya semak-semak berduri, kaktus, dan perdu-perdu berkayu keras. Kondisi demikian menyebabkan penduduk Gemaharja serba kekurangan. Mereka kurang makan, kurang minum, hampir-hampir mereka meninggalkan desanya untuk pindah ke tempat yang lebih subur. Namun mereka sangat mencintai desa Gemaharja. Mereka tidak ingin menyerah kepada kerasnya alam. Hingga di dalam doa yang mereka kumandangkan,
"Tuhan, berikan kami kelapangan. Kami berjanji menjadi manusia yang baik, yang dermawan, andai saja Engkau, Tuhan, mengangkat semua penderitaan yang kami rasakan. Tidak ada cobaan yang lebih berat selain kekurangan ini, Tuhan. Andai saja Kau beri kami kekayaan, tentu mudah sekali bagi kami menjadi orang baik. Menjadi orang miskin itu hal paling tidak mengenakkan, Tuhan. Maka, ubahlah semua kekurangan di desa ini menjadi kelebihan," demikian doa yang dipimpin Pemuka Kampung diamini seluruh penduduk Gemaharja.
Ajaib. Tuhan menjawab doa yang tulus ikhlas itu. Keesokan hari, di depan pintu rumah masing-masing, para penduduk menemukan sebiji kenari berwarna merah tembaga.
"ahai Penduduk sekalian !! Tuhan menjawab doa kita !! kenari ini pasti kenari surga yang dibawa malaikat kesuburan. Mari segera ditanam agar kelaparan segera sirna !!"
Himbauan Pemuka Kampung serta merta diikuti seluruh penduduk Gemaharja. Mereka menanam kenari ajaib di pelataran rumah.
Benar sekali dugaan Pemuka kampung. Biji kenari keemasan itu memang kenari ajaib dari surga. Biji kenari yang mampu tumbuh di tanah tandus. Biji kenari yang mambu menjulurkan akarnya ke dalam batu sekali pun. Bahkan, yang lebih mengherankan, biji kenari itu mampu tumbuh setinggi lima meter dalam semalam. Sekalian keesokan hari pohon kenari itu lekas mengeluarkan buah dengan warna merah tembaga.

