0

Suatu hari, di ujung sore yang cerah, Mariana dan Mursy, suaminya, duduk berdampingan menekuk kaki di lantai tertinggi gedung perkantoran –di Jakarta Selatan. Mereka memandangi deretan gedung-gedung pencakar langit di kanan-kiri, di kejauhan. Kemilau senja yang menguning keemasan membuat Mariana teringat sesuatu.

“Pa, hampir lima belas tahun tahun usia perkawinan kita,”

“ya-ya-ya .. tak terasa, lima belas tahun sudah,” Mursyi tersenyum, memandangi wajah Mariana yang masih cantik. Kerutan-kerutan di wajah Mariana mulai nampak jelas. Tapi yang membahagiakan Mursyi, wajah Mariana tak menampakkan kegelisahan. Perusahaan-perusahaan yang mereka rintis berkembang sangat cepat, gedung yang saat ini mereka duduki adalah gedung milik sendiri.

“Pa, jujur saja aku masih penasaran,”

“penasaran apa, Ma ?”

Mariana ragu. Memandang Mursyi sejenak. Hendak mengurungkan kata-katanya. Mariana merebahkan kepala di bahu Mursyi.

“katakan, Ma, penasaran apa ?” Mursyi melingkarkan tangan di pundak Mariana, “aku sudah bersumpah kepada Tuhan untuk memenuhi semua yang kamu inginkan. Selama aku mampu, akan kupenuhi. Ayo, katakan, apa yang membuatmu penasaran,”

“tapi … ini bukan perkara mudah, Pa” Mariana ragu, memandang Mursy. Mursy membalasnya dengan tatapan menunggu.

“mmm .. cincin kawin kita, Pa” ujar Mariana, “Papa pernah membayangkan, ga ? dimana cincin kawin kita ?”

“hmmm .. cincin kawin,” Mursyi menghembuskan nafas panjang. “entahlah .. kalau kamu tanya itu, aku repot menjawabnya. Cincin itu sudah digadaikan sepuluh tahun lebih. Kecil kemungkinan belum dimiliki orang lain,”

Tangan Mursyi lantas meraih tangan kiri Mariana.

“apa cincin ini kurang cantik, Ma ?”

“ah, tidak, Pa. Tidak .. bukan begitu .. aku .. aku cuma penasaran cincin itu, tidak lebih,”

Mendengar kata-kata Mariana, Mursy terseret masa lalu. Ya, cincin emas yang dimaharkannya kepada Mariana berbentuk bulat penuh, berwarna kuning kusam, terdapat tanda M-M di lingkaran bagian dalam. Simbol Mursyi-Mariana.

“kamu ingin mencarinya ?”

“mencari cincin itu ? ah, tak usah, Pa.” Wajah Mariana ragu, “pasti susah mencarinya,”

“susah bukan berarti tak bisa, kan, Ma. bukankah kamu penasaran ..”

“iya. Tapi –“

“sudahlah. Akan kucari cincin itu .. “ Mursyi meraih tangan Mariana dan menciuminya. Terkenang ketika Mariana jadi tukang cuci keliling. Tangan Mariana sering kering, kasar, pecah-pecah.

***

Mursyi dan Mariana kemudian mendatangi pegadaian tempat dirinya menggadai cincin. Namun sesampai disana –

“wah, mustahil Bapak-Ibu menemukannya. Apalagi tujuh tahun lalu,” kata petugas pegadaian dengan wajah menyesal. “dokumen-dokumen kami banyak, Pak. Tumpukan. Ratusan ribu yang sudah dilelang di tempat ini. Mencarinya sama seperti mencari jarum di tumpukan jerami,”

Mariana menyerah mendengar kata-kata petugas pegadaian, tapi Mursyi belum.

“tapi ... secara teknis apa masih bisa ditelusuri, Pak. Yang kami butuh Cuma informasi,”

“iya, Pak. Tapi susah. Kecuali barang itu sudah berjodoh dengan Bapak. Meskipun ada peluang, saya pastikan kemungkinannya kueciiillll sekali,”

Mursyi memasang wajah penuh harap. “kalaulah sejuta-dua juta buat membayar informasi itu, saya siap memberikan, dan saya akan sangat berterima kasih kepada Bapak,” Mursy memandang petugas penuh harap.

