0


Brruagghhh !!
Meja bergetar dan berbunyi keras. Suara telapak tangan menghantam, berpadu kemarahan yang membumbung tinggi berlipat-lipat. Rupanya telapak tangan lelaki tua menggebrak meja kuat-kuat. Wajahnya serius, mimik mukanya menahan paras muka yang menegang.  Lelaki tambun dan berperut buncit itu menyisakan hawa muram di dalam ruangannya. 

“kalian ini !!!”, suaranya menggeram parau seolah ditahan. Gigi-gigi gerahamnya bergemeretak. Ia makin tak kuasa menahan emosi ketika mendengar kata-kata yang menjadi berita paling bodoh ketika tertangkap gendang telinganya. Kepala lelaki itu sedikit condong ke kiri, sambil tatapannya yang tajam bergantian mencengkeram kuat ketidakbecusan kedua lelaki di depannya.

“dan kau Toni !!” lelaki itu menarik nafas. suaranya meninggi
”kau ini sudah berkali-kali mengatasi permasalahan sepele seperti ini !” lelaki  itu meradang lagi. Kedua lelaki yang duduk di depannya menggigil, wajahnya tertunduk, kepasrahannya tertampak.
“resistensi proyek terlampau besar, Pak !” lelaki yang dipanggil Toni berbicara terbata dengan intonasi yang meninggi. Suaranya serak bergetar. Dan saat berbicara, kepala lelaki yang bernama Toni itu masih berusaha untuk tegak, namun ketika mulutnya berhenti berucap, seketika pula wajah kusutnya kembali menunduk.

“bodddohhh ! bodoh tandem kalian ini !” lelaki tua itu menggeram lagi. Kali ini gerahamnya beradu kuat-kuat.
“aku mau tahu ! planning fixkalian sampai dimana sekarang !” lelaki tua itu kembali berteriak garang.
“empat bulan lagi pemancangan tiang, Pak. Reaksi dari masyarakat negatif. Mereka menolak kita, Pak !” Toni berusaha membela diri.
“kalau itu sih aku sudah tahu bodohhh !!!. lokasi proyek memang kontroversial sudah sejak lamaaa !!! tugasmu kan cari tahu. Sampai saat ini posisi bargaining kita sampai mana !!!”
“langkah selanjutnya Pak ?” Toni berkata terbata, sinar matanya pasrah meredup.
“aduh-aduuuhhhh . ..  amit-amit otak kalian berdua ini ! kenapa orang pusat kirim manusia seperti kamu disini ! apa yang harus kubilang kepada Direksi kalau proyek ini gagal ! kabarnya kamu ini staff kita yang terbaik, Ton !!!  kenapa otakmu jadi linglung disini !!! ”
“gini Toni ! kau itu seorang insinyur kawakan ! pasti faham teori  SWOT !  strength, weakness, threat and opportunity !!! cari tahu posisi tawar kita, itu yang harus kamu tahu untuk merumuskan langkah selanjutnya !” lelaki tua itu terus meradang dan mencengkeram kuat-kuat kesadaran kedua anak buahnya.
“reaksi masyarakat itu bisa dibeli ! kalau saja ada 5000 orang tak setuju dengan proyek kita, kau beli reaksi yang siap berkoar memihak kita !!! beli Ton !!! ajak orang-orang yang berkepentingan dengan proyek !!   kalau perlu begundal-begundal kau ajak sekalian. Itu sah dalam sebuah konspirasi !! sekali lagi itu  SAHH !”

Dua lelaki itu hanya mendiam dan tertunduk. Mereka merasakan hadirnya kekuatan besar yang menguasai dan membekukan seluruh panca indera. Sebuah situasi natural yang membuat bibir mereka terkatup sekaligus otak berhenti berputar. Kemarahan yang meluap dari bos pelaksana membuat nyali mereka mengecil sekecil-kecilnya.

“sudahlah !!! hari ini aku minta laporan tertulis progres kalian. Tolong siapkan secepatnya !”
Lelaki tua akhirnya meminta kedua anak buahnya keluar ruangan. Langkah gontai menyertai nyali keduanya yang mulai terbit kembali. Dada mereka kembali terbusung, helm warna putih yang tersemat  membawa aura tersendiri di mata anak buah, bagai para bangsawan kerajaan yang mengenakan cungkup kehormatan di kepala sebagai tanda kebesaran. Mereka berdua melangkah memasuki ruang rapat.
“Pak Toni, apa rencana kita selanjutnya,” lelaki yang sedari tadi diam di depan Bos Pelaksana mulai mengeluarkan kata-kata. Matanya sayu dan buntu. Ia mencoba memompa suntikan oksigen yang kembali memenuhi rongga dadanya.

“Seperti biasa Pak Arman, kita menyusun strategi seperti ini,” tangan Toni menggambar flowchart di papan putih. Sekali ini Toni nampak yakin dengan rencana yang disusunnya,  ia menghela nafas sesekali. Rencana itu sedemikian teratur, Pak Arman mengangguk pelan tanda sepakat.

