0

Cafe Umbrella

Lampu yang menyala terang menyorot cahaya lembut di atas stage. Tegak mikrofon seolah memimpin gitar-gitar yang berdiri di deretan paling belakang. Ada piano di sisi kiri, sedangkan alat musik lain, drum, bongo, perkusi, gitar bass, semua berbaris menyebar. Sementara pengunjung café mulai memenuhi meja yang tersedia.

Tepat di depan stage terlihat Emma berkoordinasi dengan Karin, demikian juga dengan Rania dan Granada yang akan mengiringi mereka bermain musik untuk lagu tertentu. Sementara Winna terlihat mondar-mandir mengatur jalannya acara, ia berbincang dengan banyak mantan pemusik café Umbrella yang dimintanya mengiringi Emma. Dan untuk kali ini, urusan pelayanan café diserahkan sepenuhnya kepada kawannya.

“makasih ya, Win” Emma berkata lembut ketika Winna melintas di sampingnya, dan Winna hanya tersenyum sambil mengacungkan jempol kanannya.

Bagi Emma kali ini adalah momen reborn. Momen kelahiran kembali gelora semangat setelah terpuruk dan terjatuh. Emma merasakan kebahagiaan luar biasa saat seluruh kawannya hadir dan mendukungnya bermain musik. Tetapi, ada yang tak sempurna dari malam ini. Ya. malam ini Emma tak menjumpai lelaki coklat itu. Sedari tadi Emma menunggu namun Damar masih tak nampak. Lelaki itu menghilang tak berjejak.

“Mbak Emma, terima kasih . . . ” kali ini Winna telah naik ke atas stage sambil  tatap matanya memandang lembut Emma.

“dan langsung saja, atas nama café Umbrella, saya mengucapkan terima kasih atas kehadiran rekan-rekan sekalian,”
“malam ini, tak ada yang lebih ingin saya katakan selain ucapan selamat datang kembali buat seseorang yang bagi saya merupakan sahabat, kawan bicara, seorang kakak, dan juga performer seni yang suara dan petikan gitarnya sudah lama saya rindukan. Langsung saja ...  Emma Destyarini,“ Winna berkata lembut penuh ketulusan. Setiap kata-kata yang meluncur dari bibirnya diiringi tatapan teduh yang menyejukkan. Sambutannya disambut tepuk tangan riuh, bahkan pengunjung yang sebelumnya tak pernah mengunjungi café kini mulai larut mengikuti acara.

Emma tersenyum haru, dan ia pun melangkah menuju stage diiringi Karin. Dengan anggunnya Emma langsung menuju kursi stage sementara Karin meraih gitar yang terpajang tegak di barisan belakang. 

Bibir Emma kemudian mendekati mikrofon hingga berjarak dua sentimeter.

“saya rasa, tak ada kata-kata yang pas untuk melukiskan perasaan saya malam ini. Saya dikelilingi para sahabat, kawan, dan semua orang yang teramat tulus membantu saya bangkit,” Emma tersenyum menaut emosi.

“Winna yang telah menyiapkan acara ini, terima kasih, Win.” Emma memandang Winna penuh penghargaan.
“Kak Granada . .terima kasih,”
“Asti, Zweta, Rania, Audrey,”
“dan tentunya  . . . Karin,”
“terima kasih semuanya ... ”

Kalimat Emma lahir dari buncahan emosi yang menguasai resonansi suaranya. Mengharukan.

“dan atas semua itu, maka saya disini akan mencoba menyampaikan sesuatu, dan sesuatu itu berupa rasa terima kasih dari lubuk hati terdalam,”
“Sekali lagi terima kasih, kalian semua adalah pahlawan saya ...”,

Riuh tepuk tangan menyambut kata-kata terakhir Emma hingga membuatnya terharu.  Ada getaran hebat serupa buncahan emosi yang menyeruak batinnya ketika menyaksikan seluruh kawan-kawannya hadir malam ini, bahkan ternyata sebagian besar kawan-kawannya hadir lantaran Audrey menempel selebaran di kampus tentang acara Emma.

Di ujung kalimat Emma yang masih ditemani aplaus-aplaus panjang, Karin seketika memetik gitar. Tak ada yang pernah tahu Rheina Karin ketika memetik gitar. Seluruh jemarinya menari, memicu denting nada sempurna. Ia sesekali memandang ke depan sambil memainkan gitar, tapi selebihnya menyatu dengan alunan nada yang terpetik. Karin memang memiliki performa luar biasa. Emma sekilas memandang Karin seakan berterima kasih, sementara Karin membalas senyuman Emma seakan mengajaknya memainkan nada-nada terindah yang mampu mereka rangkai. Emma kemudian meraih gitar di sampingnya.

silent partner, acoustic alchemy, dari album Against the Grain,” bibir Emma nyaris menyentuh mikrofon. Dan kemudian petikan melodi gitar steel string Emma menyambung melengkapi petikan gitar nylon stringKarin. Lagu yang mereka bawakan adalah lagu akustik instrumen kontemporer beraliran smooth jazz. Dua petikan gitar berpadu, berpilinan, bertindihan, membentuk nada eksotik nan cantik.

