0

Area tempat mereka berpijak masih cukup lebar. Namun sepuluh meter ke depan, jalur pendakian kembali sempit, tak lebih dari dua meter. Pohon pohon tak banyak tumbuh di dinding tebing. Hanya ada beberapa perdu sebesar lengan. Pohon terbesar di Jurang gede hanya ada satu. Dari jenis cantigi. posisinya lima belas meter dari mereka. Pohon itu seolah menghujamkan akarnya jauh menembus dinding cadas.
“tebing-tebing di tempat ini rapuh. Karena itu longsoran terus terjadi. Bisa runtuh ke jurang. Bisa juga jatuh dari sana,” tatap mata Rheno melihat ke atas. Dita mengikuti. ”pijakan kaki kita ini berada di tempat yang cukup stabil, Dit. Ketika yang lain runtuh dan menyempit, yang ini masih bertahan. Dugaanku tempat ini bukan cadas biasa, bentuknya menggantung, lurus hingga ke dasar jurang.” Rheno mengamat-amati.
“ngarai ini cantik sekali, Rhen.”
“ya. Cantik sekali.” tatap mata Rheno menyapu cekungan luas dan dalam. “tonjolan-tonjolan itu gundukan batu. Di tepi jurang itu pasti ada jurang lagi. Tempat itu liar tak terjamah,” 
“kau berani ke sana ?” goda Dita yang tersenyum.
“boleh,” Rheno tersenyum nakal,”tapi berdua, sama kamu,”
“Ogaaahh.” spontan Dita menyahut. Rheno tertawa lebar. Tiba-tiba tatap mata Rheno tersita perhatiannya.
“eh, Dit. Itu edelweiss ya ?”
“mana ?”
“itu tuh, tapi kok .. warnanya keemasan gitu,” telunjuk Rheno mengarah ke bibir jurang. Dita berpikir sejenak. Tak yakin.
“kayaknya sih edelweiss, tapi ..”
“aku yakin itu edelweiss, Dit. Tapi dari jenis langka.”
Kata-kata Rheno membuat Dita lebih mengamati. Dan ternyata benar. Kembang keemasan itu kembang edelweiss. Tangkai dan dauunya kekuningan. Kuntum-kuntum bunganya keemasan. Kehadirannya di bibir jurang nampak mencolok.
“kamu mau, Dit ?”
“edelweiss itu ? nggak ah, sayang lagi !” Dita keberatan dengan tawaran Rheno. Rheno kemudian melangkah mendekati bibir jurang.
“eh, Rhen ! jangan main-main ! kamu mau memetiknya ?”
“Cuma ambil sekuntum, Say. Edelweiss itu ga akan mati,” Rheno menoleh sekilas, “gak merusak alam, kan ? apalagi kalau diselip di telingamu. Pasti luar biasa cantik,”
“iya, tapi itu jurang, Rhen !” Dita khawatir. Spontan tangannya memegang tali yang mengikat tubuhnya.
Rheno tak menimpali. Dia terus melangkah. Setiba di bibir jurang, Rheno merunduk memetik sekuntum bunga.
“Dit ! lihat !” teriak Rheno sambil memutar tubuh. Tangan kanannya memegang bunga.
“eh, buruan kemari ! ngeri !” Dita terbayang-bayang jurang di belakang Rheno
“kok jadi ngeri, bunga ini cantik, lebih cantik dari kamu,” goda Rheno
“ahh .. aku ga peduli bunganya. Belakangmu itu ! jurang !” teriakan Dita sungguh-sungguh. Dia marah. Rheno malah tersenyum sambil menggeleng pelan.
“apa gunanya tali ini, Say .. apa gunanya ..” gurau Rheno, “nyawa kita bergenggaman. Kalau pun aku jatuh ke bawah, kamu akan –“
Seperseribu detik, kata-kata Rheno terlalu lambat menyadari kehadiran retakan cadas di bawah kakinya.
“cepat kemari, Rhen !!” paras Dita memucat. Namun bibir Rheno masing tetap menyungging senyum.
Kasihan menyaksikan paras Dita yang pucat, Rheno melangkah menjauhi bibir jurang. Ingin cepat-cepat disematkannya edelweiss itu di telinga Dita. Ingin segera direngkuh tubuh Dita sambil membisikkan kata maaf.
Selangkah, dua langkah, pijak kaki Rheno masih normal. Menginjak langkah ketiga –
JLEGHH !!
Tiba-tiba pijak kaki Rheno terlonjak ke bawah.
“Dita ..” Rheno memanggil, suaranya bergetar. Rheno melihat retakan sejarak empat meter di depannya. Dan cadas tepatnya berbijak bergeser turun.
“ada apa, Rhen. Kenapa berhenti ?” Dita keheranan.
“semeter di depanmu,”
Sontak Dita mengikuti arah tatapan Rheno.  Dan –“Rhen .. retakan !“ paras Dita memucat. Retakan cadas di depannya berbentuk memanjang, memisahkan dirinya dan Rheno. 
“cari pegangan, Dit !” teriak Rheno tegang. Saat mencoba melangkah, cadas di kakinya kembali bergeser.
Dita mencari sekeliling, dilihatnya pohon cantigi yang cukup besar sejarak 10 meter. Tebing di depannya pun terlalu rapuh jika dipasang pin pengait. Tebing itu tebing kapur. Pasti runtuh menahan beban tubuhnya.
