0

Guntur yang meledak terdengar sangat kuat. Rifky terlonjak dari tidurnya. Kepalanya pening, detak jantungnya terburu. Daun-daun cantigi yang layu di atas kepalanya berjatuhan dihempas angin.

Sesaat Rifki mengumpulkan sisa kesadaran. Tatap matanya menyapu sekeliling.

“God, Please ..” gumam Rifki sambil menilik jam tangan.”empat jam lebih. Sial !” umpatnya. Awan gelap menggantung di atas kepala. Apalagi awan awan itu awan comulunimbus –awan pemantik badai.

Rifki cepat-cepat bangkit. Dia melangkah meninggalkan ranselnya tergeletak di tanah. Rifki berupaya mengukur kondisi medan.

“hmmm .. bahaya ..” ujarnya khawatir. Dia menyesal tertidur lama. Menuruni gunung dalam kondisi badai sangatlah berbahaya. Apalagi melintasi jalan setapak di Jurang Gede. Apalagi merayap di tebing yang longsor. Ah !!

Sekilas Rifki bimbang. Mimik wajahnya berpikir keras. Tapi –

Tatap mata Rifki berkeliling. Tiba-tiba pandangannya berhenti di satu titik. Memicing.

“apa itu ?” Rifki melihat cekungan berukuran dua meter. Bentuknya mirip goa, tapi bukan goa. Cekungan itu dangkal, memiliki bibir lubang. “tempat berlindung .. aku butuh tempat berlindung ..” gumamnya penuh harap. Rifki berdoa semoga tempat itu bisa digunakan bertahan menghadapi badai. Lagipula Rifki optimis bekal makanan di ranselnya cukup untuk dua hari.

Rifki kemudian kembali ke bawah pohon Cantigi. Menggulung matras dan mengambil Ransel. Ia lantas menuruni jalan berbatu mendekati cekungan itu. Setelah melongok ke dalam, “Thanks, God. Cukup,” ujarnya lega. Cekungan itu sedalam dua meter. Cukup baginya meringkuk di dalam sambil membuat perapian. Lagipula di tempat itu terdapat bekas-bekas perapian yang masih bisa digunakan. Sepertinya cekungan itu pernah digunakan pendaki bermalam, atau, bisa jadi digunakan para pertapa yang mencari ketenangan seperti di gunung lainnya. Untuk melawan tamparan angin badai, Rifki menutupi bibir cekungan dengan kain tenda miliknya.

Sementara angin gunung menderu. Suaranya teramat kencang hingga terdengar mirip deru kereta api. Pohon-pohon pinus-cemara bergerak condong serentak. Perdu-perdu di dinding tebing bergoyang kuat kanan kiri.

Angin gunung mengalir dari puncak gundukan-gundukan bukit. Ketika terhalang tebing dan jurang, aliran angin meliuk membentuk pusaran. Hawa beku tercipta seketika. Di ketinggian 3100 mDPL, beku bukan lagi berarti dingin. Beku berarti suhu udara turun drastic di bawah nol derajat celcius. Hujan es tercipta. Titik-titik air yang menempel di bebatuan, dedaunan, berubah bentuk menjadi bunga-bunga es.

Tanda-tanda datangnya badai semakin nyata. Suhu udara turun drastic. Tiupan angin menerbangkan aroma air yang pekat. Suhu udara dibawah normal ini membuat tubuh Dita menggigil. Bibir bergetaran, jari-jemari terasa kaku. Tamparan angin gunung tak henti-henti menerpanya. Dita pasrah tak memedulikan hidup atau mati. Perasaan Dita hancur. Gadis itu menangis sejadi-jadinya.

“Rheeennn .. Rhenooo .. kamu bodoh ! kamu jahaaaattt !” Dita mengisak sambil menggigil. tetapi teriakan Dita tak mungkin disahuti Rheno yang kini teronggok di dasar jurang. Rheno memilih memutus tali daripada menunggu batang perdu tumbang atau tercerabut dari akarnya. Saat memutus tali, Rheno tak berpikir mati, dia berharap akan tersangkut di rimbun pepohonan atau terhempas di atas perdu. Tetapi harapan tinggal harapan, kenyataannya Rheno jatuh mendebum di paparan tanah berbatu. Tulang-tulang rusuknya melesak –remuk berantakan.

