0

100 meter dari Shelter Ranukumbolo,
13.33 Wib.

“kenapa, Em ?” Zweta berhenti ketika menyaksikan raut wajah Emma menahan sakit. Sementara Audrey dan Rania terus melangkah meninggalkan mereka.
“sepertinya ranselku nggak imbang. Sakit punggungku,” Emma menyeringai kesakitan dan kemudian menurunkan lagi ranselnya. Telapak tangannya menekan belikat.

“sini, biar kubenahi,” Zweta cepat-cepat mendekati Emma. Ia membantu melepas ransel dan kemudian menata ulang sabuk dan pengikatnya.
“belikatmu sakit karena bebanmu nggak imbang, Em” Zweta berujar sambil mengatur isi ransel. Bagian beban yang berat diletakkannya di posisi atas agar tumpuan beban menumpu di punggung dan tak jatuh di pinggang.

“Nah sudah, coba,” Zweta memandang sekilas Emma yang berdiri di sebelahnya. “Siap menjajal Tanjakan Cinta, Em ?”, Zweta menyerahkan ransel yang telah ditata ulang. Emma pun segera menggelayutkan ransel di punggung.
“sip, Ta.“Emma tak lagi timpang setelah menjajalnya. Wajahnya sumringah.

“eh. Curang ! mereka duluan,” Emma hampir berlari menyaksikan Audrey dan Rania mulai menjajal keterjalan Tanjakan Cinta. Ia menyusul cepat-cepat.

“pelan-pelan saja, Em” Zweta tersenyum tak percaya.

Dingin air dan linang danau melepas kepergian mereka melanjutkan perjalanan. Pendaki yang mereka lintasi masih bersibuk diri. Mereka bermain, merenung, bahkan menikmati pemandangan yang teramat eksotis. Namun ternyata pendaki tua itu tak ingin menuntaskan pendakiannya yang ke limapuluh satu, ia memilih berhenti memuaskan ketenangan batinnya ketika menyatu dengan alam raya Ranukumbolo.

Sementara matahari sedikit condong ke arah barat, bunyi angin yang bersiul meniupi pucuk cemara terdengar lirih sayup-sayup. Sapaan ramah pendaki di shelter Ranukumbolo mengantar Emma menjajal keterjalan tanjakan. Dan ternyata beban berat di punggung terasa semakin berat ketika kakinya mulai memijak trek tanjakan.

Rania dan Audrey terus menapak tak berhenti. Mereka hampir menempuh sepertiga tanjakan. Namun kaki-kaki makin terasa berat terangkat, apalagi beban di punggung bergoyang kuat seiring gerak tubuh yang tak berkompromi.

“uffff !!!” Rania berekspresi menahan keseimbangan beban. Audrey pun mengatur pernafasan. Tangan-tangannya kini memegang erat tali ransel yang menjulur di ke depan. Tak disangkanya Tanjakan Cinta ternyata lebih berat dari tanjakan berdebu di Waturejeng. Ia salah perkiraan.

“tinggi bangeeeetttt !!!”,
Emma menatap puncak tanjakan. Wajahnya terlihat lelah. Sementara ia tak percaya kalau tanjakan di depannya serasa semakin panjang dan terjal.

“terus, Em !!” Zweta berteriak kencang-kencang. Ia baru saja menapakkan kaki.

Tiba-tiba di titik tertinggi tanjakan, tujuh pendaki yang tengah turun gunung memilih berhenti. Mereka tertarik menyaksikan pemandangan eksotik yang sedang berlangsung di tengah tanjakan. Ya. mata mereka terpaku menyaksikan empat pendaki perempuan yang sedang berjuang menaklukkan keterjalan medan. Mereka kagum dan salut 

“ayo !!! ayoo !!”
“kalian pasti bisa !!!”
“lanjuuuuttttttttttt Neeeeng!!!!”

Mereka berteriak kencang sambil bertepuk tangan. Mereka memompakan semangat dengan riuhnya. Dan aksi mereka membuat para pendaki yang berdiam di pinggir danau tersita perhatiannya. Mereka memandang ke arah tanjakan, dan mereka menyaksikan sesuatu yang memang eksotis.

“semangaaattt !!”
“hajar tanjakannyaaaa !”
Beberapa pendaki di pinggir danau ikut-ikutan memompakan semangat. Semakin lama, semakin banyak pendaki yang bergabung memberikan semangat. Mereka bertepuk tangan riuh.

Menyaksikan aksi pendaki yang memompakan semangat, Rania dan Audrey yang telah lelah seolah-olah mendapatkan energi baru. Mata mereka berbinar, pijak kaki makin kukuh dan bertekad menaklukkan tanjakan tanpa berhenti sekalipun. Nafas mereka menyesak, dengus nafas pun terburu.

Sementara di belakang Audrey, Emma terengah-engah menahan lelah. Tanjakan Cinta membuat Emma hampir patah semangat. Tetapi ia takkan menyerah dan bertekad menaklukkannya.

“Em !!”, Zweta tersenyum. Tangan kirinya terulur. Zweta menyusul Emma hingga posisinya sejajar.

Emma yang hampir patah semangat seketika meraih tangan Zweta, ia pun kemudian mengikuti tempo pendakian Zweta yang lebih cepat. Teriakan penuh semangat membuat keduanya terus tegar menapaki keterjalan tanjakan.

Akhirnya ketika Audrey dan Rania menapakkan kaki di titik tertinggi, sebotol air mineral terulur dari tangan para pendaki yang menyemangatinya.

“hebat euy !!”

Seluruh pendaki tertawa bangga dan kagum. Seketika jabatan tangan dan genggaman erat khas pendaki gunung menaut bergantian satu sama lain. 

“selamat, Neng. Cinta abadinya buat sapa nih ?” celetuk salah seorang dari mereka yang berwajah kumal.

“yang jelas bukan buat lu yang belom mandi empat hari,” kalimat lelaki kumal dijawab sendiri oleh kawannya yang berambut gimbal. Ia pun tersenyum mengejek.
“yahhh, elu Men ! jangan buka rahasia dong. Saingan sih saingan, tapi dilarang ngrusak pasaran, black campaign tuh namanya !” protes lelaki kumal sambil cengar-cengir tersipu malu.

Wajah-wajah pendaki itu nampak letih dan lusuh, namun keletihan mereka adalah keletihan yang ganjil karena membawa semangat kebebasan setelah menaklukkan puncak Mahameru.

Hingga beberapa saat lamanya kekaguman para pendaki kepada dua perempuan di depannya membawa rasa simpati. Di dada mereka para perempuan petualang serupa makhluk ganjil yang mengagumkan. Seolah ada sesuatu yang membuat mereka salut dan hormat. Kelembutan perempuan yang berpadu dengan jiwa bebas membuat gambaran perempuan petualang seolah kontras harmoni, seperti coretan lembut warna merah yang mencerati gelap tatkala langit barat menggelar siluet cantik sang senja.

Audrey dan Rania yang beberapa saat melepas lelah kemudian bergabung menyemangati kedua kawannya yang masih berjuang menaklukkan sisa tanjakan. Hingga ketika Zweta dan Emma telah sampai, mereka tertawa bersama-sama. Nafas Zweta terburu, demikian juga dengan Emma yang langsung menghempaskan tubuh di tepi jalur. 

“salam rimba !!!” Zweta berteriak antusias walau nafasnya terburu.
“lestari !!!”,”lessstariii”
Ketujuh pendaki menjawab nyaris bersamaan.

“gimana di atas ? rame ?” Zweta bertanya sambil mengatur nafas
“rame”, “rame banget”, “hampir seribu,” mereka menjawab bersahutan
“lu harus waspada. Ada beberapa titik longsor di Arcopodo,” pendaki kumal berbicara dengan mimik serius

“kalian dari mana ?” Zweta bertanya lagi. Punggung tangannya menyeka peluh
“kita gabungan pendaki dari Jakarta dan Bandung,”

“masih jauh nggak ke puncak Mahameru ?” Emma tiba-tiba menyeletuk dengan wajah innocent
“tinggal lurus doang, Non !!”, “yoai choy .. cuman ngikuti jalur,”

Mereka berkomentar sekenanya sambil tertawa geli.

