0

Memasuki kawasan TNBTS, ruas jalanan semakin sempit. Sesekali hardtop harus mengalah ketika berpapasan dengan kendaraan lain. Kendaraan itu berhenti di tepi jalan, bahkan terkadang menepi di bibir jurang yang sangat dalam. Emma dan Audrey yang berada di sebelah sopir mulai spot jantung, begitu juga dengan para pendaki yang berdiri di belakang. Hardtop yang mereka tumpangi meliuk-liuk menyisir gigiran jurang yang terbentuk oleh aliran Kali Lesti Purba. Hutan makin lebat, pohon-pohon tinggi menjulang. Seluruh kulit pohon menghijau terselimuti lumut kayu, sedangkan di dahan-dahan tertinggi, tanaman epipit tanduk rusa berjulur-julur jatuh terurai.

“eksotis sekali,” Rania terpesona memandangi hutan. 

Dari kejauhan, terdengar keriak riuh “monyet ekor panjang” makaka vascicularis bersahut-sahutan. Dan tak lama kemudian, memang mata mereka menyaksikan monyet-monyet itu berlompatan dari dahan ke dahan.

Udara makin dingin ketika memasuki kawasan konservasi. Hal itu terjadi lantaran pepohonan yang berlomba-lomba menggapai matahari seakan membentangkan dahan-dahannya menutupi paras bumi, menghalau matahari, menebar kepekatan hutan dan menabur udara jernih. Semua nampak natural dan menakjupkan. Belum lagi ditambah pemandangan anggrek hutan yang tumbuh bebas di pucuk-pucuk tertinggi. Ah, para pendaki terpukau, mereka seolah disuguhi pemandangan alam yang tak tersentuh. Hingga rasa penat akibat kaki berdiri dan tergencet cukup terlipur.

Hardtop meraung makin kencang. Jalanan bergelombang kian tak rata, penuh cekung-cekung lobang yang menganga. Zweta, Rania, dan semua yang berada di bak terbuka terlempar dan terhempas kanan-kiri depan-belakang. Kaki-kaki mereka bergantian menopang tubuh. Mereka terlempar, teraduk, dan terjepit. Tangan-tangan mereka memegang erat besi pengaman yang melingkari bak terbuka.

Audrey mengerang terguncang-guncang, Emma menahan sebisanya. Namun sang sopir berkalung sarung itu terlihat sangat tenang. Kakinya sigap menginjak pedal gas sementara tangannya lincah memutar haluan.

“masih satu setengah jam lagi,” lelaki berkalung sarung itu berkata sambil tersenyum saat melihat Audrey dan Emma menyeringai terguncang-guncang. Sementara hardtop yang dikemudikannya terus meraung menerobos hutan. 

 Menjelang jam setengah lima sore, hardtop memasuki pemukiman penduduk Tengger di desa Ngadas. Ketika melewati jalanan kampung yang masih berupa tanah, pemandangan Gunung Mahameru telah nampak di sisi kanan. 

“itulah Puncak Mahameru,” sang sopir setengah berteriak kepada Emma dan Audrey.
“saya terakhir kali kesana empat tahun lalu, mengantar rombongan jambore petualang se-Indonesia,” lanjut lelaki itu
“nggak kesana lagi, Pak”
“hahaha, sekarang ini lutut saya suka gemetaran, sudah disuruh pensiun. Toh bagi saya mengantar ribuan pendaki ke Ranupane kan sama saja,” lelaki itu tertawa kecil sambil menahan goncangan.

Audrey tersenyum, Emma antusias, selebihnya lelaki berkalung sarung itu berkonsentrasi mengemudikan hardtop yang meraung-raung memasuki kampung.

Puncak Mahameru tinggi menjulang. Puncaknya yang putih keabu-abuan sesekali mengeluarkan asap, seolah menanti para para pendaki yang kini berhempasan di atas hardtop. Semua yang berdiri di belakang menoleh dan menatap ke arah Mahameru. Tatap mata yang dipancarkan adalah tatap penuh harap. Berharap beberapa hari ke depan, kaki-kaki kecil mereka yang ringkih akan menjejak di titik tertinggi.

Selang melintasi perkampungan penduduk Tengger di desa Ngadas, hardtop terus meraung namun tak garang. Laju diperlambat lantaran bocah-bocah kecil menyapai mereka sambil melambaikan tangan. Terasa sekali hawa tenteram dan damai bertaburan di tempat ini. Udara sejuk dan indahnya pemandangan kebun-kebun sayuran yang membentang di sisi lereng curam, menambah daya tarik tempat ini. 

