0


PRELUDE,
30 Juni 1986

Seorang lelaki, menaut diksi di atas rebahan batang kayu. Tangannya bergerak menoreh catatan, melukis impuls-impuls ketakjuban yang semakin deras mengalir. Tatap matanya tajam, namun terkadang lembut selembut mentari pagi. Tak henti-hentinya lelaki itu memandangi langit, mengagumi lengkung kurva paras bumi, dan kemudian tersenyum tatkala menyaksikan ribuan cemara berdiri tegak menutupi lembah dan  bebukitan.

Sementara di sebuah padangrumput yang tak jauh, ilalang-ilalang bertautan tertiup angin, bergandengan tangan meliuk-liuk, mengiringi linang air danau yang bergerak perlahan menyingkir ke tepian.


“Nahla,
Kekasihku.

Matahari saat aku disini,
Sudah cukup tinggi dan terasa hangat.

Hingga linang air di Ranu ini
Terlihat keperakan berkilau-kilau.

Nahla,
Kekasihku.

Bukit disini,
Anggun,
Cantik,
Sekaligus angkuh.

Tak pernah ada kepukauanku begitu besar,
Selama ini –terhadap ini.

Dan,
Nahla Perempuanku,

Ketakjuban tentang Tuhan tak terkata lagi disini,
Ketika sedemikian lama aku lari dari kemanusiaan,
maka disini :
arti jiwa seorang manusia hadir  kembali.

Tak ada yang menggelengkan kepala disini.
Semuanya indah –  Semuaa diam – Semua mengiyakan.

Nahla,
Pikatrinduku.

Langit sedemikian cerah kali ini.
Biru. Sebiru lautan yang dalam.

Dan percik-percik awan yang berjalan rendah,
Memendar-mendar seperti buih ombak tak jalang.

Disini :
Betapa rindu tentang kamu meluka sedemikian dalam –


Nahla,
Serahhatiku.

Sedemikian angin meniupi  pucuk cemara – berisik sekali,
Dan tak pernah sedetikpun diam terpekam.

Mungkin –
Tuhan menautkan cinta mereka dengan dingin dan kicau burung –
sebagai saksinya.

Nahla,
Serahkataku.

Memang –
kau tak hadir kali ini – disini.

tetapi :
Tak ada yang tak hadir tentangmu,
 disini :
 Bersamaku.

Nahla,
Ibunda dari anak-anakku yang terjanjikan.

Ingin suatu ketika –
Kuajak anak-anak kita kesini.
Melihat apa yang kuceritakan kepadamu.
Biar mereka takjub.
Melihat burung belibis berenang anggun tak kenal resah.
Biar mereka juga percaya.
Atas cerita ibunya –yang diceritakan oleh ayahnya –
Kali ini.


Tentang danau Ranukumbolo.
Danau di gunung Mahameru.

Yang diam,
Yang angkuh,
Dan yang dengan sombong memaksa siapapun menjadi manusia lagi.

Danau Ranukumbolo, Bumi Mahameru.
30 Juni 1986,


***

Posting Komentar

 
Top