0

Cafe Umbrella, 19.00

Damar diam di bangku cafe, ia tak membawa serta laptop kesayangannya. Dan memang, tujuan Damar kemari hanyalah ingin memuaskan rasa penasaran yang terasa aneh baginya.

 Lelaki coklat itu kemudian menikmati teh botol dingin yang masih penuh. Sambil menyandarkan punggung di sofa empuk seperti biasanya, matanya bergerak pelan menyapu tiap sudut cafe. Namun tak dijumpainya sosok yang ia dicari, Damar menarik nafas panjang.

“Chantal Cafe, lu dimana ... ” bisiknya dalam hati.

Damar ingin bertemu dengan sosok yang disebutnya Chantal Cafe, tetapi bukan di kampus melainkan di tempat ini, tempat ketika rasa penasarannya tumbuh pertama kali. Antara kabur dan tidak, Damar mengingat kembali peristiwa ketika rasa penasaran menuntunnya mencari pemilik suara indah. Suara yang menyejukkan dan mampu menghadirkan jiwanya setelah menguap dibawa kabur kode-kode laptopnya.

Sementara itu gitar akustik masih tegak di atas stage. Tak ada live musicyang menemani pengunjung cafe, hanya music Al Jarreau berkumandang tak keras. Ia baru sadar betapa ramai cafe petang ini, tawa dan gurauan pengunjung sedikit mengusiknya, dan ia masih berdiam sendiri tak ada teman bicara. Matanya menerawang jauh sambil sesekali menaut botol minuman di bibirnya.

Entah kenapa tiba-tiba ingatannya membelok dan menembus laboratorium dan gedung-gedung kampus. Hatinya gelisah. Ketika angannya menjamahi kampus, ia berusaha menolaknya, maklumlah semester kemarin kondisi Damar seperti jatuh tertimpa tangga. Dua nilai “E” tercetak jelas di Kertas Hasil Studi. 

Sejak tragedi itu menimpa dirinya, Damar mulai rajin ke kampus. Ia sering berdiskusi dengan Astidan Adi untuk  masalah pelajaran, juga berdiskusi dengan Zweta mengenai permasalahan yang lain. Ia kagum dengan pemikiran Zweta, pemikiran yang tercerna aneh di otaknya namun terkesan logis dan terlalu  idealis.

Tetapi entahlah, setiap kali pergi ke kampus ia merasakan sesuatu yang lenyap, sesuatu yang kering, sesuatu yang masih mengganjal di hatinya. Mungkin Chantal Cafe, ya sosok itu, sosok perempuan yang ingin sekali diajaknya berbincang secara personal, namun tak kunjung kesempatan itu tiba di depan mata. Perempuan itu hanya sesekali datang ke kampus dan terus menghilang ketika kuliah berakhir. Hampir-hampir Damar tak punya kesempatan mengagumi Emma selain di ruang kuliah yang terbatas dan sempit. Menelepon Emma ?, ah tidak, cara seperti itu ditepisnya jauh-jauh. Walaupun Damar berasal dari Jakarta, ia adalah lelaki yang nampak kikuk menghadapi perempuan, apalagi menghadapi Emma yang terus-menerus menggelisahkannya. Kawan-kawannya bilang kalau Chantal Cafe berada di ujung tanduk. Semester kemarin tiga tugasnya gugur dan kuliah yang lain banyak terkena absensi, alamat perempuan itu terancam evaluasi yang menyebabkan studinya rontok di tengah jalan.

“ah Chantal Cafe, kenapa lu seperti itu,” Damar terkadang menyayangkan. Ia sendiri tak sadar jikalau kuliahnya pun berada di ujung tanduk.

Ia memungkiri kalau di hatinya terbit cinta kepada Emma, namun entah pula kenapa kegelisahan yang ganjil menuntun rasa penasarannya menyebar kemana-mana.

