0

Ternyata selama ini aku salah menetakkan langkah.

“Le, manusia yang disayang Tuhan adalah yang memberikan kemudahan bagi sesamanya, bukan orang-orang yang menambah beban,” begitu pesan Emakku suatu ketika –di saat aku masih kecil –di saat kurebahkan kepalaku di pangkuannya yang nyaman.

Aaahhh, Johansyah .. Johansyah, bagaimana bisa kau lalai memahami diri sendiri. Bagaimana bisa kau kehilangan watak diri, bagaimana bisa kau begitu mudah melupakan masa kecilmu.

Teringat pesan Emakku membuatku terkesiap. Baru kusadari ternyata aku jauh dari kata-katanya. Namun apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Sesal yang kukutuki tak mengubah keadaan.

Di depanku, di atas bale bambu, Bunali tergeletak kalah. Bibirnya menceng sebelah. Reflek syaraf tangan-kakinya tak lagi mampu berkompromi. Pendek kata, Bunali mati separoh. Stroke. Pecah pembuluh darah. Dua hari lalu dia ambruk di depanku. Tubuhnya yang kering kurus tiba-tiba limbung. Brug !! aku kaget bukan kepalang. Kukira Bunali cuma pingsan, tapi ternyata tak mampu bangkit lagi.

“kalau kau tak becus bekerja ! cukup sudah !! hari ini hari terakhirmu !!!” begitu bentakku saat itu.

Tiba-tiba mata Bunali melotot. Dadanya tersengal. Tubuhnya tegang, limbung, dan mendadak terbanting ke belakang.

Bunali. Baru kali ini kukenal diri dan keluarganya lebih dekat. Setelah bekerja denganku selama 4 tahun, baru kali ini kutengok rumahnya. Rumah yang mirip gubug reyot. Separuh berlantai tanah –separuh lagi berlantai traso. Dinding-dindingnya menceng tak tegak, terbuat dari anyaman bambu yang melapuk lantaran kelelahan melawan jaman. Ah, sebuah potret yang sungguh ironis. Padahal Bunali berprofesi tukang batu.

Disinilah aku. Terdiam seribu kata. Hatiku runtuh menyaksikan Bunali sesekali mengerang. Menggeremang tak jelas. Di sampingnya duduk perempuan tua yang memasang wajah muram –istrinya. Di sisi satunya, anak tertua Bunali menatapku seolah ingin mengulitiku. Dia perempuan. Kutaksir usianya 22 tahun. Konon selain Bunali, dia adalah tumpuan keluarga yang membantu menyekolahkan ke-5 adik-adiknya.

“silahkan duduk, Pak” parau suara istri Bunali mempersilakanku.

Namun persendianku membeku. Lidahku kelu tak mampu menimpali.

“maafkan kami, Pak. Seharusnya ada yang -“

“Mak ! biarkan orang itu tetap disitu ! kita sudah terlalu baik membiarkannya masuk.” teriakan anak perempuan Bunali menyentakku.

“tetapi, Nak ..”

“tetapi apa, Mak ! dialah yang menyebabkan Bapak seperti sekarang,”

Kalimat tajam gadis itu menghentakku kuat-kuat. Ternyata lembut parasnya menyembunyikan watak aslinya yang keras. Emaknya tak mampu berbuat banyak. Perempuan tua itu memandangku seraya memohon maaf.

Kurasa anak gadis itu telah mendengar cerita lengkap tentang bapaknya. Dari siapa lagi kalau bukan dari mandor, atau –bisa jadi dari tukang dan kuli.

Kusadari aku telah salah. Sebagai pimpinan proyek, mungkin aku terlalu reaktif. Tetapi menurutku seperti itulah seharusnya seorang Pimpro. Kesalahan dan keteledoran wajib dieliminir. Bahkan, slogan Zero defect -zero acccident harus sebagai slogan suci. Aku tak ingin proyek yang kupimpin berantakan kualitasnya. Semua harus pas. Harus mengikuti standar yang berlaku. Keselamatan pekerja diutamakan. Aku tak ingin mendengar komentar bodoh yang mengatakan jika proyekku memakan tumbal. Tak boleh ada yang luka dalam proyekku –apalagi sampai mati. Karena watakku yang perfeksionis itulah jabatan pimpinan proyek lebih cepat kuraih dibanding rekan seangkatanku. Namun, dengan kejadian yang menimpa Bunali, aku serasa tertampar keras-keras. Telak. Teramat telak. Tamparan itu menjungkalkan kekukuhanku. Bunali yang kuancam pecat ternyata ambruk di depanku.

“Kerjaan tukangnya kasar, Pak. Sangat jauh dari harapan,” begitulah pengawas lapangan mengadukan kualitas kerja Bunali.

