0

Tepian Danau Ranukumbolo, 2040 M dpl.
17 Agustus
10.00  Wib

Dari kejauhan nampak sosok perempuan yang berjalan mendekat melintasi pinggiran danau. Wajahnya terlihat lelah, namun senyum manisnya terus mengembang. 

“bagaimana  ..  ”
“cantik sekali, Tante . . huhhh capek juga,” nafas Granada terburu, dan kini ia merebahkan diri di atas matras –tepat di samping pohon tumbang yang tercelup pucuknya ke dalam danau.
“lima puluh lima menit, kan ?”
“ya, Tante . . hampir satu jam mengelilinginya”

“di atas dahan biasanya banyak tumbuh anggrek,”
“banyak, Tante. Warnanya merah darah. Bentuknya daunnya kecil-kecil, tangkainya juga tak panjang,”
“ah itu ..  apa sih ... aku lupa namanya,“ perempuan itu berusaha mengingat.
“ah lupa ..  kalau si Amalia pasti tahu tiap jenis anggrek,” perempuan itu berbicara tanpa sadar.
“Amalia ? Amalia siapa, Tante ?”
“loh kamu nggak kenal ?! dia di Keprabuan juga, jurusan Pemuliaan Tanaman. Kawan akrab si Gondrong,”

kawan akrab ?!! perasaan Andro nggak pernah cerita,
Granada bertanya dalam hati. Wajah cantiknya menyirat cemburu.

Kabut-kabut terpencar membelai lembah dan bebukitan. Sementara pucuk cemara bergoyang pelan tertiup angin. Permukaan danau berlinang-linang ke tepian.

Granada kini termenung sendirian, tatap matanya terpaku menatap lingkar Danau Ranukumbolo. Ia heran mengapa di hatinya terbit rasa cemburu, seolah seketika muncul perasaan tak nyaman ketika nama Amalia disebut.

“Gondrong tadi kemana, Granada ?” perempuan paruh baya membuyarkan pertanyaan hati Granada
“dia ngumpul dengan pendaki di Tanjakan Cinta,”
“oh gitu . . adik kamu mungkin sudah sampai di Arcopodo sekarang”
“jam berapa mereka nyampe di sini, Tante ?”
“mungkin sekitar jam tiga sore..  semoga saja,”, perempuan paruh baya itu melempar senyum.

Sementara tak jauh dari  tempat Granada, seorang lelaki paruh baya berambut gondrong -merenung sendirian di atas pohon tumbang yang ujungnya tercelup ke dalam danau. Wajahnya nampak kumal, kulitnya hitam, kumis dan jenggotnya tumbuh liar tak terurus. Ia duduk diam sambil sesekali menorehkan kata-kata di atas kertas putih yang lusuh. Dan tepat di samping kakinya, sebuah gitar akustik rebah bersandar di atas kayu yang didudukinya. Dari gambaran itu semua, ia lebih mirip pendaki gunung yang kesepian.  

“pendaki dari mana, Tante ?”
“Entahlah, pas ngobrol tadi aku tak sempat bertanya. Tapi dia sedang dalam perjalanan keliling Indonesia,”
“wah hebat juga,” Granada sekilas kagum.
“biasanya mereka tipe manusia yang selalu gelisah, selalu resah,”

“dia nggak pergi ke puncak, Tante ?”
“nggak, katanya sih  .. dia kemari cuma untuk bernostalgia mengingat masa mudanya,”

Granada tersenyum tak percaya. Pandang matanya terpaku menatap lelaki paruh baya yang masih berdiam diri di atas kayu. Hingga dari kejauhan sosok pemuda berambut gondrong berjalan mendekat dengan langkah yang cepat.

“Mama, tadi malam ada kecelakaan gunung,” Andro datang dengan mimik muka serius.
“kecelakaan ?!!” Granada terkejut 
“pendaki dari mana, An ?!!”,
Mama dan Granada merespon hampir bersamaan. Kekhawatiran timbul karena  rombongan Zweta tadi malam mendaki menuju puncak.

“mereka pendaki dari Jogja, ditemukan tersesat di puncak pasir,”
“ya Tuhan,” Granada memekik pelan. Sementara perempuan paruh baya berusaha mengontak putrinya lewat HT. Namun sejak kemarin ia tak mampu menghubungi Zweta.