Seluruh penduduk berpesta pora dengan panen raya kenari. Beratus-ratus karung dikumpulkan dan dijual ke kota. Sontak dalam sehari, penduduk kampung berputar nasib. Mereka panen uang. Dan uang yang mereka dapatkan mampu menghapus kemiskinan yang bertahun-tahun mereka rasakan.
Sementara hari terus berjalan. Matahari datang, rembulan pergi. Kenari yang mereka tanam terus tumbuh tinggi, menghasilkan biji kenari yang semakin melimpah. Ajaib. Benar-benar ajaib. Kenari-kenari yang dikirim ke kota digemari seluruh penduduk kota. Mereka rela berebut demi mendapatkan sebiji kenari yang awalnya diturunkan dari surge itu. Mereka tahu, kenari-kenari ini bukan kenari biasa. Bahkan ada penduduk yang sakit parah, seketika bisa sembuh dengan memakan kenari barang sebiji.
Lonjakan permintaan dari penduduk kota membuat penduduk Gemaharja kebingungan. Mereka tahu kenari ini hanya ada satu di dunia, dan mereka ingin memanen lebih banyak lagi buah kenari. Maka, penduduk Gemaharja mencoba menanam biji kenari hasil panenan. Tapi ternyata biji kenari itu gagal tumbuh. Biji kenari hasil panenan seperti tidak memiliki ruh kehidupan. Biji kenari itu lebih mirip batu kerikil daripada sebiji kenari. Hingga pada akhirnya, penduduk Gemaharja mulai mengerti, pohon kenari yang mereka miliki teramat berharga.
"jaga baik-baik pohon kenari kalian. Sebentar lagi kenari kita akan berbuah emas !! Ya !! Pohon kenari kita adalah pohon emas !!" demikian pesan Pemuka Kampung.
Benarlah perkiraan Pemuka Kampung yang bijaksana itu. Permintaan penduduk kota yang kian tinggi membuat harga kenari melambung setinggi-tingginya. Harga kenari nyaris melebihi harga emas berlian.
Ketika itulah penduduk Gemaharja berpesta pora. Harta yang mereka dapatkan mampu mengubah Desa Gemaharja menjadi desa yang gemah ripah loh jinawi. Mereka mampu memindah air dari gunung dengan uang yang mereka miliki. Mereka membeli tanah humus dari desa lain, dan lantas menimbunnya di pelataran halaman. Bunga-bunga cantik tumbuh. Rumah-rumah mereka berganti mirip istana. 
Sampai suatu malam, petaka datang.
Seluruh pohon kenari di Gemaharja berhenti berbuah. Ya. Kenari itu benar-benar berhenti berbuah. Tidak ada lagi buah kenari bersisa di ranting-ranting dan cabang pohon. Penduduk Gemaharja kebingungan. Mereka merasa seperti kehilangan matahari. Sementara itu permintaan kenari semakin banyak. Harga kenari melambung setinggi-tingginya –jauh melebihi harga intan berlian.
Hampir seminggu lamanya pohon kenari di desa Gemaharja berhenti berbuah. Penduduk Gemaharja tak bisa berbuat apa-apa selain menanti. Beberapa di antara mereka menanti hingga bermalam di bawah pohon yang mereka cintai itu. Sampai suatu pagi, tepat ketika matahari terbit di langit timur, penduduk yang tertidur di bawah pohon terbelalak menyaksikan kemilau kemerahan di ranting-ranting dan cabang-cabang pohon kenari.
"kenari kita berbuah lagiii .. Kenari kita berbuah lagiii .. Buahnya jauh lebih besar !! Jauh lebih lebat !!! Horee !! Horee !! Horee !!"
Penduduk Gemaharja berpesta pora. Mereka menari, berjoged, lompat-lompat berjumpalitan. Segera mereka memanen kenari dan mengumpulkannya ke dalam karung.
Hidup kembali bergairah di desa Gemaharja. Matahari berasa lebih cerah. Hari itu, ketika seluruh penduduk tengah bersibuk memanen kenari, tiba-tiba muncul bocah dekil berjalan lunglai memasuki gerbang kampung. Bola matanya cekung. Bibirnya kering pecah-pecah. Kulitnya mengelupas tersengat matahari. Bocah itu menenteng gantang berkarat di tangan kanan.
"tolong, ulurkan kepada saya kedermawanan. Berikan saya segantang kenari, saya butuh kenari itu untuk menyembuhkan nenek saya," kata bocah itu dengan nada memohon.
"kenariku belum kuhitung jumlahnya, Nak. Cobalah ke rumah sebelah, barangkali kau akan mendapatkan lebih dari segantang. Soalnya kenariku ini sudah dipesan orang-orang kota." jawab pemilik rumah, beralasan.
Bocah itu kemudian berjalan lagi dari rumah ke rumah meminta buah kenari, tetapi tidak satu pun penduduk yang memberinya kenari. Semua penduduk memiliki alasan beragam. Sampai kemudian yang terakhir, bocah itu mendatangi rumah Pemuka Kampung.
"Pak, tolong beri saya segantang kenari. Saya butuh kenari untuk menyembuhkan penyakit nenek saya." kata bocah itu, membungkuk dan memohon.
"hehehe .. Begini, Nak. Kenari ini sedang mahal-mahalnya. Apa kau tahu jika sebiji kenari ini bisa membeli rumahmu ?" ujar Pemuka Kampung berseloroh, "andai saja kau datang kepada kami sebulan lalu, tentu aku akan memberikan satu karung sekaligus. Tapi kalo untuk panen kali ini .. sepertinya .. jangan dulu .. " ujar Pemuka kampung dengan wajah yang berat, “tapi … aku punya jalan keluar. Cobalah datang kemari masa  panen yang berikutnya. Aku akan memberimu empat gantang.“ sambung Pemuka Kampung, pura-pura bersimpati.