“oke deh ! Nona-nona sekalian, selamat berjuang menaklukkan Mahameru. Gua ma kawan-kawan mau lanjutin perjalanan. Ati-ati,“ seorang pendaki bertubuh tegap yang sepertinya ketua rombongan bersiap melanjukan perjalanan.

“kalian nggak upacara kemerdekaan disini ?” Zweta bertanya cepat.
“nggak, Non. Kita lanjut ekspedisi ke Pegunungan Iyang,” lelaki itu menjawab ramah.
“ya sih . . setelah menaklukkan puncak tertinggi, sekalian menaklukkan jalur terpanjang Jawa . .  mumpung lagi deket,“ Zweta tersenyum simpul menanggapi.
“sudah pernah ?”
“ya. Sempat juga ke puncak Rengganis dan Puncak Argopuro,” Zweta mengangguk anggun.
“lu dulu lewat jalur mana ?”, seorang dari mereka ingin tahu.
“Jalur Bremi –Danau Taman Hidup –Cisentor, langsung deh ke puncak Rengganis dan puncak Argopuro ”
“wah jalur nanjak tuh,“
“lumayan, cukup menguras tenaga. Ntar turunnya kalian ambil jalan lain .. jalur Baderan. Eksotik !!” mata Zweta berbinat saat mengucap. Sementara Audrey, Rania, dan Emma tak mengerti percakapan Zweta dengan para pendaki itu.

“oke deh ! sampai ketemu lagi,” pendaki itu menatap kagum Zweta. Ia mengulurkan jabatan tangan dan menaut membentuk genggaman.
“Salam Rimba,”
“Lestari !” Zweta menjawab seketika.
“oh ya, Kawan. Sampaikan salamku untuk Danau Taman Hidup,” lanjut Zweta sambil tersenyum manis, sementara pendaki yang diajaknya bicara tersenyum kagum.
“oke-oke, pasti  gua sampaikan. Kalian berempat ati-ati ya,”

Akhirnya rombongan pendaki itu bergegas melanjutkan perjalanan, kaki-kaki mereka lincah menuruni tanjakan, beberapa kali anggota rombongan mencuri pandang.

“cantik, euy”
“iya nih. Nyokap gua pasti seneng kalo dibawain calon menantu,”
“ngayal aje lu ! ”
“nggak tau juga nih ! pokoknya kalau gua nyari bini, dia harus demen sama alam,”
“kenapa nggak lu pacaran aje sama kunyuk, tiap hari dia juga gelayutan di pohon,”
“ah resek lu, diajakin ngomong serius malah bawa-bawa nenek lu segala ! maksud gua nih, gua mau nyari bini pendaki juga ! honeymoon di sini ntar !”
“dasar ble’e ! basuh dulu muke lu sono ! jangan ngimpi ketinggian .. kencing aje belum lurus udah berlagak pengen kawin,”
“ah ! kagak demen banget sih kawan seneng ! gua sumpahin kepeleset tai kingkong tau rase lu,”
“dasar blo’on ! mana ada kingkong di Mahameru ! kalau kunyuk gimbal sih ada,”
“sotoy lu ah ! kunyuk gimbal spesies apaan? emang lu pernah liat ?”
“pernah, Dong. Malah pengen muntah gua ngeliatnya. Coba aje lu ngaca di danau kalau pengen tau ! wakakakaka”
“dasar kampret !!”

Percakapan mereka terdengar makin pelan hingga kemudian lenyap terhempas angin. Tatap mata Zweta mengantar para pendaki menuruni Tanjakan Cinta, sementara Rania memuaskan mata memandangi danau Ranukumbolo yang sebentar lagi ditinggalkan.

Angin bertiup sedikit kencang. Siulan pucuk cemara terdengar lebih keras, rambut mayang Audrey bergerai-gerai menari-nari dan tertebar di depan wajah.


“Emma, ayo !” Zweta melangkah cepat mengajak Emma melanjutkan perjalanan. 
“Ogah  .. aku masih capek . . istirahat dulu,” Emma menolak cepat-cepat
“ayolah, Em. Tuh  “ Zweta menunjuk sesuatu di depannya.
“apaan, Ta ?”, Audrey bergegas bangkit. Demikian juga dengan Rania. Mereka cepat-cepat menyusul Zweta.

“padang ilalang Oro-oro Ombo, Drey,” Zweta tersenyum manis 

“ i love you MAHAMERUUUUUUU !!! THANKS  TUHAANN !! ” Audrey berteriak kencang-kencang sambil membuka tangan lebar-lebar. Rania terdiam, namun kemudian bibirnya menyungging senyum melati sambil sesekali tertawa ringan. Ia bahagia. Gigi pahatan malaikat sesekali mengintip di antara senyumnya. Ia terpukau.

“eh . . tunggu !” Emma seketika bangkit mendengar teriakan Audrey. Ia bergegas melangkah setengah berlari. Dan setiba di samping Zweta, lagi-lagi Emma terpukau. Mahameru menjelma menjadi makhluk misteri yang dipenuhi keajaiban.

Jurassic Park, Drey ! Jurassic Park !” Emma berteriak-teriak.
“bukan Jurassic Park, Em. Koboi Jenggo !” Audrey Protes.
“Koboi Jenggo apaan, Drey ? aku nggak pernah denger,” Emma protes seketika
“itu  . . film koboi konyol jaman Almarhum Benyamin Syueb. Aku membayangkan ada kereta koboi lewat di sono,” Audrey nyengir sekenanya
“ngawurrr !!!” semua meneriakkan kata-kata protes. Audrey tertawa puas. Ia bangga membuat kawan-kawannya kesal.

Ahai tak banyak yang tahu film apakah “Koboi Jenggo”, koboi jenggo adalah sebuah film yang diputar ratusan kali oleh kakak pertama Audrey. Awal melihat film koboi jenggo Audrey tertawa kegelian sampai nyaris pipis di celana, tapi puluhan kali, ratusan kali, ah, film itu berubah memuakkan tak lucu lagi. Kelucuan yang tersisa hanyalah adegan tak masuk akal tatkala bang Ben mencukur habis rambut Edi Gombloh menggunakan beling botol. Atas ulah cukuran model barbar tersebut kepala plontos Edi Gombloh harus disilangi perban di banyak titik.

“dasar perusak suasana !” Emma protes keras
“ayo kita berangkat !” Emma spontan mengajak mereka melanjutkan perjalanan.
“katanya capek, Non.” celetuk Zweta
“Audrey tuh yang capek ingatannya,” Emma tersenyum nakal sambil terus melangkah

Di depan mereka membentang padang luas yang dihuni jutaan ilalang. Mereka kemudian berjalan memutar, menyisir punggung bukit yang tak terjal. Tangan mereka bermain menyentuhi ilalang yang beragam tingginya. Awalnya ketinggian ilalang mencapai setinggi dada, namun semakin jauh melangkah, ilalang-ilalang mulai mengecil hingga setinggi lulut dan berakhir seukuran mata kaki.

Jalur setapak yang landai membuat mereka berjalan cepat. Mereka tak jemu mengagumi padang ilalang yang dikelilingi gugusan bukit, sementara di atas bukit berdiri ribuan cemara-gunung yang melancip menunjuk langit. Emma bernyanyi, seolah padang itu menyatu dengan nada hatinya, ia sedemikian terpesona. Apalagi ketika muncul awan rendah yang melayang melintas melawan arah. Ia merasakan dinginnya awan membelai wajahnya. Ya, tak pernah Emma bermimpi memegang awan, namun kali ini di Oro-oro Ombo tangannya membelai awan, dan wajahnya pun terbelai awan. Lembut sekali, dingin sekali, dan seketika Emma merasakan belaian awan serasa terbasuh dengan percik-percik air yang dingin.