Emma mengangguk pelan, Karin semakin ekstase. Sementara seluruh penonton terbuai. 

Musik silent partner, Acoustic Alchemy memanja telinga. Semua nada terdengar sempurna. Dan seluruh yang menyaksikan terpana performa mereka. Bisik-bisik yang terdengar hanya bisik yang diiringi decak kagum. Musik silent partner terasa lembut menyentuh. Terasa sekali nada gitar menafsirkan suara hati Emma yang pernah sepi, syahdu, mengharap, atau menunggu sesuatu. Dan bagi mereka yang mendengar, seolah muncul gerakan hati yang mengantar mereka menafsirkan makna petikan gitar Emma.

Kedua pemetik gitar terus menyatu. Goyangan dan ekspresi wajah menyirat keanggunan. Karin sesekali menggigit bibir bawahnya, sementara Emma seakan tak sadar  menggoyangkan kepalanya pelan, dan gerakannya itu seolah menjadi birama bagi seluruh nada yang terangkai.

Sementara di tempat lain, bayangan lelaki coklat seakan menghilang tertelan petang. Bayangan tubuh yang dilukis cahaya rembulan nampak timbul tenggelam, lelaki itu dikuasai kegamangan tiada tara. Ia mengalami pertentangan hati. Damar tahu jika malam ini Emma berada di cafe Umbrella. 
***

Di akhir lagu Silent Partner,Emma dan Karin dihujani tepuk tangan riuh. Emma tersenyum cantik, Karin semakin bersemangat. Mereka baru saja hangat. Dan selanjutnya, Karin malah akan tampil habis-habisan.

“bagus banget,” Rania berdecak kagum.
“dulu pas kita lihat pertama kali di cafe, Emma kan cuma nyanyi biasa, jadi kita cuman tahu kualitas suaranya yang Chantal banget, tapi kali ini dia main musik instrumen, eh ternyata malah gila-gilaan !” Audrey nampak antusias, bola matanya berbinar.

Emma dan Karin rupanya tak banyak bicara. Setelah mengambil jeda sejenak sambil memilih tipikal gitar yang pas, akhirnya Emma mulai memetik gitar. Sementara beberapa musisi cafe yang membantu Emma dan Karin telah bersiap memainkan alat musik.

Melody of You, Six Pence non The Richer,” bibir Karin nyaris menyentuh mikrofon. 

“you're a painting with symbols deep, symphony
soft as it shifts from dark beneath
a poem that flows, caressing my skin  ..”

Nyanyian Karin merdu sekali. Suaranya terdengar halus, terasa pas, teramat lembut. Tiap lantunan, desah suara, dan aksen Karin menyirat jikalau Karin menyanyi sepenuh hati. 

Asti dan juga Audrey tak menyangka jikalau Karin memiliki performa seni yang lebih berkilau ketimbang Emma. Mereka nampak kaget. Emma yang mengiringi Karin tersenyum tatkala melihat raut ketidakpercayaan menghiasi wajah Audrey. Dan memang hanya Emma yang tahu kualitas performa Karin. Bahkan sejak SMU kelas 1, tak pernah Karin dikalahkan di ajang festival lagu pelajar. Karin yang kini memukau mereka adalah Rheina Karin, yang di ajang pentas festival sering memakai nama Rheina, bukannya Karin.

Hingga seterusnya bergantian Emma dan Karin menyanyikan lagu. Kebanyakan Emma memainkan lagu the Corrs. Mulai dari at your side, forgiven not forgotten, no frontiers, when the stars go blue, dan lagu-lagu akustik lain. Suara Andrea Corrs seolah diganti Chantal Kreviazuk, dan untuk lagu-lagu itu, biola Rania dan piano Granada mengiringi gitar Karin dan Emma. Seluruh performa tersaji begitu sederhana namun luar biasa. Hingga tak disadari oleh mereka yang hadir, jikalau malam ini dua wartawan media yang sebelumnya hanya berniat nongkrong di café mulai menyusun berita dan berniat menurunkannya pekan ini. Mereka menikmati alunan musik sambil sesekali menyeruput capuccino. Beberapa jepretan kamera dirasanya cukup untuk menjadikan acara malam ini bertengger anggun di tajuk feature.