“apa mungkin nanti malam,“ begitu pikirnya.
“aku akan  kembali membawa laptop,”

Dilihatnya jam dinding cafe menunjuk pukul 20.00, ia beranjak berdiri dan bangkit dari sofa. Langkah kaki gontai membawanya keluar dari cafe dan kemudian pergi menembus malam yang masih menggelar keramaian.

***
Jalan Pahlawan,
Warung lesehan beratap ilalang, Warung KOMBOM
20.11 WIB.

Andro dan Zweta baru saja tiba. Zweta mengajak Kakaknya mampir dan mencari minum di warung beratap ilalang milik kawannya, Kompar. Tempo hari setelah melihat Pentas Rakyat bersama Rania dan Audrey, ia berjumpa dengan Kompar yang telah menjadi manajer sebuah warung. Rupanya kesibukan Kompar yang baru memaksanya lebih sibuk dari sebelumnya, ia pun mulai keasyikan menuai harta, berpredikat sebagai mahasiswa merangkap pemburu rupiah lewat warungnya yang tak pernah sepi pengunjung. 

“warung ini punya kawanmu ?” Andro bertanya ke Zweta.
“katanya sih kongsi sama kawannya. Tuh ! yang bulet !” Zweta menunjuk rekan dagang Kompar yang memang bertubuh bulat. Wajahnya lumer dan ramah, persis labu Helloween namun tak menakutkan.

Direktur warung bertubuh bulat itu mendekati bangku Zweta sambil menyapa ramah. Ia catat pesanan Zweta dan Andro di atas buku kecil.

“Kompar mana, Mas ?” Zweta bertanya sambil tersenyum kecil
“nanti jam sembilan baru datang. Jam segini masih giliranku,” si bulat itu ternyata dipanggil Bombom, Mahasiswa Fakultas Ekonomi kawan si Kompar. Warung lesehan beratap ilalang ini ternyata seluruh sahamnya dimiliki oleh para mahasiswa Keprabuan.

Tak menunggu lama, jus Alpukat pesanan Zweta dan Andro tiba di bangku. Pelayan warung –asisten Bombom, mempersilahkan Zweta dan Andro menikmati sajian minuman dengan ramah. Tak ada basa-basi, semua mengalir apa adanya.

Sementara lampu botol bekas menyala limbung tertiup angin, dan lampu-lampu taman berkerlip centil bergantian, membuat wajah Jalan Pahlawan nampak semakin anggun.

Andro kemudian bercerita tentang Amalia. Zweta pun larut dalam kesedihan Andro dan juga Amalia. Andro menceritakan akar permasalahan dari awal hingga akhir. Zweta terdiam, ia pun bingung. Jalan pikirannya yang selama ini lumer seakan berhenti tak menemukan solusi. Namun Andro berpikir kalau Zweta pastilah lebih mengetahui psikologis perempuan daripada dirinya.

“bagaimana menurutmu ?” Andro bertanya serius setelah bercerita panjang lebar masalah dirinya dan Amalia. Zweta yang biasanya usil kepada kakaknya juga nampak serius. Kedua alis matanya nyaris bertemu.
“Kakak inginnya bagaimana ?” Zweta balik bertanya. Nada suaranya datar, sementara Andro berpikir keras.
“sepertinya aku tak bisa memaksakan keinginanku” Andro menjawab setelah beberapa detik terdiam.
“seandainya kamu berada di posisinya, apa yang kamu perbuat ?” pertanyaan Andro terasa pasrah. Zweta menggeleng pelan. Ia tak bisa berkomentar. Amalia di mata Zweta adalah perempuan yang baik, bahkan teramat baik. Perempuan cerdas, elegan, dan apa adanya.
“Kak,” akhirnya Zweta berusaha bicara, sementara Andro menyimak dengan seksama apa yang akan diucapkan adiknya. Kedua mata mereka bertemu
“Aku nggak bisa memberikan solusi permasalahan seperti ini. Cuma, ada perkataan temanku yang aku juga sepakat dengan kata-katanya, kalauseseorang sungguh-sungguh mencintai,  ia akan membuat orang yang dicintainya merasa bebas, dan saat ini semuanya terserah Kakak,” Mendengar kata-kata Zweta, Andro diam terpaku. sementara Zweta tak berekspresi melihat kakaknya mematung statis. Ia mengangkat gelas jus dan membasahi tenggorokannya yang kering.