“hutan dan padang rumput seperti ini nggak ada binatangnya, Ta ?” Audrey sekilas menoleh ke arah Zweta.
“pasti ada, Drey. Cuma kalau rame pendaki seperti sekarang, binatang itu pasti menyingkir. Eksistensi taman nasional seperti ini kan bertujuan melindungi habitat mereka,”
“kijang ada ?” Emma menyeletuk cepat
“ada. Kijang Muntiacus muntjak, satwa endemik sini,”
“kalau macan ?” lagi-lagi Emma penasaran
“ya jelas ada, Em. Macan tutul Panthera Pardus, mereka satu kesatuan rantai makanan. Kalau nggak ada karnivor, populasi herbivor bisa meledak. Tak ada pengontrolnya,”
“waduh, bisa bahaya kalo sampe ketemu,” Audrey menanggapi cepat-cepat.
“nggak Drey, mereka sudah punya makanan sendiri. Selama kita nggak mengganggu mereka atau  . . . ”
“lah kalau makanannya habis,“ Emma memotong penasaran
“makanya alam harus dilestarikan agar ekosistem selalu terjaga. Seperti Taman Nasional ini,”
“trus kalau ketemu macan kita mesti ngapain ?” wajah Emma nampak khawatir
“manjat pohon, Em  ! buang ransel trus manjat pohon secepat-cepatnya,” Audrey bersemangat seolah menemukan ide brillian. Ia menjentikkan jari hingga berbunyi.

Namun Audrey seketika heran melihat Zweta tertawa geli,

“kenapa ketawa, Ta ?”
“Panthera Pardus pandai manjat, Drey. Malah mungkin menyimpan makanannya di atas pohon,”
“lah terus gimana,“ Emma semakin pasrah
“ya kalau ketemu sih . . “
“apa coba ?” Audrey cepat-cepat bertanya setelah Zweta mengambil jeda waktu menjawab.
“berharaplah mereka sedang puasa ! hi hi hi,“

“sialan !”Audrey mengumpat. Sementara Emma nampak kesal.

“kamu tahu dari mana, Ta?” Rania akhirnya berkomentar.
“ada deh !” Zweta tertawa-tawa kegirangan.
“Dalam setiap melakukan ekspedisi, kita wajib mengenal kondisi medan, Ran.” Zweta akhirnya menjelaskan.

Sementara dari kejauhan, rombongan pendaki lain mulai bergerak menyusuri jalan setapak Oro-oro ombo. Mereka berbaris teratur memanggul beban serupa semut yang terengah-engah memanggul sebutir nasi. Ransel yang menggelayut di punggung terayun pelan ke kanan-kiri.

Setelah lima belas menit melintasi padang, Rania, Audrey, dan Zweta akhirnya sampai di batas Oro-oro ombo. Emma tertinggal sepuluh meter di belakang, ia masih terpukau menyaksikan hamparan padang ilalang yang dikelilingi gugusan bukit-bukit.

Kini mereka berhenti di gerbang belantara lebat yang bernama Cemoro-Kandang. Hutan itu dipenuhi semak-perdu dan pepohonan cemara-gunung yang tinggi menjulang. Juluran dahan-dahan cemara merimbun bertautan, seakan menghalangi terik mentari agar tak jatuh di atas tanah. Persis di gerbang hutan, sebatang pohon cemara roboh terlentang karena usia tak mampu lagi menopang tubuhnya. 

“Ran, Drey, target kita sampai di Kalimati menjelang senja,”
“oke, Ta”, Rania menjawab pelan, sementara Audrey mengangguk. Mereka bertiga memilih duduk di atas pohon tumbang.
“Em,” wajah Zweta menoleh ke arah Emma yang menyeka bulir keringat di kening.
“kenapa, Ta”
“beristirahatlah dulu. perjalanan kita masih panjang,”
“yes, Mom”  tangan Emma terangkat seperti kopral menghormat jenderal, kemudian ia pun duduk melepas lelah di sebelah Rania.
“saat mendaki nanti jangan terpisah terlalu jauh. Hutan ini cukup lebat. Kalau capek, kita break sama-sama,” 

Sementara hanya sebagian kecil sinar matahari yang menjamah permukaan tanah. Sinar terik terhalang dahan-dahan cemara yang menjulurkan lebat daun-daunnya. Hawa dan angin yang bertiup terasa teduh menyegarkan. Sementara sesemakan perdu tumbuh merimbun. Dan para pendaki yang melintas PadangOro-oro ombo berteriak kegirangan. Mereka hampir sampai di pintu Hutan Cemoro-Kandang.
 
***

Sesampai para pendaki di gerbang Cemoro Kandang, Rania bergegas bangkit memanggul ransel. Ia mempersiapkan diri melanjutkan perjalanan. Bunyi angin yang meniupi pucuk cemara seakan timbul tenggelam. Terkadang kencang, terkadang lirih, bersiul panjang mendesis-desis.

Srrr .. ssstt.. prk,
Dedaunan cemara meluncur, daun-daun jarum jatuh, terserak tak berpola, tertebar berserak-serak hingga menutupi keseluruhan paras bumi Cemoro Kandang.

Zweta perlahan pangkit dan kemudian menenggak air mineral, sementara Emma mempersiapkan diri, demikian pula dengan Audrey yang tengah mengatur tali ransel.

Hingga tak lama kemudian, perlahan-lahan mereka bergerak menyusuri jalan setapak yang masih landai namun sedikit berkelok. Zweta bertindak sebagai sweeper, sedangkan Rania berada paling depan sebagai pioneer. Audrey dan Emma mengikuti langkah Rania yang terpaut tak jauh dari mereka.

Belantara yang dipenuhi cemara ini memang rimbun, terbukti dengan banyaknya pohon cemara yang tumbang melintang di tengah jalur pendakian. Adayang masih tersangga pohon lain, namun banyak pula yang telah rebah di atas tanah hingga terselimuti lelumutan dan debu-debu. Rania sesekali merunduk ketika terdapat cukup celah melewati pohon tumbang, namun sesekali pula mereka dipaksa melompati pohon besar yang telah rebah merintangi jalur pendakian.


Dari kejauhan, samar-samar terdengar suara pendaki di depan mereka. Suara-suara itu mudah dikenali karena hutan ini seakan hening tak bersuara. Membisu, seperti makhluk bijak yang sedang terpekur berkontemplasi. Dan benar saja, tak lama kemudian di depan mereka terlihat deretan pendaki yang sedang turun gunung. Ketika berpapasan dengan Rania, para pendaki itu menyingkir ke tepi jalur pendakian.  Ah, betapa alam menjadikan mereka sedemikian solider. Para pendaki bahkan mempunyai kode etik ketika bersimpangan di jalur pendakian. Ya, pendaki yang turun gunung harus mendahulukan mereka yang masih dalam perjalanan menuju puncak. Sambil menyingkir ke tepi jalur salam khas petualang bertebaran. “salam rimba !!”, “lestari”. Senyum mereka terkembang sedemikian ramah, dan selanjutnya bibir mereka berdecak kagum dengan Rania yang membalas sapaan ramah dengan senyum melatinya.

Jalur pendakian perlahan menanjak, semakin jauh melangkah semakin dalam pula memasuki rimba belantara. Hutan semakin lebat,  tanaman perdu dan sesemakan makin merimbun. Sesekali terdengar kelepak burung walau wujudnya tak nampak. Burung-burung itu merupakan satwa endemik yang sering berkeliaran dan melintasi jalur pendakian.

Jalur pendakian semakin menanjak, langkah kaki pun memberat. Hingga tepat di rerimbunan semak yang tak jauh,  Rania tersentak dengan gerakan semak-perdu yang teramat cepat. 


Ssskkk skk !
Hrrrrkkkk hrrrrokkkkk  hrrrrokkkkk  hrrrrokkkkk  !! Ssrrrkkkk ssskk !!

“apaan tadi, Drey ?”
Rania seketika shock. Degub jantungnya berdetak cepat, perempuan itu pun lemas hingga jatuh terduduk.
 “minum dulu, Ran”, Audrey mengipasi wajah Rania yang masih sedikit pucat, sementara Emma cepat-cepat mengulurkan botol minuman.
“apaan tadi, Drey ?”
“entahlah, Ran. Mungkin babi hutan,” Audrey menjawab khawatir sambil menoleh kanan kiri. 

“binatang itu sudah menyingkir, Ran.” Zweta mengulurkan tangan membantu Rania bangkit. Selanjutnya ia membuka peta navigasi.

“sebentar lagi kita sampai di padang Jambangan,” Zweta memastikan dari koordinat peta topografi, dan ia memastikan kalau posisi mereka berada persis di antara Gunung Kepolo dan Gunung Jambangan. GPS treking yang dibawanya ternyata masih mampu menangkap sinyal satelit walau tertutupi hutan lebat. Tetapi melihat sinyal GPS timbul tenggelam, Zweta lebih memastikan posisi dari tipikal kontur dan lamanya perjalanan. Zweta kemudian menggambar titik plot peta sekaligus mengambil point marking di GPS.