“Pak Toni, apa SDM-nya sudah tersedia ?” Arman mengajukan pertanyaan, tatap matanya mengamati satu persatu diagram alir yang terpampang di papan putih. Ia menaksir alokasi personil yang akan dilibatkan
.
“kita sudah banyak stok, tenang saja, Pak .” Toni menjawab gamang.
“hahaha  ... rasa-rasanya saat ini kita seperti VOC, Pak.” Arman berkata sambil tergelak. Sementara Toni menyeringai kecut.
“ya .. mau bagaimana lagi, Pak. Kita ini seperti pelanduk yang mati di tengah pertarungan para gajah.” Toni menyerah dan tak ingin meneruskan diskusi, sementara Arman mengangguk sepakat.
“Pak Arman, kita bagi Job Description. Anak buah Bapak harap dilibatkan semua. Kita siapkan tukang lobi. Satu tim mengurusi Penguasa dan Dewan Legislasi, satu tim melakukan pendekatan ke masyarakat umum, Satu tim mengover publikasi dan informasi publik, satu tim lagi untuk menghimpun masyarakat yang siap mendukung kita. Coba nanti Pak Arman kalkulasi, kira-kira berapa alokasi dana untuk itu semua,” Toni manggut-manggut, wajahnya bernaung mendung.
“Sip, Pak. Segera akan saya persiapkan,”  Arman menganggukkan kepala.
  
Akhirnya Arman keluar kantor sambil melangkah tergesa, ia meninggalkan Toni yang tetap tinggal di dalam ruangan.

Sepeninggal Arman, Toni merebahkan diri di kursi putar, dan lelaki itu terpekur. Rasa pening berputar-putar mengaduk-aduk  seisi kepala. Dadanya berkecamuk dengan hebat, Toni hampir-hampir tak sanggup menemukan dimana posisi suara hatinya kali ini. Ia terpekur dengan tatap mata yang nanar, benak hatinya mengunjungi tempat teramat jauh.

Sesekali suara hatinya terdengar lirih. Suara itu menyapa dengan nada yang takut.
“ah, kau Toni.” ia berbisik pelan menyebut namanya sendiri. Angannya terbang menembus waktu. Ia teringat hari yudisium, hari ketika dirinya disumpah menjadi insinyur.

“Toni muda sudah hilang,” hatinya berbisik kembali. Toni mengingat masa ketika dirinya dikukuhkan menjadi seorang insinyur –oleh dosen-dosen yang sangat dihormatinya.

“Toni Wiryantoro, mulai detik ini kamu menjadi seorang insinyur. Segala pengetahuan yang kamu miliki bukan hanya milik kamu, tapi milik masyarakat, bangsa, dan negaramu. Jadilah insinyur yang selalu memegang kode etik profesi, jadilah insinyur yang selalu memegang teguh hati nurani, dan jadilah insinyur yang sanggup menjaga nama baik almamatermu.” hatinya tersemai keharuan tatkala teringat kata-kata itu. Untaian kata-kata yang diucapkan dosennya ketika dirinya berdiri di depan forum penguji, setelah ia berhasil mempertahankan susunan skripsinya. Namun mengingat masa yudisium malah menerbitkan senyum pahitnya. Ia pun semakin kalut.

Toni kini bangkit dari kursi putar setelah mendengar ketukan pintu, suara hatinya tak terdengar lagi.
“ya .. masuk,”
“ada apa ?” suara Toni tenang dan berwibawa.
rescheduling project ,Pak”

Anak buahnya ternyata meminta persetujuan schedule pelaksanan yang sebelumnya masih menjadi bahan diskusi. Ya –ia ingat itu. Ia memang meminta penundaan waktu dengan alasan polemik yang berkembang di masyarakat. karena permintaan itulah akhirnya pihak direksi meminta informasi perkembangan lapangan yang bisa dijadikan rujukan untuk start pemancangan. Mereka menginginkan saat yang paling sedikit resistensinya, dan kini Toni harus berpikir keras untuk merumuskan referensi berdasarkan asumsi dan perkembangan fakta lapangan.

“kemungkinan tiga bulan lagi kita start. Coba kamu susun lagi schedule work breakdown structure-nya. Terutama untuk mobilisasi alat berat ,“ Toni menjawab dengan suara berat. Kesekian kali dipercaya sebagai ujung tombak pelaksana membuat ia hafal kalau hari-hari seperti ini adalah hari paling ruwet yang menyita pikirannya. Bawahannya mengangguk setuju. Informasi ini akan segera ia teruskan kepada tim procurementdan construction di lapangan.