Dita menangis tak berkesudahan. Kelopak matanya sembab. Tak terbayang Rheno yang meluncur jatuh, dan meski berkali-kali Dita memanggil, tak sekalipun Rheno menyahut.

Kematian, bagi Dita, tak lagi menakutkan. Andai saja ranselnya masih di punggung, hal pertama yang ingin dia lakukan adalah mengambil pisau lipat dan memotong tali yang menopang tubuhnya. Persetan dengan kematian, Dita ingin secepatnya bersama Rheno.

“aku benci !! aku benci !!! aku benciiiiiiiii !!!” Dita terteriak-teriak hingga suaranya serak. Tubuhnya bergoyang kuat. Menendang, menarik tali, memantul-mantul tubuh, Dita berharap perdu penopang tali secepatnya patah atau tercerabut akar-akarnya.

“Rhen .. kamu jahaat .. kamu jahaaatttt,” Dita sesak menahan sedih. Dia nyaris putus asa. Tetapi, setelah menangis cukup lama, Dita teringat kata-kata Rheno sesaat sebelum jatuh.

“Kamu harus melupakan ini semua, Dit. Berjanjilah .. aku mencintaimu, Anindita,”

Dita teringat tatapan Rheno yang jujur, pasrah, sesaat sebelum merelakan keselamatan hidupnya demi dirinya. Dan kini nyata-nyata perdu penopang tali terlihat berhenti bergerak.

Sementara kegelapan awan menyelimuti areal selatan Puncak Welirang. Guntur meledak berulang kali, melontarkan gema yang keras ketika memantul di dinding tebing. Awan-awan kian pekat, menggantung. Selang tujuh menit kemudian, hujan dan amukan angin menampar-nampar tak kenal ampun. Rapatnya derai hujan membuat jarak pandang tersisa lima meter.

Dita perlahan-lahan menarik tubuhnya ke bibir jurang. Pakaiannya basah kuyup. Meskipun kaki dan pinggulnya cidera, Dita akhirnya berhasil keluar. Tubuhnya menggigil, dagunya bergemeretak menahan dingin.

Sesampai di bibir jurang, Dita merangkak menjauh. Ia merebahkan diri di atas tanah –tak memedulikan air hujan bercampur tanah yang mengotori rambutnya. Gadis itu kembali menangis sejadi-jadinya. Dia menyesali keputusannya yang memaksa Rheno menuju puncak.

Dita melolong panjang sambil tak henti-henti menyebut nama Rheno. Dita berharap keajaiban bagi kekasihnya.

Tak jauh dari puncak Welirang, Rifki meringkuk di dalam cekungan batu. Badai terasa luar biasa, amukan angin menampar-nampar kain tenda yang digunakannya menutup bibir lubang. Perapian kecil di cekungan bagian dalam memberikan kehangatan yang cukup meskipun asapnya membuat mata terasa pedas.

Suara deru angin terdengar lebih dahsyat di puncak Welirang. Tiupan angin menerobos gundukan bukuit-bukit, mengalir melewati Jurang Gede, dan seketika terpelanting saat menemui penghalang berbentuk limas setinggi lima ratus meter, yaitu Puncak Welirang. Rifki berada di kaki limas itu. dan di tempat itu, guntur yang menyambar-nyambar serasa meledak di atas kepala. Mendengar suara guntur yang meledak berulang-ulang, nyali Rifki tinggal seujung kuku. Kekuatan alam tak mungkin dilawan. Dan barangkali jika tak cepat-cepat menemukan cekungan, dia bisa bisa mati di tempat ini. Ya. Mati karena kebodohan kecil. Rifki sangat-sangat menyesal –kenapa bisa sampai tertidur di puncak hingga tak menyadari ancaman badai di sekeliling.

Posting Komentar

 
Top