0



CHAPTER III : MELANJUTKAN PERJALANAN
Genap pukul tujuh, matahari yang memanjati langit menghujam terik hingga kepekatan kabut tercerai berai. Perapian telah dimatikan. Dita dan Rheno bersiap melanjutkan ekspedisi.
“sudah semua, Dit ?” Rheno bertanya sambil mengencangkan tali ransel. Sejurus kemudian pandangannya menyapu semua penjuru –barangkali ada peralatan tertinggal.
“sudah semua, Rhen. Nggak ada ketinggalan,” ujar Dita sambil menghampiri ranselnya. Dita kemudian menggerak-gerakkan kaki, meregangkan otot sebelum mendaki.
“semoga cuaca tak berubah,” Rheno memandang langit. Dita terpancing
“aku optimis cuaca cerah, Rhen. Lihatlah, tak ada awan mendung sedikit pun. Musim penghujan sudah lewat,”
Langit membiru penuh. Angin bertiup sepoi-sepoi. Selepas melihat langit, tiba-tiba Rheno memandang Dita dengan tatapan mengamat-amati.
“apaan sih, Rhen ? Dita risih. Dan Rheno tersenyum nakal
“memang benar kata Rifki. Keliaran yang berpadu kelembutan membuat perempuan Nampak eksotis.”
“ah, sudah ! ga usah belajar ngegombal !” Dita pura-pura marah. Tangannya meraih ransel dan mengaitkannya di punggung. Keduanya kemudian melangkah menuju jalan setapak menuju puncak gunung Welirang.

Bebatuan dan ilalang dibasahi embun beku. Nampak dua ekor jalak hutan menyadur embun dengan paruhnya. Awalnya jalan setapak lurus dan datar. Namun lima belas menit kemudian, jalur pendakian berubah angkuh. Bongkah-bongkah sebadan kerbau berserakan. Pohon-pohon pinus purba berdiameter dua meter memagar di kanan-kiri; hingga terik matahari terhalangi juluran dahan dan daun-daun.

Nafas Dita terburu, dirinya berjuang sekuat tenaga menghindari bebatuan dan ranting-ranting. Tumbangan pohon sesekali rebah di tengah jalan. Dita terpaksa merayap, merangkak, melompat, dan bahkan seringkali ranselnya tersangkut saat merayap di bawah tumbangan. Wajah Dita terlihat lelah. Keringatnya bercucuran. Rheno membimbing tangan Dita ketika melintasi medan berbahaya. 
Sepanjang perjalanan pemandangan rimba belantara menggetarkan hati Dita. Kabut yang berkejaran, rimbun pepohonan yang menutupi punggung gunung, burung liar yang terbang melintas, suara kawanan kijang yang menguik dan berlari menyingkir, sempat pula Dita dan Rheno terkejut ketika sebatang ranting Rasamala hampir jatuh mengenai mereka. Dita dan Rheno berhenti. Mereka menilik ke atas. Ternyata tepat di atas mereka –seekor monyet hitam berukuran besar bertengger seolah mengawasi. Dita khawatir monyet itu menyerang, tapi Rheno tetap tenang. Rheno percaya jika binatang liar tak mungkin menyerang alasan. Dan benar saja, tak lama berselang setelah puas mengamati  daerah kekuasaan –primata besar itu berayun menyingkir.  
Semakin tinggi mendaki, vegetasi hutan mulai berbeda. Pinus-cemara mulai jarang, vegetasi perdu; kembang gunung; dan semak-semak liar –memenuhi punggung-punggung lembah. Kembang-kembang liar bermekaran, pupus-pupus muda bertonjolan melanjutkan juluran batang. Beberapa edelweiss –anaphalis javanica, berjajar di tepi lereng.
Matahari terus meninggi, hampir sampai di tengah langit. Tenaga yang terkuras membuat tempo pendakian melambat. Dita dan Rheno menghabiskan empat jam perjalanan –hanya untuk menempuh duapertiga perjalanan menuju puncak.

Fisik Dita mulai lemah. Langkah kakinya semakin pendek. Rheno menghawatirkan kondisi Dita, apalagi di langit selatan –Rheno melihat gugusan awan gelap berdatangan.  



sumber gambar : fotokita.net

Posting Komentar

 
Top