0

Danau Segara Anakan,
Cagar Alam Pulau Sempu,

Bulan yang limabelas hari lalu purnama berganti rupa menjadi bulan mati. Semua sinar tak lagi terpusat membundar, namun semuanya tertebar di langit raya menjadi jutaan bintik kecil yang sesekali menyala sesekali memejam. Sinar bintang yang menjadi sumber pesona, datang dari waktu yang jauh. Dan benarlah jika melihat sinar bintang sama dengan melihat masa lalu. Jarak ribuan tahun cahaya membentang antara mata dan sang bintang, membuat perjalanan spektrum cahaya melewati ruang yang teramat panjang. Semua mata yang kini melihatnya tak pernah tahu, apakah bintang itu masih berotasi di orbitnya, ataukah telah lenyap setelah menjalani sisa waktu lewat  ledakan supernova.

Gemuruh ombak mendebur saat menabraki benteng karang. Gelombang laut selatan yang keras dan deras, menggulung-gulung menyisakan muntahan ombak melewati sebuah karang bolong. Dan disinilah, di Danau Segara Anakan sebuah laguna cantik membentang. Laguna yang dikelilingi benteng karang, yang melindungi pulau dari hantaman ombak laut selatan. Dan di sekeliling laguna, hutan hujan tropis tumbuh melebat menjadi kawasan cagar alam Pulau Sempu dengan luas total mencapai 800 hektar lebih.


Sementara di hamparan pasir putih tepi laguna, dua anak manusia yang sedang duduk memandang langit. Mereka memandang gambar keagungan dengan penafsiran masing-masing. Kerlip bintang-gemintang beserta seluruh kecantikan langit berinteraksi dengan dua anak manusia yang terdiam takjub mencerna tanya dan jawaban.

Andro masih terdiam ketika menatap Granada berdiam diri di sampingnya. Perempuan itu berusaha menggambar garis semu dari tiap titik bintang. Andro menatap lembut perempuan ayu yang tangannya menggambar garis silang semu.  


“itu Crux, atau biasa disebut Salib Selatan. Dia merupakan rasi bintang terkecil,” hati Andro berdesir, ia berkata sambil menatap lembut.

Crux.” Granada menirukan ucapan Andro. Ia tersenyum dan menoleh. Tatap matanya teduh.
“ya. Itu Crux. Di sekeliling Crux ada Centaurus –sang makluk legendaris dalam mitologi Yunani, sedangkan di sampingnya adalah Musca –sang lalat,” tangan Andro menunjuk langit dan menggambar garis semu pula.

Sementara angin laut menggerai pelan rambut Granada.

“sepertinya kamu tahu banyak mengenai rasi bintang,” Granada tertarik dengan penjelasan Andro
“Nggak juga. Dulu Mama sering mengajakku memandang langit dan mengartikan banyak simbol disana,”

“kamu suka memandang langit ?“ Granadakembali bertanya sambil memandang sekilas.
“ya. Aku suka”
“kenapa kamu tertarik memandangnya ?”
“hmm .. entahlah. Ketika aku rindu masa lalu. Aku sering memandang langit. Lagipula . . di langit utara ada Andromeda”
“Andromeda ? dimana ?”
“mungkin malam ini tak nampak. Ia ada di sisi utara. Berdiam diri di dekat Rasi Pegasus”
“Galaksi Andromeda . .  “
“ya. Galaksi Andromeda”

“kalau kamu suka memandang langit ?” Andro ganti bertanya
“ya. Aku suka”
“kenapa kamu suka ? ada apa dengan langit ?” Andro bertanya seakan penasaran
“bagiku langit itu seperti lukisan kehidupan. Dan memandang langit membuatku merasa kecil,”
“lukisan kehidupan ? merasa kecil ? “  kening Andro berkerut. 
“ya .. itu yang kupahami.” Granadakembali memandangi taburan bintang
“ah. I see . . ” akhirnya Andro tersenyum ringan sambil mengangguk pelan.
“Bumi yang kita tempati lebih kecil dari setitik debu kalau dibanding luasnya semesta raya. Begitu kecil, atau bahkan tak terukur. Dan Tuhan begitu bijak menempatkan kita para manusia di bumi ini. Seolah ada misteri terbesar yang dibebankan kepada manusia”
“misteri ?!!! kalau kupikir sih .. barangkali untuk membuktikan sumpah dan tujuan penciptaanNya atas manusia ?” Andro menimpali
“sumpah? sumpah yang mana ?” Granadakembali menatap Andro
“bahwa Tuhan membuat manusia bukan untuk saling berbunuh-bunuhan atau menumpahkan darah,”