“mau berita bagus nggak ?” Zweta memancing penasaran
“apaan, Ta” Emma terpancing, sementara Rania dan Audrey memusatkan pandangan.
“sebentar lagi vegetasi hutan makin terbuka. Jalur pendakian juga nggak lagi menanjak,”
“benarkah ?”, mata Emma berbinar
“ya. mungkin sejam setengah lagi kita nyampai di sebuah padang”
“asyiiiikkk”
“namun  ada berita buruknya,” Zweta lagi-lagi memancing penasaran
“duh, jangan pake berita duka dong ..” Emma khawatir, bayangan yang muncul dibenaknya adalah panthera pardus, sang macan kumbang yang sedang mengendap-endap mengintainya.
“ada apa, Ta ?” Rania bertanya lembut seakan was-was.
“kalau kita tak mempercepat perjalanan, mungkin kita kemalaman di tengah hutan,” Zweta menjawab dengan mimik serius.

“yuk kita lanjut ! daripada dipijitin kunyuk di tengah hutan mending cepet-cepet sampai di areal kemping !” Audrey berkomentar sekenanya. Tubuhnya mulai lelah.

Tak lama kemudian mereka melanjutkan pendakian. Menyusuri jalan setapak hingga sampai di areal hutan yang vegetasi cemara-gunung-nya terlihat jarang. Di sebelah kanan, mereka mulai menjumpai padangrumput terbuka.

Koaakk koakkk !!
Burrrr ...

Mata Emma berbinar menyaksikan kepakan burung cantik yang terbang menyingkir. Burung itu muncul dari bawah pohon tumbang dan seketika kabur menghambur. Namun di atas dahan yang tak seberapa tinggi burung itu pun kembali hinggap dengan anggunnya. 

“burung apa itu, Ta ?”
“itu Rangkong, Em. Burung endemik,” Zweta menjawab cepat sambil tatapannya tak beralih dari Rangkong yang sedang berkoak serak di atas dahan.
“lihatlah, centil sekali dia, menari menggoyangkan ekor sambil berkoak-koak kegirangan,” Audrey berdecak kagum, sementara Rania menyungging senyum.
 
“dan itu itu  ..  itu tuuuhhhh,” Emma menunjuk dua ekor binatang di padang rumput sebelah kanan. Ia nampak gemas.

Rania terbelalak. Audrey terkejut. Mereka tak menyangka bisa menyaksikan keeksotisan alam bebas seperti sekarang.
“kijang apa katamu tadi,Ta ?” Emma bertanya cepat.
“Muntiacus Muntjak”
“Oh,  Mathias Muchus Muncak”
“bukan Mathias Muchus Muncak, Em. Muntiacus Muntjak,” Zweta cepat-cepat membetulkan.
“whatever lah . . pokoknya Muncak,“ Emma tak peduli dengan kata-kata Zweta. Matanya berbinar melihat kijang kecil yang berlari cepat mengikuti sang induk. Kedua binatang itu lari bersembunyi memasuki kelebatan hutan. Audrey tak percaya, Rania nampak bahagia, Bagi mereka belantara Mahameru telah menyajikan pemandangan yang lebih dari cukup untuk membuat mereka menyayangi alam.

Perjalanan harus dilanjutkan. Dan kini di belakang mereka serombongan pendaki menyapa ramah, mereka meminta jalan mendahului.

“bareng mereka yuk,” Audrey menawarkan
“boleh,” Emma mengangguk. Wajahnya memandang Zweta dan Rania meminta konfirmasi.
“oke, kita cabut !!” Rania berkata menjawab tatapan Emma.
“minum dulu lah. Biar nggak dehidrasi,” Zweta menyeletuk sambil tangannya bergerak meraih botol air.

Setelah tersegarkan beberapa teguk air mineral, perlahan-lahan mereka beriringan melanjutkan perjalanan. Mereka bergerak membuntuti rombongan pendaki lain yang hanya terpaut dua puluh meter. Rania masih berada di posisi terdepan, disusul Emma, dan kemudian Audrey. Semakin jauh melangkah cemara hutan mulai jarang, sementara sesemakan dan tumbuhan perdu menyembul berkelompok menghiasi padang rumput yang tak luas.

Jalan setapak mulai berkelok, beberapa tumbangan perdu melintang di beberapa titik jalur pendakian. Namun kaki Rania sigap ketika menapak dan melompati tumbangan perdu, ia menikmati benar berpetualang kali ini.

Jalan setapak terus berkelok melingkar, dan kini mereka menyisiri tepi ceruk yang merupakan sungai alam temporar, nampaklah sungai-sungai kering itu seperti jurang-jurang kecil yang tak dalam. 

Sementara matahari semakin condong ke sisi barat, warnanya pun semakin memerah,

Tak lama kemudian mereka mulai keluar dari belantara Cemoro-Kandang. Vegetasi Cemara-gunung semakin jarang, pepohonan cemara hanya terlihat satu-dua seperti pelengkap belantara. Ya, kini jalur pendakian yang mereka lewati mulai mengganti wajah. Mereka mulai memasuki kawasan hutan yang dipenuhi dengan perdu dan sesemakan liar. Jarak pandang semakin membentang, hingga kelok jalur pendakian terlihat seperti lengkung-lengkung panjang yang saling bertautan.

Di depan Rania, rombongan pendaki mulai meniti tumbangan pohon cemara. Batang pohon itu menghubungkan kedua ujung sungai kering selebar tujuh meter. 


“Ran, hati-hati”Zweta berpesan dengan mimik serius. Sementara rombongan pendaki  di depan mereka telah selesai meniti dan langsung melanjutkan perjalanan.

“tenang saja, Ta” Rania menyungging senyum cantik namun memancar adrenalin. Ia bersiap meniti tumbangan pohon yang menghubungkan sisi ceruk  selebar tujuh meter sedalam tiga meter.

Kaki Rania lincah meniti, semangatnya terpompa adrenalin. Dan ketika Rania hampir sampai di ujung ceruk, Emma pun menyusulnya meniti tumbangan pohon. Dengan wajah diliput ketegangan kedua-tangan Emma hampir penuh terbuka, ia serupa anak burung yang belajar terbang. Hingga sesampai di ujung ceruk, Emma pun tertawa-puas sambil bersenandung riang.

“Im looking to the sky to save me
Looking for a sign of life
Looking for something help me burn out bright

Im looking for complications
Looking cos Im tired of lying
Make my way back home When I learn to fly “


Jalur pendakian berangsur landai, sesemakan dan juga ilalang terlihat semakin dominan. Di kanan jalur pendakian, mulai terlihat padangyang luas. Padangitu seolah membatasi belantara lebat di sisi utara dengan cakupan belantara di kaki Gunung Kepolo.


“break dulu !” Emma terlihat lelah. Ia menghempaskan tubuh di tepi jalur pendakian.
“aku ngikut, Em. Kita break dulu,” Audrey menguatkan. Ia pun menurunkan ransel.

 Zweta memilih tak menanggapi, ia mengeluarkan terrain map dan kemudian membaca GPS treking.
“ladies, attention please. Kita sampai di padangJambangan,” Zweta berkata memastikan, sementara Emma, Audrey, dan Rania saling berpandangan.
 
“lihatlah ke depan,” lanjut Zweta

“ya Tuhan !! Puncak Mahameru ??!!” Rania terpekik lirih, tenaganya hampir terkuras habis.

Sementara matahari semakin condong ke sisi barat. Mereka mulai dibayangi kelelahan.

“Ran, itu puncak Mahameru ?” Emma tak percaya  menyaksikan puncak putih yang menjulang tinggi di depannya.
“ya. puncak putih itu yang kita lihat dari Hardtop kemarin, Em” Rania menjawab singkat.
“yakin kita bisa ke puncak ?” lagi-lagi Emma bertanya tak percaya
“tentu saja, Em. kita akan menjejakkan kaki di puncak tertinggi. Disana, di atap tanah Jawa” Zweta menyentuh pelan pundak Emma. Ia memandang kagum kawan-kawannya yang telah teguh menempuh perjalanan.

“masih lama ke tempat kemping, Ta ?” pandangan Audrey terlihat letih. Hatinya pun gentar melihat keterjalan puncak.