Tiba-tiba Andro meraih ponsel dan mencoba menghubungi Amalia, kerinduan di dadanya tiba-tiba membuncah. Seakan cinta yang selama ini ada tertancap semakin dalam, seakan rasa itu menyemat penghormatan kepada Amalia hingga di titik tertinggi. Ia ingin membebaskan semua yang menjadi belenggu Amalia.  

Ponsel Amalia ternyata tak berjawab, Andro kebingungan, wajahnya terlihat gamang.
 
“kenapa, Kak ?” Zweta memandang Andro yang tak fokus.  
“ada nada sambung tapi tak diangkat,” Andro menjawab gundah. Tak biasanya Amalia seperti ini.
“mungkin ponselnya tertinggal, atau lupa dibawa. Kirim pesan aja .. ” Zweta lembut menyarankan.

Jari-jari Andro akhirnya mengetik huruf demi huruf. Ia mengirimkan pesan.

Sayang,
Kamu lagi dimana ?
1 message sent
30 Mar
20:49:15

Wajah Andro menyisakan ketegangan. Ia menghela nafas panjang. Sementara jus alpukat di depannya masih utuh tak tersentuh.

Zweta berusaha menghibur kakaknya yang sedang gundah. Ia tahu betapa perasaan memiliki andil yang cukup besar dalam hidup manusia. Seringkali Zweta melihat kawan perempuannya menangis akibat patah hati, putus cinta, ataupun bertepuk sebelah tangan. Mungkin karena itulah sampai saat ini Zweta selalu menolak ketika beberapa pinangan cinta datang kepadanya. Ia tak ingin menangis hanya gara-gara lelaki. Sentimentil gara-gara patah hati tidaklah terdaftar dalam kamus hidupnya. 

Ia teringat suatu ketika pernah berdiskusi dengan Rania dan Audrey mengenai permasalahan cinta. Topik yang pelik, berbelit, dan kemudian menghasilkan kesimpulan aneh.

“Ran, aku tahu cewek seperti kamu pasti sering dikejar-kejar cowok,” Zweta saat itu bertanya kepada Rania. Namun sahabatnya itu hanya tersenyum ringan, sedangkan Audrey diam mematung.
“tapi kenapa sampai saat ini kamu jomblo tak  punya pacar ?” Zweta melanjutkan. Sebelum menjawab, Rania memandang Audrey dan Zweta satu persatu bergantian. Tatapannya teramat lembut menyejukkan.
“aku tak ingin terbelenggu Ta, aku ingin bebas. Aku tak percaya dengan relasi cinta-cintaan seperti pacaran, banyak hal yang merugikan, dan kita kaum perempuan lebih punya potensi untuk dilecehkan,” Rania menjawab enteng. Tapi kata-kata Rania saat itu menyaratkan kedalaman emosi dan pengetahuan Rania.
“jadi kamu belum pernah pacaran Ran ?” Audrey saat itu turut bertanya.
“pernah, malah lebih dari sekali. Karena itulah aku menyimpulkan kalau aku tak lagi percaya dengan cara berhubungan seperti itu. Perasaan sakit hati itu tak enak,” Rania menjawab dengan nada kepahitan.
“lagi pula dalam relasi pacaran, kebanyakan dari kita masih belum matang. Nraktir juga masih pake duit orang tua, lagi pula trial and error dalam kasus ini kalau kupikir sih, terlalu beresiko,” Rania melanjutkan. 

