0

Padang Pangonan Alit, 2040 M dpl.
Sebelah barat Danau Ranukumbolo, di seberang bukit.
18 Agustus
06.00  Wib

Di ujung danau Ranukumbolo, terdapat sebuah cabangan jalan setapak. Jalan yang lurus adalah jalur pendakian resmi yang menyisiri sisi bukit dari dan menuju Waturejeng, sedangkan di sisi kiri adalah jalan setapak memanjang yang memasuki sebuah saddle –pintu padang rumput Pangonan Alit.

Padang itu bukanlah padang yang luas menghampar seperti padang Oro-oro ombo. Namun terrain padang membentuk variasi yang memukau, sebagian padang merupakan areal datar, dan sebagian lagi bergelombang membentuk gundukan indah yang mengagumkan. Seluruh padang ini dipenuhi juntaian rumput kecil nan cantik, bentuknya terjulur tak tinggi dan merumbai-rumbai seperti ekor kuda berwarna coklat muda.

Padang Pangonan alit adalah padang yang seolah tersembunyi. Hamparan padangdibatasi oleh bukit dan tebing tegak, sementara puncak-puncak bukit ditumbuhi kelebatan cemara gunung dan tumbuhan perdu. Kecantikan Pangonan alit serupa perawan muda yang terpingit. Dan hanya beberapa pendaki gunung yang menyaksikan tempat ini, atau mereka yang memang memilih jalur pendakian alternatif melewati rute Ranupane-Gunung Ayek-Ayek-Ranukumbolo.


Dan kini Zweta, Andro, dan Mamanya menyusuri jalan setapak di Padang Pangonan Alit. Mereka berjalan perlahan, menikmati dinginnya kabut dan bunga-bunga es yang masih menempel di pucuk rerumputan. Hingga kemudian sorot terang sinar matahari masih terhalangi gugusan puncak bukit, namun sinarnya yang panjang seakan membentuk tudung cahaya yang menangkup padangrumput Pangonan Alit.

“Mama,” Zweta yang berjalan paling depan memutar tubuh.
“kenapa, Sayang”
“ini yang kedua kalinya kita kesini bersama-sama, Ma,” Zweta menatap wajah lembut Mamanya yang memandang jauh ke batas padang

“ya. ini yang kedua kalinya,” perempuan itu menjawab sambil membalas tatap mata putrinya, ia mulai tertaut masa lalu.

Sementara Andro terdiam. Ia tak ingin larut dengan obrolan Mama dan adiknya yang mulai sentimentil. Ia tak ingin terlibat secara emosi.

Namun buku-buku waktu seketika membuka di halaman paling indah. Zweta teringat saat dibimbing Papanya menyusuri jalan setapak di tempat ini. Saat ia berjalan di padang rumput, juga saat terpukau menyaksikan keindahan kepulan debu Mahameru untuk pertama kali.  

Padang ini masih tetap sama, rerumputannya, bukit-bukitnya, dan juga kecantikannya. Masih tetap seperti dulu ..” tatap mata Nahla terus menyapu  kebesaran alam di depannya. Namun pendar mata yang memancar semestinya menggambar hatinya yang luka. Muncul desiran hati yang ganjil, ia bersedih menyaksikan padang Pangonan Alit. Jejak dan langkah kekasihnya seolah mengiringinya kali ini. Kuat, begitu kuat terasa.

“Ma,” Zweta lagi-lagi memutar tubuh dan menatap Mamanya
“kenapa, Sayang”
“seandainya Papa bersama kita,” Zweta menatap sedih. Namun seketika Mamanya terhenyak.

 “Ta. sudahlah. Jangan membuat Mama bersedih,” intonasi Andro meninggi. Ia keberatan.
“biarlah, An”,
“kenapa, Kak ? apakah aku tak boleh untuk sekedar berharap walau pun itu tak mungkin”, Zweta tersinggung, suaranya ikut-ikutan meninggi.
“tapi kamu egois, Ta. Kamu pikir hanya kamu yang kehilangan Papa hingga terus-terusan membangkitkan masa lalu. Sadarlah, Ta !!. Dia sudah tak bersama kita. Sudah terlampau lama !! ”, Andro meradang
“sudahlah, An. Sudah ..biarkan Adikmu .. dia tak salah”,
“siapa bilang dia tak bersama kita ! Kakak pikir..” Zweta berusaha mendebat, suaranya bergetar
 “Aaaaahhh ! masa lalu biarlah dikubur di dasar waktu ! aku sudah tak peduli !! aku sudah lelah, Ta !  sudah lelah !! persetan !!!”, suara Andro makin meradang. Ia meninggalkan adiknya yang berkaca-kaca menahan emosi.  
“Zweta Sayang,  Andro ... sudahlah,” suara sedih memecah perdebatan.
“Ma, katakan, Ma. Papa seharusnya saat ini masih bersama kita kan ?” air mata Zweta mulai mengalir. Ia memeluk Mamanya.
“sudahlah, Sayang .. ikhlaskan .. ikhlaskan,” kelopak mata perempuan itu mulai berembun.


