0

Mawar Putih,
Paparan Pegunungan Arjuno-Welirang
07.30

“kalian berdua,”
“coba jelaskan kepada Mama,“ Nahla lembut berbicara, tapi suaranya bergetar menahan emosi.
Namun, kedua buah hatinya terus saja diam tak bersuara. Mereka mematung.

“Zweta, dan kamu Andro,”
“sekali lagi jelaskan kepada Mama .. apa yang sebenarnya terjadi,” perempuan paruh baya itu tak mampu lebih banyak berkata-kata. Ia tak bisa tidur semalaman memikirkan Zweta dan Andro. Ia sedemikian takut dengan bahaya yang mengancam mereka berdua.

Sementara lelaki tipis di samping Nahla terlihat menunggu. Wajahnya pun terbalut sedih.

“entahlah  .. apa yang harus Mama lakukan untuk membuat kalian buka mulut,” Nahla menyentuh kening dengan telapak tangannya. Suaranya kian beradu dengan emosi.

Mendengar suara Mama yang bergetaran, Andro diam namun kebingungan, sementara Zweta tercekam sedih. Ingin sekali Zweta menangis dan bersimpuh di pangkuan Mamanya, tapi ia masih mampu menahan diri. Setiba di rumah, hatinya serasa hancur ketika menyaksikan Mamanya menyapu pecahan pot-pot bunga. Ia melihat kekacauan tak terperikan. Bunga-bunga patah, anggrek-anggrek terbanting di atas tanah, pecahan pot berserakan, rak-rak besi yang roboh saling bertindihan.  Seolah dini hari tadi rumah mereka disinggahi iblis yang sedang murka.

“apakah tak ada dari kalian yang ingin berbicara, hah ? jawab !!” Nahla mulai menghardik.

“sudahlah Inong,” lelaki tipis berkata lembut.
“bicaralah, Endro. Zweta. Bicaralah kepada ibumu”, suara lelaki itu seakan mengiba. 
“maafkan aku, Ma,” Zweta tak mampu lagi menahan emosi. Wajahnya serupa awan mendung yang siap menurunkan hujan.

“apa ini, An ! Apa !“ Suara perempuan itu kini meninggi setelah Andro terus saja mematung.

Perempuan itu menunjukkan secarik kertas lusuh. Dan demikianlah, secarik kertas lusuh mampu memberikan sebuah titik terang. Mungkin para penebar teror tergopoh saat mendengar teriakan penduduk dini hari tadi. Mereka tak sadar kalau kertas itu terjatuh. Di kertas itu tertulis nama Andro, alamat tempat tinggal, dan juga tanda-tangannya.

Andro seketika menggeram sambil mengepal. Gigi geraham Andro beradu kuat-kuat.

“kamu masih mau melawan ?!” Mama nya berkata tegas

“Jawab, An ! kamu masih mau melawan  ? melawan siapa ? bayangan ?” suara Mamanya seakan menantang.

“sudahlah Inong, tenangkan dirimu. Biar aku yang berbicara dengan mereka,” suara lelaki tipis lembut menenangkan kala menyaksikan kelopak mata Nahla mulai berembun. Ia tahu perempuan itu tak lagi mampu menantang kesedihan.

Nahla kemudian beranjak menjauh. Wajahnya memerah penuh emosi. Seketika setelah beranjak, air mata mengalir mewakili sedihnya. Ia menangis tak terisak. Namun air mata di pipinya meleleh panjang.  


Endro, Zweta. Jagalah perasaan ibumu. Kalian mungkin belum mengerti. Ibumu khawatir sekali ... “

Mata Zweta berkaca-kaca, sementara Andro serba salah ketika ingin marah tapi tak tahu harus marah kepada siapa. Melihat Mamanya bersedih, hati Andro serasa jatuh. Dan ia pun bersumpah tak akan membiarkan Mamanya menitikkan air mata lagi.

“perempuan seperti ibumu tak selayaknya menyaksikan kejadian seperti ini. Dia pernah mengalami hal yang berat. Dan itu terjadi sewaktu kalian masih kecil ..”

Mendengar kalimat itu, Andro dan Zweta diam menyimak. Tiap kata-kata lelaki tipis terlihat seperti cahaya yang menerangi kegelapan masa lalu. 

“apa yang sebenarnya pernah terjadi, Kek ?” Zweta tak bisa menyembunyikan emosi. Matanya berkaca-kaca. Ia berharap menemukan jawaban atas misteri yang selama ini berusaha disingkapnya.
“Kakek juga tak sepenuhnya mengerti. Tanyakanlah kepada ibumu. Insya Allah kali ini dia akan menjawabnya,” lelaki tipis itu  menarik nafas dalam-dalam sambil mengusap wajahnya yang dipenuhi keriput.

“ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi,” Zweta membatin. Setelah sekian lama mencari jawaban, entah mengapa semuanya masih tak tersingkap. Seolah saja jawaban yang dicarinya tersembunyi di dalam batu. Ia tak tahu harus bertanya kepada siapa. Mamanya pun terus membungkam. 