“pohon itu terlalu jauh, Rhen” suara Dita tercekat. Dia ingin menangis.
“cari yang paling dekat, yang terbesar,” Rheno menahan nafas.
Dita kemudian bergerak cepat ke samping. Tali di tubuhnya dililitkan di dua batang perdu sebesar lengan. Dita menahan nafas. Rheno menahan nafas.
“sudah, Rhen. Sudah,” suara Dita terdengar ingin menangis. Saat Rheno ambil ancang-ancang, kelopak mata Dita berembun.
Degup jantung Rheno berpacu lebih cepat. Langkahnya teramat pelan dan hati-hati. Tarikan nafas dan hembusan nafas mengalir sepelan mungkin. Sementara hawa yang menyentuhi paras Dita terasa dingin dan kering, terlihat sekawanan awan berlayar mendekat dari langit selatan.
Detak jantung Dita serasa berlari. Apalagi dilihatnya posisi Rheno tinggal dua meter dari garis retakan.
“sebentar lagi ... tenang saja,”, keringat dingin mengalir di kening Rheno,”aku akan melom-“
KRAAAKKKKK !! DRRLLL !! BRRRDLLLLL !! JLGERRRH .. BRGGH !!!
Kurang dari sedetik –rekahan cadas runtuh meluncur ke dasar Jurang Gede. Tak hanya bagian retak yang runtuh, rekahan itu menarik sisi tebing di depannya hingga Dita turut terseret. Beruntung tali yang dililitkan di batang perdu berfungsi dengan baik. Akan tetapi –
“Ahh .. Ahh ..” paha dan punggung Dita terlilit tali. Rheno menggantung tujuh meter di bawahnya. Sementara batang perdu yang menahan tali perlahan-lahan condong ke arah jurang.
“Dita !! kau baik-baik saja, Sayang ?” teriak Rheno dengan suara serak bergetar. Tubuhnya terayun-ayun. Ransel dipunggungnya terlepas dan hilang.
“kakiku .. kakiku  .. sepertinya patah, Rhen. Terlilit tali ..uhhhh,” suara Dita menahan sakit. Jemarinya menggenggam erat tali yang menopang.
Rheno berupaya menggapai dinding tebing, tapi jaraknya terlalu jauh, masih semeter lagi. Gerakan dan goyangan tubuh Rheno membuat Dita makin kesakitan.
“Rhen ..”
“kenapa, Sayang ?” Rheno menengadah. Gugup. Sebisa mungkin disembunyikannya ketakutan.
“pohon itu .. pohon itu ..  mau patah,” Dita mati-matian menahan sakit. Rheno terkejut. 
“lemparkan ranselmu ke bawah. Kurangi beban,” Rheno gugup
“ranselku  .. sudah kulepas Rhen.  Dia .. dua meter dibawahku, tersangkut perdu,”
Dada Rheno bergetaran karena gentar. Dia mengutuki dirinya yang tak mampu berbuat apa-apa.
“kau bisa mengayun tali di bawahmu, Dit ? menggunakan kakimu ?”
Dita menahan nafas sejenak. Mati-matian menahan nyeri. Namun, saat kaki yang tak terlilit tali digerakkan, nyeri luar biasa menyerangnya. Dita tak kuat menahan sakit.
Sementara dahan perdu yang menopang tali semakin menjorok ke jurang. Kalau tidak patah, kemungkinan pohon itu tercerabut hingga akarnya.
Goyangan kaki Dita tak membuahkan ayunan yang berarti.
“maafkan aku, Rhen. Kakiku tak kuat ..” air mata mengalir deras di pelupuk mata Dita.
Perempuan itu terisak mengingat upayanya telah patah. Dia pasrah menghadapi detik-detik patahnya pohon penyangga.
“Dita  ..” suara Rheno setengah berteriak, namun bernada lembut. Panggilan itu diucapkannya penuh cinta.“ maafkan aku, Dit. Aku yang membuat kita di posisi sekarang,”
Dita berjuang keras melihat Rheno. Gerakan tubuhnya berhati-hati. Dilihatnya paras Rheno pucat memendam sesal.
“tidak, Rhen. Tidak .. kau jangan berkata seperti itu,” air mata mengalir hingga menitik dari dagu Dita.
“maafkan aku yang tak bisa berbuat sesuatu. Kamu harus melupakan ini semua. Berjanjilah,” Rheno meletakkan edelweiss emas di kantung bajunya.
“apa maksudmu, Rhen ?!” teriak Dita marah.
”aku mencintaimu, Anindita,”
“apa maksudmu, Rhen ?!” teriak Dita. “kumohon jangan berpikir bodoh !” jemari Dita menyeka air mata di pipi, “kalaupun harus mati disini, aku ikhlas, Rhen. Jangan kau punya pikiran memutus talimu !! itu pikiran bodoh !!”
DHARRR !!

Tiba-tiba Guntur meledak si langit selatan. Awan gelap memayung. Awan-awan itu bergerak cepat menuju utara.

sumber gambar : rumahkoral.blogspot.com

Posting Komentar

 
Top