Seminggu berlalu. Tak ada kabar dari petugas pegadaian. Mursy dan Mariana menganggap kata-kata petugas pegadaian benar adanya, bahwa cincin kawin itu tak akan ditemukan kecuali sudah berjodoh. Tapi di suatu siang, wajah Mursy tiba-tiba cerah,

“Ma, cincin itu dilelang dua belas tahun lalu. Cincin itu jatuh ke tangan seseorang bernama Masykur. Dia di Surabaya, Ma”

“ada alamatnya, Pa ?”

“ada-ada ... tapi semoga alamatnya belum pindah,” Mursy memandang istrinya yang nampak gembira. “kita ke Surabaya, Ma. Mencarinya. Penerbangan siang,” lanjut Mursyi setengah berteriak. Mariana menghambur memeluk Mursyi.

Tepat pukul dua belas siang hari, Mursy dan Mariana terbang ke Surabaya. Selepas mendarat di bandara, mereka menyewa taksi. Selang dua jam mencari-cari, tibalah mereka di alamat yang dimaksud. Tapi perasaan Mariana tak enak.

“kok tempat ginian, Pa”

“iya, Ma. Aduh .. ini .. ini kan.”

“iya, Pa. Ini lokasi perempuan nakal, Pa. Jangan-jangan .. aduh ..cincin itu.. aduh,” wajah Mariana gelisah. “apa kita urungkan saja, Pa .. kita balik pulang,”

“nanggung, Ma. Daripada penasaran ... tapi, Mama mesti pasrah dengan keadaan cincin itu, apapun hasilnya”,

Mursy dan Mariana masuk ke wisma KEMBANG CEPIRIT. Aroma wangi yang berlebihan menyerbak. Wisma itu lebih mirip rumah sederhana yang memiliki ruang tamu berukuran besar –sekaligus tembus pandang lantaran kaca berukuran besar menggantikan fungsi dinding dan jendela. Di ruang tamu itu berjajar perempuan-perempuan muda.

“mampir,Om, ayo, Om”, “kok bawa sendiri sih, Om”, celetuk beberapa perempuan yang duduk menyila kaki. Dandanan mereka menor, pakaiannya terbuka mempertontonkan lekuk tubuh.

Mariana cemas. Mursyi bingung. Seorang perempuan kisaran umur empat puluh tahun mendekati mereka. Wajahnya cantik, rambut sebahu, tatapannya beku. Perempuan itu menduga Mariana dan Mursyi sedang kesasar.

“eh, mau kemana ?” ujarnya datar. Tatapannya memandang Mariana dan Mursyi bergantian. Mariana memegang lengan Mursyi. Khawatir.

“kami, eh , ini ..” Mariana terbata. “kami mencari Pak Masykur, Mbak. Kami ada perlu dengan beliau,” Mursyi mengambil alih.

“hah ? Masykur ?!” perempuan itu mengernyit, “Masykur sudah tengkurap di kuburan. Kalau masih ingin cari dia, cari saja di kuburan Kembang Kuning,” perempuan itu berkata tanpa ekspresi, tangannya kemudian bersedekap.

“loh, kok mati, Pa,” Mariana terkejut, dia memegang lengan Mursyi lebih erat.

“iya, Bu. Masykur juga manusia. Dia bisa mati. Kalau penasaran bagaimana dia mati, dia kena sipilis, sekarat sebulan,”

Mariana lebih terkejut. Mursyi merangkul punggung istrinya, menenangkan. Perempuan-perempuan di wisma Cepirit senyum-senyum menahan tawa.

“wah .. kalau begitu, saya dan istri saya minta ijin dulu, Mbak,” kata Mursyi, kecewa, sambil memutar tubuh hendak keluar.

“eh, tunggu dulu –“

Mursyi dan Mariana sontak menghentikan langkah.

“ada perlu apa kalian mencari Masykur. Belum genap tujuh hari dia mampus. Apa kalian keluarganya ? aku istri bajingan itu,” perempuan cantik itu mengambil rokok dan menyelipkannya di bibir. Ternyata perempuan itu janda si Masykur.