“HT ini sepertinya rusak, An. Mungkin karena terhimpit,” Mama sedikit kesal.
“survivor sudah diturunkan ?” ia lanjut bertanya dengan mimik serius.

“masih dalam perjalanan, Ma. Evakuasi tadi malam berhenti sampai Arcopodo karena dihadang kabut dan angin kencang,”

“ya, Tuhan,” Granada cemas
“sebentar lagi pasti sampai disini,” Andro menimpali pelan.


Dan ilalang-ilalang di padang Oro-oro Ombo menari pelan. Tiupan angin yang menghembus dari puncak bukit perlahan turun membangunkan seluruh penghuni padang luas.
  
Sementara iringan tandu tim SAR membawa dua buah tandu darurat. Tandu itu cepat melesat mengikuti langkah kaki yang sigap. Dan di bawah terik matahari yang makin tinggi, para porter bergantian memikul tandu.

Mereka melintasi padang ilalang dengan cepat. dan mereka mengambil rute memutar agar tak kuwalahan saat mendaki tanjakan. Kaki-kaki porter yang kukuh membuat proses evakuasi berjalan cepat. Dan setelah melintasi Padang Oro-oro Ombo, mereka mulai meluncur menuruni Tanjakan Cinta.

Melihat iring-iringan tandu evakuasi yang menuruni tanjakan, beberapa pendaki di Ranukumbolo berlari menyongsong. Mereka membantu dan bergantian menyokong tandu yang tertatih-tatih menuruni tanjakan.

“awas-awas ! hati-hati !”, terdengar teriakan berulang-ulang. Mereka melangkah sigap berhati-hati.

Sementara ratusan pendaki di sekitar shelter Ranukumbolo seraya berduka. Sinar mata perlahan meredup tatkala menyaksikan dua tubuh terbungkus rapat sleeping bag. Luka yang mereka rasakan menganga teramat dalam.

Hingga dari sisi timur Ranukumbolo, sosok lelaki paruh baya berlari cepat melompati pepohonan tumbang di tepi danau. Dia adalah lelaki yang mendirikan tenda jauh menyendiri dari komunitas pendaki lain. Nafasnya terburu, punggungnya bergerak cepat naik turun. Namun lelaki itu tak peduli dan terus berlari walau sesekali sangkutan batang ranting membuat tubuhnya terhuyung.

Setiba di deretan tenda yang tak jauh dari Tanjakan Cinta, lelaki itu tak lagi berlari. Namun wajahnya kian tegang, ia melangkah cepat.

“ada apa ! ada apa !” lelaki itu bertanya kepada pendaki terdekat. Dengus nafasnya berlomba dengan suara. Kalimatnya tergagap, wajahnya dipenuhi kecemasan.
“ada kecelakaan pendakian, Pak. Pendaki dari Jogja,” 
“ya, Allah .. pendaki dari Jogja !!” ia terpekik.

Lelaki itu segera berlari menyongsong iringan tandu yang hampir sampai di tepi Danau. Ia berlari kencang melintasi deretan tenda yang berjajar memanjang. Dan tatkala iringan tandu tak jauh lagi sekitar lima puluh meter, pijak kakinya terpeleset hingga tubuhnya terpelanting jatuh tersungkur. Tubuhnya mendebum, tangannya menggapai-gapai pasrah, beberapa pendaki menolongnya bangkit, namun lelaki itu tak mempedulikan wajah dan tubuhnya yang kotor tak karuan.  

“Pak !! Pak !!, apa .. apa mereka dari Jogja ?” kecemasan lelaki itu memuncak. Ia mendekat ingin membuka resleting sleeping bag yang menutupi sebagian wajah survivor. 

“ya, Pak. Mereka pendaki dari Jogja. Salah satunya diidentifikasi bernama Fona Mevina,” seorang Ranger berkata sedih, wajahnya bernaung mendung.

“ya, Allah,  itu anak saya, Pak !!”, lelaki paruh baya menjatuhkan lutut di samping tubuh Fona, Ia berusaha melihat wajah putri semata wayangnya. Ditariknya resleting sleeping bag, dan ia pun menyaksikan paras putrinya yang memucat. Telapak tangannya lembut membelai pipi Fona, ia pun menangis tersedu-sedu.


