0

“Mama, aku bantuin ya,” Zweta merajuk dan kumat manjanya.
“ya iya lah. Masa mau diem saja.” perempuan itu menguliti bawang merah untuk bumbu nasi goreng. Ia menimpali kata-kata putrinya tanpa menoleh.
“si Gondrong nggak pulang, Ma ?”  kata-kata Zweta serasa rindu berantem dengan kakaknya.
“tadi sih bilangnya mau nginep di kampus, nggak tahu tuh .. mungkin tugasnya lagi banyak. Eh, kakakmu kenapa jadi aneh gitu, Dik ?” perempuan paruh baya itu tiba-tiba bertanya menyelidik. Beberapa minggu ini ia menangkap perilaku Andro yang tak biasa.  
“Kak Amalia, Ma”
“lagi ada masalah sama Kakakmu ?”,
“kak Amalia mau ke Belanda ..”
“untuk ?”,
“beasiswa, Ma”
“mmm ..gitu .. Amalia memang pinter sih. Sudah seharusnya kalau dia dapet beasiswa,”
“Terus hubungannya sama Kakakmu ?” lanjut perempuan itu sambil sekilas memandang putrinya.

Zweta akhirnya bercerita mengenai Amalia dan Andro. Sementara Mamanya menyimak dan sesekali bertanya.

“ah, anak muda jaman sekarang.” Mamanya tersenyum kecil sambil menggeleng pelan. Ia menghembuskan nafas dalam-dalam hingga bahunya terlihat jatuh.

“kalau Mama sama Papa ketemu pertama kali dimana, Ma ?”

Ya Tuhan !!
Seketika muncul desiran yang membuat detak jantungnya serasa berhenti. Tenggorokannya tercekat. Perempuan paruh baya itu tiba-tiba terlihat kikuk, ia kebingungan berkata-kata untuk sekedar menimpali pertanyaan putrinya.

“masukkan bumbunya, Sayang.” perempuan itu berusaha menghindar. Ia tak mampu menatap wajah putrinya. Ia pun bersibuk diri dengan mengambil nasi dan memasukkannya ke dalam penggorengan. Srrreenggg !!  bumbu rempah yang terjerang panas seketika mengepukan keharuman.

“Ma, pertanyaanku belum dijawab,” kata-kata Zweta lembut mengingatkan. Ia berusaha mencuri pandang ke wajah Mama tercintanya. Zweta nampak sedemikian hati-hati. Kedewasaannya telah memberikan pengertian jikalau pertanyaan yang diajukannya adalah jenis pertanyaan yang sensitif.

Perempuan paruh baya itu kemudian diam sesaat. Kali ini nampak sebuah fakta jikalau perempuan itu terjebak, ia tak bisa menghindar.  

“Tuhan, aku tak bisa lagi bersembunyi”, ia merintih lirih di dalam hati. Kerongkongan perempuan itu terasa kering, ia menelan ludah. Dalam keadaan terjepit, nampak sekali gerakan tangannya yang sedang mengaduk nasi goreng terlihat kikuk. Dan kini ia dipaksa untuk menerangkan fakta yang begitu absurd di mata anaknya. Tentang tokoh seorang ayah, tentang sosok yang belaian tangannya telah lama dirindukan oleh putrinya.

“kenapa, Ma ?” tatapan mata Zweta masih menunggu. Dan kemudian perempuan paruh baya itu memberanikan diri menyambut tatap mata putrinya. Namun ia tahu kalau pertanyaan putrinya kali ini takkan mampu dijawab dengan kebohongan seperti belasan tahun lalu –ketika Zweta masih kecil.

“Lembah Mandalawangi, Sayang” perempuan itu akhirnya berkata sesingkat mungkin. Adabuncahan emosi yang tertahan dan siap tertumpah.

Hingga kemudian keduanya dilaburi hening dan sepi, mereka terpaku dalam kekikukan.

“Gede Pangrango, Ma ?” Zweta bertanya lagi setelah terdiam cukup lama. Tatapan matanya menunggu.

Sementara bayangan kelezatan nasi goreng terbawa lewat uapnya yang terus terkepul. Namun sedetikpun tak sanggup mengalihkan perhatian Zweta dari jawaban Mamanya. 

“ya Sayang. Mama ketemu Papamu di Lembah Mandalawangi, Gede Pangrango.” Perempuan itu berusaha membuat benteng agar pertanyaan anaknya tak merambah kemana-mana.

Tatapan Zweta kini beralih, tatap mata yang sebelumnya fokus kini berangsur kosong. Ia berusaha mencerna sedikit petunjuk dari misteri yang sekian lama hadir di dalam hidupnya. Ia tak lagi bisa berkata-kata, namun kali ini ia lebih memilih diam. Kedewasaan berpikir telah menuntunnya untuk diam tak berkata. Ia tahu kalau dirinya telah memaksa Mamanya dengan sebuah pertanyaan yang berat.     

“Ambilkan piring, Sayang” perempuan itu seketika mencairkan waktu yang baru saja berhenti berdetak. Kata-kata lembut Mamanya membuat Zweta terkesiap.

Sementara uap nasi goreng seketika terkepul. Dan bau harum kelezatan tersebar memenuhi dapur. Sementara hawa dingin pegunungan menggigilkan sendi tubuh, melingkupi sosok anak manusia yang tak sabar lagi untuk segera melabuhkan kegusaran.

“sebentar lagi...” Zweta berkata dalam hati. Ada tekad untuk menghancurkan kegelisahan yang selama ini berkecamuk di hatinya. Rasa sedih, rasa lelah, marah, dan kegeraman yang mengamuk tak kenal musim. Bahwa misteri yang hinggap dan menghantui dirinya harus segera pecah berkeping. Buliran tanya yang membayangi Zweta hingga tumbuh besar. Butiran misteri yang selama ini ditanyakannya kepada bintang, pepohonan, dan angin gunung.

Hingga taburan bintang di langit seakan menunggui bumi berputar. Rasi bintang, galaksi, dan kemudian nampak pecahan benda langit memendar terang diraut atmosfir. Membentuk bintang jatuh berekor panjang, dan kemudian lenyap di balik bukit yang jauh.

“Ma, aku sayang, Mama.”

Tautan tangan Zweta erat memeluk, ia tahu Mamanya sedang dilamur sedih karena pertanyaannya malam ini.


***

Posting Komentar

 
Top