0

Setelah dua puluh hari menginap di rumah sakit, akhirnya Emma diperbolehkan pulang. Tak nampak Damar hari ini, hanya Karin yang sepanjang pagi menemaninya.  Adiknya itu sedang keluar menuju resepsionis untuk menyelesaikan administrasi.

Sejak Emma dirawat di rumah sakit, bergantian kawan-kawannya datang mengunjungi. Hal inilah yang membuat Emma ingin cepat-cepat pulih seperti sedia kala. Apalagi ketika Audrey seringkali bercerita tentang aksi turun ke jalan menentang Bentos, dikejar-kejar preman, hingga berpetualang menyusuri jalan setapak di hutan Panderman. Ah –Emma ingin seperti mereka. Ia tertarik merasakan apa yang dirasakan Audrey.

“Emma, segeralah pulih. Nanti Zweta akan mengajak kita menjelajah,” seringkali Audrey menghiburnya dengan mengatakan kalimat itu.

Dulu sepulang kuliah ia langsung beristirahat di rumah kontrakan. Dan ketika malam, ia seringkali menghabiskan waktu bersama kawan-kawan yang bahkan ketika dirinya terbaring di rumah sakit, mereka tak pernah menjenguk sekali pun.

“Tuhan, terima kasih,” Emma bersyukur atas Karin yang terus setia menemaninya. Adiknya itu tak pernah mengeluh, bahkan pengorbanannya begitu besar.

Dan satu hal lagi yang membuat Emma berterima kasih, Asti. Ya –kawannya itu telah berkorban banyak. Seluruh tugas-tugasnya telah selesai dalam sekejap. Entahlah. Apakah ini sebuah dosa ataukah tidak. Astilebih memilih menyelamatkan harapan Emma yang sedang patah semangat dari pada berpikir salah atau benar.

Asti, terima kasih. Sampai kapanpun aku takkan bisa melupakan kamu,” Emma berkaca-kaca setelah mendengar penjelasan Asti.

Di kampus Keprabuan Emma masih punya harapan, sedangkan Damar tidak. Lelaki itu telah habis. Ia tak punya kesempatan lagi melanjutkan studi. Ia diharuskan pindah dari Universitas Keprabuan dengan membawa selembar transkrip yang tak bagus. Dan untuk kabar yang satu ini Emma masih belumlah tahu.  

***


Sementara Karin menyelesaikan administrasi, Emma sedang duduk melamun di atas ranjang. Tetakan suara sepatu perawat yang lalu lalang tak membangunkan lamunannya, senyumnya pun tersungging. Ya. rasa penasaran kali ini mengusiknya. Betapa ketika mengingat sorot mata Damar, Emma mulai sering diganggu rindu. Sebuah tatap mata yang datar tak istimewa, namun Entahlah. Ada saat ketika dirinya sekedar ingin melihat senyum Damar. Dan anehnya, ketika lelaki itu datang seketika saja kerinduannya menjadi tak menggelisahkan seperti sebelumnya. Emma ingin mengartikan perasaan yang mulai sering mengusiknya. Hatinya geli, ia pun tersenyum sendiri.

“Damar,” hatinya mulai sering membisikkan kata itu. Dan ia tak tahu kenapa hatinya mengucap nama itu. Terkadang Emma mencuri pandang. Ia menatap Damar ketika lelaki itu tak menyadarinya. Dan ketika Damar belumlah datang menjenguk, serasa muncul perasaan tak tenang. Adaapa dengan Damar. Ah, lelaki itu teramat biasa. Penampilannya tak parlente, wajahnya hanya sedikit di atas rata-rata. Ia berbeda jauh dengan kawan-kawan gaulnya yang memang tajir dan parlente.

Senyum Emma lagi-lagi tersungging. Senyum Emma serupa kecantikan kembang yang mekar di saat pertama kali. Cantik, elegan, dan  penuh gairah. Hingga ketika Karin muncul di depannya, ia masih menyungging senyum penasaran.

“Kakak,” wajah Karin menegang seakan menjumpai masalah besar. Tetapi tak urung Karin pun heran menyaksikan jenis senyum yang kini tersungging di bibir Emma.

“kenapa, Rin ?” Emma masih menyungging senyum saat menyahut.
“sudah selesai ?” lanjut Emma

Dan Karin kemudian menggeleng. Wajahnya terlihat gugup. Hal ini malah membuat Emma penasaran. Senyumnya yang penuh gairah seketika menguap.