“terus kamu ingin cinta seperti apa, Ran ?” Audrey bertanya lagi.
“mmm gini Drey, pacaran itu kanistilah untuk menyebut salah satu sistem relasi di masyarakat kita, dan lagipula batasan pacaran teramat kabur. Bisa cuman sekedar bilang oke terus kita komitmen pacaran, bisa cuma berkawan dekat, bisa saja hanya karena komit pacaran terus kita pegangan, ciuman, bahkan bisa juga sebagai alasan melegalkan hubungan sex pranikah. Banyak juga kankasusnya ... tak jelas batasannya, Drey. Kabur ....  ” Rania menjelaskan pemahamannya.
“dan dari hubungan absurdseperti itu, jelas perempuanlah yang paling punya potensi dirugikan, kita-kita ini,” Rania melanjutkan. Saat itu Zweta tak menyangka Rania mempunyai pengetahuan seperti itu. Barangkali Granada atau Papanya yang mendidik putrinya seperti itu.

“aku ingin cinta yang sederhana Drey, nggak muluk-muluk. Dan itu semua ada saatnya. Tapi nggak sekarang”
“sistem relasinya ?”, Audrey bertanya lagi.
“ya silahkan saja ada orang bilang cinta ke aku, tapi aku tak ingin terbelenggu, tak ingin ada pemaksaan kehendak, tak ingin ada norma yang dilanggar, semua dari diriku tak boleh ada yang berubah, Rania harus tetap menjadi Rania. Dan kalau dia memang mencintai aku, dia harus berani menikahi aku suatu saat. Itu jenis pacaran yang masih bisa kutolelir Drey, namun hakekatnya sih dia cuma kawan baik. Tak lebih .. ”
“aneh” Audrey saat itu berkomentar.
“melawan mainstream ..”, Zweta urun komentar
“mungkin sih melawan mainstrem.. tetapi seperti katamu, Ta. Hidup itu pilihan, dan kita sendirilah yang menjalaninya dengan berpegangan atas nilai yang kita pahami. Kukasih contoh analoginya .. kenapa kamu nggak suka ke diskotek seperti kawan-kawan kita yang lain  ... atau .. kenapa juga kamu lebih menyukai kegiatan yang banyak orang menganggapnya ekstrim atau eksklusif .. aku pikir selama itu semua masih dalam tataran wajar dan logis kenapa tidak ?! ” Rania berargumen
“Oke, aku mengerti alasanmu, Ran .. ” Zweta mengangguk.  

“kalau kamu gimana, Drey?” Rania ingin mendengar pendapat Audrey
“nggak tahu lah. Liat ntar. Cuman bener kata kamu Ran, cinta model gelap memang lebih banyak merugikan kita kaum perempuan. Resiko yang harus dihadapi cukup besar. Nggak lucu kalau kita sampai hamil diluar nikah. Lagian yang hamil itu pasti kita, bukan mereka” Audrey terpengaruh pemahaman Rania.
“yup. Udah hamil ditinggal ngacir ! kasihan amat kita-kita ini. Makanya kita harus punya prinsip, itu intinya,”  Rania menegaskan.
“Aby pernah bilang–mencari lelaki itu harus bertipe pemimpin. Dalam artian mampu mengarahkan kita menjadi lebih baik. Nggak loyo, nggak plin-plan, dan siap melindungi,” Audrey saat itu urun pemikiran.
“wah harus punya sabuk tae-kwon-do di atas kamu dong,” Zweta menyeletuk.
“so pasti lah .. minimal sabuk hitam DAN 4 ” Audrey menjawabnya dengan tertawa nakal.
“eh ! jangan-jangan kamu dijodohin, Drey !” Rania menggoda Audrey
“nggak mungkin. Soalnya keluargaku liberal, Ran. Ini bukan lagi jaman kuda gigit besi. Tapi kalau yang dijodohkan sama aku orangnya keren .. ya .. mengapa tidak,” Audrey menjawab enteng, dikibaskannya telapak tangan ketika berkata.
“kalau kamu, Ta?” Ia ingat Rania saat itu bertanya kepadanya
“entahlah, Ran.”


Zweta mengingat detail perbincangan dengan kedua kawannya mengenai cinta. Sesuatu yang agung, namun sering dijadikan alasan legalisasi pemaksaan naluri. Zweta menekuri inti kesimpulan hasil diskusi dengan dua kawannya itu.