Sementara Nahla berdiam diri di kamar. Kembali masa lalu membukakan buku-buku waktu. Dan ia pun kemudian menangis.

“Sayang, maafkan aku,” Nahla berbisik lirih, ia seolah merasakan kehadiran kekasihnya.   

Kerinduan dan kesepian ternyata membuka lembaran masa lalu. Ya, buku-buku waktu membukakan halaman terakhir pertemuannya dengan sang kekasih. 

“Kamu pergi sekarang ?” Nahla berat hati tatkala menyaksikan kekasihnya mengepak tas punggung.
“ya. Sekarang,”
“kenapa harus sekarang, Sayang ?, bukankah kita baru saja tiba di rumah ...”
“Nahla-ku, panggilan hati tak menunggu esok hari,”
“tetapi  . .  tetapi kenapa sampai sebegitunya ?” ia terbata-bata tak terima.
“tanggung jawab moral, Sayang. Kamu pasti mengerti,” tatap mata teduh itu menyentuhi batinnya. Ia mengingat tatap mata itu. Tatap mata yang biasanya tajam, entah kenapa saat itu terlihat sedemikian sayu, lembut, dan penuh cinta.

“berjanjilah untuk segera pulang,” ia menyentuh lembut pipi kekasihnya, dan kemudian menautkan kedua tangan di leher.
“Insya Allah, Sayang”
“aku juga tak akan melewatkan ulang tahun malaikat kecilku,” lelaki itu memandang Zweta yang masih lelap tertidur sambil mengecup kening Nahla..

“aku mencintaimu,” Nahla memeluk erat tubuh kekasihnya. Erat sekali. Seolah ada perasaan ganjil yang membimbing tangannya sedemikian erat menaut.
“aku lebih mencintaimu, Nahlaku, bahkan akan terus mencintaimu seperti aku tak pernah mencintaimu sebelumnya ,” lelaki itu membelai mesra Nahla dan kemudian mencium lembut bibirnya.

“dan ini, Sayang. bacalah sendiri ... ”

Hingga ciuman lelaki itu seolah tak mampu diraut waktu, begitu kekal, jejaknya tak terhapuskan Nahla menyentuh lembut bibirnya. Merasakan ciuman penuh cinta yang masih tersisa di bibirnya.  
  
***

Puing-puing masih berserakan. Pecahan tembikar, pot-pot bunga, dan rak-rak besi tercacar bergelimpangan. Tadi pagi petugas keamanan telah menyisir toko untuk mencari jejak penebar teror. Dan dugaan sementara, seluruh teror terjadi lantaran keterlibatan Andro di dalam Lembaga Bantuan Hukum. Secarik kertas yang tertinggal di puing-puing reruntuhan mengaitkan beberapa teror yang tertebar sejak penentangan Bentos marak dilakukan para aktivis. Orang pertama yang tercantum di dalam daftar telah diteror lewat telepon, sedangkan beberapa markas elemen anti Bentos disatroni preman setelah demo beberapa hari lalu berujung anarkis. Rupa-rupanya dalam konflik kali ini para preman diposisikan menjadi ujung tombak penebar teror.  

Andro merasa bersalah. Sejak tadi siang, ia berusaha menyelamatkan bunga-bunga yang masih bisa dipulihkan. Beberapa ada yang cuma patah daun dan tangkai, tapi kebanyakan memang hancur tak punya harapan. Kebanyakan yang patah dan tak punya harapan adalah anggrek-anggrek yang dihempaskan dari rak bagian atas. Terlihat sekali jejak kebiadaban mereka tatkala melakukan aksi. Setelah bunga-bunga anggrek itu dibanting ke tanah, mereka menginjak-injaknya membabi buta.  
  

“tolong ambilkan sekop, Sayang” sementara Nahla kini berusaha berdamai dengan keadaan. Ia terlihat tegar. Zweta yang sedari tadi menempel Mamanya berusaha menghibur. Tapi sebenarnya ia memendam kegelisahan yang nyaris memuncak.

“Ma, boleh aku bertanya sesuatu ?” Zweta mengulurkan tangan memberikan sekop kecil. Tatap mata mereka bertemu.
“tentu,” perempuan itu menjawab ringan sambil meraih sekop. Pandangan matanya teralih. Ia segera menanam cemara udang berukuran kecil.

“apakah Mandalawangi indah, Ma ?” Zweta bertanya retoris. Ia berusaha menarik perhatian Mamanya. Saat mendengar kalimat Zweta, ada sedikit jeda waktu menghentikan aktivitas Mamanya. Namun tangan perempuan itu tak lama kemudian meraih sebatang cemara udang. Ia melanjutkan menanam kembang.

“Mandalawangi itu cantik sekali,” ingatan perempuan itu tersita masa lalu. Ia terkenang.  

“Ma ?”
“Mama bertemu dengan Papa disana, kan ?”
Zweta berusaha memperhatikan tiap air muka Mamanya. Dan kali ini memang air muka perempuan itu berubah. Seperti ada sihir yang menghentikan, Mama terhenti. Perempuan paruh baya itu tak mungkin lagi bisa mengelak.

