0

“kalau cintamu itu benar adanya, susul aku ke Jayagiri,”

“Jayagiri ? dimana itu, Ren ? kapan ?” Raut wajah Alex memberat mendengar kalimat Renata.

“aahh .. cari tahu, dong. Searching kan bisa .. browsing sana di internet .. kamu juga bisa nanya kawan-kawanmu,”

“tapi, Ren .. setidaknya-”

“ah, sudah. Aku pergi dulu,” kalimat Renata seketika mengganjal bibir Alex. Perempuan secantik melati itu meraih tas pinggang dan kemudian melangkah pergi meninggalkannya.

“tapi, Ren-”

“cinta itu harus dibuktikan, Lex. Bukan diucapkan .. kau akan mengenal cintamu disana, cintamu yang sesungguhnya, bukan cuman rayuan dan ratusan puisimu itu, Lex.”

Dada Alex sesak teringat kejadian tujuh tahun lalu, saat ketika sepulang sekolah, Renata melempar senyum dan kemudian meninggalkannya seperti lelaki kalah perang. Senyum yang cantik, senyum yang mampu menghentikan hembus nafasnya, begitu kata hatinya.

tak mungkin .. dia pasti meninggalkan jejak, batin Alex bergetaran kian khawatir. Bayangan sosok Renata timbul tenggelam. Binar matanya, kerling indahnya, rambutnya yang hitam menebal, suaranya yang lembut sedikit serak. Tapi bayangan yang muncul di kepalanya adalah bayangan Renata tujuh tahun lalu.

Angin bertiup kencang. Mendung menggelayut. Kabut pun seraya bersepakat menyelimuti pucuk-pucuk pinus di ketinggian 3000 meter di atas permukaan laut. Dingin udara kondensasi kemudian memerciki areal Arcapada yang menghamparkan jurang-jurang dan gigir-gigir tebingnya.

“bagaimana, Pak ? sudah ada kabar ?” suara Alex menyirat gentar. Suaranya tercekat.

“nihil, Pak. kawan-kawan di atas masih menyisir puncak Mahameru menuju Cemoro Tunggal, ada beberapa jejak yang ditinggalkan. Semoga itu jejaknya,” sosok Ranger di sampingnya menimpali. Raut wajahnya bermendung.

“kemana arah jejaknya,Pak ?”

“meninggalkan jalur pendakian .. menuju sisi kiri ..”

“ya, Tuhan .. sisi kiri ..” Alex tertunduk. Kelopak matanya berair. Bayangan gigir-gigir jurang dan tebing pasir ratusan meter membuatnya ngeri.

“Tim SAR mencoba tracing jejak itu, Pak .. semoga tak menuju Blank 75, berdoalah ..”

“ya Tuhan .. Renata ..” batin Alex terasa pecah dan perih.

“saya harus ke atas, Pak. Mencarinya,” tundukan kepala Alex menegak. Jemarinya menyeka kelopak mata.

“mungkin lebih baik Bapak menunggu disini, hati bapak sedang gundah,” sahut Ranger menyarankan

“tidak, Pak. Saya tahu dia pasti menunggu saya .. ijinkan saya ke atas mencarinya .. lagipula saya membawa GPS dan alat komunikasi,”

Raut wajah Alex yang luruh membuat Ranger diam terpekam. Ia tak mampu berbuat banyak untuk menghentikan niat Alex menjejakkan kaki di medan pasir vulkanik Mahameru, medan terberat yang mampu mematahkan mental pendaki gunung.

Di langit, mendung menggumpal tebal menutupi matahari. Terpaan angin sedemikian kencang menerbangkan debu-debu Mahameru.

Langkah kaki Alex tertatih-tatih menghadapi terjalnya medan berpasir dengan kemiringan hampir enampuluh derajat, pijak kakinya seringkali terperosok hingga mundur ke belakang. Ia merayap, tubuhnya seringkali limbung menahan keseimbangan.

“apa yang membuatmu menyusulku kemari, Lex ?”

Kalimat Renata di Jayagiri dulu terngiang kembali di telinga Alex, mengaburkan deru angin gunung yang menampar-nampar tubuh di areal pasir vulkanik.

