0

Kampus Pemuliaan Tanaman,

Tak menjumpai perempuan yang ia cari, Andro menoleh kebingungan. Sementara di tengah taman, sepasang bunga sepatu berwarna kuning merekah berdampingan, sedangkan sinar matahari sedang melukis bayang-bayang panjang.

Sosok yang ia cari akhirnya muncul dari selasar bagian dalam gedung, namun Andro nampak terkejut,
“Amalia,” hatinya berdesir. Adasesuatu yang berubah, ada sesuatu yang kontras tertangkap matanya. Lelaki itu kaget saat menyaksikan rambut Amalia telah tertutupi kerudung berwarna pink, ah – perempuan itu terlihat anggun sekali. Terasa getaran aneh saat matanya menangkap keanggunan Amalia. Namun perempuan itu tak menyadari kehadiran Andro, langkah kakinya malah berbelok menjauh.

Seketika Andro mengejar Amalia dengan setengah berlari, tak dihiraukannya mahasiswa yang sedang duduk santai di depan ruang kuliah. Sementara beberapa dari mereka sedang bersibuk membaca diktat kuliah, dan ada pula yang sedang mengganti majalah dinding dengan edisi yang baru.

“Amalia,” Andro berteriak pelan. Perempuan anggun itu pun akhirnya menoleh ke belakang.
“Androku,” perempuan itu menjawab lirih panggilan Andro, ia menjawab panggilan Andro dengan Androku, sebuah panggilan kesayangannya. Perempuan itu seketika menabur senyum, Andro masih menampakkan wajah terkejut.

“kamu. . sejak kapan ?” Andro terbata keheranan, ia menatap kagum.
“sudah seminggu,” Amalia menjawab lembut. Ia terlihat semakin tenang dan damai. Parasnya pun semakin lembut dan teduh.

“mulai sekarang kamu harus lebih menghormati aku, An.” Amalia berkata lagi dengan nada manja, senyum manisnya menakik lesung pipit.

Andro menjadi kikuk. Ia keheranan. Betapa dalam waktu seminggu saja dunia berubah sedemikian cepat. Andro merasa malu karena terlalu sering melanggar komitmen untuk sering menelepon Amalia. Ia bahkan tak tahu kalau Amalia telah seminggu memakai kerudung.

Mereka berdua kemudian berjalan memasuki kantin Pemuliaan Tanaman. Kebetulan saat ini materi kuliah tengah berlangsung sehingga kantin lumayan sepi. Hanya lima meja terisi pengunjung sementara sisanya masih kosong. Amalia kemudian memilih duduk di meja pojok, sedangkan Andro memesan minuman yang juga dibawanya seketika.

“Mama baik, An ?” Amalia bertanya lirih sambil menaruh selembar map di meja kantin, sementara Andro menanggapi pertanyaan  Amalia hanya dengan anggukan pelan.
“kamu nggak kuliah ?” Amalia bertanya lagi. Kali ini Andro nyengir memperlihatkan rasa bersalah. Amalia mengerti benar bahasa tubuh Andro.
“bolos lagi ? jangan gitu, An. Kasihan Mama kamu,” Amalia memandang wajah Andro dalam-dalam.
“aku ngulang kuliah filsafat dan logika, baru juga dua kali bolos, aku mau nongkrong di Rumah Singgah,” Andro menjawab sekenanya. Amalia hanya menggeleng tak percaya.