“tunggu sebentar, Pak.” Toni memanggil anak buahnya yang telah beranjak dan nyaris keluar dari pintu. Anak buahnya menoleh dan bergegas kembali lagi.
“ya, Pak ?” anak buahnya menunggu dengan antusias.
“sebenarnya untuk start pelaksanaan kita masih menunggu konfirmasi dari Pak Arman. Bilang kepada kawan-kawan di lapangan, kalau schedule kita ini kepastiannya masih 75%. Disamping itu kita masih harus menunggu keputusan direksi untuk kepastiannya,” Toni berkata dengan ramah. Anak buahnya tersenyum mengangguk.
“oke, Pak. Akan saya sampaikan,“ anak buahnya menjawab dengan raut wajah berseri. Dan selanjutnya lelaki itu melangkah keluar ruangan,

Tim lapangan telah menunggu waktu berbulan-bulan. Waktu yang tak pasti membuat orang-orang proyek tak lagi sabar menanti, tangan mereka terasa gatal, kaki mereka terasa pegal-pegal. Kalau Pak Toni sudah memberi konfirmasi seperti itu, mereka harus segera berkonsolidasi menyiapkan seluruh  sumber daya yang ada demi proyek besar yang sangat prestisius.

Toni bersandar lagi di kursi putar sambil sesekali mengusap wajah. Tatap matanya tak lepas memandangi foto berukuran 3R yang terpajang di atas meja, dan ia pun kemudian tersenyum lepas. Potret perempuan yang tersenyum lembut nan cantik, mengabadikan seraut wajah yang menjadikannya mampu menerjang amuk badai kehidupan. Potret itu adalah potret perempuan yang ia cintai sepenuh hati, potret istrinya.

***

Jam menunjuk pukul 17.00 saat Pak Arman berkumpul dengan anak buahnya. Ia sengaja mengambil waktu di luar jam kantor agar lebih rileks. Kursi sofa berjajar melingkari meja, sementara vas bunga berserta kembang imitasi tepat menghias di tengah meja. Sementara tiga batang rokok kretek yang tertukik di tepi asbak masih mengepulkan asap nikotin.

“terima kasih atas kehadiran kawan-kawan,” Pak Arman membuka pertemuan. Ia mendapati seluruh anggota tim  telah hadir di suitroom hotelBanthikanomor H-7.
“saya tadi siang mendapat instruksi dari Pak Toni untuk menyampaikan langkah kerja yang harus dikebut tim nonteknis, dan saya rasa instruksi tersebut harus kita tindak lanjuti secepatnya, mengingat target proyek harus segera memasuki tahap grading dan pemancangan,” Pak Arman berkata sambil memandangi wajah anggota tim bergantian. Seluruh anggota tim mengunggu kata-kata Arman dengan sabar.

Salah satu anggota tim mematikan rokoknya yang mengepul di tepi asbak. Wajahnya berkedip pelan.
“begini bapak-bapak, seluruh pembagian tim telah fix mulai saat ini, mengingat beberapa minggu kemarin kita masih belum mencapai kata sepakat mengenai organisasi pelaksana dalam proyek ini. Dan  targetnya, mulai sekarang kita tinggal bergerak sesuai job description masing-masing. Saya akan membagikan item-item target yang harus dilaksanakan sesuai dengan yang tertera di dalam map masing-masing,” Arman menjelaskan dengan seksama. Seluruh yang hadir masih terdiam. Sementara dua rokok kretek yang mengepul terus saja merantak membakari sisa tembakau.

“Pak Bembi kebagian tim penguasa kota dan dewan legislasi,” Arman menyodorkan map kepada lelaki tinggi besar yang dikenal sebagai jago lobi pihak penguasa. “coba dipelajari dulu Pak, nanti saya jelaskan selebihnya.” sambung Arman, Bembi hanya tersenyum menunjukkan gigi serinya yang tanggal.
“Pak Ramin untuk pihak media” , “Pak Albar untuk pihak masyarakat umum”,
“dan yang terakhir, Pak Misto untuk  menghimpun counter aksi yang pasti akan terjadi,” Arman memandang Misto dengan tatapan penuh harap mengingat tugas ini cukup riskan dan beresiko.

Kesemua anak buah Arman membuka map dengan seksama. Mereka mengerutkan dahi mempelajari poin-poin yang tertera di lembar tugas. Dokumen yang diserahkan Arman merupakan dokumen rahasia. Setelah memahami seluruh isi, dokumen-dokumen itu akan dimusnahkan oleh masing-masing mereka yang menerima.

Mereka kemudian berdiskusi mengestimasi segala kemungkinan yang akan terjadi dalam pelaksanaan tugas. Mimik mereka terlihat serius, mereka nampak tegang ketika membicarakan resiko dan tantangan yang pasti dihadapi. Untuk mengurangi ketegangan, Pak Arman sesekali melucu hingga tawa meledak. Semua makin intens ketika membicarakan dana yang disiapkan untuk operasi.
“apa ini, Pak Arman ?” Misto menimang-nimang ikatan uang senilai sepuluh juta rupiah.
“itu bonus dari Bos !” Arman tersenyum culas tanda kepuasan. Semua yang hadir tertawa-tawa.
“Pak Bembi, lumayan nih buat booking panggangan ayam kampus, masak setiap hari makan sayur asem di rumah !” Pak Ramin menggoda koleganya.
“wah-wah-wah, Pak Ramin ini. Rupa-rupanya bener-bener tahu rahasia awet muda ! ”

Semua yang hadir tertawa riang. Asap nikotin terus terkepul, dan kongkow-kongkow terus berjalan menepis malam.


***

Posting Komentar

 
Top