1

“bagaimana  kondisi kakekmu ?“
“alhamdulillah, Pa. Kondisi Kakek sudah membaik,”
“Syukurlah kalau begitu,” dadaku lega mendengarnya.
“fisik Kakekmu sebenarnya masih kuat, beliau rutin berolah raga. Cuma kurasa, Kakekmu mengalami kelelahan yang sangat,” lanjutku.
“Iya, sepertinya demikian, Pa. Dokter menduga hal yang sama,” puteraku menimpaliku dengan hormat.
Sore ini, kami berdua tengah menikmati teh hangat buatan istriku di beranda rumah –sambil memandangi puluhan layang-layang yang menari di angkasa.
Ya. Sepertinya musim kemarau yang baru tiba tak menghalangi anak-anak berlomba menaikkan layang-layang dan mengadunya. Tetapi layang-layang yang diadu bukanlah layang-layang hias yang berekor panjang. Layang-layang aduan adalah layang-layang belah ketupat tanpa ekor yang gerakannya lincah menyambar-nyambar serupa burung srigunting.
Puteraku sesekali tersenyum melihat layang-layang yang beradu berpilin-pilin. Sesaat wajahnya tegang, sesaat kemudian nampak lega. Ah, kurasa dia memiliki jagoan tersendiri.
Sambil menyeruput teh hangat, puteraku sesekali memandangku.
Sebelumnya kukirim dia menjenguk Kakeknya yang terbaring sakit di kampung –sekalian mengobati kerinduan keduanya. Karena konon, hubungan antara bapak dan anak tidaklah seromantis hubungan antara kakek dan cucunya. Hubungan pertalian darah antara manusia yang lahir dari generasi yang terpaut jauh –tidaklah memantik egoisme menggelikan seperti yang lazim terjadi antara seorang bapak kepada anaknya.
“Kakekmu cerita apa ?” tanyaku sambil menyeruput teh. Kupandangi salah satu layang-layang berekor panjang. Layang-layang yang terindah.
“Kakek cerita banyak, Pa”
“Oh ya ? cerita apa ?” tanyaku yang memandang puteraku
“kali ini kebanyakan tentang Papa di masa kecil,” puteraku menoleh ke arahku. Tatap matanya terkesan menunggu reaksiku. Aku pura-pura tak tertarik.
Sesaat kupandangi paras puteraku yang mirip almarhumah ibuku. Ingin rasanya aku berkata-kata namun, kata-kata yang kupersiapkan sepertinya tak tepat. Kuseruput cangkir tehku, pandanganku kembali menerawang ke langit. Masih ke layang-layang terindah.
“Pa, apa benar sewaktu kecil, Papa lah yang paling bandel diantara anak-anak sekampung ?” puteraku tersenyum kepadaku. Aku pun membalas senyumnya yang terkesan menggodaku.
“kalau cerita Kakekmu demikian, aku tak bisa mungkir,” aku tersenyum simpul.
“tetapi kata Kakek juga, Papa bukan hanya yang paling bandel, Papa juga yang paling cerdas di antara kawan-kawan Papa,”
Senyumku melebar mendengar kalimat puteraku. Ingatanku menaut masa lalu.
“Iya, meski saat itu umurku jauh lebih muda, aku bisa mengakali ataupun memerintah anak-anak yang lebih tua dariku. Kukepalai mereka mencuri ketela rambat di ladang, kuajak mereka mencuri segebok tebu, semua rencanaku pasti diikuti mereka, he he” aku terkenang. Tertawa menggeleng kepala.
“tapi untunglah bukan hanya kebandelanku yang meruncing. Papamu ini dikaruniai Tuhan otak yang runcing pula. Juara kelas tak pernah lepas dari tangan Papa,”  
“Iya, Pa. Kakek cerita demikian,” puteraku menimpali. Aku tersenyum.
Obrolan semacam ini mustahil berlangsung seandainya puteraku masih kanak-kanak. Tak mungkinlah kuumbar cerita kenakalan masa kecilku kepadanya. Setelah dia beranjak dewasa, cerita sejenis masa kecilku menjadi jelmaan nostalgi waktu yang paling romantis. Aku sudah paruh baya, dia sudah dewasa. Mengenang masa kecil, baik masa kecilku maupun masa kecilnya –seakan melihat kembali warna yang paling cerah di perjalanan hidup kami.
“tetapi, Pa .. ada sesuatu yang ingin kudengar dari Papa,” kata-kata Puteraku menyela ngelangutku.
“tentang apa itu ?”  
“tentang Kakek, Pa. Kali ini semuanya tentang Kakek dan Papa,”
Aku tak menimpali kalimatnya. Kutatap matanya sambil menunggu.
“Selama menjadi seorang anak, bagaimana kesan Papa terhadap Kakek,”
“Hmmm,” pertanyaan puteraku membingungkanku. Aku tak mengerti jalan pikirannya. Pertanyaannya lantas kuambil alih.
“bagaimana jika kaujawab dulu pertanyaanku, seperti apa kesanmu terhadapku sebagai seorang Papa, kau sudah 23 tahun sekarang,”
Kucoba menilik jalan pikiran puteraku. Kualihkan perhatiannya dengan harapan kumengerti arah pertanyaannya. Namun mendengar pertanyaanku, ekspresi wajahnya nampak biasa.
“Bagiku Papa adalah lelaki yang baik. Seorang ayah yang mendidik anaknya dengan cara demokratis. Seorang suami yang menyayangi Mamaku dengan lembut. Papa sekuat mungkin memberikanku yang terbaik, dan aku berterima kasih dengan itu, Pa.”