“nggak Drey, cuma seperempat jam. Treknya juga menuruni bukit. Tapi kita harus sampai disana sebelum senja,” Zweta tersenyum lembut. Ia tahu harus memberi semangat kawan-kawannya yang telah dikuasai keletihan. 

“yuk ! lanjut,”

***

Antara Padang Jambangan dan Padang Kalimati XXXX M dpl
15 Agustus,
17.15,

Sinar matahari memerahkan langit. Sementara dinginnya angin gunung mulai melingkupi hutan, bukit, ilalang, dan semua yang berada dalam bayang-bayang puncak Mahameru. Pohon-pohon semakin diam, kesunyian merajalela. Hening, semuanya hening. Yang terdengar hanyalah sesakan langkah lelah beserta suara ilalang dan semak-perdu yang bergesekan dengan tubuh pendaki gunung.

Rania kelelahan, seluruh tubuh berjuang menahan keseimbangan. Semakin sering beristirahat, semakin berat kaki melangkah. Jalur pendakian serasa tak ada ujungnya. Ia berharap prosesi pendakian segera berakhir di areal camp yang mereka tuju. Ia pun membisu menghemat tenaga.

Sementara itu kondisi  Emma lebih parah. Sepanjang jalan ia mengeluh tak ada habis. Kaki-kakinya lemah melangkah. Ia tertinggal sepuluh meter di belakang Rania.

“Ta, masih jauh kah ?” Emma memutar tubuh ke belakang. Ia kelelahan walau berkali-kali beristirahat.
“sepuluh menit lagi,” Zweta berteriak limabelas meter di belakangnya. Sementara Audrey yang berada persis di belakang Emma  tak percaya dengan jawaban Zweta. 

“dari tadi sepuluh menit !! ” Audrey mulai emosi. 
“iya nih. Perasaan tadi kamu bilang cuma seperempat jam, Ta.” Emma memelas. Ingin sekali ia berbaring di atas tumbangan pohon yang tak jauh di depannya.

“bentar lagi,Em. Suer deh,” Zweta menjawab singkat. Ia sadar telah membohongi kawan-kawannya. Dan kini ia mempercepat langkah hingga tepat berada di belakang Audrey.

“ayo  Em, Drey. Ditungguin Rania,” Zweta tersenyum lelah. Ia menunjuk Rania yang kini duduk beristirahat di juluran cabang pohon tumbang. Pohon itu terlihat berayun-ayun menahan beban.

Tak ada pilihan bagi Emma selain melanjutkan perjalanan. Ia terus mengeluh banyak bicara. Tubuhnya tak mau berkompromi. Ia terus melangkah dengan pijak-pijak yang ringkih. Seolah dirasanya besi seberat limakilo menggantung di pergelangan kaki.

Sementara trek pendakian mulai menurun. Dan di kelebatan hutan ini, mata mereka masih cukup awas menapaki jalur pendakian yang memang menuruni lembah Gunung Kepolo. Mereka terus menapak dengan sisa-sisa tenaga.

Walaupun jalur pendakian cukup terbuka dan dipenuhi sesemakan liar, namun di sana-sini bertebaran tumbangan batang-batang kayu dan perdu. Rania berhati-hati. Ia tak ingin tersangkut dan tergelincir di medan pendakian yang makin curam sekaligus dipenuhi semak belukar.

Audrey menyeka peluh. Ia tak tahan.

“masih lama, Ta ?”,
“tujuh menit, Drey”
“TUJUH MENIT ??? huhhhh !!! ” Emma berseloroh panjang menahan kesal

“perasaan sepuluh menit lalu kamu bilang tinggal sepuluh menit !!!“ Audrey protes. Ia tak mampu menahan kejengkelan. Ingin sekali dilemparkannya beban berat di punggung. Ia berharap jalur pendakian yang membuat persendiannya ngilu tak karuan segera berakhir secepatnya.

“iya tuh, Drey ! kumat penyakit bo’ongnya,” tubuh Emma memutar ke belakang. Ia berjalan dengan posisi miring.

“kamu tuh seharusnya jangan bo’ong, Ta. Kita ini sudah lel..”

DAG !
KRAASSKKK

“EMMAAA !!! “

Krrrtttaaakk ! Brugg !!
krrsssssaakk !  brrrggg !!

“ADUUHHHH ...”

 “TA, EMMA TA !”, Audrey terpekik keras. Ia histeris. 

“aduhhh ..  kakiku . .kakiku ..  tooloonng,” Emma tak kuat lagi merintih. Ia menangis. 
“EMMA !!”,

Zweta berlari sekencangnya. Audrey dengan sisa tenaganya cepat melesat. Ia membuang ranselnya ke tepi jalur pendakian. Tubuh Emma terjerembab. Ia terpelanting setelah kakinya tersangkut ranting. Ia jatuh berguling-guling, menggelinding sejauh lima meter, dan kini terlentang kikuk tak berdaya.

“Aduuhhh ... kakiku, Drey. Tolongiiiin ..” Emma mengerang dengan sisa-sisa tenaga. Rasa nyeri luar biasa menyengat di pergelangan kaki. Namun tenaganya telah habis walau hanya sekedar untuk menyentuh pergelangan kaki.

Menyaksikan Emma yang terlentang tak berdaya sambil merintih, Rania yang berjarak sepuluh meter di depan Emma nampak lemas. Ia histeris. Ia pun cepat-cepat berlari menolong. Namun Rania harus kembali ke belakang dengan medanyang berbalik menanjak.

“Emmaaa .. ya Tuhaann .. ” Audrey kebingungan hingga hampir menangis. Ia mengangkat dan mendekap Emma di pelukannya. Sementara Zweta berusaha melepas ransel yang masih menempel di punggung Emma.
“Kakiku, Ta .. kakiku ...” Emma merintih. Tangannya tak kuat lagi memegang kaki.

“ya Tuhan, kenapa, Ta.” Rania melepas ransel di tepi jalur. Nafasnya terburu. Ia meluruskan kedua kaki Emma.
“Kasih minum, Drey.” Rania berwajah cemas. Sementara Audrey masih membelai Emma yang merintih kesakitan. Tangannya seketika menggerayang cepat mencari air minum.

“tak ada luka, Ran.”Zweta merasa bersalah.
“syukurlah, Ta . . mungkin cuma terkilir,” Rania menghembuskan nafas panjang.

 “Emma,” Zweta menggenggam erat tangan Emma. Matanya berkaca-kaca.
“aku capek, Ta. Pusiiing . . ”

“masih jauh, Ta ?” Rania memandang Zweta dalam-dalam
“nggak, Ran  . . persis di ujung jalan setapak ini. Kamu di depan tadi sudah bisa mendengar suara pendaki ?” lanjut Zweta bertanya.
“ya. Sudah,”
“itu pasti Padang Kalimati. Lima menit lagi sampai,”
“beneraaan, Ta” suara Emma berpadu erangan sakit
“iya sayang . . maafkan aku ya,” Zweta menitikkan air mata.
“Drey . . . kakiku tak apa apa, Drey ?” Emma menatap lemah Audrey
“tak apa-apa ..  tak apa-apa .. sebentar lagi kita sampai,”

Matahari semakin condong hingga nyaris tenggelam. Sinarnya yang merah jatuh di sela-sela dedaunan, ranting, dan dahan-dahan, serupa siluet agung yang melukis warna merah di tepi tiap benda.

Emma berusaha bangkit dengan sisa tenaga. Ia dipapah oleh Audrey dan Rania, sedangkan Zweta memikul dua buah ransel yang diletakkan di punggung dan di depan dada. Ia teramat sedih dan menyesal. 

Senja yang membelai tubuh anak manusia memunculkan bayang-bayang panjang. Dengan langkah tertatih, mereka berjalan pelan mengikuti jalur pendakian yang terus menurun. Untunglah di belakang mereka telah tiba serombongan pendaki gunung. Mereka segera membantu Rania dan Audrey, mereka bergantian menyokong Emma dan memapahnya pelan.

Dan, matahari hampir menutup mata ketika mereka sampai di areal camp selanjutnya,  Padang Kalimati.