“dan satunya lagi bernama Rahadian, Pak” seorang Ranger menyentuh pelan pundak lelaki paruh baya itu. 
“itu keponakan saya, Pak. Bagaimana kondisi mereka ?” lelaki itu menyeka air mata, ia berjuang membendung emosi.
“tadi malam Fona sempat kritis. Namun berangsur-angsur membaik setelah dirawat di Arcopodo. Sekarang ini dia tertidur,”

“Kalau Rahadian ..fisiknya memburuk sejak diturunkan dari atas. Perutnya tak mampu mencerna,”

“ya Allaaah,” lelaki itu berseloroh panjang. Lagi-lagi emosinya terpecah.

Danau Ranukumbolo kali ini menjadi saksi sedih. Kabut-kabut seakan berubah menjadi mendung, angin yang meniupi pucuk cemara melantunkan tembang duka. Makin syahdu, makin sepi, siulannya yang panjang memuramkan jiwa.

Lelaki paruh baya kemudian membuka resleting sleeping bag keponakannya, dan ia tak kuasa membendung duka menyaksikan wajah beku keponakannya. 

“ya, Allah. Selamatkan mereka,” lelaki itu berteriak mengadu. Punggungnya berguncang kuat.

“Pak, boleh saya memeriksanya,” tiba-tiba sosok perempuan ayu duduk menumpukan lutut di sebelahnya. Namun lelaki itu masih memandang Granada tak mengerti. Ia kehilangan kesadaran.

“saya seorang dokter, Pak,” perempuan itu berkata pelan.

“tolonglah mereka, Anakku. Aku mohon dengan sangat. Tolonglah,” lelaki itu seketika memanggil Granada dengan sebutan Anakku. Di depannya seolah muncul sosok malaikat penolong. Ia mengiba memohon pertolongan.


“tenanglah, Pak. Berdoalah . . semoga mereka baik-baik saja,” tiba-tiba pundak kanannya disentuh lembut dari belakang. Lelaki itu spontan menoleh.

“Ya, Allah,” lelaki itu menjerit kuat dalam hati. Dadanya serasa sesak. Ia tertunduk kehilangan seluruh tenaga. 
“ampuni aku ya Allah ... ampuni aku,” lelaki terus berteriak dalam hati sementara kedua lututnya masih tertumpu di atas tanah.

“berdoalah, Pak.” tangan perempuan paruh baya itu pelan membimbingnya bangkit. Ia berusaha tegar.

Granada segera memberikan pertolongan sebisanya. Ia memeriksa denyut nadi dan beberapa bagian tubuh. Sesekali wajahnya menegang.

“An, ambilkan tasku di tenda,” Granada setengah berteriak. Dan Andro pun segera berlari menuju tenda dome.
“lelaki ini banyak kehilangan cairan, Pak” Granada cemas.
“seluruh makanan dan minuman dimuntahkannya,” Ranger disampingnya menjawab bimbang. Wajahnya pun cemas. Dalam kondisi darurat seperti ini ia sangat membutuhkan tenaga medis.

Andro segera datang membawa tas Granada. Dan kini perempuan itu segera membuka perlengkapan daruratnya.

“kamu kesini bawa ini ?” Andro terheran dengan kotak medis yang dibawa Granada.
“ya. kebiasaan waktu memantau aksi mogok makan,” Granada tersenyum sekilas.

Dan kini tangan-tangannya lincah memberikan perawatan medis. Ia melakukannya dengan cekatan. Tanpa ragu, tanpa pula rasa gamang.

Dan seekor elang bido- Spilornis cheela  terbang berputar-putar di langit Ranukumbolo. Sayapnya terkepak bebas bagai sang raja angkasa merajai langit tanpa tandingan. Bulu-bulunya terkembang bebas, sesekali suaranya berkoak-serak memecah keheningan langit. 

“maafkan saya .. maafkan saya ..” lelaki itu berseloroh mengiba
“berdoalah, Pak. Semoga mereka baik-baik saja,” perempuan di sampingnya terus menenangkan.
“maafkan saya, Bu. Maafkan saya,” lelaki itu mengucapkan kalimatnya terulang-ulang. Wajahnya mengiba menampakkan penyesalan yang sangat. Seolah saja rasa sesalnya tinggi menjulang bagai tegaknya gunung.

Namun perempuan paruh baya itu tak mengerti. Kesadarannya menangkap kerapuhan lelaki itu ketika menjumpai putri dan keponakannya terbaring tak berdaya. Lelaki itu terluka sangat dalam.