“apa ini, Li ?”, Andro menyentuh map kuning di atas meja bertuliskan nama DAMAYA AMALIA.
 “formulir aplikasi. Tadi baru dapat referensi dari profesor. Tinggal dikirim ke Jakarta untuk melengkapi dokumen,” Amalia menjawab singkat. Pandangannya menyapu wajah Andro dengan seksama.
“kamu nggak ada jam mengajar ?” Andro melanjutkan pertanyaan. Ia merasa tak ada yang aneh dengan jawaban Amalia. Dipikirnya formulir itu adalah bagian rutin dari tugas Amalia.
“nanti jam 11 aku ada kelas,” Amalia menjawab santai. Ia memang seorang asisten dosen yang brillian, catatan akademik Amalia menjadikan dirinya sebagai mahasiswi yang diprediksi lulus Summa Cumlaude di tahun ini.  
“bunga Mama yang dulu gimana, An ? sudah segar ? apa masih layu ?” Amalia menanyakan tanaman Anggrek di rumah Andro. Mama dan Amalia sering berdiskusi perihal penyakit tanaman, dan Amalia terkadang diperbantukan memberikan penyuluhan tentang penyakit dan hamatanaman.
“aku nggak faham, Li.” Andro menjawab tak bersemangat, diraihnya jus tomat dan seketika ujung pipa sedotan bersentuhan dengan bibirnya.

Amalia menggelengkan keheranan. Dirasanya lelaki yang menjadi kekasihnya itu seringkali tak peduli dengan hal-hal yang menurutnya harus dipedulikan. Kesalahpahaman sering terjadi, Andro lebih sering berada di dekat kawan-kawannya daripada dirinya.

“An, kamu bahagia dengan hubungan kita ?” Amalia bertanya lembut. Andro terkejut. Kata-kata semacam itu di telinga Andro terdengar seperti penyakit yang harus cepat-cepat disingkirkan.
“kenapa, Li ?” Andro menampakkan wajah serius, “ada yang salah lagi?”, Andro melanjutkan. Ia berkata halus penuh emosi. Dilihatnya Amalia sedang gelisah. Perempuan itu menunduk untuk sekian saat.

“kita selalu saja seperti ini, An. Saling tak peduli. Kamu dengan urusan kamu sendiri, demikian pula dengan aku,” Amalia berkata pelan, pandangan teduh Amalia menusuk tepat di jantung Andro. Lelaki gondrong itu tak mampu mengelak.

Sementara jam dinding berdetak konstan, sementara kipas angin bobrok di plafon kantin berbunyi seperti kaleng geretan. Lima bangku di kantin telah diisi beberapa gerombolan mahasiswa.

“Aku mencintai kamu Androku, tetapi ada yang lebih aku takutkan dari jenis cinta seperti ini,” Amalia lirih melanjutkan. Ada berat hati sekaligus keharuan dalam tatap matanya. Amalia tak mampu menahan diri untuk menyimpan kata-katanya.

Andro membisu, hatinya teriris. Perempuan yang sedemikian baik di depannya itu kebingungan. Ia tahu Amalia menginginkan sesuatu yang lebih bisa menenteramkan jiwanya, dan perempuan itu belum menemukan di dalam diri Andro.

Sekian lama kenal dengan Amalia, perempuan murah senyum yang sedemikian sabar dan pengertian. ia kenal ketika masa Ospek, lebih dari dua setengah tahun yang lalu. Ia seketika jatuh cinta tatkala melewati kampus Pemuliaan Tanaman, tatkala sosok perempuan bermata teduh berpita merah tersenyum manis kepadanya. Senyum yang indah, rambut yang indah, pita merah yang cantik. Kejadian itu seakan mewariskan kegelisahan namun sekaligus kesejukan di hatinya.  

Ketika akhirnya sekuntum mawar merah dan secarik puisi cinta buatan Zweta tiba di tangan Amalia, bunga asmaraseakan bermekaran hingga membuat hidupnya tak lagi hitam dan putih. Semenjak itu Amalia selalu memanggil dirinya dengan panggilan Androku, sesuatu yang terdengar bagai puisi indah di gendang telinganya. Dan hingga saat ini, Amalia tak pernah tahu jika puisi yang membuatnya tersentuh bukanlah buatan Androku-nya tetapi buatan Zweta.

I
Satu dari :
Sekian banyak cinta –
Yang menebar di langit
Datanglah kau –
Kepakan sayap malaikat rasa
Yang menyentuh ruh genapjiwaku

Maka satu dari kesekian banyak kata :
Kuhimpunlah ia
Menjadi sekuntum mawar merah yang –
Kupersembahkan kepadamu –


Bersamamu :

Pinangan asmarayang –
Memakuku
Dalam sukma yang –
Tersentuh  –tertancap –meluka –meracun
Aliran darah denyutan nadi rinduku.