“mengapa masih kau tanyakan alasanku, Ren ?“ ia ingat betul saat itu menjawab dengan kalimat yang lelah.

“cinta ? apa itu yang akan kau katakan ?“ tanya Renata sambil tersenyum manis. Perempuan itu kemudian melempar pandang mengagumi lengkungan lembah di areal Jayagiri. Lengkungan lembah yang di belakangnya tersaji jutaan titik-titik lampu kota.

“aku heran, apakah seperti itu tipikal cinta yang dimiliki penjelajah,Ren ?”

“maksudmu ?” tanya Renata sambil beralih menatap Alex

“angkuh ! sangat angkuh ! kau sudah tahu aku mencintaimu sejak lama, Ren. Tapi kau ajukan syarat-syarat yang hampir tak masuk akal,”

“siapa yang mengajukan syarat ?!”

“kau, Ren. Kau. Bukankah engkau yang menantangku untuk menyusulmu ke Jayagiri ?”

“aku tak pernah mengajukan syarat, Lex. Aku tak pernah menantangmu. Kau harus tahu itu. Aku cuma-”

“ah, bukankah kau bilang, kalau cintaku benar adanya maka aku harus menyusulmu kemari ? lalu apa maksudmu, Ren ?” potong Alex seketika. Wajahnya meminta penjelasan.

Renata kemudian tersenyum sambil jemarinya terbuka menangkapi radiasi perapian di depannya.

“tapi dengan ini semua aku benar-benar tahu kalau kau cinta padaku, Lex” Renata tertawa kecil. Ia kemudian menggeleng pelan.

“lalu ?”

“ya sudah. Cuma itu. Titik.” sahut Renata singkat. Bola matanya berkilat memantul cahaya perapian.

“perempuan angkuh,” timpal Alex tak peduli

“setidaknya, terima kasih sudah mencintaiku sedemikian lama, Lex. Tapi kau harus tahu, aku tak bisa,”

“tak bisa ? mengapa, Ren ? mengapa ?” tanya Alex mengiba

“tanyakan saja ke Jayagiri,”

“Angkuh. Terlalu angkuh. Kau pikir pepohonan bisa bicara ?!”

“Tapi ingat, Ren. Aku tidaklah seperti lelaki lain yang kehabisan tenaga mengejarmu. Walau apapun dan sampai kapanpun, aku akan tetap mengejarmu,” lanjut Alex sesumbar

“yakin ?!” tantang Renata sambil tersenyum cantik. Namun Alex diam mematung sambil menatap nanar paras Renata yang timbul tenggelam terpancari cahaya perapian.

“aku mulai menyukaimu, Lex” kata Renata setelah beberapa saat menyaksikan Alex terdiam.

“kau ingin tahu kenapa kuajak ke Jayagiri ?” tanya Renata kemudian. Namun Alex masih terdiam.

“aku cuma ingin melihat reaksimu dengan kebiasaanku, Lex. Cuma itu.” sorot mata Renata berangsur sayu memandangi Alex, namun lelaki itu tak bereaksi.

“kau bilang kau cinta padaku, coba terangkan deskripsi cintamu itu .. aku pusing menafsirkan ratusan puisi cintamu itu, Lex. Sama seperti pusingnya aku menghadapi cara berpikir lelaki lain yang mengejarku, aneh, lelaki itu aneh, Lex. Dasar berpikir mereka egois, mereka ingin membuat batas, sementara kau tahu aku bukan tipe perempuan yang senang berpagar batas,”



Malam itu, tujuh tahun lalu, di kala bintang-bintang berpendaran menyapai pucuk-pucuk Rasamala dan Pinus di Jayagiri, bibir Alex terkunci rapat. Ia tak menyangka perempuan yang dikaguminya itu mempertanya esensi cintanya dengan bahasa yang bisa dimengerti.

“anggap saja kau kuajak kemari bertualang, Lex. Jangan kau anggap aku memaksamu dengan syarat yang memberatkan. Apa dirimu tak bisa sekedar menikmati indahnya kelap-kelip lampu kota dari Jayagiri ? atau .. setidaknya .. nikmatilah suara pinus dan mengheninglah,”

Alex terdiam. Ia hanya memandangi Renata sambil batinnya berdesiran.

