0


Lututku bergetar-getar menahan sakit. Darahku membeku. Untung saja penglihatanku masih awas, kalau tidak, aku pasti menggelinding ke dasar jurang.

Kutilik jam tangan, pukul lima kurang lima menit, berarti hampir lima jam kuturuni punggungan gunung.

Langit barat memerah. Hutan-hutan berubah gelap. Serangga malam sayup-sayup mengerik. Syukurlah, darah yang mengucur di pahaku sudah berhenti. Luka robek menganga bekas gigitan ini nyeri bukan kepalang, bekasnya menghitam. Aku mesti menebusnya dengan langkah terpincang-pincang.

'hmmm .. bau air,' hidungku menangkap aroma pekat air bercampur lumpur,

'pasti hampir sampai di hutan lumut,' bisikku dalam hati.

Tanda-tanda alam hampir pasti menunjukkan keberadaan hutan itu. Kawasan yang selalu lembab kehijauan; kabut yang mengendap; bunyi gemerasak kijang; babi hutan yang menguik, di hutan lumut pasti ditemukan air melimpah sehingga binatang-binatang itu berdiam tak jauh dari hutan lumut.

Kusibak ranting yang menghalangi jalan, aroma air kian pekat. Dengan langkah tertatih menyeret satu kaki, kumasuki hutan ini.

Tiba-tiba-

“HRRROOAAARRR !!”

'brek kebrekk kebrekk wurrrrhhh'

Auman macan kumbang menggetarkan kolong hutan, selepas itu seekor merak jantan terbang dua meter di depanku.

Lututku bergetar, jantungku berlompatan. Kutarik belati dan kugenggam rapat. Kalau harus bertarung lagi melawan macan sialan itu –diriku tak takut. Ya, takutku sudah habis. Berkali-kali diriku hampir mati di gunung ini, tapi toh selamat juga. Kuduga macan-kumbang sialan itu mengikutiku karena mencium aroma darahku. Dia menunggu di saat yang tepat, saat ketika fisikku di titik paling lemah.

Kutarik kaki mundur dua langkah, memasang kuda-kuda. Kuhunus belati dengan mata memicing.

"Hayooo !!! keluar, kau !!!" teriakku dengan suara bergetar.

"cuih !! buat apa menunggu lama !!"

Seluruh bulu kudukku meremang. Nafasku mendengus. Suara semak bergesekan memaksaku waspada.

Mendadak angin menyentak keras. Sekelebatan bayangan hitam melambung dua meter di depanku.

“HRRROOAAARRR !!”

"Bangsat !! Bangsat !!!" aku menyumpah-nyumpah. Luka robek di paha membuat pijakanku terhuyung. Rupanya binatang buas itu menggodaku. Dia menakutiku.

Sebelumnya, menjelang puncak gunung, macan ini berhasil mengoyak pahaku, mencakar mukaku, menggigit dan melempar ranselku ke dasar jurang. Setelah kupukul hidungnya dengan kayu sebesar lengan, barulah binatang itu mengerti artinya salah mangsa. Tapi dengan luka-luka yang kuderita, itu artinya secepat mungkin aku harus turun ke kaki gunung, dan itu artinya aku mesti menunda pencarian Raisya.

Tiga pekan sudah Tim SAR menghentikan pencarian Raisya, tapi aku memilih tak peduli. Bagiku Raisya masih hidup, walau secara teoritis sudah melampaui batas waktu kemampuan manusia bertahan hidup di hutan. Raisya disapu badai puncak, dan aku luntang-lantung di gunung mencari jejaknya. Aku tak takut mati. Aku tak gentar badai. Mati pun rela. Karena seandainya Raisya mati, seketika itu hatiku turut mati.

Kuduga Raisya terjebak di puncak gunung, tepat di tebing batu sisi utara. Tetapi sesaat sebelum kakiku menginjak kawasan itu, seekor macan-kumbang mengaum dan menerkamku dari belakang.