“hei, masalah seperti ini bukanlah proporsiku, tapi proporsimu sebagai pengawas. Kau yang bertanggung jawab atas kesalahan mereka. Diskusikan dengan atasanmu !”

“tetapi Pak Bunali sudah saya peringatkan berkali-kali, Pak. Atasan saya juga bingung mengambil tindakan karena Pak Bunali adalah orang lama. Entah mengapa kali ini pekerjaannya jauh dari toleransi,” mimik mukanya saat itu berekspresi putus asa.

“Saya langsung melaporkan masalah ini kepada Bapak semata-mata untuk memperoleh petunjuk dari Bapak,” begitu lanjutnya.

Ah, Johansyah .. Johansyah. Seharusnya asam garam pengalamanmu mampu membedakan mana yang murni dan mana yang tendensius. Kalimat sejenis itu tak seharusnya kau tanggapi. Kalimat semacam itu cuma keluar dari bibir seorang penjilat.

Bunali saat itu juga kupanggil. Dia mendatangiku dengan tubuh menggigil.

“ada .. ada .. ada apa, Pak ?” kuingat gerakan bibirnya tergagap-gagap.

“kudengar pekerjaanmu kacau-balau, Pak Bun” cepat-cepat saat itu kutimpali kalimatnya.

“waduh, maaf .. kalau begitu maaf ..maaff kan saya, Pak. Saya-”

“kau mestinya tahu, pekerjaan disini tak mungkin diperbaiki dengan kata maaf,” nadaku tegas.

“kalau kau tak becus bekerja, cukup sudah ! hari ini hari terakhirmu !”

Duh Tuhan, andaikan waktu bisa kuputar ke belakang, ingin rasanya kutarik kalimatku. Memang sungguh tak pantas jika kesalahan Bunali diganjar penderitaan seperti sekarang. Kata dokter rumah sakit yang merawatnya, Bunali mengalami pecah pembuluh darah. Dia sekaligus memastikan jika Bunali mengidap cacat seumur hidup. Rasa-rasanya membayangkan lelaki tua menjelma pesakitan lantaran perbuatanku sungguh-sungguh meruntuhkan egoku.

Dengan kejadian ini aku kembali mencermini masa laku. Aku diseret paksa menafsirkan jalan watak yang kupilih.

Siapakah aku sebelum menjadi pimpinan proyek. Siapakah aku sepuluh tahun lalu, siapakah aku dua puluh tahun lalu, siapakah aku tiga puluh tahun lalu, sketsa perjalanan hidupku perlahan-lahan kutapaki kembali.

Sepuluh tahun lalu aku adalah insinyur muda yang idealis. Seolah-olah moralitas menjadi barometer yang tak tertawar lagi buatku. Saat itu –aku baru bertransformasi dari aktifis idealis menjadi manusia yang melek dan realis. Kemudian –

Siapakah aku dua puluh tahun lalu. Saat itu aku hanyalah pelajar biasa yang tumbuh besar dengan alam pedesaan. Suasana tenteram, sejahtera, dilimpahi senyum kekerabatan meski dilingkupi keterbasan.

Sketsa demi sketsa tergambar beriringan. Membentuk pola cerita yang entah mengapa sangat-sangat mengharukanku. Tetapi –kuakui memang ada luka di hidupku. Luka yang tetap membekas meski terlewati selang waktu lebih dari tiga puluh tahun,

Kurasa dari sanalah terpantik kekerasan watakku. Terpantik lantaran tak terima. Terpantik karena dendam yang terkepal dan terlanjur mengeras.

Mengingat saat-saat petaka itu –tiba-tiba melelehkan air mataku. Proses pencerminan diriku menemukan sisi lain yang jelas –bak hitam melawan putih.

Tiga puluh tahun lalu aku mulai beranjak remaja. Umurku 12 tahun. Tapi peristiwa yang menimpa Bapakku kusaksikan dengan air mata dan kurasakan sebagai kepalan dendam. Teringat dengan jelas wajah Juragan Buang memasuki halaman rumahku sambil menenteng kesombongan. Dadanya membusung. Wajahnya nyalang seakan siap-siap menelan siapa pun di depannya.

“mana Bapakmu !!!” teriaknya kepadaku. Aku menggigil. Lututku gemetaran. Untunglah aku yang tak tahu apa-apa diselamatkan kalimat lembut Emakku.

“Bapaknya Tole di kebun belakang, Juragan. Sedang menanam singkong,” kegugupan Emakku sekuat mungkin ditutupinya. Emakku mengalungkan tangan ke bahuku. Sesegera mungkin kupegang erat lantaran ketakutan.

“kalau begitu cepat !! panggil dia !! aku ada urusan yang harus diperhitungkan !!!” Juragan Buang menyalak lebih kencang. Kupegang tangan emakku kian kencang.