Sementara lelaki coklat baru saja tiba di areal parkir café umbrella. Kegundahannya terus mengamuk bahkan ketika langkahnya tak jauh lagi dari pintu cafe. Mendengar petikan gitar dan nyanyian Emma, ingin sekali Damar berlari memasuki cafe, namun entah mengapa suara hati yang lain buru-buru mendebat tak terima.

Sejenak Damar tertegun ketika sampai di pintu café, ia bimbang, dan ia hampir saja mengurungkan niatnya. Ya. Damar kebingungan, ia membayangkan dirinya tak kuasa melawan tatapan Emma seperti malam ketika perempuan itu mengungkapkan rasa cintanya. Seolah tatap mata Emma adalah magnet, sedangkan dirinya adalah besi biasa yang tak mungkin mampu melawan tarikan kutub magnet. Namun, perlahan dibungkamnya seluruh pertengkaran di dalam hati. Damar memberontak. Dan ia menganggap semua pertentangan hatinya cuma omong kosong belaka. Akhirnya lelaki itu melangkah memasuki café Umbrella.

Sementara nada biola terdengar menyayat hati, demikian juga dengan petikan gitar yang teduh nan lembut mengiringi kemerduan Emma menyanyi.

“Chantal Café,” Damar menarik nafas pelan, jantungnya berdegub kencang. Masih teringat saat pertama kali telinganya menangkap suara itu. Ya, suara yang mampu menghadirkan kembali kesadarannya setelah tersita kode-kode laptopnya.

Damar terus melangkah seakan bimbang, gerak-geriknya canggung mirip keong yang sesekali menyembunyikan tubuh ketika terancam. Namun, ah !  kali ini Damar tak bisa lagi berlari. Tatap mata Emma dari atas stage seketika melesat menghakiminya. Ia tergagap, nafasnya sesak, jantungnya berdegub makin kencang. Dan memang, ia merasakan tatapan mata Emma menancap menembus bilik batinnya hingga meluka di ujung terdalam.. 

“If you lost you can look and you will find me
If you fall I will catch you I will be waiting, time after time .. ”,

Emma melantun lagu “time after time” seakan terluka. Tatap matanya menghujani Damar dengan ribuan panah rindu. Ya. panah yang dilesatkan kuat-kuat, menembus batinpun kuat-kuat. Menggentarkan, menggetarkan, Damar tercengkeram tak mampu berontak.

Hingga ketika seluruh performa telah selesai, Damar memilih duduk menghindar di salah satu bangku cafe dengan sikap kikuk menunggu vonis. Apalagi ketika Emma kemudian perlahan mendekat dan duduk di depan Damar, lelaki itu mirip kucing terendam air. Kuyu, tak bertenaga, kehilangan keberanian.

“Emma,” Damar tergagap, tenggorokannya tercekat. Tak kuasa lagi Damar menatap Emma yang menghujaninya dengan ribuan panah tanya. Tatap matanya seketika jatuh. Ia pasrah menunggu bibir Emma mengucap sesuatu.

“bagaimana kabar kamu, Mar ?” 
Tatapan lembut Emma menyapu wajah Damar. Lelaki itu pun tercekat kehabisan kata.
“baik, Em” serasa biji kedondong menyangkut di tenggorokan.

Sesaat setelah mendengar jawaban Damar, perempuan itu pun tersenyum sedih. Ia berusaha menepis emosi.

“Damar, setidaknya walau kamu tak bersedia, janganlah bersembunyi dariku, Mar. Karena .. karena itu semua membuatku sedih,” suara Emma beresonansi lembut, perempuan itu masih terpaku memandangi Damar dengan tatapan mata yang teduh, sayu, dan dilamun sdih.
 
“maafkan gua, Em.” Damar berusaha membangkitkan tundukan kepalanya. Tatap matanya telah kalah.
“nggak, Mar. Akulah yang salah, bukan kamu,” Emma terpaku lima detik memandangi wajah Damar saat menyelesaikan kalimat terakhir, dan kemudian perempuan itu bangkit menjauhi Damar. 

“Emma, aku pun mencintaimu,” Damar berbisik pelan.

Namun hanyalah angin yang menyahut. Bisik bibirnya teramat pelan, bahkan lebih pelan dari bunyi detak jam dinding di belakang meja resepsionis. Lelaki itu pun mengantar kepergian Emma dengan pandangan terluka.

Ketika Emma kemudian menemui Karin yang sedang diwawancara wartawan media, sekali lagi Damar memandang Emma seakan menyimpat rapat kenangannya. Suasana batin yang kacau memaksanya pergi menenangkan diri, ia pun bangkit dan melangkah.

“Damar !” terdengar teriak Zweta memanggil.


Namun lelaki itu berjawab sepi. Ia melangkah menjauh, menjauh, hingga langkahnya pun lenyap termakan jarak. 

Posting Komentar

 
Top