Sementara kabut-kabut yang berjalan rendah mulai terpencar angin. Dan tujuh ekor burung berlibis berenang tenang di tengah danau. Sesekali sekawanan binatang itu mencelupkan kepala dan kemudian mengibaskan bulunya dengan cepat.

Tak lama kemudian Granada berjalan mendekat. Dan setiba di shelter Ranukumbolo, tangannya bergerak melepas topi rajutan yang melekat di kepalanya.

“Pak, semoga mereka baik-bak saja,” Granadamenampakkan simpati
“terima kasih Anakku, terima kasih ..  Bapak tak bisa membalas apa-apa,” wajah lelaki itu tulus berucap terima kasih sambil memandangi Granada dengan seksama.

“apakah dia putri ibu ?” suara lelaki itu bergetar.
“Oh. Ini Granada, Pak. Kawan anak saya,” Mama Andro menyentuh lembut lengan Granada.
“Granada..”, lelaki itu menunduk lagi sebentar, ia kemudian memandangi Granada dengan seksama.
“kalau anak ibu ?”
“yang gondrong itu anak saya ..”
“dan satunya lagi masih dalam perjalanan dari puncak,”
“perempuan ? ” lelaki itu menandaskan.
“ya, perempuan. Namanya Zweta,” 

ya Tuhan ..  anak kecil itu, Kelopak matanya berembun air mata. Nafasnya terasa sesak.

“Pak, Tim evakuasi segera turun,” terdengar teriakan Ranger dari seberang. Dan kini lelaki itu bergegas bangkit. Ia hampir menguasai emosi sepenuhnya, dan kini ia melangkah dengan tegar.

“Perlengkapan pendakian milik Bapak biar dikemasi dan dibawa turun Porter,” seorang Ranger berkata pelan saat lelaki itu mendekati tandu.

“ya, Pak. tenda berwarna merah itu. Yang sendirian,” lelaki itu menunjuk tenda di ujung jauh.

“oke semua ! kita berangkat !”, pimpinan Tim SAR berteriak memberikan aba-aba.

Iringan tandu perlahan-lahan bergerak. Langkah kaki porter nampak sigap menapak, hingga tak lama kemudian mereka  berjalan cepat menyusuri jalan setapak di tepi danau.

Granada dan perempuan paruh baya bangkit dari duduk, mereka melepas iringan tandu yang perlahan-lahan bergerak menjauh. Wajah mereka bersedih,  terutama saat menyaksikan raut muka lelaki paruh baya yang kini berjalan mendekati mereka berdua. Wajahnya tertekuk, sesekali menunduk. Dan setiba di depan mereka, lelaki itu menarik nafas dalam-dalam.

“Tabah ya, Pak,” Granada tak sampai hati menyaksikannya.
“terima kasih, Anakku.” lelaki itu memandang Granada tulus. Sementara Granada membalas dengan mengangguk pelan.
“dan ..sekali lagi saya mohon maaf atas kesalahan saya, Bu,” ucapan lelaki itu disertai wajah tertukik.
“Bapak tak bersalah .. sekarang yang penting mereka berdua harus segera mendapat pertolongan medis di bawah,” perempuan paruh baya itu menjawab sebisanya. Ia tak mengerti kenapa lelaki itu terus menerus memohon maaf.

“saya pamit dulu,” lelaki itu  menarik nafas dalam-dalam. Dan setelah itu, ia berlari cepat menyusul iringan tandu evakuasi.

Tatap mata Granada terpaku mengikuti langkah lelaki itu. Ia tak bisa membayangkan kesedihan seorang ayah saat menyaksikan kondisi putrinya yang memprihatinkan. 

“sudahlah . . semoga mereka baik-baik saja,” sentuhan lembut di lengan kanan membuat Granada tersadar.
“semoga, Tante.” Granada menjawab sedih. Namun kemudian, ia teringat sebuah benda yang sempat dilihatnya saat memberikan pertolongan.