“sudah ada yang menyelesaikan, Kak“ tatap mata Karin menyiratkan kebingungan
“ada yang menyelesaikan ?”
“maksudmu ?”  Emma terkejut
“seluruh administrasi sudah beres, Kak. Ada yang sudah melunasinya,” tingkah Karin nampak kikuk lantaran bingung.
“bagaimana bisa, Rin“  
“siapa yang membereskan ?”, Emma masih tak mengerti.
“nggak tahu,” Karin menggeleng pelan.
“nggak tahu ? kamu kanbisa nanya,” nada suara Emma seakan menyayangkan.  
“mereka juga tak tahu pasti, Kak. Yang jelas semua salinan bukti administrasi sudah kubawa,”

Emma makin heran. Ia kebingungan. Siapa gerangan yang membayar seluruh biaya rumah sakit yang sudah pasti tak sedikit.

“berapa semuanya ?”
“sembilan belas juta limaratus”
“ya, Tuhan. Siapa orangnya, Rin” alis mata Emma bertemu. Ia menarik nafas dan kemudian mengembuskannya pelan-pelan.
“kamu sudah ngambil di ATM ku ?”
“belumlah, Kak. Aku kantadi mau nanya dulu di resepsionis berapa biayanya, baru ke ATM” Karin kini menduduki kursi lipat di samping ranjang.

Emma tak habis pikir. Demikian juga dengan Karin. Ini bukan masalah duit ratusan rupiah, tapi sudah puluhan juta.

“Mama-Papa tak tahu aku disini, kan ?”, Suara Emma mulai khawatir. Tatap matanya menunggu jawaban.
“Nggak kok, Kak. Nggak mungkin  Om dan Tante tahu,”
“terus siapa, Rin”
“kalo duit segitu, nggak mungkin kawan-kawan yang melunasi,” Emma masih berusaha menebak.
“ya jelas nggak mungkin, Kak” Karin menguatkan

Emma masih terheran, demikian juga dengan Karin. Pagi ini menyisakan misteri bagi mereka berdua.  

“Kak,”
“kenapa lagi, Rin ?” dua alis mata Emma masih bertemu.
“tadi Tante nelpon, beliau memberi kabar kalau Omsudah dipastikan menang,”
“Menang ?!! ya Tuhaaann ... syukurlah,” Emma menjerit gembira.
“Mama nanyain aku, Rin ?”
“ya. Dan Tante bilang agar Kakak jangan lupa bersyukur ..”

“terima kasih Tuhan,” hati Emma melonjak. Ia memejam mata. Dan ketika kelopak mata perlahan membuka, terlihat kilau bening membasahi bola matanya. Ia bersyukur atas kesempatan hidup yang kedua kali. Ia tak membayangkan seandainya hidupnya berakhir lantaran overdosis. Apa yang akan dikatakannya kepada Tuhan di alam sana. Ia memiliki Mama dan Papa yang menyayangi, ia memiliki keluarga besar yang begitu pengertian, dan terlebih ia memiliki Karin yang begitu luar biasa. Selama Emma terbaring di rumah sakit, Karin telah mengganti identitas menjadi dirinya. Ketika Mamanya menelepon menanyakan keadaaan, Karin lah yang selama ini menjawab. Dan betapa kehidupan yang kedua kali merupakan anugerah teramat besar. Ia berjanji meminta maaf.

“ponselku, Rin”
Emma meminta ponselnya kepada Karin. Ia ingin menelepon Mamanya.
“Halo, Ma”, kelopak mata Emma berbinar saat ponsel Mamanya terangkat,
[Ya, Sayang]
“Selamat ya, Ma”
[Suara kamu kok beda, Em ? ], terdengar suara lembut menjawab. Ada nada curiga dengan suara Emma.
“Iya, Ma. lagi sedikit flu,” berkaca-kaca mata Emma saat menjawab.
[minum obat, Sayang. Dan jangan lupa istirahat]
“iya, Ma”
[Adik kamu bagaimana kabarnya ?, Mama belum sempat nelpon dia. Jaga dia baik-baik]
“dia baik-baik, Ma .. bahkan teramat baik,“ Emma memandang Karin yang duduk di depannya. Hatinya menangis. Bukannya dirinya yang menjaga Karin tapi malah Karin yang menjaganya.
[syukurlah .. kalian berdua jangan lupa belajar ..]
“pasti, Ma” berair mata Emma saat mengucapkan.
“Ma, titip ucapan selamat buat Papa. Semoga menjadi Walikota yang baik”
[iya, Sayang. Nanti Mama sampaikan. Jaga diri baik-baik ya ..]