***




Padang Kalimati,
-shelter terakhir sebelum memasuki jalur pendakian terberat Mahameru.
15 Agustus
19.00

Ratusan lentera tertebar serupa kunang-kunang menarik pasangannya. Disanalah tenda pendaki berdiri, di tengah padang, di sekeliling shelter Kalimati, bahkan di tanah-tanah lapang yang berbatasan dengan rimba belantara. Dan nyala api unggun menggeliat-geliat mengikuti arah tiupan angin gunung. Suara angin terdengar begitu berisik, menghembusi sela dedaunan cemara yang tumbuh rapat membatasi Padang Kalimati. Sementara para pendaki masih banyak yang berdatangan. 

Zweta, Rania, dan Audrey duduk membelakangi tenda dome. Mereka duduk menekuk kaki di tepi perapian. Meregangkan telapak tangan, mengusir dingin yang mulai menyentuhi sendi tubuh. Setelah 8 jam  menempuh perjalanan. Kini mereka bermalam di Kalimati, tepatnya di gerbang padang Kalimati, di sebuah tanah lapang tak lebar namun terlindung dari terpaan angin gunung lantaran dikelilingi pepohonan. 

“Drey, Ran, maafkan aku,” tatap mata Zweta bergantian memandang Rania dan Audrey. Ia menyesal.
“sudahlah, Ta. Emma tak apa-apa. Kakinya juga tak apa-apa. Ia cuma kelelahan,” Rania menjawab lembut. ia menyeduh teh hangat.
“iya, Ta. Emma tak apa-apa. Besok pagi juga pulih,” bola mata Audrey berkilat memantulkan nyala perapian.
“semoga saja, Drey. Aku pun berharap begitu,” tatap mata Zweta menatap tenda dome yang pintunya dibiarkan setengah terbuka menerima radiasi perapian. Disanalah Emma meringkuk dan tertidur pulas berselimut sleeping bag. Sementara udara dingin Kalimati seakan tak mampu mengusiknya. 

Tatap mata Zweta kemudian beralih menyapu padangKalimati. Ia tersenyum ganjil. Betapa di tempat ini puncak Mahameru terasa dekat dengannya. Perasaan itu memantik desiran hati dan kemudian membuncahkan keharuan. Sekian kali mendaki Mahameru entah kenapa perasaan itu selalu saja muncul, apalagi ketika menyaksikan taburan bintang di Kalimati. Begitu bersinar, begitu indah, kehadiran mereka seakan begitu dekat.


“Ta, yakin kita sampai ke puncak ?” Rania bertanya gamang sambil memandang Zweta, jemarinya meregang menangkap radiasi perapian.
“kalau fisik Emma masih memungkinkan, kita lanjut kesana, Ran. Meniti jalan menuju surga,”
“jalan menuju surga ?” Audrey cepat-cepat menimpali 
“ya, pendaki Mahameru menyebutnya demikian, Drey. Nanti kamu tahu sendiri kenapa dinamakan jalan menuju surga,” Zweta tersenyum simpul sambil memandang Audrey dan Rania bergantian. Mereka berdua diliputi penasaran.

“Ran, Drey, apa yang kamu rasakan saat ini,”

Pertanyaan Zweta yang datang tiba-tiba membuat Audrey dan Rania saling berpandangan. Belumlah terjawab rasa penasaran, tiba-tiba Zweta meminta mereka berimpresi. Mereka berdua terdiam mencari kata-kata pilihan hingga mampu melukiskan perasaan secara tepat.

“entahlah, Ta. Aku cuma tak percaya bisa sampai disini,” Rania berujar singkat. Senyum manisnya tersungging. 
“kalau kamu, Drey ?” tatap mata Zweta beralih
“luar biasa, Ta. Terima kasih sudah mengantarku sampai disini,” bola mata Audrey yang berkilat memantulkan cahaya perapian menyongsong tatap mata Zweta.

“kalau fisik Emma masih memungkinkan, besok kita lanjutkan perjalanan, Drey. Tetapi kalian harus tahu jika jalur pendakian di depan kita tak seperti yang tadi,”

“Jalur pendakian di depan kita cukup berat dan melelahkan. Makanya aku lebih memilih bermalam di Kalimati daripada di Ranukumbolo, aku memilih strategi itu agar fisik kita lebih stabil dan terjaga. Besok kita bermalam lagi di Arcopodo, dan kita akan berkumpul dengan pendaki lainnya. Disana ! itulah Arcopodo,“ Zweta menunjuk sebuah titik berwarna merah di batas vegetasi puncak Mahameru, sebuah perapian.

“berapa lama sampai sana, Ta ?”
“sekitar tiga hingga empat jam mendaki trek terjal,”
“cuma empat jam ?” Audrey tak percaya. Dirasanya empat jam tak berarti apa-apa dibanding 8 jam perjalanan dari Ranupane ke Kalimati.
“memang benar cuma empat jam Drey, tetapi tenaga kita cukup terkuras. Setelah itu kita harus beristirahat untuk summit attack begitu jam mengganti hari. Saat summit attack itulah kita merayap di Jalan Menuju Surga,”

Rania terdiam, begitu juga dengan Audrey. Penasaran di hati mereka semakin tak berujung.

“dan besok ketika senja, kalian akan menyaksikan keajaiban lain dari Mahameru,”
“keajaiban, Ta ?” Rania cepat-cepat konfirmasi. Sementara udara dingin kembali memeluknya. Ia menyeduh teh hangat ke bibirnya.
“atau lebih tepatnya .. sebuah lukisan surga,” Zweta memandang Rania dan Audrey bergantian.
“lukisan terindah yang bagiku.. tak terkata ..”

Mata Rania berbinar, Audrey semakin bersemangat. Mendengar kata-demi kata yang diucapkan Zweta seakan mampu menggelorakan niat untuk menuntaskan seluruh perjalanan. Mereka tak sabar menunggu datangnya pagi. Namun apalah daya, seluruh sendi tubuh masih terasa lelah dan penat.

“Ta, persediaan air hampir habis ..” Rania menyirat khawatir
“ya, Ta. Tinggal empat liter,”
“besok pagi kita mengisi perbekalan dari mata-air di dekat sini,”
“ada, Ta ?”, Audrey tak percaya
“ada. Dan barangkali merupakan mata air tertinggi di pulau Jawa. Namanya mata air Sumbermani. Kalau musim kemarau begini mungkin debit airnya sedikit berkurang. ”
“tempatnya jauh ?” Rania bertanya lembut
“sejam pulang pergi. Menyusuri aliran sungai kering di depan sana,”
“kenapa padang ini namanya Kalimati, Ta ?” tiba-tiba Audrey sedikit ngeri mendengar kata-kata berbau kematian.
“entahlah, mungkin karena bekas aliran sungai lahar di depan itu. Sungai itu kan kering dan mati, mungkin karena itu dinamakan Kalimati,”
“kalau begitu ..  aku besok ikut ..” Audrey seakan tertantang

Mereka bertiga terus berbincang-bincang mengarungi malam. Memandangi bintang-bintang yang bertebaran di tepi langit, juga rembulan yang terang berpendar di atas kepala. Entah kenapa bintang seolah lebih dekat ketika dipandang dari gunung. Sinarnya lebih terang, kelipnya makin mempesona.

Dan para pendaki di Kalimati terus mengarungi malam yang dingin. Mereka melingkari api unggun, menikmati tiap reguk minuman penghangat yang mengalir perlahan ke dalam rongga dada. Mereka tak mungkin melewatkan suasana yang benar-benar dirindukan para petualang ketika berada di hampar alam. Larut bercengkrama satu sama lain sambil memandangi keindahan langit malam yang sesekali menyuguhkan ekor panjang bintang jatuh. Sementara reranting kering yang terbakar meretak-retak berbunyi. Abu nyala sesekali terbang ke atas membuat mata menyipit perih.

Bagi Audrey, kehangatan kopi susu menjadi kawan yang pas ketika beradu melawan hawa dingin yang membekukan tubuh. Gelas di tangannya sesekali berpindah tangan. Ia menyeduh minuman bergantian dengan Zweta.

Dan di Padang Kalimati, suhu malam ini menunjuk  minus 3.8 derajat celsius.
***


Padang Kalimati,
16 Agustus
08.10

Rania mengemasi tenda, sementara Emma menghalau dingin dengan duduk bersila di tepi perapian. Wajah Emma merekah, ia tak lagi lelah. Ia teringat kejadian kemarin senja ketika tubuhnya dipapah menuruni lembah, ia sudah tak kuat lagi berjalan. Namun kini seluruh tenaganya telah pulih. Beruntung kakinya tak mengalami cedera setelah tersangkut ranting hingga membuatnya jatuh berguling-guling.