Granada terdiam. Bibirnya bergerak pelan seakan ingin berbicara.
“mungkin sih An ..  tetapi ..  kenapa bumi yang kita tempati terus saja terkoyak keserakahan ? seakan saja watak manusia selalu saja ingin berkuasa dan memperbudak manusia lain ?!! bukannya itu yang menjadi cikal bakal pertumpahan darah ?!! ”

“hmmm. Entahlah .. aku dan kamu sama-sama tak tahu,” Andro mulai bingung.
“apa mungkin karena itu Tuhan membentangkan langit agar kita terus mengingat kekerdilan kita .. ” Granadabertanya retoris
“hmmm, mungkin juga. Aku sepakat kata-katamu. Mungkin kita harus seringkali memandang langit agar selalu ingat kekerdilan kita,” Andro tersenyum simpul.

Sementara api unggun mengeliat menjilat-jilat. Rantakan api melahap ranting-ranting kering hingga berbunyi gemeretak. Pantulan cahaya api unggun di atas linang laguna bergoyang pelan.

“melihat bintang Crux, aku jadi ingat Mama kamu, An. Saat di Gunung Panderman, beliau sempat memberi tahu cara orientasi medan menggunakan tanda-tanda alam. Salah satunya rasi Crux,”
“ya, Crux memang petunjuk arah selatan. Sangat dibutuhkan ketika terdesak. Apalagi kalau malam kita memang susah melakukan orientasi medan karena terhalang gelap,” Andro memandang rasi bintang crux sekali lagi.

“Mama kamu perempuan yang hebat, An“ Granada berkata lembut. Angin laut menampar ringan hingga rambutnya tertebar di depan wajah. Mendengar kalimat itu Andro seketika menyambut tatapan Granada.

“Aku sangat berterima kasih dengan adanya Mama dalam hidupku. Dia perempuan yang kuat. Aku kagum. Dia menjadi inspirasiku untuk terus tegar. Rasa-rasanya ada perasaan malu seandainya aku menjadi lelaki loyo dan banyak mengeluh,”

“kekaguman membawa inspirasi bagi kita, An”
“ya. betul sekali, membawa inspirasi ..” Andro terdianm sejenak mencerna kalimat Granada.

“Dengan melihat kamu, aku juga melihat orang-orang mengagumkan yang telah membesarkan kamu dan Rania,” Andro berkata lagi setelah mengambil jeda. 

Dua tatap mata kini bertemu. Adadesiran lembut dalam dada Andro saat menatap pendar mata Granada yang memang indah.


“Aku tak pernah melihat Papa kamu, An. Beliau ada dimana ?“ bibir Granada mengucap lirih. Perempuan itu ganti memandangi linang laguna yang memantulkan cahaya.

Andro terdiam. Sementara debur ombak terus saja berteriak menghantami benteng karang di sisi selatan.

“kenapa, An ? ada yang salah dengan pertanyaanku,” Granada mendapati Andro menarik nafas dalam-dalam. Lelaki itu seakan ragu dan gamang.

“pertanyaan itu lah yang selama ini berusaha kuhindari,”

Ya Tuhan,
Granada merasa bersalah mendengar jawaban Andro.

“kalau kamu menanyakan dimana Papaku, terus terang aku juga tak tahu dimana dia berada,” Andro menunduk. Kedua tangannya kuat-kuat mencengkeram pasir. Ia terlihat marah dan juga bersedih. Ia tak berdaya menghadapi misteri yang selama ini bersembunyi.

“maafkan aku, An. Aku .. aku tak tahu,” melihat wajah Andro yang menunduk, Granadamerasa bersalah.
“tak apa-apa. Kamu tak salah”
Wajah Andro perlahan menegak. Tatapnya teduh menyapu paras Granada.