Aku mengangguk pelan. Terharu dengan kejujurannya.
 “tapi di atas itu semua, Pa. Kusyukuri hubunganku dengan Papa adalah hubungan yang dekat. Papa bukan hanya menjadi Ayah yang membanggakan, tapi Papa bisa menjadi seorang teman,”
Nah, kini kutahu arah pembicaraannya. Pasti tentang kedekatan hubunganku dengan Bapakku.
“sekarang giliran Papa menjawab pertanyaanku,” tagihnya.  Aku lantas membuang pandangan ke langit. Menikmati tarian layang-layang.
“hmmm ..” kuhela nafas dalam-dalam.  Kupilih kata-kata yang kuanggap pas mewakili pikiranku. Tapi –
“apakah selama ini kau lihat ada yang salah antara aku dan Kakekmu ?” tanyaku memandangnya. Tatap matanya menyapuku.
“mungkin tidak bagi Papa, tapi iya menurutku. Papa dan Kakek punya masalah,”
Aku tertegun mendengar kata-katanya. Kejujurannya.
“kau sudah dewasa, Nak.  Sebenarnya pertanyaanmu tak perlu kujawab. Dan mungkin, kau juga sudah mendengar dari Kakekmu,”
“tetapi belum semuanya, Pa. Aku juga ingin mendengar dari Papa.” kejarnya
“lantas, apa kata Kakekmu ?” pertanyaanku membentuk pertahanan.
“baiklah kalau Papa tak ingin menjawab. Tetapi kupikir, Pa, ada baiknya Kakek dan Papa sama-sama berdamai dengan waktu, mumpung masih ada waktu,”
Aku tertegun. Kupandangi wajah puteraku dalam-dalam. Aku tak bereaksi.
“Iya, Pa. Meski Papa memungkirinya, aku tahu kalian berdua ada masalah,” tatap matanya mulai gusar.
“masalah yang dihadapi sebenarnya lumrah, Pa. Masalah yang muncul dari dua lelaki yang terlahir di jaman berbeda. Aku tahu Papa dan Kakek memiliki kesamaan karakter. Meski Papa memungkirinya, Papa dan Kakek adalah lelaki yang sama-sama kesulitan menekuk ego,” lanjutnya lepas.
“Kakek berwatak keras karena hidup di jaman yang serba terbatas, sementara Papa berwatak keras karena protes dengan cara mendidik Kakek yang Papa pikir tidak demokratis atau ketinggalan jaman,”
“Papa ingin keluar dari dari bayang-bayang Kakek, Papa ingin menjadi antithesis Kakek, tapi disadari atau tidak, watak Papa sebenarnya duplikat watak Kakek. Walau akhirnya Papa mendidikku dengan cara demokratis, bukan berarti watak Papa berbeda dengan watak Kakek. Semua yang Papa lakukan lebih bersifat balas dendam atas apa yang tidak diperoleh Papa di masa kecil. Papa tak ingin  aku mengalami hal yang sama. Iya kan, Pa ? tapi sebenarnya yang kusayangkan adalah hubungan kalian jadi kaku, Pa. Hubungan Papa dan Kakek tidaklah cair,” puteraku menghela nafas sejenak.
 “kini Kakek kesepian di usia tuanya, Pa”
Kalimat-kalimat panjang puteraku menyeret kenangan masa laluku. Ingin rasanya aku mungkir tapi – ah, sudahlah. Aku memilih diam dan merenung. Tapi, seperti itukah hubunganku dengan Bapakku ? kaku. Ah,
“aku tahu jika sejak muda Papa jarang berkomunikasi dengan Kakek,” lanjutnya lagi
“tetapi setidaknya aku tetap hormat kepada Kakekmu,” ujarku membela diri.
“Iya, Pa. Aku tahu. Tapi hubungan seorang ayah dan anaknya tak cukup hanya dengan hormat. Hati mereka hasruslah dekat,” puteraku memandangku dengan tatapan sayang, tatapan hormat.
“Papa sudah menjadikanku dekat dengan Papa, seharusnyalah Papa dekat dengan Kakek. Tidak seperti sekarang, Pa. Kalian berdua sama-sama sekeras karang,”
“tetapi jamanku dan jamanmu jauh berbeda, Nak” ujarku lembut.
“Iya. Aku tahu, Pa. Dan Papa pastilah tahu jika kasih sayang dan kedekatan emosi tak ada korelasinya dengan jaman,” puteraku membantahku dengan santun. Aku enggan membantahnya lagi.
“sebenarnya begini, Nak. Aku dan Kakekmu pada hakekatnya tak ada masalah. Cuma benar kata-katamu, aku dan Kakekmu tak memiliki kedekatan emosional,” kupandangi puteraku meminta pengertiannya.
“tapi terus terang, aku tak pernah membayangkan jika Kakekmu sekarang ini merasa kesepian. Benarkah itu ?”
“tentu Iya, Pa. Apa bukan kesepian namanya jika Kakek menceritakan masa kecil Papa dengan sedetil-detilnya. Kakek mengingatnya dengan jelas, Pa. Sampai hal yang sekecil-kecilnya. Beliau merindukan kehadiran Papa seperti masa kecil dulu,”
“apa iya ?” aku tertegun.  Tapi puteraku enggan mengomentari.
“Papa sekarang sudah sukses, Pa. Segalanya tersedia. Tapi setidaknya, tengoklah Kakek bukan sekedar gugur kewajiban sebagai anak, tengoklah Kakek dan penuhilah kekosongan jiwa beliau,”
Tenggorokanku tiba-tiba kering kasat mendengar kata-katanya.
“mungkin, semua yang akan kuceritakan padamu sudah diceritakan Kakekmu. Tapi biarlah, mungkin dengan ceritaku pemahamanmu jadi lebih lengkap. Pelajaran-pelajaran seputar Kakek dan Papamu ini bisa kau gunakan di keluargamu nanti,” ujarku lembut