Buah keharuan menyeruak dan mengamuk. Menghantami emosi dan perasaan Emma yang dihimpit sesal salah.

“aku ngerasa berdosa banget, Rin” Emma memandang Karin dengan pandangan sedih. Bulir air mata di kelopak matanya perlahan menitik, kedua tangannya terulur ingin pelukan.
“sudahlah, Kak. Yang penting sekarang Kakak sudah sembuh,” Karin mendekat dan menaut pelukannya.
“kita berkemas ya, Kak”

***

Rania dan Audrey tiba setengah jam kemudian. Tak nampak Zweta datang hari ini. Dan memang, Zweta sedang menikmati kebersamaan bersama Mama dan Kakaknya dengan berpetualang di pegunungan Arjuno-Welirang. Mungkin empat hari lagi barulah mereka tiba kembali. 

“Kak Damar kemana, Kak”
“tumben sejak kemarin ia tak datang,” Karin sekilas saja memandang Rania.
“entahlah, Rin. Aku juga tak bertemu dengannya”, Rania menjawab lembut sambil merapikan seluruh barang Emma.
“mungkin sedang mengurus semua keperluan untuk pindah,” kalimat Audrey meluncur tak sadar.

“pindah ? pindah kemana, Drey ?” Emma nampak terkejut.  
Melihat tatapan Emma yang meminta penjelasan, Rania dan Audrey kini kikuk. Mereka saling berpandangan.

“Drey ? pindah kemana ?”  

“Em, Damar sudah nggak kuliah di Keprabuan,” Rania akhirnya menjawab  lembut
“nggak kuliah ? kenapa, Ran ?”

Lagi-lagi Rania dan Audrey berpandangan.

“dia kena evaluasi, Em” Audrey menimpali setelah berpandangan dengan Rania.

“ya Tuhan .. evaluasi ..”

Jawaban Audrey seketika membuat Emma lemas. Kata-kata “evaluasi” adalah momok menakutkan bagi siapapun. Sama persis seperti wabah penyakit, ia harus jauh-jauh disingkirkan. Selama ini Emma membayangkan bisa kuliah lagi bersama Damar dan membenahi seluruh studinya yang berantakan.

“jadi … jadi dia selama ini lebih memilih kemari daripada memperbaiki studinya ?”
“Damar tak bisa diselamatkan lagi, Em. Adi dan kawan-kawan sudah berusaha membantu. Dan dia sering kemari karena merasa kamu harus berhasil melewati semua ini. Damar tak ingin melihat kamu senasib dengannya,”

Jawaban lembut Rania membuat batin Emma beresonansi. Pandangannya menukik jatuh.

“sudahlah, ayo kita pulang,” Rania menyentuh pelan lengan Emma. Ia tahu kalau kawannya itu masih bersedih setelah mendengar semuanya.

“aku .. aku masih tak habis pikir, Ran” pandangan Emma terasa letih.
“Kak, semua pasti ada hikmahnya,” Karin menguatkan di sampingnya. Ia telah menenteng dua buah tas.

Emma kemudian berusaha tersenyum menepis perasaan. Dan ketika Rania menawarkannya terapi di Pinggir kali, Emma mengangguk. Ia ingin mencoba menuruti semua yang dikatakan Rania, ia takkan menolak. Disana Emma akan diterapi Dr. Almany Respati, Papa Rania.
 
“Putriku, kalau kawanmu bersedia, tawarkan dia untuk diterapi di Pinggir Kali. Insya Allah dia akan lebih menghargai hidup dengan memahami kehidupan orang lain. Dan ketika ia telah memahami betapa berharganya kehidupan, takkan ada lagi penghalang baginya untuk segera pulih seperti sedia kala,”

Begitulah kata-kata Dr.Respati kepada Rania saat mendengar Emma akan keluar dari rumah sakit.

***
Di beranda rumah kontrakan,

 “Mar,” suara lembut keluar dari bibir Emma.
“kenapa, Em” Damar menoleh. Dipandangnya perempuan itu dalam-dalam.  
“terima kasih,” Emma tak menemukan kata yang lebih tepat untuk mengungkapkan isi hatinya.