“aku masih mengingat sisa-sisa kenangan terakhirku tentang Papa,”
“Suatu ketika, aku dan Zweta diajak Mama dan Papa ke Danau di Gunung Mahameru. Momen yang indah sekali dan tetap membekas hingga sekarang,”

Granada menyimak kata-kata Andro.
“tak lama setelah kembali dari sana, datanglah kejadian yang sampai saat ini aku tak mengerti”  
“maksud kamu ?”, Granadaterkejut

“keesokan hari setelah kami pulang ke Jakarta, rumah kami yang lama, saat itulah kulihat Papa untuk terakhir kali. Dia pergi sampai saat ini. Dan aku tak tahu dimana dia sekarang”

Granada terdiam. Ia merasakan kehadiran misteri teramat besar yang tak terpecahkan.

“Kasihan sekali Zweta, kasihan. Keesokan hari setelah Papa pergi, dia selalu menangis dan ingin  ketemu Papa. Kalau mengingat ini semua rasa-rasanya aku seperti dijatuhkan dari langit,” suara Andro seperti tercekat
“sudahlah, An. Maafkan aku”
“ah tidak, Granada. Kamu tak salah. Aku juga sebenarnya ingin menghancurkan belenggu ini. Tapi aku masih belum mampu berdamai dengan kenyataan,” Andro kembali berkata-kata. Matanya kini jauh menembusi letak para bintang. Ia memandangi tiap rasi bintang bergantian. Nafasnya terhembus pelan.

“dan akhirnya pagi-pagi benar setelah tiga hari Papa pergi, Mama membawa kami berdua pindah hingga sampai di rumah kami saat ini. Dari Jakarta –menetap disini,”

Granada terpaku. Ia tak pernah mendengar kisah seperti ini. Sebuah kisah tragis yang menyisakan misteri berkepanjangan.

“Kasihan sekali Zweta. Kasihan sekali,” tatapan Andro kini jatuh di wajah Granada
“Karena itu aku sangat sayang dengannya,” Andro melanjutkan
“Ia selalu teringat sisa kenangannya, kemana-mana selalu membawa foto waktu kami di Danau. Malah dulu Zweta seringkali pergi ke gunung Panderman, sendirian. Terkadang Mama menyuruhku menyusulnya ke Gunung. Dan ketika aku sampai di puncak, aku seringkali sedih mendapati Zweta menangis. Untunglah sejak kenal Rania dan Audrey, kebiasaannya mulai berkurang,”

Granada kini makin mengerti dengan kabut tebal yang menyelimuti kehidupan Zweta dan Andro. Ia faham mengapa Zweta terkesan manja ketika berada di dekat Kakak dan Mamanya. Namun ketika berada jauh dari Andro dan Mamanya, Zweta seketika berubah menjadi perempuan yang bergelora seperti ombak. Terasa ada semangat dan optimisme dalam tiap kata-katanya. Ada perenungan, ada kemarahan, ada juga  kegelisahan.

“kamu pernah bertanya ke Mama kamu ?”
“masalah Papa ?”
“ya, masalah Papamu”
“dulu saat kecil, kami pun selalu bertanya dimana Papa kami ketika melihat anak-anak di kampung tumbuh besar bersama bapaknya. Dan Mama hanya menjawab kalau Papa sedang pergi jauh”

“jawaban itu diulang terus hingga terdengar membosankan di telinga kami”

“Dan ketika semakin dewasa akhirnya aku tahu, sepertinya Mama berusaha menghindar saat aku tanya masalah itu. Ia lebih suka menguburnya dalam-dalam. Semoga dugaanku benar. Apa gunanya membuka masa lampau kalau membuat masa depan menjadi sakit ”

Granada terdiam. Dia larut dalam perasaan sedih. Dan secara tak sadar, ternyata mata Granadamulai berkaca-kaca. Adalinangan air yang terlihat berkilau ketika terpantul cahaya api unggun. Ia menyeka kelopak mata.

“maafkan aku, Granada
“ah, tidak, An. Aku yang seharusnya minta maaf karena sudah membuat kamu sedih,” Granadamenggeleng pelan.
“terima kasih sudah menjadi tempat berbagi,”

“mau bakar ikan ?”, lanjut Andro mencairkan suasana.
 “yuk,” Granada mulai merekahkan senyum. Ia segera bangkit  sambil membersihkan pasir yang menempel di celananya.


Sementara linang tenang laguna sesekali terganggu muntahan ombak yang menyusup melompati celah karang. Dan demikianlah gelora pantai selatan menghadirkan kedahsyatan. Sang gelombang menghantami benteng karang, melompat-lompat, menderu-deru, menerkam seperti harimau mengejar mangsa. Dahsyat, menegangkan, sekaligus mematikan nyali.