“bukan, Mbak. Kami hanya ingin mencari tahu keberadaan cin-”

“duhh .. sudah, Pa. Sudah .. kita pergi saja, lupakan cincin itu,” potong Mariana, menarik lengan Mursyi. Tapi Mursyi menatap Mariana dengan tatapan lembut. “Siapa tahu ada jalan, Ma” bisiknya.

Mursyi kemudian menceritakan sejarah cincin kawin yang dicarinya. Dia juga berharap cincin itu ditemukan karena keberadaan cincin itu sangat berarti bagi Mariana.

“hmmm .. sayang sekali,” dengus janda si Masykur, “cincin itu sudah kujual tujuh tahun lalu,” lanjutnya tersenyum kecut. “lelaki telor asin itu ingin mengawiniku. Dia merampas cincin kawin istrinya dan memberikannya kepadaku. Bangsat ! Dan gobloknya aku termakan bualannya … padahal cincin itu cincin murahan,” tatap mata perempuan cantik itu terlihat kesal.

“Masykur meninggalkan istrinya, tinggal denganku, kena sipilis, akhirnya mati,” ujarnya lagi, “dan cara matinya setimpal kelakuannya .. kepalanya nyungsep di WC umum,” dengusnya lagi. “dan yang lebih membuatku kesal, dia meninggalkan utang sejuta kepada rentenir di pasar sebelah,“

Mariana menghela nafas panjang mendengar kekesalan perempuan di depannya.

“jadi ... cincin itu ..” Mariana nampak kecewa.

“Cincin itu sudah kujual. Buat modal judi si Masykur,”

“aduh .. aduh ..” kepala Mariana jadi pusing. Nafasnya sesak. Mursyi merangkul pundak Mariana.

“kenapa jadi begini, Pa .. kasihan cincin itu .. kasihan sekali .. padahal cincin itu .. aduuhh,” Mariana sedih.

“sudahlah, Ma. Sudah ..” bisik Mursyi. “kalo boleh tahu, dimana cincin itu dijual ?” tanya Mursyi kepada janda si Masykur. Janda si Masykur tak bereaksi. Keningnya berkerut. Tapi – ah, tiba-tiba saja wajah perempuan itu berubah cerah. Dia tahu cincin itu sangat berharga bagi Mursy dan Mariana.

“bagaimana dengan ini,” kata janda si Masykur, menempelkan telunjuk dan jempolnya, digerak-gerakkan dengan cepat.

Mariana menatap Mursy dengan tatapan sedih. Mursyi menghela nafas.

“sejuta, cukup ?” tawar Mursyi, datar. Perempuan itu menggeleng. Tersenyum kecut.

“dua juta ?” tawar Mursyi sekali lagi. Perempuan itu berpikir sejenak, tapi akhirnya menggeleng juga.

“dua juta setengah, tawaran terakhir,” suara Mursyi terdengar serius. “tak ada lagi negosiasi, lebih dari itu pemerasan namanya ..”

“ya-ya-ya. Cukup-cukup,” janda si Masykur berbinar. Setelah Mursyi menyerahkan puluhan lembar uang seratusan ribu, Janda si Masykur membeber lembaran-lembaran itu, membentuknya serupa kipas, mengibas-ngibaskannya.

“cincin itu kujual kepada Tacik Meymey. Juragan daging babi di pasar Comboran, hehehe ..”

Kata-kata janda si Masykur membuat Mariana lebih pening. Dia hampir menangis.

***

Mursyi dan Mariana melanjutkan penelusuran. Dia mencari lokasi yang dimaksud Janda si Masykur. Ada tiga kata kunci yang dipegang Mursyi dan Mariana, yaitu : Tacik Meymey; Pasar Comboran; dan juragan daging babi. Sesampai di Pasar Comboran, ternyata mudah saja menemui juragan daging babi yang sukses itu. Lokasi tokonya strategis, berada di pojok perempatan, bercat hijau, tepat di depan tokonya terdapat gardu listrik yang selalu berbunyi ‘trrrttt .. trrrttt ..trrrrtt’ akibat dialiri listrik tegangan tinggi. Mursyi dan Mariana langsung memasuki toko.

“permisi .. Tacik Meymey-nya ada ?” tanya Mursyi kepada perempuan paruh baya bermata sipit di depannya. Postur tubuhnya kecil, berkulit putih, rambutnya keriting merah tak terawat. Bau daging semerbak kemana-mana. Mariana mengibas-ngibas tangan di depan hidung.