“Le, tolong panggil Bapakmu di kebun belakang. Setelah itu pergilah ke rumah Eyangmu,” emak menatapku dengan tatapan lembut.

“ke rumah Eyang untuk apa, Mak ?” saat itu aku bertanya demikian.

“sudahlah, jangan banyak tanya. Setelah kau panggil Bapakmu, segeralah ke rumah Eyangmu,”

Ah, saat itu logika kecilku tak menemukan hubungan logis perintah emakku untuk pergi ke rumah Eyang. Kurasa beliau menyuruhku demikian demi menghindarkanku menyaksikan kemarahan Juragan Buang.

Segera setelah kuhampiri Bapak dan menyatakan perkataan Emak, kubuntuti Bapak sembari menjaga jarak. Aku lantas berhenti di ruang tengah rumahku sambil mengintip peristiwa yang bakal terjadi.

“pokoknya aku tak mau tahu !! kau harus bertanggung jawab !!” salakan Juragan Buang masih terdengar kencang meskipun dari ruang tengah.

“tapi kan ..” Bapakku tergagap.

“jangan banyak tapi-tapian ! kau sudah memotong pohon yang salah ! pohon yang seharusnya kau potong ada di deretan barat ! dan pohon yang kau tebangi adalah pohon yang masih sangat-sangat produktif ! pohon itu justru buahnya yang paling bagus !!!”

“tetapi, Juragan –“

“Ahhhh sudah !! sekarang begini !! aku tak mau banyak pikir ! tumbangnya pohon-pohonku yang masih produktif harus ada perhitungannya !! aku sudah rugi belasan juta karena ketololanmu !! butuh waktu bertahun-tahun menunggui pohon berbuah !!!!”

Kuingat bola mata Juragan Buang melotot-lotot seperti kena cekik. Bapakku pucat. Emakku pucat.

“sepuluh tahun jadi penebang pohon pun kau tak mungkin sanggup melunasinya, Bahh !”

Meskipun Juragan Buang tak langsung berteriak di depan mukaku, namun suara tengiknya mampu menggetarkan lututku. Tanganku dingin berkeringat. Keteguhanku runtuh menyaksikan Bapakku kuyu tak berbuat apa-apa.

Hari itu kuanggap hari penuh petaka di keluarga kami. Setelah Juragan Buang pergi, kuberanikan diriku melangkah mendekati emakku. Namun yang kusaksikan lebih lagi menghancurkanku. Emak bermuka pucat –raut wajahnya luruh. Sementara Bapak, rahang bawahnya bergetaran kehabisan kata-kata.

Detak waktu seakan berhenti. Kesenyapan merajalela. Selang beberapa saat, bulir air mata menitik di pipi emakku.

“kenapa kau masih disini, Le ? bukankah sudah kusuruh ke rumah Eyangmu ?” Emak bertanya sembari menyeka air matanya. Kutahu beliau ingin terlihat tegar.

Saat itu aku menunduk. Tak kutimpali kata-kata emakku lantaran menahan sedih yang mengecamuk.



Setelah hari penuh petaka itu berlalu, rasa-rasanya aura kemarahan Juragan Buang perlahan-lahan menyeret banyak kesialan. Bapakku, lelaki yang kubanggakan dan berperasaan lembut –jatuh sakit tak lama kemudian. Kurasa kekalutan yang termampatkan di dadanya menjelma racun yang menyakitkan. Hingga setelah sakit keras dua minggu lamanya, Bapakku, lelaki yang kubanggakan dan berperasaan lembut –akhirnya wafat di pangkuan Emakku. Luka yang tertusuk di hatinya terlalu berkarat untuk tertawar kelembutan hatinya. Aku lantas kehilangan Bapakku. Emak dalam sekejap beralih status menjadi janda yang miskin.

Rupa-rupanya dendam dan ketidakterimaan itulah yang kemudian mengiringiku tumbuh besar. Perasaan dendam membumbui tekadku untuk menjadi orang kuat. Aku bersumpah tak ingin menjadi orang lemah. Prestasi-demi prestasi kuraih, ujung-ujungnya aku lulus menjadi insinyur sipil yang tentu saja dilahirkan dari rahim perempuan melarat.

Aku bangga dengan semua yang kuraih, terlebih dengan karier yang cemerlang. Perlahan-lahan aku mampu menyingkirkan traumatis yang menancap di otakku. Pencapaianku menjadi orang kuat sudah di genggaman. Namun –setelah semua dendamku terpenuhi, ternyata semua keberhasilan yang kuraih tak terbukti menjadikanku berperilaku sempurna. Musuh paling berbahaya bagi manusia bercokol di dadaku. Kesombongan. Kecongkakan. Dua hal itu mengaburkan cermin-cermin perjalanan hidupku yang seharusnya memberi pelajaran agar lebih bermartabat.