“kuajak kau kemari untuk mengenal cinta, Lex. Cinta yang mungkin terdengar aneh di telinga banyak orang. Tapi inilah jenis cinta yang kupahami,”

“aku ingin dicintai oleh lelaki seperti aku mencintai alam, Lex. Kau tahu apa artinya ?”

Bibir Alex kian rapat mendengar pertanyaan Renata.

“cinta yang membebaskan, Lex. Cinta yang tidak mengikat. Cinta yang membiarkan segala sesuatu tetap pada keasliannya. Kita hanya bisa mengagumi tapi enggan mengotori. Kita hanya menikmati cinta tanpa mengubah obyek cinta. Dan, Aku tak ingin dikekang seperti perempuan-perempuan lain, Lex. Aku harus tetap menjadi diriku sendiri,”

“tapi aku tak ingin mengekangmu, Ren” tiba- tiba Alex bersuara.

“bukankah seseorang yang mencintai sebenarnya ingin membatasi orang yang dicintainya, Lex ? sebisa mungkin memiliki dan dinikmati sendiri,“

Sanggahan Renata membuat Alex kembali terdiam.

“Kuajak kau kemari untuk mengenal cintaku, Lex. Aku mulai menyukaimu karena kau lelaki yang berbeda. Kau tahu perbedaanmu dengan lelaki lain yang mengejarku ?”

Alex terdiam. Tatap matanya menunggu.

“kau setia dengan kebodohanmu, Lex. Kau tetap mengejar cintamu ..” Renata tertawa kecil. Binar matanya berpendaran.

Malam itu di Jayagiri, Alex menduga jika sebenarnya Renata mencintainya. Namun entah mengapa timbul keraguan untuk sekedar mempertanya perasaan Renata. Seturunnya dari Jayagiri, tak ada sesuatu yang jelas. Kejelasan cintanya tetap menjadi mendung yang menggelayut.

Hingga kemudian, tujuh tahun berselang, Renata yang sejak enam tahun lalu hilang kontak tiba-tiba menghubungi ponselnya. Mereka terpisah sejak menempuh kuliah di dua kota yang berbeda. Diketahuinya Renata berada di Jogjakarta mengambil Geologi, sementara Alex mengambil Teknik Perkapalan di Surabaya. Setelah lulus kuliah, Alex bekerja di BUMN Perkapalan di Surabaya, sementara Renata tak diketahui rimbanya lagi.

“tak kusangka nomormu masih tetap sama, Lex” begitu kalimat pembuka Renata empat hari lalu saat menghubunginya.

“bukankah kalau kuganti nomor lain calon istriku tak bisa menghubungiku, Ren” kelakar Alex.

“calon istri ? that’s surprising ! Anak mana, Lex ?” begitu Renata berekspresi

“Namanya Renata Riananda, anak Bandung Selatan, sudah enam tahun lebih dia tak menghubungiku. Kau kenal dia ?” degub jantung Alex berlarian saat mengucap.

“apa ?! Renata Riananda ?!! hahahaha .. apa nggak salah,” kalimat Renata terjeda.

“Kamu tak berubah, Lex. Kamu tetap setia dengan kebodohanmu,” tawa Renata berderai setelahnya, dan Alex pun kembali terdiam mendengar ekspresi Renata. Perempuan itu tak pernah berubah, begitu pikirnya.

“aku kini di kota Tumpang, Lex. Siap-siap mendaki Mahameru. Kau mau menyusulku ?”

“ke Mahameru ? musim hujan begini ? rawan badai, Ren” Alex khawatir

“aku pasti berhati-hati, Lex. Tak mungkin aku nekat melawan alam,” suara Renata melembut.

“sama siapa kau kesana ?” tanya Alex penasaran. Di hatinya terpantik cemburu.

“sebenarnya aku berangkat sendirian dari Jakarta. Untunglah kemudian bertemu tiga pendaki dari Depok,”

Jawaban Renata membuat kekhawatiran Alex sedikit reda.