“aku Meymey,” jawab perempuan itu, tanpa ekspresi, “kalau lu mau pesen daging babi, lu musti tahu, mulai besok halga naek limalatus pel kilo, ” lanjutnya datar.

“bukan, Cik. Kami tidak pesen daging babi,”

“hmmm ... telus ?” Tacik Meymey memandang Mursy, acuh tak acuh.

“kami ingin tahu keberadaan cincin kawin kami, Cik”

“loh-loh-loh .. kenapa bisa kemali ?” Tacik Meymey bingung. Memandang Mursy dan Mariana bergantian.

Mursy kemudian menceritakan cincin kawin yang sangat berarti bagi Mariana. Mursyi bercerita pula perihal perburuannya, mulai dari pegadaian, janda si Masykur, dan berakhir di toko daging babi milik Tacik Meymey. Tacik Memey ternyata masih mengingat perihal cincin itu.

“oalaaahh .. pelempuan itu tohh .. ya-ya .. aku inget” Tacik Meymey manggut-manggut. “dia jual cincin itu .. kata dia suaminya punya kasbon tak bisa bayal .. suaminya memang doyan maen judi,”

“sekarang dimana cincin itu, Cik ?” tanya Mariana, penuh harap.

“cincin mangkak itu aku kasih ke babu .. si Mimin,”

Mariana terkejut. Dia memandang Mursyi, “terus gimana, Pa ? kok pencarian kita muter-muter terus ..”

“sabar ya, Ma .. sabar ..”

“si Mimin-nya sekarang dimana, Cik ?” tanya Mursy. Mengharap pertolongan.

“si Mimin ada di belakang .. kau bisa tanya dia ..” jawab Tacik Meymey, tersenyum kecil.

“Mimiiiiiinnn .. Mimiiiinnnnnnn !!!!” Tacik Meymey berteriak melengking. Irama cengkok-nya mirip penjual sate.

Tak seberapa lama sosok perempuan muda datang tergopoh. “Ada apa, Cik ? ada apa ?” perempuan itu tergopoh.

“kedua olang ini pengen bicala denganmu .. bicala saja di sana .. di dalam,“ kata Tacik Meymey sambil menunjuk deretan kursi di ruangan toko sebelah dalam. Mursy, Mariana, dan Mimin, kemudian melangkah ke tempat itu. Mursy dan Mariana duduk menghadap Mimin dengan dipisah meja kayu.

Mursy bercerita panjang lebar tentang perburuan mereka, dari Jakarta, hingga Surabaya. Mimin terharu.

“jadi .. cincin ini yang Bapak maksud ?” Mimin menunjukkan benda melingkar di jari manisnya. Mariana berbinar. Cincin itu terlihat jauh lebih kusam.

“cincin ini diberikan Tacik Meymey kepada suami saya, Kang Prapto. Dulunya Kang Prapto tukang kebon disini, merangkap jadi jagal babi. Setelah Tacik Meymey mengetahui Kang Prapto melamar saya, Tacik Meymey menghadiahkan cincin ini untuk dijadikan mas kawin,”

Mursy dan Mariana larut dalam cerita.

“tapi .. sebenarnya .. saya punya niatan menjual cincin ini .. kehidupan rumah tangga kami memburuk,” kata Mimin dengan wajah sedih.

“apa Pak Mursy dan Ibu Mariana menginginkan cincin ini ?” tanya Mimin kemudian. Mursy dan Mariana mengangguk. Mimin melepas cincin dari jari manisnya.

“buat apa saya mengenang perkawinan yang gak jelas macam ini,” kata Mimin, sambil meletakkan cincin di atas meja kayu.

Mariana memandang Mursy, bingung. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Sementara Mursy punya niatan menebus cincin itu dengan sejumlah uang.

“apa Dik Mimin tak keberatan cincin ini kami tebus ?” tanya Mursy, sambil memandang Mimin. Mimin terlihat bimbang. Wajahnya ragu.

“mungkin .. sebelum cincin ini berpindah pemilik, ada baiknya Bapak dan Ibu cerita kepada saya, mengapa cincin ini sangat berarti bagi Bapak-Ibu,” pinta Mimin dengan wajah memelas. Dalam hati sebenarnya dia sayang kepada cincin itu.