Sambil berjalan ke tepi laguna, Andro bercerita antusias mengenai pulau Sempu yang kini mereka kunjungi. Beberapa kali Andro datang ke cagar alam ini, sebuah surga yang masih tersisa setelah degradasi alam terasa begitu mengkhawatirkan di banyak tempat.
“ikan ini pasti enak,” Andro berkata meyakinkan. Sementara Granada memilih tersenyum tak menimpali.
“kamu tahu, kenapa nelayan di tempat pelelangan ikan tadi bermurah hati memberikan harga yang murah,”
“kenapa ?” Granadapenasaran.
“karena yang menawar seorang perempuan cantik,”
“gomballl !!! ” Granadamemprotes kalimat Andro yang terdengar seperti rayuan kacangan.
“yah .. beginilah susahnya mempunyai lawan bicara perempuan cantik nan baik hati ... ngomong jujur dibilang gombal ..tapi whateverlah .. yang jelas semua orang tahu kalau kamu cantik. hehehehe,” Andro terkekeh. Sementara wajah Granada diam-diam memerah, wajahnya merona. Sambil kedua tangannya lincah menyiangi ikan kakap merah yang dibelinya sebelum menyeberani selat Sempu dari pantai Sendangbiru, sesekali lirik matanya mencuri pandang ke arah Andro.

Granada seperti mendapat pengalaman baru.  Ia kini begitu kagum dengan jiwa para penjelajah. Dulu di saat menjumpai para petualang memikul ransel di punggung, ia terheran dengan hobi mereka yang beresiko tinggi, dan bahkan rela menempuh perjalanan dari tempat yang sangat jauh. Namun setelah melihat matahari terbit di puncak Panderman, semua pandangannya perlahan-lahan bergeser. Apalagi setelah mengenal Zweta, Andro, dan Mamanya. Terasa sekali jiwa penjelajah melekat kuat. Membentuk karakter mereka yang teguh, liat, dan berpikir bebas. Granadakini bisa memahami keeksotisan menyusuri hutan, menyeberangi selat sempu dengan perahu cadik, mengagumi bunyi pasir pantai saat terinjak kaki, dan bahkan Granada terpukau menyaksikan hewan liar berloncatan dari dahan ke dahan.  

“besok kita treking ke utara, ke selat Sempu. Paling lama memakan waktu dua jam. Dan kalau beruntung, kamu bisa melihat lumba-lumba melintasi selat,”
“lumba-lumba ?” Granadaberbinar mendengarnya.
“ya. lumba-lumba. Dan juga di sepanjang jalan setapak mungkin kita menjumpai banyak satwa seperti sore tadi,”
“eh tadi kanada monyet kecil. Yang potongan rambutnya ngejeprak ke atas, itu monyet apaan ?” Granadamenimpali sambil tangannya menggambar bentuk rambut.
“hahaha. Itu lutung jawa. Yang warnanya item dan putih,”
“ya !! bener !! yang itu ! lutung jawa ..”
“tapi ada satu hal yang tak boleh dilewatkan sebelum treking ..“ Andro mulai memancing penasaran.
“apa itu, An ?“
“swimming and snorkling in this lagoon“
“hihihi .. kalo itu sih so pasti !!! jangan sampai kelewatan !!” Rania tersenyum menegaskan.

Dan demikianlah sang malam terus menerus menggulir gelap. Meninggalkan dua anak manusia yang merenungi waktu dan peristiwa sesuai pemahamannya.

Sementara di tengah pantai selatan, nyala sinar perahu cadik nampak ringkih mengapung di batas horison. Berpendaran, bergerak pelan, terkadang nampak terkadang hilang lantaran diayun gelombang.

***
Paviliun Kelas I
Rumah Sakit Harapan Manusia,
19.50

“Emma,” Damar berbisik pelan melihat perempuan di depannya terbangun dari tidur.
“hhhh .. Mar .. aku ..aku..”, Emma masih berusaha menaut waktu. Tatap mata yang masih lemah menyapu banyak tempat.
“Rin,” Emma memandang lemah Karin yang tersenyum haru di samping Damar. Perlahan-lahan kesadarannya mulai kembali. Apalagi saat melihat juntaian selang infus yang terjulur melilit tangannya.