“tadi saya melihat kain bertuliskan nama Zweta,”
“kamu melihatnya dimana ?”, wajah perempuan paruh baya itu seketika cemas
 “di tandu, Tante.  Saat memeriksa Fona”
“Iya, Ma. Aku tadi melihat  triangular bandage miliknya,” tiba-tiba Andro telah berdiri tak jauh. 
“kenapa bisa disitu, An ?”
“kata seorang Ranger, dia yang pertama kali tiba di lokasi dan menolong mereka,”
“mereka ditemukan dimana, An ?”
“mereka tersesat di puncak pasir, jauh menyimpang ke arah kiri,”
“ya Tuhan, daerah itu kan berbahaya sekali, An”
“ya, Ma. Dan dia nekat menerobos sendirian”
“sekarang ini posisi adikmu sampai dimana ?” cepat-cepat perempuan itu bertanya.
“mereka hampir sampai di Kalimati, tadi aku sempat meminjam HT Ranger untuk menghubunginya,”
“syukurlah,“ perempuan berujar sambil melihat jam tangan.
“masih empat jam lagi. Sekitar jam setengah empat sore mereka tiba disini,” perempuan itu masih terkejut mendengar cerita tentang putrinya.

Sementara di Padang Kalimati, langkah kaki Emma, Audrey, Rania, dan Zweta semakin pelan. Mereka berjalan gontai meninggalkan Arcopodo. Wajah dan baju mereka kotor berhias debu. 

“kita harus beristirahat dan mengisi perut,” Audrey tak kuat lagi. Ia mengerih kesakitan.
“iya nih Drey, aku laperrrrr ...buangettt,” Emma menyahut cepat. Langkah kakinya  berada di puncak lelah.

Akhirnya di bawah kerindangan cemara mereka berhenti melepas lelah. Mereka berselonjor kali sambil mengeluarkan logistik pendakian. Rania mengeluarkan kompor gas, sementara sisa-sisa air mineral yang mereka miliki nyaris habis.

“Drey, kita ke mata-air mengisi perbekalan,“
“sepuluh menit lagi, Ta. Beri waktu meluruskan kaki dan punggung,” Audrey merebahkan punggung di atas matras. 

Sementara padang Kalimati beserta pepohonan Edelweiss- Anaphalis Longifolia menyapa para pendaki yang kelelahan setelah menaklukkan Mahameru. Deretan pendaki yang turun gunung menyungging senyum puas beserta tautan lelah yang panjang. Dan padangKalimati seakan membasuh jiwa mereka, memanja tubuh yang letih dengan tiupan angin gunung yang menggemerisik pucuk-pucuk pepohonan.

***
Tepian Danau Ranukumbolo, 2040 M dpl.
17 Agustus
17.00  Wib

Emma duduk termangu di atas pohon cemara tumbang. Merangkum tiap makna sekaligus membuka lembar-lembar peristiwa. Hingga setelah jejak demi jejak tapak kakinya tertinggal di medan pendakian, ia masih tak percaya telah berhasil menjejakkan kaki di puncak tertinggi, atap tanah Jawa.

Sekitar jam 15.26, mereka berempat tiba di Ranukumbolo. Betapa danau indah itu melengkapi ketakjubannya hari ini. Dan ketika mengingat linang danau dari puncak Tanjakan Cinta, betapa lelah yang menaut musnah sudah, semua penat seakan pupus terbayarkan. 

Sementara detik ini bayangan bulan yang jatuh di atas danau bergoyang pelan. Danau itu juga mencerminkan langit malam hingga nampak jutaan titik kecil berkilau-kilau di atas air. Namun kegelapan Ranukumbolo semakin indah saat puluhan lentera malam berpendar membentuk titik-titik cahaya di sekeliling Danau. Bahkan di kejauhan, terlihat nyala perapian bergoyang pelan diganggu angin. Cahaya yang terpantul bergoyang pelan, mengikuti riak linang air yang berjalan anggun ke tepian.

Malam paling eksotis ini seolah tak ingin dinikmati Emma sendirian. Ia membayangkan Damar berada di sebelahnya, menemuinya, menemaninya. Ya, Emma dikuasai kerinduan. Tatap matanya sesekali jatuh menyentuhi titik-titik cahaya di atas air, bahkan terkadang menerawang ke langit menemui para bintang.  Rasa yang selama ini termampatkan mulai menyeruak, mengamuk, dan membuat badai di hatinya.

