0



Jarum jam menunjuk pukul 13.15 ketika dosen Statika mengakhiri kuliahnya. Pak dosen bertubuh pendek dan berkumis tipis itu memang lincah sekali. Cara berjalannya cepat, cara berpikirnya cepat, namun jika mengendarai mobil selalu memilih berada di jalur lambat –begitu pengakuannya. Ia selalu membangkitkan optimisme. Karena itulah wajah-wajah mahasiswa yang diajarnya selalu tergugah dan tak akan pernah diserang rasa kantuk. Efek  paling parah yang dihasilkan dari model pengajaran dosen ini adalah sedikit pening, ya, rasa ngilu di kepala akibat prosesor otak dipaksa berpikir keras. Gayabicaranya yang cepat dan taktis mengingatkan para mahasiswa kepada gaya dalang wayang kulit ketika bercerita perang baratayudha. Namun eksentriknya sang dosen, ia selalu menantang mahasiswa memberinya pertanyaan.

“kalian silahkan buat pertanyaan semuanya, baik mahasiswa baru ataupun para Kakatua yang mengulang,” ia selalu menyebut Mahasiswa yang mengulang mata kuliah dengan sebutan Kakatua, sebutan plesetan bagi Kakak Tua para mahasiswa baru.  
“Kalau seandainya saya tak mampu menyelesaikan pertanyaan itu, kalian yang bertanya langsung saya kasih nilai A.” begitu ia selalu memberikan tantangannya sambil tertawa lebar. tantangan itu ia sampaikan tiap kali menjelaskan silabus mata kuliah di awal semester. Namun sepanjang karier sang dosen, tak pernah ia memberikan nilai A gara-gara pernyataannya itu. Seluruh pertanyaan dari mahasiswa mampu ia libas secara gamblang dan jenaka.

Pak To’at, begitu panggilan dosen eksentrik itu. Hobbynya bermain pingpong dan catur. Tercatat di seantero kampus Keprabuan tak ada yang mampu mengalahkan kelihaiannya bermain pingpong. Ajian “pukulan plintir maut” mengantar piala bergilir pingpong antar civitas akademika selalu nangkring di ruang tamu rumahnya.

Lain pingpong, lain pula catur. Di lain waktu ketika lengang, pak To’at berjalan gagah menyungging senyum tantangan. Ia berkeliling membawa papan catur laksana pendekar pengembara mencari lawan tanding. Langkah selanjutnya dapat ditebak, ia berlabuh di tempat nangkring para mahasiswa. Di Gazebo, di depan Himpunan Mahasiswa, ataupun di cafe untuk menemukan lawan yang mampu mengalahkannya.  Daya pikirnya yang cepat dan taktis hampir-hampir memberikan intimidasi psikologis bagi lawan, itulah kelebihan Pak To’at. Tercatat dalam permainan catur bebas melawan mahasiswa, ia hanya sekali terkalahkan. Mahasiswa itu adalah si Eksentrik berjambul kakatua.

“Hei, kalau kau bermain catur denganku, tersenyumlah sedikit. Jangan pasang wajah kebelet nangis. Tak bisa berpikir aku jadinya,” Pak To’at kala itu protes karena konsentrasinya terkaburkan. Ia tak bisa menemukan penyebab kekacauan strateginya.

Kala itu berpuluh mahasiswa mengelilingi dua pendekar catur yang sedang melakukan perang pilih tanding. Melihat wajah Pak To’at yang kusut, para suporter terbahak-bahak dan terus memberi semangat Dado untuk segera menghabisi pertahanan Pak To’at.

“ayo Do, hajar Do.” kawan-kawannya menyemangati
“alaaahhh, kawan kalian ini cuma pecatur kelas Rukun Tetangga ! kelas Poskamling ! ” Pak To’at mencoba mengintimidasi mental lawan.

Dado tak mempedulikan olok-olok Pak To’at, iaterus saja mencari celah agar pertahanan Pak To’at jebol. Intimidasi dari Pak To’at tak mampu menggoyahkan mental bertandingnya. Ia berpikir hati-hati laksana seorang Grand Master.

“hei. Kau ini sudah makan apa belum !, ini kukasih duit buat beli makan !, kenapa wajahmu itu ?”  Pak To’at semakin tak konsen, kerajaan caturnya berada di ujung tanduk. Ia mengeluarkan jurus culasnya untuk membuyarkan konsentrasi Dado

“Weittt !!! interupsi, Pak. Dilarang berbicara dengan pecatur yang sedang berpikir, ” Dado semakin di atas angin. Wajah bertekstur malaise itu membuat ketaktisan Pak To’at tersungkur. Pikirannya yang taktis terpecah-pecah tak karuan, sontak saja langkah caturnya berantakan tak ada strategi. Bentengnya telah rebah, pertahanannya di ujung tanduk.

“sedikit lagi Do !, sedikit lagi !”, kawan-kawan Dado terus menyemangati.

“Skak !”, Dado tergirang. Ditatapnya para suporter bergantian. Beberapa dari suporter menepuk-nepuk punggung Dado.