Sambil meregangkan jemarinya, Emma memandang kagum Padang Kalimati. Dan memang setiba di Kalimati, ia langsung beristirahat di dalam tenda tanpa banyak tahu kecantikan padang itu. Di depannya berdiri tegak Puncak Mahameru. Menjulang, seakan menantang siapapun untuk menggapai puncaknya yang bagai kerucut mahabesar srato sempurna. Puncak itu dihiasi dua warna yang nampak kontras. Warna hijau cemara di bagian yang masih ditumbuhi vegetasi, sementara  warna putih keabuabuan di areal puncak vulkanik yang tak ada lagi vegetasi mampu tumbuh di atasnya.

Sesekali terlihat kepulan debu Mahameru menggumpal-gumpal. Gumpalan itu serupa cendawan raksasa namun semakin lama terkepul ke udara, bentuknya semakin tercerai berai tak beraturan lantaran tersapu angin. Pemandangan itu benar-benar mengagumkan. Seolah puncak putih Mahameru merupakan mahkota agung yang dikagumi para petualang di bumi Mahameru.

Sementara hamparan padang Kalimati memanjakan kekaguman Emma. Ia duduk terpesona menautkan kepukauannya. Ia terkagum saat menyaksikan bunga-bunga es yang menempel di pucuk-pucuk rerumputan tadi pagi. Ia terpesona menyaksikan jutaan jejak kaki burung hutan yang membekas di tanah kering. Dan ia terpukau menyaksikan hamparan edelweis yang merekahkan bunga-bunga keabadian.

Ya- di padang Kalimati tertebar ratusan Edelweiss –Anaphalis Longifolia. Dan semua petualang mewajibkan dirinya mengabadikan kecantikan ikon kehidupan di padang Kalimati. Bunga-bunga keabadian, Edelweiss.

Belum habis dilamun kekaguman, tiba-tiba mata Emma menangkap dua sosok perempuan yang tiba-tiba muncul dari balik cekungan. Ransel mereka menggantung penuh. Wajah mereka berseri setelah terbasuh air segar dari mata-air tertinggi di bumi Mahameru. 

Audrey dan Zweta baru saja kembali dari mata-air Sumbermani. Mereka menyusuri sungai kering bekas aliran lahar sejak sejam lalu. Dan kini seluruh logistik pendakian telah terpenuhi.

Emma kemudian bangkit membantu Rania berkemas. Seluruh perlengkapan dan logistik pendakian ditata ulang. 

Sementara angin pagi seakan diam tak bertiup. Walau matahari telah meninggi, sengatan terik serasa menghilang lantaran terusir hawa dingin Kalimati. 

“jangan ada yang ketinggalan,“ Audrey mencoba mengingatkan Rania dan Emma yang sedang mengemas perbekalan. Sementara Zweta mematikan perapian.

Sementara itu pendaki gunung yang berangkat pagi-pagi dari Ranukumbolo telah sampai di Kalimati. Mereka melepas lelah, menikmati sejenak keagungan hamparan bunga Edelweis.

“kalau capek kita break sama-sama . .  nggak usah terlalu dipaksakan. Tak ada target waktu untuk sampai di Arcopodo. Dan ..“


“Tolong dijaga ritme pendakian. Jalur yang nanti kita lewati cukup terjal, menanjak, dan berbahaya. Jangan terlalu rapat, jangan pula terlalu jauh. Dan kamu Em, kalau nanti beban ransel terasa terlalu berat, biar isinya dikurangi dan dibagi kita bertiga,“

“oke, Ta“ Emma mengangguk cepat
 “Semoga Tuhan melindungi kita“
“amin“, “amin“

Dengan beban berat yang menggelayut di punggung, mereka melangkah santai melintasi beberapa pendaki yang sedang duduk-duduk mengagumi puncak putih Mahameru. Mereka terus bergerak membelah hamparan padang Kalimati, melewati jalan setapak yang masih lurus memanjang. Dan ketika kaki mereka sampai di tengah padang, mereka disapa oleh beberapa pendaki yang bermalam di Shelter Kalimati, sebuah pondok pendaki permanen di tengah padang, namun mereka pun terus melangkah melanjutkan perjalanan.

Tak lama meninggalkan shelter Kalimati, akhirnya sampailah mereka di ujung padang Kalimati yang dibatasi sungai kering. Perlahan-lahan mereka menuruni lereng yang cukup curam seperti bekas aliran lahar di masa lalu. Rania melangkah pelan berhati-hati, sementara Audrey yang tepat berada di belakang Rania menunggu sabar. Kedua tangannya memegang erat juntaian tali ransel.   

Tak butuh lama melintasi sungai kering, mereka pun kemudian memasuki belantara yang dipenuhi pepohonan cemara dari masa yang purba. Batang pohonnya tinggi besar, sementara di pucuk tertinggi dahan-dahannya seakan bertautan menghalau sinar matahari agar tak jatuh di atas bumi.

Rania yang berada posisi terdepan terus lincah melangkah. Jalur pendakian perlahan mulai menanjak, seluruh tubuh terasa gerah.

“Ran, break dulu,“ Emma menyerah lantaran tak kuasa lagi melangkah. Ia memilih duduk di atas pohon tumbang tepat sepuluh meter di bawah Rania. Dilepasnya ransel, ia pun mengatur nafas. Tak disangka kalau jalur pendakian Kalimati-Arcopodo mulai menampakkan keangkuhan.

“isi ransel kamu harus dibagi, Em“ Audrey menyarankan. Perempuan berambut mayang itu pun kegerahan mengatur nafas.

“nggak usahhhh, ntar aja, Dreeyy“, Emma berkomentar singkat. Ia meneguk air dingin. 


Sementara sambil mengatur nafas, Emma mengagumi julangan pepohonan cemara yang berdiri tegak menunjuk langit. Sedangkan Audrey memandang ke belakang. Ia tak percaya melihat kelokan jalan setapak yang baru mereka lewati. 

Tiba-tiba Audrey mengernyit. Kedua alisnya nyaris bertemu.

“siapa mereka, Ta ?“ Audrey bertanya ketika melihat tiga lelaki berbadan tegap berjalan mendekat. Lelaki itu berseragam hijau sambil memanggul ransel di punggung, sementara salah satunya memakai kaos lengan panjang warna oranye. 

“mereka ranger taman nasional. Penjaga kawasan ini,“
“ranger ?“ Emma terheran.
“ya, selama musim pendakian, mereka memandu pendaki gunung dan memastikan tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Namun kalau sampai terjadi kecelakaan pendakian, mereka berkoordinasi dengan banyak pihak membentuk Tim Search and Rescue“
“mm gitu ... baru tahu,“ Audrey manggut-manggut
“berarti yang kita lihat di Waturejeng itu tim SAR ?“, Emma cepat-cepat bertanya
“yup. Mereka gabungan dari Ranger, Pecinta Alam, relawan, dan juga para porter,“
“ porter terlibat juga ?“ Audrey meminta penjelasan.

“tentu saja, Drey. Kebanyakan para porter penduduk asli Ranupane. Mereka mengenal Mahameru lebih dari siapapun. Kemampuan mereka menyusuri hutan dan jurang-jurang tak diragukan lagi. Seperti kita mengenali kampung halaman kita sendiri, begitu pula dengan mereka,“

Ketika Zweta selesai menjelaskan, ketiga ranger itu telah tiba di depan mereka. Senyum ramah tersungging, mereka beristirahat di dekat Audrey.

Dua di antara mereka intens berkomunikasi menggunakan HT.