“Damar . . kamu dimana,” Emma terhanyut perasaan, tatap matanya menukik jatuh. Sementara tak jauh dari cemara tumbang tempat duduknya, pendaki kumal mulai memetik gitar menyanyikan lagu-lagu kerinduan. Lelaki itu menyanyi menghadap perapian, dan nada petikan gitarnya melukis jiwa yang sedang kesepian. Ya, lukisan jiwa kesepian tatkala merindukan sesuatu yang telah lama menghilang.

Jiwa kita erat bergenggaman bagai ombak dan lautan
Kita menari riang di tepian malam, menyapa sang bintang



[hoo, rentangkan tanganmu bersama datang malam]
[agar dapa, kurebahkan kepala, pada bulan dilenganMu]
Hoo, hembuskanlah nafas iman, ke dalam sukma
[agar dapat kuyakini hidup dan kehidupan ini]

[di gunung kucari Kamu]
Disini pun ku cari Kamu]
Dimanakah kutemui Kamu
Untuh luluh dalam genggaman Mu]


Perlahan-lahan suara gitar menuntunnya memasuki dimensi lain yang memabukkan. Menyeretnya memasuki masa lalu yang putih, hitam, ataupun kelabu. Ya, Emma menangis ketika suara parau lelaki itu menyentuh benak hatinya yang paling dalam. Tatkala seluruh peristiwa masa lalu tergambar jelas. Dan kini ia hadir dengan tatap mata yang memandangi bayang-bayang rembulan. Ia menangis ketika hatinya terus berdesir dan bergetar. Ia memohon maaf kepada hidupnya.

Hoo, bisikkanlah
Kemanakah langkah akan kubawa
Agar pasti akan bertemu, untukku tumpahkan Rindu
Di lenganMu kutemukan cinta, dimataMu memancar makna
Rindu ini tak tertahan lagi, untuk menangis di PangkuanMu

“Tuhan, Kaulah yang lebih mengetahui semuanya.. maafkan aku,” Emma menyeka kelopak matanya yang berembun. Nafasnya terasa sesak.

Petikan gitar pendaki kesepian itu terus menghanyutkan perasaannya. Ia dikuasai rindu tak tertahankan. Hingga desisan pelan pucuk cemara mengiringi suara gitar pendaki itu,

“Emma,” Rania tiba-tiba telah berdiri di sampingnya. 
“kenapa, Em ?”tanya Rania lirih sambil menatap lembut Emma

“tak apa-apa, Ran. Tak apa-apa,” cepat-cepat Emma menyeka air mata
“Aku tahu kamu bersedih, Em. Wajahmu seperti rembulan terusik gerhana,”
Lembut suara Rania membuat Emma tak mampu mengelak. Selang beberapa detik
menatap Rania, Wajah Emma pun menukik jatuh.

“ada apa Em, bicaralah,”
Di langit selatan, tiba-tiba muncul kabut tipis yang melayang pelan hingga
mengaburkan rasi bintang crux yang sebelumnya berpendaran. Namun tepat di
ekuator langit, bellatrix, betelguese, rigel, berkelap-kelip
menyapai penghuni bumi tanpa penghalang.

“Ran ..” kalimat Emma tiba-tiba tertahan
“kenapa ?”
“aku .. aku tak tahu harus berbuat apa,”

Emosi Emma bermuara di satu waktu. Perjalanan panjang perasaan yang selama
ini berusaha dilipurnya menemukan titik akhir. Namun ternyata titik akhir
itu bukanlah peraduan rasa ketika menemukan impiannya selama ini. Yang ia
temui kali ini adalah keputus-asaan. Putus asa setelah mencoba menaklukkan
badai hati yang terus-menerus menerpa dan menghantami jiwanya. Emma tahu ia kalah.

“aku tak bisa melupakan dia, Ran. tak bisa,”

Suara Emma bergetar dan kemudian tergantikan isak tangis tertahan. Lirih
namun jelas, isakan Emma menyirat kerapuhan jiwa tatkala letih menghadapi
amukan cinta.

“Kamu tahu dimana Damar, Ran ?” tanya Emma mengiba
“aku tak tahu, Em. Terakhir kali aku bertemu empat bulan lalu. Seminggu setelah kamu main gitar  di café,”
“kenapa dia menghilang, Ran ? kenapa ?”
“apakah karena aku yang terlihat menyedihkan?” kalimat Emma seakan menghakimi dirinya sendiri.

“Bukan,”
“lalu ? lalu kenapa sampai sekarang dia tak menemui aku ?”