Sementara kendaraan yang melewati jalan Pahlawan terus ramai seperti biasa.   Kendaraan yang melesat menyisa hempasan angin yang meniup nyala lampu botol. Nyala merah lampu bergoyang terayun, serupa penari bertubuh lentur yang tak mempunyai gerakan pasti. Dan saat malam terus merayap, Andro terdiam kusut di depan Zweta. Wajahnya bersedih, ia sedang menanti kabar dari kekasihnya, ya- sejenis penantian yang mengakibatkan tubuhnya serasa tak enak nafas tak enak minum. Andro terpekur menunggu jawaban, ia menunggu konfirmasi dari perempuan yang mendiami hatinya selama ini. Damaya Amalia –perempuan yang baginya seanggun mawar secantik anyelir.

Tiiiiiiiittt –tiiiiiiiiiiiit.
1 message received

Hp butut Andro akhirnya berbunyi. Wajahnya sontak menegang dan cepat-cepat tangannya memencet tombol OK.

Androku, aku sedang di Jakarta, balik dua minggu lagi,
Ada interview.
Maaf, td aku msh di kmr mandi.pulsa ku habis.

Andro seketika lemas, “Andro !, pacar macam apa kau ini, Amalia ke Jakarta saja kau tak tahu”, Andro mengutuk dirinya dalam hati. Segera ia pencet ponselnya, dan ingin mendengar suara kekasih yang teramat ia cintai.

Zweta tertegun tatkala melihat wajah Kakaknya menggurat sedih. Ia tak percaya menyaksikan jiwa kakaknya yang selama ini teguh kini melimbung.  

***
Warung Buncit, Jakarta Selatan

Di pojok kamar sebuah hotel tua di kawasan Buncit, Amalia menangis terseret emosi. Dan kini ia bersumpah, tak ingin lagi hatinya serasa patah. Rasa yang pedih seakan menjejaknya, rasa yang makin menyesak dan membuat hatinya terhimpit.

Seketika ingatannya melawan roda waktu yang membukakan buku-buku masa lalu. Air matanya menggenangi kelopak mata, tak hadir isak tangis, tak ada suara ratapan. Amalia dihinggapi rasa bersalah bercampur penyesalan. Betapa perjalanan cintanya berada di titik goyah yang labil. Namun dalam amukan kesedihan yang terus menderanya, ia tak mampu mengusir senyumnya yang terkadang tersungging di bibir, ya, senyum yang teruntai tatkala kenangan indah akan cintanya tertera di buku-buku waktunya.

“Androku, cinta yang kurasakan itu tawas tak berasa... ” Amalia berkata dengan dirinya sendiri.

Amalia merasa takut. Ya, sebuah insting paling dasar yang dimilikinya berteriak bahwa ada sesuatu yang salah, sesuatu yang ganjil dan tak seharusnya terjadi. Amalia dengan Andro teramat beda. Amalia perempuan halus dan perasa, sementara Andro tipikal lelaki liar tak peduli. Kawan-kawan Amalia memandang hubungan cintanya dengan Andro adalah hubungan yang aneh. Entahlah, banyak kawannya terheran, bagaimana bisa Amalia bertahan dengan Andro padahal semua tahu perbedaan di antara mereka terpampang bergitu nyata. Perempuan itu tak lama lagi lulus dan harus melanjutkan cita-cita yang masih terbang tinggi seperti elang. Ah –ia hanya mengharap sang waktu menjawab semua kegundahannya. Ia menemui jalan buntu.

Amalia faham kalau selama ini Andro memperlakukan dirinya tak seperti model pacaran kebanyakan. Ia terlalu sering mendengar nasehat kawan dekatnya bahwa Andro sebenarnya mencampakkannya, tak menghargainya. Tidak –batinnya menolak ketika Andro dikatakan sebagai lelaki yang mencampakkan dirinya. Memang benar jikalau Andro teramat jarang memberi kabar, jarang menelponnya, atau sekedar mengirim pesan singkat, bahkan mereka berdua tak memiliki rutinitas seperti kawan-kawannya pacaran.