Hancurlah perasaan bocah malang itu. Air mata meleleh di kelopak mata. Bayangan neneknya yang tergolek tak berdaya –terpampang jelas. Lelehan air mata bocah itu terlihat Pemuka Kampung.
"ah, sudah-sudah. Jangan menangis. Aku akan memberimu kenari," ujar Pemuka kampung gusar. Dia ingin bocah di depannya cepat-cepat pergi daripada menghabiskan waktu kerjanya.
"hehe .. Ini, kuberi kenari. Tegakkan gantangmu." ujar Pemuka Kampung sambil mengulurkan tangan ke arah gantang. Dia menjatuhkan sebutir kenari berwarna hangus kehitaman ke dalam gantang. Kenari yang ia anggap tidak layak dikirim ke kota.
 "saya .. Saya butuh satu gantang, Pak. Bukan sebutir," ucap si bocah dekil. Permintaan bocah itu membuat Pemuka kampung geleng-geleng kepala.
"Kau ini  tidak tahu diuntung. Betul-betul terlalu. Kalau kau ingin punya segantang. Tanam biji ini di rumahmu ! Sekarang cepat pergi ! Jangan kau ganggu aku ! Aku masih sibuk memanen kenari !"
Kata-kata Pemuka kampung membuat sang bocah ketakutan. Dia lekas pergi meninggalkan Pemuka kampung yang bersungut-sungut. Tapi dia ingin menuruti kata-kata Pemuka Kampung.
“aduh .. dimana akan kutanam kenari ini ..” gumam si Bocah. Dia tahu kenari ajaib tidak akan tumbuh selain di kampung Gemaharja.
Dengan gundah, bocah itu melangkah mondar-mandir. Hingga setelah mencari kesana-kemari lokasi penanaman,  bocah itu berhenti tepat di tengah kampung.
“ah, disini rupanya,” gumamnya sambil tersenyum.
Bocah itu kemudian berjongkok, menggaruk tanah. Dia menaruh biji kenari setelah kedalaman galian mencapai sejengkal.
“tumbuhlah secepat mungkin, wahai biji kenari. Tumbuhlah menjadi pohon yang paling lebat.” ucap si Bocah sambil berkali-kali menabur tanah di atas lubang.
Mendadak desa Gemaharja bergetar kuat mirip gempa bumi. Getaran itu terjadi akibat biji kenari yang ditanam tumbuh teramat cepat. Akarnya menjalar menghujam tanah, pohonnya menjulang tinggi, seratus kali lebih tinggi dari pohon-pohon kenari milik penduduk Gemaharja. Cabang dan dahannya merimbun. Memayungi seluruh wilayah desa Gemaharja tanpa terkecuali.
“wah ! pohon milik siapa itu ? pohon milik siapa ?” teriak penduduk kampung, terperangah. Mereka berlari menuju pangkal pohon.
Buah-buah kenari yang mengkilap kemerahan seperti tembaga lekas bermunculan di ranting-ranting. Buah-buah itu kemudian mulai berjatuhan.
 “terima kasih, Tuhan. Aku butuh segantang untuk nenekku.” ujar si Bocah dengan gembira. Dia kemudian berjongkok, mengambil buah kenari di atas tanah dan memenuhi gantang miliknya.  
“Syukurlah .. penuh sudah.” Senyum bocah itu tersungging menyaksikan gantangnya telah penuh. Dia kemudian melangkah pergi meninggalkan pohon yang dia tanam.
Seluruh penduduk Gemaharja terheran-heran memandangi kebesaran pohon kenari. Mereka terperangah sambil membayangkan jumlah buah yang dihasilkan. Mereka tak peduli dengan kepergian bocah dekil yang telah menghadirkan kenari raksasa di tengah Germaharja.
Matahari terus merangkak naik –menuju langit tertinggi. Hingga tepat ketika sang surya berada di atas kepala, langkah kaki sang bocah telah sampai di perbatasan desa Gemaharja. Maka ketika itu buah-buah kenari yang bertengger di dahan dan cabang-cabang –berubah warna menjadi kusam kehitaman. Buah-buah itu kemudian terlepas dan runtuh.
Penduduk Gemaharja yang berada di bawah pohon tak menyangka buah-buah kenari runtuh bersamaan. Biji-biji kenari yang runtuh menghujani mereka hingga berasa seperti kena ketapel.
“lari !!! lari !!! hujan kenarii !!”.
“aduh ! aduh !! sakit sekali !!”, teriak penduduk sambil lari lintang pukang. Mereka cepat menyingkir namun, juluran dahan-dahan yang menangkup seluruh kawasan desa menghujani mereka dengan buah kenari.
Buah kenari yang rontok bersamaan serasa tak ada habis-habisnya. Penduduk Gemaharja berhasil meloloskan diri setelah keluar dari kampung.
“aduh .. bagaimana ini .. bagaimana ini .. kok bisa begini ..” sesal mereka, memandangi kampung yang porak-poranda tertimbun biji kenari.
Genting-genting pecah. Semakin lama biji-biji kenari menggunung, menutupi rumah beserta pelataran.
“haduhh .. musnah sudah .. musnah semuanya ..” Pemuka kampung menangis, wajahnya pucat pasi.
“tapi .. tapi .. kita kan bisa menjual kenari-kenari itu ? bukankah kita jadi lebih kaya dari sekarang ?” ujar penduduk kampung.
“entahlah .. entahlah .. aku tidak tahu,” Pemuka Kampung geleng-geleng kepala.

Tidak ada yang mengerti dari mana bocah asing itu berasal. Tidak ada yang tahu kemana bocah itu pergi. Hingga tepat menjelang sinar matahari tenggelam di langit barat, kampung Gemaharja terkubur di dalam tumpukan kenari. Ada di antara mereka yang berharap tumpukan kenari bisa dikarungi dan dikirim ke kota, tetapi, kali ini Tuhan berkehendak lain. Keesokan hari tumpukan buah kenari membusuk. Pohon terbesar layu, mengering, dan tumbang dalam sehari.

Bangil- Surabaya,
2 September 2014

Emil WE

Posting Komentar

 
Top