Hardtop terus meluncur meninggalkan kampung. Kini hardtop tua itu menyusuri jalan yang cukup bagus namun sempit. Di kanan-kiri ruas jalan menganga bibir jurang yang dalam. Jalan itu memanjang dan berkelok menyisir bukit terjal. Debu bertebaran di beberapa titik ketika hardtop melintas. Dan akibat jalan yang sempit, sesekali hardtop yang berpapasan harus saling mengalah. Semakin jauh meninggalkan perkampungan, jalanan semakin bergelombang dan berdebu. Sampai akhirnya tibalah mereka di titik persimpangan.

“Bromo, Ta ?” tanya Rania sambil mengerih menahan hempasan. Tangannya memegang erat besi pengaman.
“ya, Ran. Inilah persimpangan Jemplang. Lurus ke Mahameru, kiri ke kawasan lautan pasir Bromo,”
“Bromo-nya mana ?”
“Bromo nggak kelihatan karena terhalangi bukit, tapi sebentar lagi ada padangBantengan. Tak kalah cantik,” lanjut Zweta sambil berpegang erat menahan goncangan. Kakinya mulai pegal.

Hardtop  yang mereka tumpangi terus lurus menuju Ranupane. Dan kini mereka melewati jalanan tak beraspal. Debu-debu berhamburan, mata mereka terpicing-picing. Zweta, Rania dan seluruh pendaki yang berada di bak terbuka hampir tak dapat melihat jalan dan pemandangan. Semua menutup hidung dan mata. Debu terkepul sedemikian tinggi.

“ya Tuhan,”
Seketika jantung Audrey berdebaran. Demikian juga dengan Emma.

Roda hardtop meniti jembatan kayu yang menopang berat hardtop agar tidak terguling ke dasar jurang di sisi kanan. Rania memejam mata, sementara pendaki Bandunglamat-lamat berdoa. Hanya pendaki lokal yang malah berteriak histeris seakan menantang. 

“Ranupaneee  .. Sego goreng Pak Gareng ! tunggu kami !!! laskar sontoloyo !!”,
“wehiheioooo ... wehiheiooooo .. wehihehioooo, wuwuwuwwuw !!”

Pendaki setengah sinting itu berekspresi laksana kepala suku indian meneriakkan aba-aba perang. Tertawa-tawa, menantang, melabuhkan adrenalin yang sedang berada di ujung kepala. 

Sementara sang senja menemani matahari menata peraduan. Warna merahnya yang indah memancar lembut di langit sebelah barat. Dan di sisi kiri, pemandangan kawasan Bantengan, yaitu dataran tinggi berbukit, beralur serupa bekas cakaran-cakaran mahabesar yang merobeknya,  memukau mereka. Persis di sebelah dataran tinggi membentanglah padang ilalang, agak jauh dan berbatasan dengan padang ilalang membentang pula lautan pasir Bromo. Pemandangan secantik lukisan benar-benar terpajang di depan mata. 

Memandangi senja di punggung bukit sambil berkendara di atas hardtop membuat Audrey berteriak panjang. Demikian juga dengan Emma yang bersenandung kecil.

“wuuuuhhhuuuiiiii . ..  the real adventure, Em” Audrey berekpresi penuh.

“kita mulai masuk Ranupane,” sang sopir berkalung sarung tersenyum ringan menyaksikannya.

Hardtop melesat cepat memasuki jalanan beraspal di perkampungan. Beberapa penduduk tersenyum menyambut, sementara bocah-bocah kecil melambai-lambai kegirangan. Di kanan kiri jalan, kebun dan ladang penduduk menumbuhkan sayuran. Cungkup kol merekah, barisan daun kentang yang merambat, daun-daun wortel yang mungil cantik berjajar rapi sempurna.

Hingga dari kejauhan, linang danau Ranupane berkilau kemerahan memantul senja. Rania memejam mata menikmati hembusan angin menciumi wajahnya. Sementara Audrey meneriakkan ekspresi panjang saat pertama kali melihat Danau Ranupane. Dan Emma, perempuan itu bernyanyi-nyanyi sepenuh hati.

Akhirnya tepat jam 5 sore, hardtop yang mereka tumpangi tiba di pos TNBTS Ranupane. Angin gunung memeluk erat para pendaki seakan mengucap selamat datang.

Dingin. Hawa di Ranupane terasa dingin.

Sementara kabut-kabut yang sebelumnya berarak beriringan terlihat memencar tersapu angin.

***

Posting Komentar

 
Top