“Mar, terima kasihhh ..” suara Emma terdengar lemah.
“terima kasihlah kepada Karin,”
“Kakak”, Karin mengumbar senyumnya yang merekah. Ia merasa bagai perempuan paling bahagia di muka bumi. Disentuhkannya tangan Emma ke wajahnya.
“Rin,”  Emma hanya mampu menatap. Tubuhnya lemah serasa tak bertenaga. 

“ada salam dari Kak Zweta dan Kak Audrey, dia tadi datang ke sini.”
“ada juga Astidan Adi,” Damar menambahkan.

Mendengar kata-kata Karin seketika Emma terharu. Wajahnya yang masih pucat berusaha tersenyum.

“Mama-Papa gimana, Rin ?” Emma bertanya pelan dengan nada kuatir. Namun setelah melihat Karin menggeleng pelan, hati Emma seketika lega. Ia tak bisa membayangkan seandainya Mamanya mengetahui kejadian ini. Untunglah Karin menuruti seluruh perkataannya sebelum tak sadarkan diri.

“Kak Damar, beristirahatlah dulu. Sudah malam,” Karin berkata lembut.
“biar aku yang menjaga Kakak malam ini,” lanjut Karin
“Oke. gua pamit dulu, Rin.” Damar merasakan lelah yang sangat. Namun simpul masalah yang kemarin datang perlahan-lahan mulai terurai.

”Emma, istirahatlah,” Damar menatap dalam-dalam wajah Emma. Hatinya menangis sedih. Dengan langkah yang berat, Damar perlahan-lahan meninggalkan ruangan. Pandangan Karin mengantarnya hingga lenyap dari sudut gedung.

“Untunglah ada Kak Damar,” Karin membatin. Dirasanya lelaki itu telah menolong Emma habis-habisan. Seluruh beban Karin terasa ringan setelah Damar turut campur. Karin melihat julangan kesedihan di mata Damar ketika mata lelaki itu menyapu lembut wajah Emma.

“Mama nyari aku, Rin ?” Emma berkata lirih mengalihkan Karin.
“iya, Kak. Aku yang nerima. Dan aku mengaku Kakak .. sebenarnya besok aku mau mengabarkan mereka tentang kondisi Kakak .. namun .. ”
“jangan, Rin .. jangan .. kasihan Mama,”
Mendengar kalimat Emma, seketika keharuan memunculkan embun di kelopak mata Karin.
“cepatlah sembuh, Kak. Seolah tak terjadi apa-apa”
“ya. doakan aku,” tatap mata Emma seakan minta dikasihani. Wajahnya pucat, bibirnya pucat, hidupnya pun sedang berwarna pucat. Tinta muram masa lalu masih melukis jejak panjang.

***

Dan malam ini kaki Damar melangkah lebih tenang. Menyusuri lorong-lorong panjang rumah sakit yang makin lama makin gelap nan muram. Setelah Emma tersadar, tinggal satu lagi masalah yang mengusik Damar, yaitu masalah studinya. Tak bisa lagi Damar menyembunyikan kegundahan hati setelah vonis  Pak To’at keras menggaung. Suara itu menampar keras kesilapan Damar hingga tersadar. 

“Damar, maaf. Bapak tak bisa berbuat banyak,” masih teringat suara Pak To’at ketika memberitahu dirinya.

“Bapak akan menyiapkan semua berkas kamu. Carilah universitas lain untuk melanjutkan studi, tapi ingatlah pesen Bapak, jangan sekali lagi memperbodoh diri dengan membuang waktu seenaknya. Waktu akan membalas kamu dengan lebih menyakitkan. Berusahalah bangkit dari keterpurukan. Kamu pasti bisa,”

Bahkan tatap mata Pak To’at kala menyemangati dirinya masih terekam jelas. Dan ia pun sadar jikalau ujung dari semua masalah yang menimpa saat ini adalah berawal dari kelakuannya sendiri. Saat itu Pak To’at yang biasanya bersemangat seolah turut larut dalam kesedihan Damar.

“Pak To’at, Bapak salah ! saya tak akan melanjutkan kuliah !” Damar bertekad tak main-main. Ia bersumpah membuka lembaran baru catatan waktunya. Sesuatu yang baru, sesuatu yang dirasanya sangat sesuai dengan seorang Damar.


***

Posting Komentar

 
Top