“aku ini, Nak. Tumbuh besar dan dididik keras oleh Kakekmu. Dan memang benar kata-katamu, aku tumbuh menjadi antithesisKakekmu,” kuhela nafas sejenak. Kupandangi wajah anakku.
“jauh kusadari jika watakku memang keras, kusadari itu. Karena itulah kau kudidik dengan cara lain, dengan cara yang sebenarnya kuingin Kakekmu mendidik aku di masa kecil,”
Puteraku memandangiku dengan seksama.
“aku ingat suatu ketika setelah dikhitan .. kala itu umurku masihlah 9 tahun. Kakekmu mengatakan jika khitan adalah tanda jika lelaki sudah dewasa. Lelaki yang telah dikhitan harus serta merta melakukan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab. Tak ada lagi main-main. Semua harus serius.”
“baju-bajuku haruslah kucuci sendiri. Shalat, mengaji, belajar, harus ditegakkan tanpa kompromi. Lalai sedikit saja, telapak tangan Kakekmu pasti mendarat keras di pipiku. Seperti itulah cara Kakekmu mendidikku. Kau tentu bisa membayangkan bagaimana rasanya seorang anak yang dikondisikan demikian,”
Tatap mata puteraku menungguku.
“sebenarnya bukan hanya Kakekmu yang jiwanya kosong, Nak. Aku pun demikian.  Dengan didikan Kakekmu yang keras, otomatis aku tak dekat secara emosi dengan Kakekmu. Saat melihat kawan-kawanku yang dekat secara emosi dengan Bapaknya, terus terang aku iri, Nak. Itulah kekosongan hatiku yang tak bisa dipenuhi Kakekmu.”
“tak pernah ada cerita-cerita keakraban antara bapak dan anak seperti aku dan kau, Nak. Saat di kejauhan di jalan yang sama kulihat Kakekmu menuju ke arahku, aku cepat-cepat menyingkir daripada tervonis sesuatu. Aku memilih belok daripada serba salah,”