Ah, Johansyah .. Johansyah, lihatlah perbuatanmu sekarang. Sekalian tanyakan ! apa beda kelakuanmu dengan kelakuan Juragan Buang. Jawaban hatimu pastilah PERSIS !! SAMA !! TAK BERBEDA SAMA SEKALI !!. Saksikanlah tatap mata istri Bunali yang serupa tatap mata emakmu kala menunggui Bapakmu dimaki-maki Juragan Buang. Carilah, dimana kemarahanmu bersemayam kala itu. Andai saja kau sudah lebih besar, tentu kau tak mungkin tinggal diam menghadapi makian juragan bangsat itu. Ya. Tentu kau akan berani memaki balik sebagaimana anak gadis Bunali memakimu.

Ya Tuhan, kemanakah jati diriku. Kembalikanlah. Kumohon. Rasanya saat ini aku ingin berlari dan menangis di pangkuan Emakku. Mendengar kata-katanya, memohon petunjuknya, sekalian memohon maaf kepadanya.

“sekarang, apa Bapak puas melihat kondisi Bapak saya ?” suara anak gadis Bunali membangunkan kesadaranku. Datar tapi menusuk. Menampar keras sisi kemanusiaanku.

“sebenarnya .. bukan maksudku berbuat demikian, Dik” sahutku meminta pengertian.

“tetapi inilah yang terjadi ! inilah kenyataannya !” bentaknya.

Tatapannya mencacahku. Muak dan benci. Istri Bunali menunduk tak berani turut campur.

“Bapak sebagai atasan cuma pandai mengumpati bawahan tapi tak pintar melihat kebenaran !! apa Bapak sudah membuktikan kesalahan Bapakku seperti yang dituduhkan ?!!”

Aku terbelalak. Boleh jadi ia benar karena aku memang tidak membuktikannya secara langsung. Aku hanya mendengar kualitas pekerjaan Bunali dari pengawasnya -si Muhdi sarjana teknik.

“andai saja Bapak sedikit memakai otak, mungkin semuanya tak akan berakhir seperti sekarang,” kalimat ini lebih-lebih menamparku. Aku tak terima.

“mungkin aku salah, Dik. Tetapi seperti itulah prestasi pekerjaan Bapakmu. Berantakan,” aku memilih mempertahankan egoku. Kata-kataku kian menajamkan tatap matanya.

“apa Bapak sudah membuktikannya ? sudah melihat dengan mata sendiri ?”

“tentu saja aku tidak melihatnya, aku mendengarnya dari pengawas Bapakmu,”

“kalau yang Bapak maksud pengawas itu adalah Muhdi, lelaki sialan itu sudah membuka permusuhan sejak lamarannya kutolak mentah-mentah,” bantahnya

“ketahuilah, Pak. Sedari puluhan tahun Bapak bekerja sebagai tukang batu, tak pernah satu pun atasannya protes dengan pekerjaan Bapak. Dan kurasa selama empat tahun ini Bapak juga sudah membuktikannya !!”

Aku terdiam kuyu mendengar kalimatnya. Tenggorokanku tercekat. Kata-kata yang berani. Kata-kata yang seharusnya kugunakan untuk membela kehormatan Bapakku sewaktu menghadapi Juragan Buang.

Namun, kenyataan yang lebih menyakitkanku adalah bahwa aku sedemikian bodoh menelan mentah-mentah laporan dari si Muhdi –pecundang bermental jilat pantat. Tetapi apalah daya, nasi sudah menjadi bubur. Tentu saja aku harus mengambil sikap.

“begini saja, Dik. Semua pengobatan bapakmu akan kutanggung,” ucapku dengan suara bergetar.

“ apa dengan itu akan menyelesaikan masalah, Pak ?”

“kalau kau masih belum puas, sekalian si Muhdi akan kupecat. Sekarang juga,” tawarku

“semua yang Bapak tawarkan tidaklah menyelesaikan masalah,” sahutnya mementahkan. Aku tak mengerti kemauannya. Aku kehabisan akal.

“lalu, apa yang kau inginkan ?” kucoba berbicara selembut mungkin sambil menaut tatap matanya

“tak ada, Pak .. tak ada .. “ ia menggeleng pelan. Raut wajahnya melukis geram, sedih, marah.

“memang banyak manusia mengira, dengan berbuat baik kesalahan masa lalunya akan terhapuskan. Hal itulah yang membuat dirinya berpuas diri seolah menganggap segalanya telah impas,”

“tetapi seharusnya tidak demikian, Pak. Kesalahan tetaplah kesalahan. Kebaikan juga akan menempati tempatnya tersendiri. Semua itu seharusnya menjadi pelajaran,”


Surabaya, akhir Ramadhan 1431

Posting Komentar

 
Top