0

Trotoar Jl. Pahlawan,

“dari Abah,” Zweta menunjukkan pesan singkat ponselnya kepada Audrey dan Rania. Ia terkejut. Tak disangka ia mendapatkan pesan singkat dari lelaki tua itu. Ia sendiri heran, dari mana Abah mendapatkan nomor ponselnya. Namun setelah berpikir sejenak, Zweta akhirnya teringat kalau sebelum menyaksikan acara pentas rakyat tempo hari, setiap penikmat seni diminta membubuhkan alamat dan nomor kontak yang bisa dihubungi. 

Audrey dan Rania terlihat makin penasaran. Ada kebanggaan yang tersirat dari rona wajahnya.
“ini pasti perlawanan, Ta.” Rania menyeletuk. Sementara Audrey menduga hal yang sama.

diharap kehadiran rekan-rekan dalam acara diskusi terbuka :
menyikapi dampak pembangunan Bentos. ABAH.
Jl. Magelang 21 A, 12-Jan, 18.00

1 message received.

Mereka bertiga saling berpandangan. Isu pembangunan Bentos telah menerpa tidak hanya kaum akademisi, namun telah tersebar di kalangan aktivis pejuang lingkungan. Bahkan sejak tiga tahun yang lalu, upaya mereka membentengi ruang terbuka hijau di Jalan Pahlawan dari pencaplokan sungguh-sungguh mengharukan. Aksi massa digalang, aksi seni dan teatrikal diadakan di depan lahan sengketa, bahkan preman-preman bayaran yang mengintimidasi acapkali harus dihadapi. Namun entahlah, di kota ini penguasa demi penguasa berganti, namun kecenderungan mengeksploitasi local resources ala “pembabatan hutan kota” tak kunjung berubah dari kelakuan para pejabat. Tiap aksi penolakan dianggap sepi laksana angin lalu, ruang hijau berganti pompa bensin, taman teratai berganti rumah mewah, bozem-bozem dan kawasan resapan banjir disulap menjadi ruko-ruko dan perumahan elit. Areal hijau semakin sempit, Perda tata kota menjadi dongeng impoten yang didagelkan oleh pembuat undang-undang sendiri. Dan atas dasar itulah, segelintir pejuang lingkungan terus mati-matian membentengi lahan hijau yang masih tersisa. Ya –mereka berkonsolidasi, merapatkan barisan, dan berusaha memberikan perlawanan.  

Zweta bersyukur atas undangan itu. Ia bersyukur lantaran punya kesempatan untuk memberikan sumbangsih pemikiran sekaligus flooring website yang dikelola Damar. Namun pesan Damar agar sang pengelola website dirahasiakan kepada siapapun masih terngiang jelas di ingatannya. Ia tak ingin menduga-duga alasan Damar, yang jelas saat ini website buatan Damar telah menjadi pengeras suara yang mampu membuat gusar pihak pro Bentos.

“kita harus datang, Ta. Sekalian mengetahui duduk permasalahan Bentos dari sudut pandang yang berbeda.” Rania nampak bersemangat.
“aku sependapat denganmu, Ran ! dan aku ikut !” Audrey menguatkan.  
“oke ! kita datang sama-sama ke Jalan Magelang”

Jawaban Zweta seketika disetujui Rania dan Audrey lewat anggukan, ekspresi mereka antusias.

“Ran, ajak Kak Anggun !”
Tiba-tiba Zweta punya ide yang dianggapnya brillian. Ya, Zweta teringat Anggun. Perempuan yang pintar berdebat itu harus diajak dan memberikan buah pikirannya disana, lagipula Anggun pasti lebih mengetahui perkembangan aktivis kampus dalam menyikapi masalah Bentos. Dengan informasi Anggun, sinergi pergerakan antara aktivis kampus dan pejuang lingkungan menjadi semakin ideal dan masif.  

“ide bagus, Ta” Rania tersenyum lembut menanggapi usulan Zweta.

Sementara langkah kaki mereka terus menyusuri trotoar jalan Pahlawan, dilihatnya keadaan jalan Pahlawan sudah berubah dari setahun lalu, bahkan berubah teramat drastis. Warung-warung yang sebelumnya hanya buka di kala senja, kini beberapa malah sudah   buka di siang hari. Warung-warung rujak berdiri, mini cafe mulai menyajikan es dan buah segar, bahkan warung beratap ilalang milik Kompar mulai bersaing dengan belasan warung sejenis. Dan perubahan cepat itu seakan menjadi dilema ketika dibenturkan tata guna lahan yang menjadi masalah sengketa antara pihak pro Bentos dan aktivis lingkungan.

“setidaknya kita tidak menghapus hutan kota. Kita hanya berdagang tanpa mengambil hak publik sedikitpun,” demikian para mahasiswa pemilik warung berkilah dengan usaha yang mereka geluti.