“kau mau menyusulku kemari, Lex ?” tanya Renata

“aku .. sebenarnya ..sedang ada-”

“baiklah, kalau begitu kutahu kau pasti menyusulku kemari, Lex. Kutunggu ya,” potong Renata seolah tak peduli dengan keberatan Alex.

“hati-hati, Ren”

“pasti,”

“aku mencintaimu, Ren”

“aku juga, bahkan sejak lama.”

Kalimat terakhir Renata menyentak Alex. Ia tak percaya. Perempuan angkuh itu ternyata mencintainya.



Langit Mahameru kian menggelap. Mentari yang menuruni langit tak nampak sorot sinarnya. Alex kelelahan menjejakkan kaki di medan vulkanik. Ia terhenti. Nafas yang terburu dilepasnya pelan-pelan. Tubuhnya menggigil lantaran terus menerus diamuk angin gunung. Angin itu bertiup kencang menorobos ceruk-ceruk pasir dan kemudian menghempaskan debu-debu Mahameru. Alex terpicing, matanya pedih lantaran debu menyelip di kelopak matanya. Tiba-tiba dari tempat yang tak jauh telinganya mendengar sesakan langkah memijak pasir. Ia mencari-cari asal suara. Debu-debu yang berterbangan menghalangi pandangannya.



“Lex .. Alex .. kamukah itu, Lex ?” teriakan perempuan di kiri jalur pendakian menyitanya. Suara lembut sedikit serak.

“Renata ! dimana kamu, Ren !!” teriak Alex sekencang-kencangnya. Debu Mahameru terus berterbangan terpilin-pilin menghalangi pandangannya.

Tiba-tiba mata Alex menangkap sosok perempuan yang berjalan menghampirinya. Perempuan itu berjuang keras menahan keseimbangan tubuh.

“Renata ! kamu tak apa-apa Ren ?!!” teriak Alex khawatir. Ia segera berlari menyongsong Renata yang tak jauh.

“tak apa-apa, Lex. Aku tak apa-apa,” sahut Renata sambil memeluk Alex. Perempuan itu memeluknya erat.

“bagaimana bisa, Ren ?! kau tersesat dimana ?! dimana pendaki lainnya ?!!” pertanyaan Alex memberondong seperti lesatan peluru.

“mereka juga sudah ditemukan tim SAR, Lex. Kami disapu badai saat menuruni puncak. Kami kehilangan orientasi karena jarak pandang yang kabur,”

“ya, Tuhan ..” Alex berseloroh. Ia membelai lembut paras Renata yang diganggu debu-debu.

“sekarang dimana mereka ?” tanya Alex kemudian

“mereka bersama Tim SAR, aku mendahului mereka. Tim SAR ingin menghubungimu tapi tak ada balasan. Sepertinya sinyalmu dikaburkan cuaca,” sahut Renata sambil menatap Alex dalam-dalam. Ia kemudian tersenyum cantik. Senyum itu bahkan lebih cantik dari senyum Renata di Jayagiri dulu.

“baiklah .. kalau begitu mari kita turun .. cuaca sedang kacau,” kata Alex sambil melepas pelukannya. Ia kemudian merangkul Renata dan membimbingnya. Tapi sesaat sebelum melangkah, tubuh Renata memberat.

“tunggulah disini dulu, Lex. Sepertinya milikku ada yang terjatuh, mungkin tak jauh dari sini,” celetuk Renata sambil menatap lembut Alex. Bola matanya berkaca-kaca.

“ada baiknya kita cari bersama-sama, Ren”

“tak usah, Lex. Kukira tak jauh dari sini. Lagipula kau masih bisa melihatku dari tempat ini,”

Kalimat Renata meluluhkan Alex. Ia pun tersenyum saat Renata melepas tautan tangannya. Sesaat diambilnya alat komunikasi yang tertempel di sabuknya. Alex berniat memberi kabar Tim SAR jika Renata sedang bersamanya.

Mendadak angin bertiup kian kencang melentingkan debu-debu vulkanik. Menampar-nampar, membuat jarak pandang tak lagi jauh. Alex terpicing-picing. Ia terus berusaha mengubungi Tim SAR namun suara yang keluar dari alat komunikasi hanyalah gemerasak yang tak jelas.