Mursy dan Mariana berpandangan, tangan Mariana lantas memegang erat tangan Mursy. Sebelum bercerita, Mariana menarik nafas panjang.

“lima belas tahun lalu, hidup kami susaahh sekali. Makan jarang-jarang, tak memiliki tempat tinggal menetap,” suara Mariana bergetar, “Suami saya bekerja sebagai kuli batu, sedangkan saya sendiri bantu-bantu jadi tukang cuci keliling. Cincin ini dibeli Suami saya … setahun setelah menikah, dia butuh setahun buat ngumpulkan uang … jadi … saat akad nikah pun masih hutang ya, Pa” kata Mariana sambil sekilas memandang Mursy. Mursy mengangguk pelan.

“suatu hari Suami saya ini kena tipes, kami sama sekali tak punya uang, terpaksa cincin itu saya gadaikan ..”, Mariana berkaca-kaca, “separuh uang buat nebus obat, separuh lagi masih sisa. Akhirnya sisa uang itu saya pakai modal jualan nasi bungkus,”

Mursy tersenyum haru mendengar penjelasan Mariana. Mariana menyeka kelopak mata dengan jemarinya.

“Usaha Istri saya alhamdulillah berkembang, Dik Mimin. Setelah tiga tahun jualan nasi bungkus, Istri saya memberanikan diri buka katering, sementara saya buka usaha pertukangan dan bengkel konstruksi. Kebersamaan yang kami lakukan melahirkan tekad kuat untuk mengubah jalan hidup,“ Mursy tersenyum lembut kepada Mariana. Mariana membalasnya dengan tatapan terima kasih.

“Iya, Dik Mimin. Meskipun cincin yang kusam ini cuma simbolis, sebenarnya disitulah gambaran cinta yang kami rasakan. Meskipun serba kekurangan, meskipun jatuh-bangun berkali-kali, kami hanya ingin tetap bersama sampai mati. Cinta bagi saya seperti cincin itu. Bulat, tak punya sisi, tak punya ujung. Setelah hampir lima belas tahun hidup bersama, saya semakin yakin jika ibadah tertinggi saya, di dunia ini, setelah Tuhan, adalah kepada suami saya. Perasaaan hati, tekad, dan cita-cita saya terwakili keberadaan cincin kawin yang sederhana itu ..”

Keharuan menguasai Mariana. Dia lega berhasil menemukan cincin itu –meskipun melalui proses yang melelahkan. Ketika tangan Mariana hendak meraih cincin yang tergeletak di atas meja kayu, tiba-tiba tangan Mimin bergerak lebih dulu mengambilnya. Mariana dan Mursyi terkejut.

“maaf, Bu Mariana, Pak Mursy, Sepertinya saya berubah pikiran,” ujar Mimin dengan tatapan meminta maaf. Mursy dan Mariana berpandangan tak mengerti, “saya masih butuh cincin ini, Bu, Pak. Saya ingin bicara dari hati ke hati kepada suami saya,”

“loh, Pak .. gimana ini, Pak” Mariana menggoyang pelan genggaman tangan Mursyi. Tatapannya bersedih. Mursyi tak bereaksi. Dia menunggu.

“Mendengar kata-kata ibu Mariana, terus terang saya jadi sedih, tapi dengan itu saya jadi tahu .. saya harus berbuat sesuatu dengan rumah tangga saya. Apa jadinya Kang Prapto jika cincin ini saya pindah-tangankan ke tangan Ibu. Saya … berpikir untuk memperbaiki keluarga saya,”

Mariana tertegun, Mursyi tertegun, mereka saling berpandangan.

Tiba-tiba Mursy tersenyum. Mariana menatap Mursyi dengan tatapan tak mengerti.

“sepertinya cincin itu lebih baik berada di tangan Dik Mimin, Ma”

Mariana mengernyit. Berpikir sejenak. Tiba-tiba senyum cantik terbit di bibir Mariana.

“kukira demikian, Pa .. ya-ya .. aku setuju, sangat-sangat setuju,”

***

Surabaya-Bangil
07-11 Januari 2013
sumber gambar : emilsky.blogspot.com

Posting Komentar

 
Top