“Ah Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi”.

Dulu Amalia telah mantap menemukan lelaki yang suatu ketika diharapkan menjadi ayahanda dari anak-anaknya. Namun, entahlah, kini semua terasa kabur dan kelabu. Tak ada kejelasan, tak ada alasan yang bisa menyokong impiannya. Kini di hatinya terkesan muncul ketakutan, ya, ketakutan yang teramat dalam. Ketakutan bahwa Andro selamanya akan hidup di dalam pikirannya sendiri, ketakutan kalau dirinya tak mampu menembus benteng kukuh jiwa Andro yang selama ini berdiri kokoh tak tertembus. Amalia takut terpinggirkan, ia takut tak mampu menyelami pikiran Andro, ia ingin sebuah cinta yang ketika ia duduk dipinggir kekasihnya, ia diperlakukan layaknya teman jiwa yang paling dekat.

Dan di malam yang kian malam, Amalia masih bimbang dalam kekalutan. Air matanya mulai mengalir, ia terus terseret waktu yang membukakan repih-repih kenangannya.

Sementara walaupun mendung langit Jakartatak menumpahkan hujan, sementara jutaan lampu  kotaterlihat seperti jutaan kunang-kunang, dibiarkannya air mata menitik  tanpa isak tangis,

“Tuhan, semua terserah padaMu,” Amalia pasrah.
“jika memang ada kebaikan di depanku maka bentangkanlah jalanku. Namun apabila di depanku hanya ada duri dan tangis, maka berikan aku cabangan jalan yang tak mungkin aku bisa berbalik ataupun menoleh ke belakang.”

***

  
Seluruh tugas Astitelah selesai walau deadline tugas  masih sebulan lagi. Semester kemarin Astimenorehkan prestasi yang membuatnya bersyukur. Yaitu angka indeks prestasi 3.72 tercetak jelas menghiasi lembar catatan akademisnya. Asti hanya mengucap syukur ketika namanya dielu-elukan dosen dan kawan-kawannya.

Entah kenapa, di hadapan Astidiktat-diktat kuliah baginya seperti buku dongeng masa kecil. Teramat gandrung, teramat suka, bahkan kecanduan membacanya. Semakin tak mengerti, semakin pula rasa penasarannya harus terpenuhi.  Diktat kuliah seakan menjadi bacaaan kedua setelah Alqur’an yang selalu dilantunkannya sehabis maghrib.


Asti..  telepon, As” kawan kos-nya setengah berteriak memanggil Asti. Ia sedang menonton televisi di depan ruang keluarga.

“dari siapa ?” Astibertanya lembut.
“dari Rania“ kawannya menyahut. Asti segera mengambil gagang telepon yang masih terlentang di depannya.
“Assalamualaikum, Ran”
“Waalaikum salam, Asti. Maaf nih gangguin kamu tidur,”
“ah gapapa. Aku belum tidur kok”
“aku besok pinjem tugas kamu ya, sekalian minta tolong dijelasin,” suara Rania terdengar serak menahan kantuk.
“mmm. Sekalian besok malem aku mau ajak kamu ke kafe,” Rania menjelaskan.
“kita berdua ?”
“nggak, sama Zweta dan Audrey”
“baiklah, tugasku besok kubawa ...”
“oke deh .. terima kasih banyak, As. Assalamualaikum”
“waalaikum salam”,

Asti meletakkan gagang telepon setelah Rania menutup pembicaraannya. Ia berjalan menuju kamar tidur dan merebahkan diri. Namun matanya masih belum bisa memejam. Hari-hari belakangan ini kampus terasa monoton, dan ia mulai dihinggapi kebosanan. Dan entah kenapa tiba-tiba hatinya diganggu kegelisahan yang ganjil. Namun perempuan itu menyungging senyum yang merekah.

“Astaghfirullah ..” Astimenarik nafas panjang sambil senyumnya merekah.

 

***

Posting Komentar

 
Top