0

Rifki berjalan hati-hati menuruni puncak. Bibirnya menyenandungkan lagu yang tak jelas lantaran hidung dan mulutnya terlilit kain. Ransel besar dan tubuh lelah beberapa kali membuatnya limbung dan tergelincir.
Sementara asap putih dari kawah belerang berkepul-kepul memanjang. Tiupan angin menghambur aroma menyengat, mirip kentut paling busuk. Taburan belerang sepanjang waktu membuat puncak Welirang tak berpenghuni. Tak seekor binatang, atau sebiji pohon pun yang tumbuh di tempat itu. Seluruh batuan terlapisi debu-debu belerang yang jatuh selepas dihempas angin.
Rifki menuruni puncak, menuju pohon terdekat sejarak lima-ratus meter arah sisi selatan. Pohon itu cari jenis cantigi. Dahannya rindang, tingginya kira-kira dua setengah meter. Tepat di bawah pohon itu Rifki menurunkan ransel, membuka matras, merebahkan punggung di atasnya. Semilir angin gunung menyeretnya memasuki alam mimpi.

Sementara Dita dan Rheno tiba di padang luas yang dikelilingi bukit-bukit tinggi.
“wow ! more than just beautiful !” Dita berdecak kagum sambil mengatur nafasnya. Tatap matanya berkeliling memandangi kecantikan ribuan kembang edelweiss yang bermekaran.
“padang yang diceritakan Rifki semalam,”
“ya, cantik sekali, Rhen. Ribuan anaphalis javanica” Dita menurunkan ransel di tanah. “kukira padang ini lebih cantik daripada alun-alun Suryakencana,” lanjut Dita melirik Rheno
“sebelas-duabelas, Dit. Sama-sama cantik,”  Rheno manggut-manggut. “tapi lo juga cantik, Say”
“ah, raja gombaaall !” Dita tersipu. “awas kamu bilang kata-kata gitu ke cewe lain,ya” Dita mengepalkan tinjunya.
“ampun, dah .. ampun ..” Rheno terkekeh geleng-geleng kepala. “kita istirahat disini dulu,”  Rheno langsung duduk di atas tanah, ransel masih menempel di punggung.
“kata Rifki, jalur pendakian setelah ini agak berbahaya,” Rheno menoleh ke Dita. “jalurnya sempit,  diapit tebing dan jurang. kita mesti hati-hati,”
“berapa lama melintas ?” kening Dita berkerut
“kata dia sih cuman sekilo, kalo lancar, ga lebih dari lima belas menit,”
Dita mengangguk, tapi berpikir.
Ribuan edelweiss bermekaran menghiasi padang. Sementara spasi-spasi tanah diantaranya –ditumbuh rerumputan gunung setinggi duapuluh sentimeter, juga beberapa pohon cantigi berukuran kecil.
“Rifki kenapa belum turun, Rhen ? apa dia lewat jalan lain ?” Dita menata p Rheno. Tatapannya menunggu.
“kata dia jalur pendakian gunung ini cuman lewat sini,”
“berarti .. dia belum turun, dong. Kita kan belum berpapasan sama dia,”
“Bisa jadi dia nunggu kita di puncak, Dit.  Atau .. kalo nggak .. dia lewat jalur alternatif,”
“mana ada ? kata dia jalurnya cuman satu,”
“satu itu buat pendaki resmi, Dit. Kalo lihat style-nya sih, kayaknya Rifki bukan pendaki sembarangan. Bisa jadi dia pengen nyoba tantangan dan buka jalur sendiri. Selama dia pegang peta dan kompas, punya ilmu navigasi, so .. why not ?” Rheno sedikit memicing lantaran tiupan angin menerpa cukup kencang.