II
Seperti inilah :
Sikap panah yang takzim menancapku
Memaksaku –memikatku atas –
Asmara yang terangkai
Bersamamu
Diri megah utusan cinta
Terkatupku
Meletakkan segenap kata :
Aku mencintaimu
Kekasihku –

Berhiaslah gaun rindu
Hingga kuajak kau terbang
Menelusuri hamparan negeri cinta
Bersamamu..

III
‘O Kekasih Hati
pada sinar titian bintang
bawalah senyum dan –
tatap mata teduhmu

sampai  kuingin kau melingkupku
mengajakku bercermin
di danau bening kesyahduan asmara
sampai bahu waktu menepis ruangku :

hingga aku berenti –
hingga ku sepi –
hingga ku mati

dalam pelukan agung cinta yang –
bersediakah dirimu menjadi utusannya.

***


Sementara jam dinding kantin terus berdetak. Amalia kini tertunduk. Tak mudah baginya untuk mempertanyakan komitmen yang telah mereka jalani selama hampir dua setengah tahun.

“An, entah kenapa ... selama ini aku merasa tak bisa memahami kamu,” Amalia berkata lirih, dilihatnya Andro terdiam, hati lelaki itu menangis, ada semacam penyesalan yang sedemikian berat membebani.

“kamu ingatkan ? kita seringkali berselisih faham hanya karena masalah sepele,” Amalia melanjutkan. Ia membutuhkan ketegaran batin untuk mengatakan kalimat itu.
“seolah kamu hidup dalam pikiranmu sendiri, An.” lanjut Amalia. Andro dalam hati mengiyakan. Sekian lama mencintai Amalia ternyata dirinya tak bisa berbuat banyak untuk menyenangkan hati kekasihnya. Ia malah terkadang membuat Amalia menangis.

“apa yang harus aku lakukan agar kamu bahagia, Li ?” Andro berbicara pelan. Tak ada lagi kata-kata yang pantas ia keluarkan selain kata-kata itu.

Namun Amalia kini tertegun, ia menyongsong tatapan mata Andro, ada rasa sayang yang terbersik dari tatapannya. Dan kemudian perempuan itu menunduk untuk sekian saat.

Androku, selalu saja kejadiannya seperti ini, tak pernah ada penyelesaian yang pasti,”

Andro masih terdiam. Amalia gundah hingga tak sadar jemarinya menyentuhi bibir gelas tanpa arti.

“apa mungkin kita memang berbeda, An ?” Amalia mempertanya. Andro mengernyitkan dahi, tak ada lagi yang harus ia katakan.
“mungkin,” Andro berkata pelan tertahan. Penghormatan Andro kepada Amalia seakan mencapai titik puncaknya.

“aku menjalani cinta semacam ini cuma denganmu, An. Lelaki yang baik dan memperlakukanku dengan hormat. Tetapi.. ”,  Amalia menghela nafas,
“tapi kenapa, Li ?”, Andro bertanya cepat, ia telah kehabisan kata-kata
“sepertinya .. kita memang hidup di dunia masing-masing, An. Dalam angan masing-masing”

Andro terdiam. Amalia masih ingin mengucap kata.

“beri aku waktu untuk berpikir, An.” Amalia mengucap kata-kata terakhirnya. Andro teriris. Cintanya kepada Amalia berbuah sangsi. Ia memandang Amalia dengan perasaan cinta, tak ada kemarahan, tak ada keraguan, perempuan sebaik itu layak mendapatkan pilihan –begitu hatinya berkata.

“maafkan aku, Androku.” Amalia berkata berat. Senyum manisnya serupa bunga patah tangkainya.

Daun layu Alamandaterjatuh. Terik matahari terhalangi dedaunan kecil, hingga tiba di tanah seperti bulatan sorot cahaya tak beraturan. Langit masih cerah tak bermendung, dan burung-burung penunggu hujan masih bertengger di dahan-dahan.


***

Posting Komentar

 
Top