Emma kemudian tersenyum, Damar pun membalas tersenyum. Roda waktu  seakan tertawan, terasa memabukkan, terasa berhenti, detak waktu pun seolah membeku. Dan ketika Damar menatap bibir Emma yang sedikit terbuka, perlahan-lahan Emma mengalihkan pandang wajahnya.

“tadi aku dan Karin kebingungan, Mar. ketika Karin akan menyelesaikan administrasi Rumah Sakit, ternyata semuanya sudah beres. Kamu tahu siapa yang membereskan ?”
“sudah beres ?” wajah Damar terkejut
“ya. sudah lunas,” Emma menguatkan
“nggak ada keterangan dari resepsionis ?”
“sama sekali nggak ada”
“kamu nggak tahu ?” lanjut Emma bertanya
“nggak, gua nggak tahu ..” Damar menggeleng.
“entahlah siapa orangnya, Mar. Rania dan Audrey juga tak tahu . . aku tak habis pikir,”  

Setelah Emma mengucapkan kalimatnya, tiba-tiba muncul kebekuan yang menyelimuti mereka. Namun tidak demikian dengan Emma. Batinnya menyimpan luapan energi yang siap tertumpah.

“Mar,” Emma kembali menatap Damar.
“Kenapa, Em”  dilihatnya Emma ingin mengucap sesuatu, dan Damar masih menunggu.  

“boleh aku mencintai kamu ?”

Emma !!
Damar terkesiap. Seolah telinganya tersumpal hingga tak mampu mendengar suara apapun, ia ingin mendengar sekali lagi kalimat terakhir Emma.  

 “Ah. Entahlah, Mar .. aku .. aku .. ah,” Emma sendiripun tak percaya dengan kalimat yang baru saja terucap bibirnya. Ia menggeleng pelan, bibir bawahnya tergigit.
“Apa aku terlihat bodoh di depan kamu, Mar” tatap mata Emma mengiba.
“tidak, Em”
“apakah aku terlihat menyedihkan ?” tatap mata Emma berangsur sayu.
“tidak, Em. Tidak”

Lima detik kemudian seolah waktu membekukan mereka.

“boleh gua tahu kenapa, Em ?” kalimat Damar seperti tertahan.
“Entahlah, Mar. Aku  . .  aku cuma tak ingin membohongi perasaanku,” Emma terbata. Ia merasa dirinya terlihat sedemikian tolol di mata Damar, tatap matanya terjatuh.

“Emma,”
Panggilan Damar menegakkan kepala Emma
“Maaf, Em. Gua nggak bisa,” Damar berkata lirih. Dan kalimat itu membuat paras Emma berubah mendung. Dan

“kenapa, Mar ?” perempuan itu memandang Damar dengan tatapan mengiba.
“Apakah karena aku yang terlihat menyedihkan ?” suara Emma bergetar membendung sedih.
“bukan, Em. Bukan,”
“lalu ... lalu kenapa, Mar ?”
“gua .. gua nggak akan bisa membuat lu bahagia,” Damar berusaha meyakinkan ketika mengucapkan.
“kamu terlalu egois, Mar. Kamu menganggap tahu semuanya tentang diriku, bahkan kebahagiaanku,” Emma berkata pelan penuh perasaan, tatap matanya menyapu Damar penuh cinta.
“maafkan gua, Em. gua nggak bisa,” kali ini Damar yang terlihat mengiba.

“Tapi .. tapi setidaknya, berilah aku satu penjelasan, agar aku tahu telah salah mencoba mencintai lelaki sepertimu, Mar” mata Emma berkaca-kaca. Ia bersedih. Dan kini punggungnya berguncang terisak.

Dan hati Damar pun merintih. Telah sekian lama hatinya tertambat kepada Emma. Tetapi, tak kuasa ia menjelaskan jikalau dirinya adalah lelaki timpang, sang pemimpi kesiangan, dan seseorang yang masih belum mempunyai sesuatu yang dapat dibanggakan. Damar tak ingin merengkuh cinta Emma di kala dirinya masih berusaha bangkit dari sisa reruntuhan masa lalu.

“maafkan gua, Em. Gua nggak bisa ..” lembut kata-kata Damar menenangkan Emma.

“dan ... lu cantik, Em” kata-kata terakhirnya hanya terdengar keras di hati namun tak terucap sepatah pun di bibir.  


***

Posting Komentar

 
Top