“Renata !! Renata !!! kemari, Ren !!! mungkin sebentar lagi ada badai !!!” teriak Alex sekencangnya. Namun suaranya menyisa sepi lantaran dilarikan angin gunung.

Tiba-tiba telinganya mendengar beberapa teriakan dari arah angin. Ia juga mendengar beberapa langkah kaki yang memijak pasir. Ia tahu suara itu dari tempat yang tak jauh.

“awas ! awas !!!”, “ ambil kanan !!”, “ hati-hati ceruk !!!”, “awas bolder !!” Teriakan demi teriakan timbul tenggelam terusik angin.

Dada Alex bergetar. Ia kian khawatir.

“Renata ! dimana kamu !!” teriak Alex sekencangnya. Namun tak ada yang menyahut.

Samar-samar di kejauhan bermunculan beberapa orang. Ia tahu mereka adalah Tim SAR. Namun, pemandangan yang terlihat seakan menghentikan detak jantung Alex. Lelaki itu segera berlari menyongsong. Ia berlari sekuat tenaga hingga jatuh bangun. Debu-debu terkepul pijaknya, beberapa bolder menggelinding ke bawah.

“Renata ! dimana kamu, Ren !!!” teriak Alex kebingungan. Ia mencari-cari ke semua arah namun tak ditemukannya sosok perempuan yang dicintainya itu. Gambaran sosok tubuh yang tertandu dan terbungkus kantung mayat mengganggunya. Bahkan gambaran itu kini terpampang tak jauh darinya bersama rombongan tim SAR yang bergerak mendekat.



“Renata ! dimana kamu !!!” Alex meradang. Kesedihan yang menyeruak membuatnya tak bertenaga. Lutut Alex jatuh menumpu pasir. Tatap matanya nanar menyongsong rombongan Tim SAR yang terpaut tak jauh lagi.

“siapa dia, Pak ?” tanya Alex ketika sosok Tim SAR membantunya bangkit. Tatap matanya meminta penjelasan.

“seorang survivor kami temukan tak jauh dari Blank 75, yang lainnya kami temukan jatuh ke jurang dalam, evakuasi ketiganya baru bisa esok hari.”

“siapa dia, Pak ?” nada suara Alex menyirat jika ia tak lagi peduli dengan penjelasan lelaki di depannya. Ia hanya ingin sebuah nama.

“dia perempuan, Renata Riananda. Pendaki asal Jakarta,”

“tak mungkin ! tak mungkin dia Renata ! Renata baru saja bersama saya … Renata ! Renata ! dimana kamu !!” teriak Alex sekencangnya. Tatapannya nanar, kelopak matanya berair.

Tamparan angin gunung menemani gelayut mendung yang menebal. Mentari bersembunyi enggan muncul kembali. Di tengah lentingan debu-debu Mahameru, Alex merapat menghampiri sosok tubuh yang tertandu dan terbungkus rapat. Masih terasa pelukan Renata yang erat menaut, masih terngiang suara Renata ketika menertawainya,

“Kamu tak berubah, Lex. Kamu tetap setia dengan kebodohanmu,”

Alex menangis. Dadanya sesak. Senyum terakhir Renata mulai mengganggunya. Senyum yang bahkan lebih cantik dari senyum Renata di Jayagiri dulu.

***

Mampang Prapatan, 17 Nopember 2009


Arcapada : Shelter terakhir bagi pendaki Mahameru di ketinggian ± 3000 m DPL

Jayagiri : Kawasan eksotik di kaki G. Tangkuban Perahu, Bandung

Cemoro Tunggal :
Cemara satu-satunya di tepi jalur pendakian yang mampu tumbuh di areal vulkanik. Digunakan sebagai penanda orientasi medan saat mencari pintu Arcapada, saat Menuruni Puncak Mahameru.

Blank 75 : salah satu nama jurang di areal pasir vukanik.

Ranger : Polisi hutan

Survivor : Pendaki yang dinyatakan hilang dan sedang berjuang untuk survive

Posting Komentar

 
Top