“Andro !!!  kemari, An”,

“buat apa, Ma !! membiarkan diri kita terluka !! aku sudah bersumpah tak lagi membiarkan diriku menderita gara-gara masa lalu, Ma !! “ teriak parau penuh emosi membelah.

“demi aku dan Adikmu kembalilah, An !”

Mendengar getar suara Mamanya, Andro seketika tak bertenaga. Kedua lututnya jatuh tertumpu di atas bumi. Dadanya sesak, kelopak matanya menghangat.


“Ahai Lelaki kecil !! bangkitlah !! kau ditunggu Mamamu dan adikmu,”
Tiba-tiba Andro terseret masa lalu. Kalimat yang terucap belasan tahun lalu seketika terngiang di telinganya. Kala ia terjatuh di tempat ini, kala kaki kecilnya nya tak kuasa menahan keseimbangan lantaran ranting kecil menghadang di tengah jalan. Betapa senyum bangga dan tangan kokoh itu membimbingnya bangkit berdiri. Seakan senyum Papanya tiba-tiba terbersik di depan wajahnya.


“Andro, kembali, An. Kasihan Adikmu,” teriakan Mamanya mengembalikan Andro dari masa lalu.

“maafkan aku, Ma“ Zweta berurai air mata di pelukan Mamanya. Ia teramat rapuh.
“tegarlah, Sayang. Kamu adalah anak perempuan dari lelaki paling tegar yang pernah kukenal. Lelaki pemberani yang teguh menjalani keyakinannya. Jangan rapuh anakku, jangan ... biarlah masa lalu hadir sesekali namun .. kamu harus tegar berdiri,”
“Mamaa ..”, Zweta semakin erat memeluk Mamanya.
“Sayang,“ perempuan paruh baya itu berusaha tegar walau lelehan air mata menghiasi pipinya. Tangan kanannya membelai lembut rambut putrinya.


Sementara belai sinar sang matahari perlahan-lahan memperpendek bayangan bukit. Gugusan cemara di punggung-punggung lembah menari menyambut kepakan sayap burung.   

“Andro, kemarilah”, tatapan sedih  perempuan itu seakan meminta

“maafkan Aku, Ma”  Andro berkata penuh sesal. Ia berjalan mendekat.

Setelah sekian lama tak memeluk kedua buah hatinya, serasa kedua tangan Nahla kembali rindu membelai lelaki dan perempuan yang telah dibesarkan pelukannya.

“tak ada lagi yang membahagiakan Mama selain melihat kalian tumbuh besar menjadi lelaki dan perempuan yang kuat,” 

“Suatu ketika Papamu pernah berkata kalau ia ingin mengajarkan kalian mencintai kebebasan, mencintai burung-burung, mencintai hutan, dan mencintai tanah-air ini agar kalian mencintai kehidupan. Walau akhirnya ia tak bisa menemani dan mengajari kalian, namun Mama berusaha keras untuk mewujudkan impiannya. Membesarkan malaikat kecil-nya untuk mencintai apa yang ia cintai. Untuk bersikap teguh mendengar suara nurani ..  dan .. tak ada yang lebih membahagiakan Mama seandainya  .. kalian tumbuh besar sesuai harapannya”,  

“Ma, maafkan aku, Ma” Zweta terluka berderai air mata, Andro tercekat. Namun Mamanya terus saja berkata tak peduli

“Sayang, maafkanlah Mama yang hanya mampu mendidik kalian seperti ini,”
 “membiarkan kalian hidup dihinggapi belenggu masa lalu. Mama tak tahu, Sayang. Maafkan, Mama”

“Jagalah Adikmu, An. Sayangi Adikmu”
“Maafkan aku, Ma” Andro memohon ampun.

“tidak. Kalian tak salah. Maafkanlah, Mama. Kalian tahu apa yang dikatakan Papamu kepada Mama ?, bagi seorang ibu, tak ada tugas yang lebih mulia selain membesarkan generasi yang lebih baik bagi tanah airnya,”

***


Tamat

Posting Komentar

 
Top