Carut-marut konflik kepentingan berpilin tak karuan, dan kemudian menyisakan ranjau yang tinggal menunggu pemicunya terpantik. Meledak, semuanya sebentar lagi meledak. Tinggal menunggu dua kubu berbenturan mengadu kerasnya kepala saat bertumbukan satu sama lain.   

Zweta, Rania, dan juga Audrey kemudian menyeberangi jalan Pahlawan. Mereka menuju sebuah bangunan kayu semi permanen berukuran 4 x 5 m2. Bangunan itu nampak kikuk, tubuhnya tersangga sedikit reyot, persis di samping pohon beringin berukuran sedang yang menjulurkan akar mimangnya. Lantainya ringkih dan berbunyi saat terpijak, keempat pojoknya ditopang batang-batang bambu yang menjadi tiang ringkihnya, sedangkan sebagai dinding penutup sekaligus penyekat ruangan, digunakanlah papan kayu bekas bongkaran yang masih tersisa kerak noda pasta semennya.

Bangunan itulah yang sering disebut sebagai Pustaka Rakyat oleh Andro dan kawan-kawannya. Dan memang, bangunan itu dibentuk atas inisiatif mahasiswa fakultas hukum sebagai tempat persinggahan dan perpustakaan anak jalanan. Anak-anak itu biasanya mangkal di ujung boulevard sebelah barat, dekat dengan lampu merah dan perempatan  jalan Pahlawan.

Tak dijumpainya Andro di bangunan Pustaka Rakyat. Zweta hanya bertemu dengan kawan seperjuangan Andro yang matanya berkelincat kemana-mana.  

“ini pasti gara-gara Rania,” Audrey tersenyum geli melihat mahasiswa itu mukanya terlihat mupeng ala bekantan kebelet kawin, persis wajah mesum yang diperlihatkan Dado dan para penguasa gazebo saat bersuit-suit mengantar para mahasiswi meniti pedestrian.

“Kak Andro kemana, Bang.” Zweta bertanya kepada sosok yang berambut kriting tak berpola.
“Dia ke senat hukum, ada rapat koordinasi,” lelaki itu menjawab tak konsen. Matanya lagi-lagi mencuri pandang ke arah Rania. Audrey tak mampu menahan geli. Apalagi ketika dilihatnya Rania pura-pura tak peduli dan merasa risih.

“Bang, besok malem ada pertemuan di jalan Magelang. Diskusi terbuka. Diadakan para aktivis lingkungan. Bilangin kawan-kawan kalau mau dateng !”, Audrey memberi pesan ke lelaki kriting tak berpola. Ia terlihat manggut-manggut persis kambing jawa mengunyah rumput.
“ngerti nggak ?”, Audrey nampak kesal dengan di kriting.
“ya-ya. ngerti”, si kriting itu menjawab tak tegas. Lagi-lagi matanya mencuri pandang tak konsen. Melihat itu Audrey sedikit dongkol dan sewotnya kumat,
“ah ini Abang bloon banget ! tahu nggak jam berapa acaranya ?” .

Lelaki kriting celingukan menahan malu. Wajahnya hampir-hampir tak punya semangat seperti kambing congek.
“makanya jangan mupeng ! acaranya jam 18.00 Bang !”, Audrey seketika tanpa basa-basi menohok rasa malu lelaki kriting itu. Rania hanya senyum-senyum tak pasti. Ia merasa lelaki itu teramat culun hingga bisa dimarahi tanpa balas oleh Audrey. Menyaksikan kejadian itu, Zweta mengajak kawannya segera pergi daripada menahan dongkol berkepanjangan.

“si Chrisye itu kesambet setan-belang kayaknya, bloon gitu !”, Audrey terus berkomentar sambil melangkahkan kaki menjauh. Ia tak kuasa lagi menahan kejengkelan.
“Chrisye ? emang si Kriting itu namanya Chrisye, Drey ?”  Rania sedikit kebingungan. Perasaan mereka bertiga tak pernah mendengar lelaki kriting itu menyebutkan namanya.
“Chrisye ! Kriting Semrawuutt !” Audrey terkikik berkepanjangan. Rania juga demikian. Rania sampai-sampai tak tahan dan memukul pelan punggung Audrey. Zweta menggelengkan kepala tak percaya ulah Audrey.
“kamu tuh kalo bergurau pasti fisik deh !! nggak kriting semrawut !! nggak gondrong ndeso !!”
“soory deh .. sorry ..”

Setelah lelah berjalan, mereka bertiga duduk di bawah kerindangan pohon mahoni tua. Mereka memesan es kolang-kaling yang memang mangkal setiap hari di bawah pohon. Mereka memandangi lalu lintas di jalan Pahlawan sambil menunggu es segar membasahi tenggorokan yang tengah kehausan.