Emma menatap Rania seakan meminta penjelasan, setelah beberapa saat tatap mata mereka bertemu, pandangan Emma pun menukik jatuh

“ada yang harus kamu ketahui, Em” lembut suara Rania menenangkan.
Mendengar kalimat Rania, Emma seketika menegakkan kepala dan menunggu,
“apa, Ran ?” Tanya Emma sambil menyeka kelopak matanya.

“Damar saat ini menenangkan diri, Em. Dia terpukul setelah studinya berantakan,”
“lalu dia kemana, Ran ? pindah universitas ?”
“sepertinya tidak.”
“lalu ?”
“waktu kutanya rencananya setelah lepas dari Keprabuan, dia bilang kalau ingin mengikuti kata hatinya ..”
“maksudmu ..”
“dia nggak ingin melanjutkan studi, Em. Dia bilang ingin merintis sesuatu yang dianggapnya sesuai keinginannya,,”
“kenapa dia nggak bilang ke aku,”
“entahlah, Em .. mungkin butuh keberanian lebih untuk itu,” Rania  mengela nafas sejenak,  ia menghembuskan nafas perlahan.
“kamu tahu apa itu artinya ?” lanjut Rania lembut
“apa, Ran”.
“Dia mencintai kamu, Em”
“tak mungkin, Ran. Dia  .. dia sendiri  tak pernah bilang padaku,”
“percayalah, dia mencintaimu. Tatap mata seorang lelaki yang sedang diamuk cinta tak pernah bisa berbohong, ”

Emma tertegun, ia masih menunggu kalimat Rania selesai.

“Damar memang lelaki peragu, tak pernah konsen menghadapi sesuatu. Tapi aku tahu kali ini dia sungguh-sungguh karena ada sesuatu yang ingin diraihnya. “

Hawa dingin Ranukumbolo kian merajalela. Dingin yang mencekat, menusuk-nusuk sendi tubuh dan melabuh rasa ngilu. Hingga ketika lolongan ajaxterdengar panjang menyapa rembulan, mereka berdua tetap duduk di atas tumbangan pohon sambil sesekali mengusap tubuh yang dipeluk erat hawa dingin.

“sudahlah, jangan bersedih .. suatu saat dia pasti menemuimu,“
Kalimat lembut Rania membuat hati Emma beresonansi pelan.

“ke perapian yuk ?”

Mendengar ajakan Rania, Emma pun mengangguk pelan. Akhirnya mereka berjalan menuju perapian.

 “nggak kedinginan, Em ?” Mama Zweta yang menghadap perapian menyapanya.
“lumayan, Tante”
“bagaimana perjalanannya ?  menyenangkan ?”
“wah seru sekali,” Audrey menimpali.
“cerita dong ..” wajah Granada seakan meminta. Dan memang hanya dirinya-lah yang belum menjejakkan kaki di Puncak Mahameru. 
“kalau diceritakan panjang banget, Kak. Nggak habis semalam suntuk,” Audrey mengusili Granada.
“ah, dasar pelit. Kalian juga pasti ngiri kalau kuceritakan laguna Pulau Sempu,” Granada protes dan berusaha membalas.
“yahhh  .. cerita dong, Kak,” Audrey penasaran
“ogah,” Granada tersenyum mengejek.

“Tante, disana itu ada batu prasasti ya ..” tiba-tiba Rania menyeletuk.
“oh itu .. ya, ada prasasti dari jaman kuno. Kalau dilihat dari peninggalan sejarah yang ditemukan, keseluruhan alam Mahameru sepertinya telah dijelajahi sejak jaman kuno dulu. Bahkan di Arcopodo juga ada arca kembar, makanya tempat itu dinamakan Arcopodo,”
“Tante pernah melihat arcanya ?”
“pernah, tapi medannya cukup berbahaya. Sebenarnya jalur yang kalian lewati itu bukanlah Arcopodo yang sebenarnya. Letak daerah yang bernama Arcopodo itu berada di sisi kiri dari jalur pendakian resmi,”

“loh, itu kan jurang,” Audrey mengomentari
“memang dipisahkan jurang,”

“kenapa jalur itu dipindah, Tante ?” Emma penasaran.
“mungkin untuk melindungi situs dari tangan-tangan jahil. Lagipula untuk menghormati local wisdom dari penduduk sekitar beserta kepercayaan dan budayanya,”