“jangan senang dulu kau !”, Pak To’at mengeluarkan senyum culasnya. Ia geser sang Raja ke kanan. “yes !!”, seperti makan buah simalakama.
“aha ! Skak lagi Pak”, Dado menggeser Ster ke arah kanan. Melihat pergerakan ‘perdana menteri’ dari kubu Dado, seketika Pak To’at berwajah pucat. Kala itulah pertama kali dibukukan dalam sejarah, Pak To’at terpaksa memungut buah catur dan memasangnya kembali di barisan kerajaannya dan kerajaan Dado.

Semua mahasiswa suporter bertepuk tangan, semua bersuka ria. Eksentrik tua lawan eksentrik muda, tuan taktis digulung si wajah malaise berjambul kakatua. Sejarah kampus mencatat Pak To’at tumbang di tangan Dado, dalam waktu yang seksama, juga dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Dalam tanding catur kala itu, Pak To’at mengalahkan Dado dengan Skor 3-2. Tetapi kalahnya pecatur sekaliber Pak To’at patut dibukukan dalam sejarah percaturan di kampus Keprabuan. Belum ada sebelumnya pecatur yang mampu membuat Pak To’at memungut batang catur, dan satu satunya pecatur yang mampu meruntuhkan ego pak To’at adalah Grand Master Dado. Si wajah malaise.

***

Lain Pak To’at, lain pula sosok ketua kultur mahasiswa baru. Posisi yang disebut dengan “Ketua Angkatan” akhirnya dipegang oleh Kompar, panggilan akrab dari seorang mahasiswa yang bernama asli Komar Parawan. Tugas dari ketua angkatan adalah sebagai pimpinan kultur yang membawahi seluruh mahasiswa di angkatannya, tentunya agar himpunan mahasiswa jurusan lebih mudah berkoordinasi.

Kompar bertubuh ceking, berwajah tampan, namun berkumis jarang mirip lele dumbo. Disebut demikian karena bulu kejantanan yang tumbuh hanya berada di tepian bibir, selebihnya di bagian tengah, ia masih berusaha keras menumbuhkannya. Ia sendiri heran dan merasa khawatir, apakah ia mengidap kelainan hormon seksual sehingga kumisnya terasa jauh dari kesempurnaan.

Dulu ketika Kompar masih duduk di bangku SMP, ia sempat merasa tinggi hati dengan kumisnya yang bersemi –ketika seluruh kawan sebayanya belum tertumbuhi bulu kumis. Ia membanggakan bulu kumisnya di depan kawan-kawan yang belum berkumis dengan kata-kata yang cukup menyentil ego kejantanan.
ditilik dari ilmu pertumbuhan, kalian semua masih berada pada periode culun”, begitu biasanya Kompar mengolok kawan-kawannya.

Namun seiring waktu berjalan, ternyata bulu kumis yang tumbuh cuma yang itu-itu saja, dan di tempat yang itu-itu juga. Walau semua kawan lelakinya yang dulu minder karena berpredikat “pemuda periode culun” telah berkumis lebat, ia masih stagnan dengan pertumbuhan yang terasa mampet di tengah jalan. Tercatat berbagai jenis minyak penumbuh telah digunakan, bahkan ia pernah bereksperimen dengan resep yang didapatkannya dari omong kosong antah berantah ketika ngelaba di pos ronda. Cairan getah bening kambing jawa adalah solusi paling jitu sebagai penumbuh rambut. Ya- kabar ramuan itu didapatnya dari kawan semasa SMU yang berkumis gombyok mirip buntut musang. Prosedurnya, cairan getah bening harus dioleskan tepat di bagian tubuh yang ingin dirangsang pertumbuhan rambutnya, dan sekaligus tak boleh kena air selama 6 jam. Walhasil pernah ketika hari raya kurban, Kompar tak melewatkan kesempatan mengabdikan diri menjadi asisten jagal kambing di Masjid kampungnya. Begitu ia mendapatkan cairan getah bening dari sela sendi kaki kambing, ia oleskan cairan ajaib itu di bibir atas secara merata. Tak dipedulikannnya bau yang menyengat. Tak dihiraukannya cairan getah bening yang membuat bibir atasnya sedikit gatal sekaligus mengkilap.

Namun malangtak bisa disangkal, yang didapat bukannya rambut yang tumbuh, namun semut merah yang berkumpul di bibir tak ia rasakan ketika tertidur. Maklum saja, ia kelelahan sehabis menunaikan baktinya sebagai asisten jagal kambing. Karena kejadian itulah, ia akhirnya memaki penemuan yang tak jelas jluntrungannya.

“resep laknat ! untung saja bibirku tak dijilati kucing !”, begitu makinya ketika ia tersadar dari tidur dan mendapati gigitan puluhan semut gatal di bibir.

Ia pun akhirnya pasrah dan bangga dengan karunia kumis lele dumbonya.

“mungkin  aku kena kutukan akibat menghina kawan SMP ku”,  begitu hatinya tabah ketika mengenang permasalahan sensitif kumisnya.

***



Posting Komentar

 
Top