Dita dan Rheno sejenak melepas lelah. Dita meluruskan kaki. Reno merebahkan punggung di atas tanah sambil berbantal ransel. Nafas yang terburu berangsur-angsur teratur. Tegukan air mineral menghapus rasa haus.
Beberapa saat kemudian, angin dari arah selatan bertiup lebih kencang. Sementara gugusan awan hitam terlihat bergumpal-gumpal di langit selatan. Kekhawatiran terpantik di dada Rheno. Dia lantas mengajak Dita melanjutkan pendakian.
“perkiraanku paling lama sejam lagi kita nyampe puncak. Awan hitam itu tak mungkin mendahului kita. Nanti di puncak kita celebrating limabelas menit, habis itu buru-buru turun. Kamu sanggup ?” tantang Rheno
“ay, ay, captain !” kelakar Dita sambil tangannya berlagak menghormat dengan sikap sempurna. Gadis itu tersenyum manis. Rheno tertawa lebar melihat Dita bersemangat. Keduanya kemudian melanjutkan perjalanan melintasi padang edelweiss. Hingga lima belas menit berselang, Rheno dan Dita tiba di tepi padang. Mereka berbelok ke kanan. Menyisir jalan setapak  diapit tebing dan jurang bernama Jurang gede. Namun –
“Ya, Tuhan ! longsor, Ren !” wajah Dita sekit memucat. Dilihatnya jalan setapak terputus. Padahal di sisi kanan terdapat tebing tegak setinggi sepuluh meter, sementara di sisi kiri menganga jurang yang dasarnya tak jelas terlihat. Sisa-sisa jalan setapak yang amblas menyisa warna coklat tanah di dinding jurang.
“Rifki pasti pasti ambil jalan memutar. Mendaki bukit itu,” telunjuk Rheno mengarah bukit di sisi kanannya.
“kamu salah, Rhen. Lihat jejak sepatu itu,” Dita menunjuk bekas pijakan di dinding tebing.
 “berarti Rifki merayap,”
“ya. Dia pakai tali. Itu kaitnya,” Dita menunjuk bekas tancapan di dinding tebing, lubang sebesar kelingking.
Tanpa buang waktu. Rheno menurunkan ransel. Dia mengambil tali. Jari-jarinya bergerak memilin simpul. Selanjutnya simpul itu dikaitkan di tubuhnya. Ujung satunya dikaitkan di tubuh Dita.
“nah. Sudah kuat,” ujar Rheno sambil mengencangkan ikatan di kait Dita.
“berapa panjang talimu ?” tanya Dita
“tak sampai sepuluh, kupotong tali ini saat turun dari Citatah. Selimutnya banyak tergores,”
“kenapa nggak pakai punyaku ?”
“nanggung, daripada mesti bongkar-bongkar ranselmu,” jawab Rheno sambil tak melihat. Rheno kemudian mengangkat ransel dan memanggulnya.
“siap ?” lanjutnya. “aku duluan,” Rheno memandang Dita. Dita mengangguk.
Rheno sebentar saja mengamat-ngamati  dinding tebing. Jari-jarinya kemudian mencengkeram tonjolan sebesar kepalan tangan. Bersamaan itu Rheno mengeluarkan pin pengunci yang diselipkannya di rekahan dinding. Krak ! pin pengunci terjepit. Rheno berayun bertumpu tangan. Ujung kakinya meraba-raba mencari tonjolan. Otot tangan dan wajahnya menegang.
“hati-hati, Sayang,” dada Dita berdebar menyaksikan Rheno menggantung. Rheno kemudian berayun dari titik satu ke titik lain. Longsoran selebar lima meter berhasil dilewati dengan tujuh kali ayunan.
“sekarang giliranmu, Dit ! jangan lupa lepas pinnya,” Rheno menghembuskan nafas lega. Spontan tangannya berjaga-jaga di depan simpul yang mengikat tubuhnya. Melihat Dita yang mulai berayun, detak jantung Rheno terpacu lebih cepat.
“sebelah kirimu ! ya ! ya ! sepuluh senti arah kiri !” Rheno member petunjuk tumpuan kaki Dita.  Otot-otot tangan Dita menegang. Ransel yang condong ke jurang membuat punggung Dita tertarik.
Hembusan angin mengurai rambut Dita, menggerai ke arah wajah. Tiupan angin yang menabrak tebing membuat butiran-butiran kerikil kecil berguguran.
Dita berayun cukup lincah. Hanya saja saja jari-jarinya terasa capek. Berbeda dengan pemanjatan tebing yang tidak membawa beban berat, kali ini di punggung Dita tertumpu ransel dan isinya seberat lebih kurang duapuluh kilogram.
Setelah lima belas menit berayun dari pengait satu ke pengair lain, Dita tiba di pengait terakhir. Tangan Rheno terulur membantu Dita. Dita menggenggam erat uluran tangan Rheno. Hup ! kaki kiri Dita memijak tanah. Dita berhasil melewati longsoran. Senyum lebar menghiasi wajah. Dita menghembuskan nafas panjang.
“tali ini biarkan dulu, tak usah di lepas,” ujar Rheno sambil memandangi paras Dita. Di kening Dita embun-embun keringat bermunculan.
“tempat ini cukup lebar, Rhen. Enam meter,” Dita mengamati bibir jurang di sisi kiri,

“tapi .. tunggu dulu, sepertinya menyempit lagi,” tatap mata Dita bergerak mengikuti bibir jurang.  

(sumber gambar :geodipaugm.blogspot.com)

Posting Komentar

 
Top