0

Wajah Emma makin berseri, seluruh keanggunannya muncul kembali. Emma serupa pohon mahoni yang menyemikan daun muda di awal musim penghujan setelah melewati musim kemarau kering. Begitu segar, memikat, sekaligus menyenangkan. 

Hampir setiap hari sepulang kuliah, Granadadan Emma menghabiskan waktu hingga sore hari di pinggir kali. Biasanya Granada mengajak Emma berjalan menyusuri lorong-lorong kumuh, melewati lorong-lorong sempit dan gang-gang tikus, hingga kemudian berhenti menikmati sore di atas jembatan tua sisa peninggalan jaman kolonial. Di atas jembatan itu biasanya mereka memandangi bocah-bocah kampung yang bersalto ria mencebur kali, berenang-renang tak kenal lelah, sambil tertawa-tawa bergurau tak berkesudahan satu sama lain. Emma yang memang besar di lingkungan berkecukupan akhirnya menemukan potret lain. Ia menyaksikan realita kehidupan yang sebenarnya tak jauh dari tempat tinggalnya. Ia mencoba menyelami dan memahami. Ya. Emma menyaksikan anak-anak di perkampungan kumuh yang dipenuhi kegembiraan. Seolah saja bocah-bocah itu memamerkan sebuah kegembiraan yang hanya menjadi milik mereka, bukan miliknya.

“Kak, sepertinya mereka memiliki surga disini,” Emma berulang kali menyungging senyum saat menyaksikan anak-anak kecil berloncatan lincah ke kali. Granada yang sedari tadi memperhatikan Emma terlihat bahagia. Kawan Rania itu mulai mencoba mengartikan makna kegembiraan.

“Entahlah, Em. Mereka punya dunia tersendiri, surga tersendiri ... ” mata Granada tersita ulah seorang anak yang bersijingkat pelan. Anak itu ingin menjungkalkan kawannya ke sungai.

“Kamu iri ?” Granada kembali memandang Emma.
“hmmm . .entahlah, Kak” Emma tersenyum sambil tertawa kecil. Ia berhenti sejenak, mencari kata-kata yang paling tepat yang mewakili perasaannya.

“katakan saja, Em. Tak usah malu,” Granadatersenyum lembut ketika menyaksikan Emma nampak ragu.
“mmm .. ya, Kak.  Kuakui, sejujurnya aku iri ... ” Emma akhirnya berujar lembut. Tatap matanya meminta perhatian.
“kenapa kamu iri, Em ?” senyum teruntai di bibir Granada
“entahlah, Kak. Mungkin karena masa kecilku dipenuhi tembok-tembok serta aturan yang harus kupatuhi,” Emma berhenti sejenak.
“Walau Mama dan Papa bukanlah tipe orangtua yang otoriter dan suka mengatur, tetapi dengan keadaan yang serba tertata akhirnya aku tumbuh menjadi anak yang selalu menaati peraturan,”
“tak pernah seperti mereka ?” Granadamencoba bertanya.
“tak pernah, Kak. Sama sekali tak pernah,” Emma berusaha mengenang masa kecilnya, sementara Granada melempar senyum.

“namun sedihnya lagi, ketika sedikit saja mengecap kebebasan saat kuliah, ternyata aku malah terjerat obat terlarang. Awalnya sih cuma coba-coba,  cuma  penasaran, sekaligus ingin tahu rasanya menerobos aturan. Tetapi  ... ternyata malah berakhir menyedihkan,” Emma menghembuskan nafas panjang. Ia kembali terinduksi kesedihan. Dan kini ketika melihat bocah-bocah bermain bebas di pinggir kali, ia tersenyum haru. Teriakan dan tawa mereka seperti koak elang yang membentangkan sayap di langit. Begitu bebas, begitu lepas. Emma iri tak pernah merasakannya.

“hidup memang banyak warna, Em.” Granadamencoba menghibur
“Tetapi aku telah menoreh warna muram, Kak” Emma memandang Granadapenuh sesal.
“janganlah begitu,”
“Tuhan memberikan kasih sayangNya kepadamu lewat pelajaran yang mahal, Em. Percayalah, semua pasti ada hikmahnya,” Granadamembesarkan hati.

“ya, Kak. Semoga saja. Aku bersyukur sekali diberi kesempatan memperbaiki masa lalu”, Emma termangu. Wajahnya layu.