“kurasa Kakek sebenarnya disiplin, Pa. Kebandelan Papa pastilah berkaitan dengan prinsip dan cara didik Beliau,”
“ya .. ya .. kurasa demikian. Tapi mungkin caranya saja yang kurang tepat. Bahkan saat aku menempati juara satu di sekolah, Kakekmu tak pernah sekali pun menghadiahi ucapan selamat.”
“sampai seperti itu, Pa ?” puteraku tersenyum kepadaku
“Iya. Kakekmu memang seperti itu,” ujarku membalas senyumnya. Rasa-rasanya mengenang masa kecilku menghanyutkanku.
“hingga puncak menegangnya hubunganku dengan Kakekmu terjadi semasa aku kuliah semester lima,”
“Kakekmu menamparku keras-keras karena dianggapnya lalai melakukan tanggung jawab. Aku lupa mencuci pakaianku sehingga memberatkan Nenekmu yang sedang sakit,”
“Kakekmu yang saat itu marah kuteriaki keras-keras. Aku protes kepadanya. “Pak ! apa tak ada bahasa lain selain tamparan !! aku bisa memperbaiki kesalahan  !! aku sudah dewasa !! jangan perlakukan aku seperti anak kecil !!” kata-kataku yang demikian membuatnya menyingkir dari hadapanku. Aku tahu aku salah sebagai anak,  tetapi, setelah itu Beliau tak pernah menamparku lagi,”
“seperti itukah, Pa?”
“iya. Seperti itulah aku dan Kakekmu. Dua lelaki keras yang ditakdirkan bertemu dan bertalian darah,”
“tetapi kurasa, Pa. Papa pastilah mengagumi Kakek,”
“oh, itu pasti, Nak. Aku sangat-sangat mengagumi Kakekmu. Beliau adalah lelaki yang kukuh dan bersemangat tinggi. Kakekmu mengajariku untuk terus optimis dan tak putus harapan. Kutahu beliau lahir dan dibesarkan di keluarga yang serba terbatas, tapi, semangat untuk memberikan anak-anaknya yang terbaik adalah kekuatan yang mampu mengubah keterbatasan menjadi keajaiban pencapaian. Meskipun beliau hanya tamatan sekolah rakyat, tetapi, aku dan Pamanmu diluluskannya menjadi insinyur,” kuucap kata-kataku penuh kebanggaan.
“beliau mengajariku arti kejujuran. Beliau tak pernah telat berada di shaf terdepan ketika shalat. Bahkan yang kuingat sampai sekarang, beliau mewajibkan dirinya mengajari al-fatihah kepada anak-anaknya sebelum orang lain. Hal ini dikatakannya kepadaku sewaktu aku beranjak dewasa,”
“dengan itu semua, apakah Kakek telah berhasil mendidik Papa ?”
“Iya. Tentu saja. Bahkan saat kau lahir, sempat terbersik ketakutanku tak  bisa melampaui keberhasilan Kakekmu mendidikku,”
“jadi, Papa dan Kakek sudah terbiasa diam satu sama lain?”
“Iya. Seperti itulah. Diam. Tetapi aku sangat hormat padanya,”
“aku mengerti, Pa. Di antara kalian ada dinding es yang belum mencair,”
“apa mungkin lebih baik jika seperti itu ?” tanyaku
“tentu tidak, Pa. Jiwa Kakek dan Papa sama-sama kosong dan butuh diisi,”
“lantas, bagaimana menurutmu ?” kuminta saran puteraku. Aku merasa kekanak-kanakan.
“apakah Papa merasa Kakek sayang kepada Papa ?”
“sayang di satu sisi, keras di sisi yang lain. Kerasnya watak Kakekmu membuatku menjauhinya,”
“tak pernahkah Kakek mencoba dekat dengan Papa ?”
“entahlah, kurasa tidak. Atau .. barangkali aku telah lupa,”
“kurasa Papa lupa segalanya,” puteraku menimpali sambil tersenyum.