Macan-kumbang yang berhasil melukaiku adalah macan kumbang yang kini mengintaiku. Binatang buas itu terus-terusan mengaum. Dia terkesan menggiringku ke tempat pembantaian.

“HRRROOAAARRR !!”

Posisiku kian terjepit. Habis tenaga. Macan itu berkali-kali melompat di depanku, mempermainkanku. Belati di tanganku kian rapat kugenggam.

Tiba-tiba macan-kumbang itu keluar dari gerombol perdu. Dia menatap tajam ke arahku. Sendi lututku serasa copot. Degub jantungku berlompatan melawan kematian. Perlahan-lahan binatang buas itu berlari ke arahku. Rahangnya terbuka lebar menunjukkan taring tajamnya.

Belatiku teracung. Macan itu kian cepat ke arahku.

“HRRROOAAARRR !!”

Dalam sekejap binatang itu melompat menerkamku. Tubuhku terlontar jatuh terguling. Belatiku terlepas dari genggaman. Kepalaku membentur batu besar. Sampai ketika taring macan kumbang itu menancap di lenganku, kesadaranku tinggal sisa-sisa. Berangsur-angsur pandanganku mengabur. Menguning. Tubuhku diseret menuju kematian.

***

Telingaku menangkap gemericik air. Kesadaranku perlahan-lahan kembali. Saat kubuka mata, ternyata Raisya bersimpuh di sampingku. Lengannya penuh luka. Batang hidungnya pecah dipenuhi darah kering. Kutilik sekitar, kupikir aku dan Raisya berada di gua batu yang lembab.

"berbaringlah, Zul. Jangan banyak bergerak," ucapnya lembut, tangannya menyeka dahiku.

"bagaimana .. bagaimana aku bisa disini .. dan kamu .. selamat, Raisya," ujarku keheranan, bercampur bahagia.

"seharusnya kamu berhenti mencariku, jangan ke puncak gunung,"

"tidak, Raisya. Tidak. meskipun aku harus mati, aku akan terus mencarimu. Kamu–"

"ssstt ! sekali-kali jangan bicara kematian di tempat ini," telunjuk Raisya menempel di bibirku. Selanjutnya telapak tangannya membelai lembut pipiku.

"kuminta setelah ini, tinggalkan tempat ini. Jangan kau kunjungi lagi tempat terkutuk ini, apalagi berdiam dan berkeliaran di puncak gunung mencariku,"

"apa maksudmu, Raisya ?"

"lupakan aku,"

"apa maksudmu, Ray. Aku tak mengerti ! Seminggu ini aku mencarimu, badai pun aku tak takut ! kita harus pulang, Raisya. Kita mesti turung gunung,"

Kulihat kelopak mata Raisya berembun, aku keheranan.

"Kamu .. tak mengerti, Sayang," Raisya terisak. Telapak tangannya lagi-lagi membelai pipiku. Kuraih tangannya dan kugenggam erat-erat.

Jujur aku memang tak mengerti. Sesaat sebelum pingsan, aku berkelahi melawan macan kumbang. Binatang buas itu menerkamku, menyeretku, dan siap memakanku. Tapi –

"Zul, kumohon, berhentilah mencariku, pulanglah,"

Perlahan-lahan Raisya bangkit. Tautan tanganku terlepas dari tangannya.

"Raisya, kamu mau kemana ?" ucapku khawatir

"Raisya ! Raisya ! jangan pergi, Raisya !" aku berupaya bangkit. Robekan luka nyeri luar biasa.

"selamat tinggal, Zul ! aku .. cinta kamu,"

"Raisya ! Raisyaaaaa !! uffhh !" aku jatuh terjerembab.

Raisya kemudian mundur tiga langkah. Dia membalik punggung. Selepas itu kaki Raisya menjejak tanah dan melompat.

“HRRROOAAARRR !!”

Dinding goa bergetar. Dinding hatiku bergetar. Raisya lenyap dan menjelma macan kumbang yang ternyata menggiringku menjauhi puncak gunung.

***



Bangil, 22-23 Januari 2013

Posting Komentar

 
Top