“kalian pendaki dari mana ?“
“dari Keprabuan, Pak “
“oh . . dari Keprabuan . .mmmm ... saya ada kawan,“ lelaki itu mencoba mengingat
“berarti kalian kenal Pak To’at ?“,
“Pak To’at sipil ? “ Audrey ganti bertanya
“mungkin. Saya tak tahu pasti dia di bagian apa. Orangnya kecil . .  bicaranya cepat seperti dalang karbitan,“
“wah iya tuh, Pak ! beliau dosen kami,“ Emma berujar lembut.
“oh ya ? wahahaha . . tak percaya rasanya . . bagaimana kabar beliau ?“
“baik, Pak. Beliau sekarang Ketua Jurusan,“
“wah-wah-wah. Sukses besar Bajing Alas itu . . hahaha “
“siapa, Pak ? Bajing Alas ?“ Zweta tersenyum geli
“Iya. Julukannya dulu begitu, Bajing Alas. Orangnya paling kecil, lincahnya minta ampun, raja ngeyel, jagoan catur, tapi di antara kita otaknya paling encer,“

Ranger ramah itu kemudian bercerita panjang lebar. Ia mengenang kebersamaannya bersama Abah, To’at, Diman Giwang, dan beberapa kawannya ketika melakukan ekspedisi pendakian ke triple-S, yaitu Gunung Sindoro, Gunung Slamet, dan Gunung Sumbing yang merupakan tiga puncak favorit di Jawa Tengah. Ia menceritakan petualangannya dengan penuh antusias. Tangannya bergerak-lincah mirip pendongeng ulung, wajahnya berekspresi memancar emosi layaknya mengenang peristiwa yang takkan pernah terlupakan. Saat ia dan kawan-kawannya masih muda dan dipenuhi gelora. Seolah mereka mampu membelah  rimba, menyusur belantara, dan menjelajah gunung yang paling tinggi sekalipun. Namun kini setelah matahari ribuan kali timbul-tenggelam, yang tersisa hanyalah kenangan manis beserta ribuan kesan yang tak terlupakan.

Hingga kemudian kawannya menepuk punggung lelaki itu, mereka bersiap melanjutkan perjalanan.

“kalian hanya sampai di Arcopodo atau ke Puncak ?“
“summit attack, Pak“
“Kalau mau summit attack, ikuti koordinasi dengan pendaki lain. Biasanya ada pendaki yang malas berkoordinasi sehingga menyulitkan kami memantau pergerakan,“
“oke, kita berangkat dulu,“ lelaki itu pamit dan segera bangkit dari duduk. Mereka kemudian menapaki jalur terjal sambil memantau rambu-rambu penunjuk arah yang terpaku di batang pohon sejarak tertentu. 

Lima menit kemudian, Rania, Audrey, Emma, dan Zweta melanjutkan perjalanan. Setapak demi setapak bergerak pelan, menempuh jalur pendakian yang makin terjal dan dipenuhi debu-debu. Nafas Rania terburu, demikian juga dengan yang lain. Bahkan di beberapa titik jalur pendakian, mereka dihadang tanjakan dengan kemiringan 50 hingga 60 derajat. Saat menghadapi medan yang sedemikian terjal, mereka merayap sambil memegang erat akar cemara yang menonjol keluar di tepi jalur pendakian. 

Medan pendakian Kalimati–Arcopodo semakin angkuh. Mereka mulai bergerak menyisir bibir jurang dan ceruk-ceruk pasir vulkanik yang rawan longsor. Jurang menganga sejarak dua meter dari tepi jalur membuat Rania miris. Detak jantungnya berdegup kencang seiring kakinya menapak pelan berhati-hati. 

“Em, berhati-hatilah. Kita melintasi jalur berbahaya dan rawan longsor,“ Zweta berujar serius.

“medannya terus seperti ini, Ta ?“ Getar suara Emma menyirat gentar.

“ya. jalur Arcopodo memang seperti ini,“ 
“kalau memang lelah, mendingan kita break  .. nggak usah dipaksakan,“ lanjut Zweta menyarankan. 

Sementara itu Rania dan Audrey tak banyak bicara. Mereka berkonsentrasi penuh menapaki jalur pendakian.

“gila ! nggak nyampe sepuluh langkah nafas sudah habis,“  Audrey menggeleng tak percaya. Keningnya terbasahi keringat. Ia memilih beristirahat membasahi tenggorokan.

“huhhhh !!! Terjal banget,“ Rania menggeleng tak percaya. Punggungnya naik turun mengatur nafas

Dari tempat mereka berhenti, tertampak longsoran material vulkanik jatuh teronggok di dasar jurang. Reruntuhan tebing pasir dan bebatuan labil menyeret  pohon cemara berukuran besar hingga jatuh terpelanting dari atas tebing.  Akar yang tercerabut berada di atas, sedangkan dedaunan dan dahan-dahannya tertekuk patah di dasar jurang.

Sementara Rania dan Audrey terhenyak menyaksikan keliaran alam beserta jurang-jurangnya, Emma dan Zweta tertinggal tigapuluh meter di di belakang.

“lanjut saja, Drey. Tapi jangan terlalu jauh,“ terdengar teriakan Zweta dari bawah. 

“Oke, Ta. aktifkan komunikasi,“ Rania menyahuti teriakan Zweta. Ia mengeluarkan HT dari ransel dan kemudian menyeting frekuensi.

Tak lama kemudian, debu-debu kembali terkepul saat Rania dan Audrey melanjutkan pendakian. Mereka bergerak menyisir tepi jurang dengan kewaspadaan tinggi. Sementara berisik angin gunung yang meniupi pucuk cemara terdengar semakin jelas. Suara itu sedemikian eksotis terdengar,
Swwisssssswwwuuuu .. Swwwisssssswwwwuuuu .....
Mendesis-desis, mendesau-desau, mengeluarkan desahan panjang tanpa henti.

Beberapa kali Rania dan Audrey berpapasan dengan rombongan pendaki yang turun gunung. Seluruh pakaian mereka kotor dipenuhi debu, wajah kusut lusuh, rambut menggumpal kumal. Mereka menyingkir saat berpapasan dengan Rania.

Hingga kemudian Rania dan Audrey telah sampai di jalur pendakian yang sedikit menikung. Tak ada lagi jalur berdebu, tak ada lagi medan pendakian yang menyisir tepi jurang. Mereka beristirahat melepas lelah di bawah kerindangan hutan cemara. 

“Ta, nyampe mana?, ganti,“ suara berisik HT terdengar gemerasak saat Rania melepas tombol.
[kita masih menyisir jurang. Kamu nyampe mana ?]
“Entah nyampe mana ini, Ta. Jalur pendakian sedikit berbelok“
[oh tempat itu, kamu pasti hampir sampai. Kalo begitu lanjut saja ke areal camp Arcopodo, mungkin sepuluh menit lagi kamu nyampe. ]
“Kondisi Emma bagaimana, Ta ?“
[Baik-baik saja, kita berdua sedang istirahat .. ]
“oke deh. Kita berdua lanjut ke Arcopodo. Confirm“
[Oke. Jangan lupa cari areal camp buat buka dome]
“Oke,“

Rania kembali menyelipkan HT di ikat pinggang. Ia beristirahat sejenak memandangi gugusan belantara beserta jurang-jurangnya. Tatap matanya menyapu jauh hingga pepohonan nampak seperti jutaan titik kecil yang saling bersesakan. 

“Drey, lanjut . . “ Rania bersiap mengangkat ranselnya
“yuk,“ Audrey menyahut singkat. Dari jauh penglihatannya menangkap sosok Emma dan Zweta yang sedang berjuang keras merayapi jalur pendakian. 

Rania dan Audrey kembali bergerak, keterjalan medan mulai hilang, debu-debu tak lagi menghadang. Hingga telinga Rania sayup-sayup mendengar gelak tawa pendaki gunung.

mungkin itu Arcopodo,
Rania menduga dalam hati.

Dan kini langkah kakinya semakin cepat menapak. Nafas terburu tak lagi soal. Suara-suara pendaki semakin jelas terdengar.

Tiba-tiba di balik pepohonan, muncullah jajaran dome dan tenda-tenda di terrain tanah yang bertingkat-tingkat, sementara penghuninya bercengkrama melepas lelah. Duduk-duduk, membuat minuman, makan siang, bahkan tidur bebas bermodal selembar matras. 

“selamat datang di Arcopodo,“  seorang Ranger menyapa Rania dan Audrey. Mereka bertiga saling melempar senyum.

Hingga kemudian, tatap mata Audrey menangkap selembar papan kayu yang terpaku di batang cemara besar, bertuliskan :

ARCOPODO. BILA CUACA BURUK,
HENTIKAN PENDAKIAN



***

Posting Komentar

 
Top