“ya. Mama bertemu Papamu di lembah Mandalawangi. Saat itu aku menjelajah dan melengkapi tugas kuliah Geologi. Sementara dia sedang berekspedisi,” ia menjawab pertanyaan putrinya setelah sekian lama terjeda.
“ekspedisi ?”
“ya. Sebuah ekspedisi. Dia mahasiswa kehutanan di Jogja”

Zweta terheran. Tapi sedikit lega. Sedikit demi sedikit masa lalu dan kabut misteri yang menghantuinya mulai tersiak. Tangan Zweta kini merapikan beberapa kembang, sementara sesekali tatapan matanya memperhatikan raut wajah Mamanya.

Kini hadirlah kebisuan yang kikuk diantara mereka. Zweta tak tahu menggunakan kata-kata yang tepat, sementara Mamanya berusaha membuat benteng di antara mereka berdua. Ia tak tahu harus mengatakan apa kepada Zweta. Selama ini dirinya pun masih terselimuti misteri.

“aku mau menemui Papa, Ma.“ Zweta berkata dengan pandangan meminta. Dan kini tatap matanya menunggu. Ia menunggu reaksi dan jawaban dari Mamanya. Ia mengharap kabut misteri segera pergi sejauh-jauhnya. Secepat-cepatnya. 

Namun ternyata Mama Zweta hanya terdiam. Ia tak tahu harus berkata apa. Hatinya menangis, ya, hatinya menangis. Sepanjang  hidup ia berusaha menolak pertanyaan seperti ini, tetapi kali ini tak mungkin bisa.

“Ma, Papa dimana, Ma ?”
Tatapan mata Zweta terus menunggu. Dan wajah Mamanya hanya terpaku pada cemara udang yang kini terpegang jemarinya. Perempuan itu sudah menduga putrinya akan bertanya lebih jauh

“Ma,” suara Zweta makin menegas.

Namun kata-kata Zweta hanya dijawab sang sepi. Bibir perempuan itu terkunci rapat, sementara tatap matanya nanar. Ia terbingung mencari kata-kata. 

“Ma ! apakah Mama menunggu aku bosan bertanya ? aku tak lagi anak kecil seperti dulu, Ma ! “

Kata-kata Zweta terdengar seperti fakta yang menghakimi. Hati perempuan paruh baya itu menangis. Ia tergagap. Ia berusaha berkata-kata. Tapi ternyata suaranya masih tercekat.

“kenapa Mama membiarkan aku seperti ini, Ma ! bertanya-tanya kepada diri sendiri tanpa tahu jawabannya !! itu Jahat, Ma !! Jahat sekali !! aku sejak dulu cuma ingin tahu Papa dimana. Cuma itu !”,

Zweta terisak. Ia tak lagi bisa menahan emosi. Ia tahu Mamanya telah melewati hari yang berat. Tapi benteng misteri yang dipendamnya terlalu tinggi dan labil. Bangunan semu itu bersiap untuk roboh. Dan kali ini ia merasakan kesedihan yang sangat. Ia kecewa.  

Tak kuat lagi rasanya Zweta berada di samping Mamanya. Ia memilih bangkit dan pergi. Ia ingin menyendiri dan menguras habis seluruh emosi. Ia ingin berteriak sekuat-kuatnya. Ia telah lelah.

Melihat Zweta bergegas masuk ke dalam rumah, Andro terkaget. Apalagi ketika dilihatnya Zweta menangis. Ah ! ia makin bingung setelah menyaksikan Mamanya terpaku tak bergerak. Ingin sekali ia berbuat sesuatu tapi tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Sementara kemudian Andro lebih kaget lagi tatkala melihat Zweta keluar sambil memanggul ranselnya.

“Ta ! ada apa, Ta ?“ Andro berusaha menghentikan, tetapi langkah kaki adiknya itu tak mampu dibendung. Zweta menepis tangan Andro sambil terus berlalu.

“Zweta Sayang !” Mamanya berteriak. Suaranya bergetar. Perempuan itu merasa bersalah telah membiarkan kehidupan putrinya terobsesi memecahkan misteri yang selama berusaha ditutupnya rapat-rapat. Tapi tenyata ia salah. Zweta dan Andro ternyata tak bisa melupakan misteri itu. Rupanya mereka telah menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk menafsirkan sebuah titik terang.  

“Ma, ada apa, Ma ?” Andro kebingungan. Tatap matanya lelah. Tapi ia tak kuasa menahan sedih menyaksikan Mamanya menitikkan air mata.
“tak apa-apa, An. Kasihan Adikmu. Biar Mama menyusulnya,”
“kemana dia, Ma ?”
“mungkin ke Panderman,”
“biar aku yang menyusulnya, Ma”
“Cuma Mama yang bisa menyelesaikan masalah ini. Bukan kamu. Maafkan Mama, Sayang. Mama selama ini bersalah kepada kalian ...”


***

Posting Komentar

 
Top