“kalian tahu siapa pendaki Mahameru pertama kali ?” lanjut Mama Zweta sambil bertanya.
“Clignet, Ma. Dan diteruskan oleh Junghuhn”
“bukan, Ta” perempuan itu tak sepakat dengan jawaban putrinya. Ia menggeleng pelan.
“loh ! di buku-buku kan dia, Ma ” Zweta protes
“siapa penemu benua Amerika ?”, perempuan itu terus bertanya tak peduli protes putrinya.
“Colombus,” mata Emma berbinar menjawabnya
“salah lagi !”
“kalau Pulau Tazmania ?”
“Abel Tazman,“
“salah terus !”

“loh, kok bisa ? “, “perasaan bener deh !” Granada dan Audrey heran.

“kalian tahu kenapa Tante bertanya seperti itu ?”
“nggak”, “kenapa, Tante ?”
Sahutan Emma dan Audrey nyaris bersamaan.

“karena terkadang sesuatu yang bernama sejarah bisa berbuat jahat dengan cara memanipulasi fakta dan kata-kata,”
“coba kalian pikir, dengan ditemukannya peninggalan sejarah di tempat ini, apakah kalian percaya jika Clignet adalah orang pertama yang menjejakkan kaki di Puncak Mahameru . .  kalau dia adalah orang pertama yang TERCATAT dalam sejarah sebagai pendaki pertama di Mahameru, Tante sepakat”
“dan yang satu ini tolong diingat ! kalau kalian mengatakan bahwa penemu benua Amerika adalah Colombus. Sepertinya kalian cuma menjadi pelajar bodoh yang tak berani membantah fakta kurang ajar itu,”
“loh masalahnya kenapa, Tante ?” Audrey terbelalak.
“lah kalian anggap apa suku Indian di Amerika sana? pohon ? atau  ..  segerombol manusia yang tak mempunyai hak mengakui jati diri ?!! jadi Colombus itu statusnya tamu, bukan penemu.”

Tak terasa sorot panjang bintang jatuh menjulurkan ekor panjang. Mencerati langit malam dengan gores-gores warna merah yang seketika lenyap terhalangi puncak bukit. Tak lama kemudian, lolongan panjang Ajax, sang anjing gunung cuon alpinus sesekali menepis sunyi. Lolongan panjangnya meliuk-liuk melagukan rindu-redam kepada sang rembulan.    

Sementara bayang-bayang tubuh yang terpantul nyala perapian nampak bergoyangan. Seluruh tubuh yang melingkari perapian terus mengarungi dinginnya malam di Ranukumbolo. Mereka bercengkrama, melepas lelah, menggulirkan kesan atas jejak kaki yang tertinggal.

Namun di tempat lain yang jauh, ada sosok manusia yang memendam sesal teramat sangat. Seluruh jiwanya dihantui masa lalu. Ia tak sanggup melepas ingatan atas kejadian lima belas tahun sebelumnya, tatkala tangannya menggendong perempuan kecil yang manis dan lucu. Kala itu ia teringat Fona, putrinya yang masih berumur dua tahun.

Dan kemudian ingatannya memaut sosok kakek tua yang tiba-tiba datang dengan seraut wajah cemas. Bahkan suara dan kata-kata magis kakek tua itu masih dikenali ingatannya. 

“Demi Allah, Anakku. Apa yang kamu cari di tempat ini ?!”

Tiba-tiba suara yang telah terkubur selama limabelas tahun terucap kembali. Ia panik. Tubuhnya bergetar hebat.

Dan dalam kebingungannya, lelaki itu semakin dihakimi masa lalu yang tak sepenuhnya ia sepakati. Ia hanya diperintah untuk menyusup dan mencari keterangan, cuma itu. Selebihnya ia tak sepenuhnya tahu atas apa yang berlaku kepada para aktivis di masa itu. Namun kini di saat matahari telah ribuan kali timbul tenggelam, ia hanya bisa bersedih menyesali perannya di masa lampau. 

“ya Allah, ampuni aku .. lindungilah Nahla dan anak-anaknya,”

Janepi terseret masa lalu. Ya, ia teringat lima belas tahun lalu, sebelum akhirnya dua tahun kemudian ia memutuskan berhenti dan memilih mengundurkan diri. 


***

Posting Komentar

 
Top