“Papa, ingatkah peristiwa layang-layang di masa kecil Papa?” puteraku memandangiku lembut, sejenak kemudian tatapannya beralih menuju layang-layang yang terbang di langit.
“peristiwa yang mana ? apa Kakekmu cerita ?”
“ah. Papa. Ternyata Papa memang lupa segalanya,” puteraku tersenyum.
“Kakek bercerita kepadaku, Pa. Suatu ketika Papa meminta dibelikan layang-layang. Tetapi Kakek tak bersedia,” tatap mata puteraku menungguku.
“hmmm ..” aku berjuang keras mengingatnya. Sambil tentu saja berekspresi pura-pura mengerti.
“Papa protes keras dan sempat mengancam mogok sekolah,” lanjutnya
“ah, ya .. ya .. aku ingat. Aku ingat. Kurasa Kakekmu sangatlah tak bijak waktu itu, padahal harga layang-layang tak seberapa,”
“tidak, Pa. Bukan demikian kejadiannya. Papa salah interpretasi,”
“Papa harus tahu, Pa. Saat itu Kakek mempersiapkan hadiah buat Papa. Beliau ingin menghadiahkan layang-layang yang terbaik,”
“Iya, mulai ingat, Nak. Kakekmu akhirnya memberikanku layang-layang yang terbesar dan terindah buatku. Empat kali lebih besar dari yang biasa diterbangkan kawan-kawanku,” aku terkenang.
“tapi kurasa saat itu Kakekmu membuatkanku layang-layang hanya karena takut ancamanku,”
“bukan, Pa. Kakek tulus membuatnya. Beliau ingin membuat Papa senang,”
“tetapi layang-layang itu kemudian tersangkut di pohon Salam, aku dan Kakekmu tak bisa berbuat apa-apa karena pohon itu terlalu tinggi untuk dipanjat,”
“Iya, Pa. Kakek cerita demikian.  Beliau kemudian mengajak Papa pulang dan mengajari Papa membuat layang-layang yang lebih indah,”
“ya ya .. aku mengingatnya.  Tetapi .. tetapi aku terkejut ingatan Kakekmu sejernih ini,” aku terharu. Kelopak mataku berkaca.
“sekalian saat itu Kakek berpesan kepadaku agar menjaga kedekatanku dengan Papa,”
Kalimat puteraku mengejutkanku.
“beliau bilang, tak ada yang lebih diharapkan dari belas kasih seorang anak kecuali perasaan dekat dengannya. Kakek merindukan sesuatu yang belum dilengkapinya di masa kecil Papa. Beliau ingin berbincang karib dengan Papa, ingin bertukar pikiran,”
Dadaku menggejolak mendengar kata-demi kata yang diucapkan puteraku.
“tak ada yang lebih diharapkan lelaki tua selain perasaan puas telah mendidik generasi yang lebih baik dari dirinya, beliau mengatakan itu padaku, Pa. Beliau kemudian mengatakan harapan tersembunyi –ketika Kakek mengalunkan adzan di telinga Papa sewaktu Papa baru lahir. Saat itu beliau berharap, atau mungkin lebih tepatnya berangan-angan bahwa, Papa lah yang nantinya mengalunkan adzan di telinga Kakek ketika dilepaskan di liang lahat,”
“Seperti itukah cerita Kakekmu padamu ?” mataku yang berembun tiba-tiba menitikkan air mata.
“Iya. Pa. Seperti itu. Tidak lebih, tidak kurang,”
Aku tertegun. Puteraku menatapku lembut. Setelah menyeka air mata, kini kutahu aku harus berbuat apa.  

Awal Ramadhan 1431 H

Juni 2010

Posting Komentar

  1. Inget layang-layang jadi inget waktu2 masih kecil nih gan jadi sedih,Minta duit cuma buat beli layang2 aja saya smpe nangis gan padhal hrganya cuma 150 perak.

    Kunjungan balik y gan :
    www.majalah45.com

    BalasHapus

 
Top