“Em, lihat itu si kecil. berulah lagi dia,“ tiba-tiba Granadamenunjuk anak kecil yang memang terkenal nakal dan usil. Bocah itu berusaha menyembunyikan seluruh baju kawannya di sela roda gerobak sampah.
“nakal sekali dia . .  “ Emma tergelak, mendung di wajahnya memencar.


“dia yang paling cerdas dan sering mengusili kawannya. Ibunya sering dibuat repot. Bahkan pernah seluruh wajah kawannya coreng-moreng digambari kumis-kumisan,”
“oh ya ? kapan ?” Emma tergeli. Ia tak percaya.
“seminggu lalu. Mereka kan terbiasa tidur di mesjid kalau malam. Sepertinya dia berulah saat seluruh kawannya tertidur pulas. Melukisnya pake spidol marker,  . .  jadi ya .. susah dihapus,” berbinar mata Granada saat bercerita, sementara Emma menyimak antusias. Ia tertawa tak percaya.


Hingga tatkala senja kian turun di pinggir kali, kaki mereka menjauh meninggalkan jembatan tua yang nampak letih nan ringkih. Melewati lorong sempit, sela gubug-gubug kumuh, dan gang-gang lusuh.

Sementara kemudian di sepanjang jalan, Emma terkagum menyaksikan sisi lain kemanusian. Wajah penghuni kampung saat memandang Granadabagai menjumpai malaikat penolong. Mereka menyapa segan, menatap kagum, dan mempersilahkan mampir. Emma melihat ketulusan berbalut keikhlasan yang tak pernah disaksikannya sepanjang hidup.  

“Kak, apa benar surga ada di langit ?” bibir Emma terasa asing saat mengucapkan kalimat itu.
“kenapa kamu menanyakan itu, Em ?”
“Cuma ingin tahu pendapatmu, Kak” Emma menatap sekilas Granadayang terheran dengan pertanyaannya.
“mmm ..entahlah, Em. Kalau surga yang berada di langit, itu mungkin nanti,” Granada tersenyum simpul saat menjawab. Ia sendiri tak yakin.
“Tetapi untuk saat ini, sepertinya kita sendirilah yang harus menciptakan surga, walau kita tengah hidup di atas cadas sekalipun,” kata-kata Granadaterdengar begitu puitis. Dan kata-kata itu merupakan buah kristal dari pembelajaran Dr. Almany Respati kepadanya.


***


“Winna tadi nelpon aku, Rin”
“oh .. itu mungkin sehabis nelpon aku, Kak” Karin cepat-cepat menimpali.
“nanya masalah live music kan ?”  
“Iya. Dia mau menyiapkan semua peralatan dan mengontak kawan-kawannya,” Emma menjawab antusias.
“aku sudah tak sabar, Kak. Disini masih belum pernah main,”
“kamu kemarin itu menang festival lagi ?”
“iya, Kak. dapet juara satu ... ”
“hebat juga kamu, Rin.”
“kalau dulu nggak belajar sama Kakak juga nggak mungkin ..” Karin tersenyum manja.

Selain Emma, tak ada yang pernah tahu siapa Rheina Karin. Dulu di saat Karin masih kelas 4 sekolah dasar, ia tertarik melihat Emma memetik gitar bersama guru musik privatnya. Setiap kali Emma berlatih, Karin berusaha menyimak dan mendengar tiap nada yang keluar, hingga kemudian ia pun menjadi pengagum bunyi gitar.

“kamu senang mendengarnya, Rin ?” akhirnya suatu ketika Mama Emma melihat gelagat Karin kecil yang memendam keinginan.

“senang sekali, Tante”
“kamu ingin memainkannya ?”
“he-em,”
“baiklah. Mulai minggu depan kamu belajar memetik gitar bareng Kakakmu ya. Tapi ingat, jangan sampai lupa belajarnya,”
“horeeeeeee ...”

Hati Karin kecil berbunga-bunga. Ia menari riang dan berloncatan gembira.

Hingga keesokan harinya, sebuah gitar klasik berukuran kecil diantarkan Mama Emma ke rumah Karin. Dan di hari itu pula-lah kegembiraan Karin kecil semakin tak terbendung.


***

Posting Komentar

 
Top