“aku nggak bisa membayangkan, konsep penataan kota seperti apa yang mereka rencanakan”, Rania membuka wacana dan membayangkan jalan Pahlawan di kemudian hari setelah kehadiran Bentos. Audrey hanya mencerna kata-kata tanpa berbicara sedikitpun.  

“Sepertinya kotakita ini tak punya konsep pengembangan yang jelas”, Zweta urun pendapat sambil melirik Rania.
“benar, Ta. Kotaini sudah nggak punya konsep. Entah kenapa ada salah penanganan kayak gini. padahal kotaini ditempati sedemikian banyak universitas yang notabene banyak tim ahli di bidang teknis. Ahli drainase, planologi, teknik sipil, transportasi, di kampus kita dosen-dosen seharusnya bisa diberdayakan dan dimintai pendapat sebelum merumuskan konsep pembangunan”, Rania menjelaskan opininya dengan kalimat lembut.

Sementara penjual es masih mengambil beberapa canting gula jawa yang telah dicairkan, sementara Audrey sudah tak sabar ingin meneguk es itu. Beberapa kali ia menelan ludah.

“itulah kalau masalah teknis terlalu dicampuri keputusan politis. Seharusnya setiap kali proyek diadakan harus memenuhi tiga unsur kelayakan. Pertama yang wajib dipenuhi adalah unsur kelayakan teknis, kemudian kelayakan ekonomi. Dan yang terakhir kelayakan secara lingkungan. Nah, kalau tahapan unsur kelayakan dikesampingkan oleh pemegang otoritas kebijakan, ujung-ujungnya pasti seperti saat ini. Penguasa kotahanya sebagai penyambung lidah pemodal, dan jadilah mereka berotak makelar. Unsur yang ditinjau cuma masalah ekonomis alias untung rugi, padahal itupun belum tentu. Dengan kehadiran sebuah Mall besar, secara otomatis pasar-pasar tradisional di sekitarnya akan kehilangan daya tarik. Sementara masyarakat masih cenderung memilih sesuatu yang berbau prestis dan merk dagang. Jadilah pedagang kecil disembelih pelan-pelan oleh pemodal kuat yang difasilitasi kebijakan Penguasa. Apalagi kalau bukan kapitalis itu namanya, bukan ekonomi kerakyatan sebagaimana bunyi ikrar undang-undang republik ini. Kalaupun feasibility study menyatakan pembangunan Bentos telah layak secara ekonomi, maka aku menyangsikannya. Yang jelas kelayakan ekonomi itu bukan jenis kelayakan milik pedagang pasar tradisional, tapi kelayakan ekonomi dan finansial milik para pemodal kuat“, Zweta mencoba memberikan argumennya yang panjang. Adanada berontak dari uraian panjangnya.

Rania memandang Zweta dengan seksama. Pikiran kawannya itu memang taktis dan lugas. Sementara tukang es telah membawa dua mangkok es kolang-kaling yang terlihat sangat menggiurkan.
“ah sudah !. minummm duluuuu !”,  Audrey tak banyak komentar. Ia segera meraih mangkuk yang sudah berisi es. Ia sudah tak sabar menikmati segarnya es kolang-kaling jalan Pahlawan. 


 
***
Cafe Umbrella,

Lelaki coklat termangu di sofa cafe, ya –sofa yang menjadi tempat favorit acapkali dirinya mengunjungi cafe Umbrella. Ada rasa lelah yang menuntunnya bersandar di sofa yang empuk, ia sedang tak ingin melakukan sesuatu, ia hanya ingin melabuhkan pikiran yang terhinggapi keletihan. Laptop yang masih menyala di depannya tak ia pedulikan. Biasanya ketika laptop menyala, aura kehidupan di sekitarnya menguap lenyap, namun kini lain, ia masih terbebani simpul masalah yang tak terurai. Ia menghela nafas sejenak, tarikan dan hembusan nafas yang tertahan –menggurat kegamangan isi kepala Damar. Dan, rambut kepala yang tipis dan nyaris plontos tak luput dari telapak tangannya, ia sesekali secara tak sadar menyentuh dan mengelus pelan rambut tipisnya.

“Chantal Cafe “,terus saja pikirannya terpaku tak ingin teralihkan.

Ada perasaan aneh mengaburkan logika pikiran, namun perasaan ganjil yang mencuri kesadarannya seolah membumbung semakin tinggi. Berpilinan, berikatan, dan menerbangkan segala ketenangan yang selama ini tertata rapi. Pikiran ganjil itu segera ia tolak, dan ia menoleh sekeliling cafe yang memang ramai dengan perbincangan pengunjung. Lagu Day by day, Shakatak with Aljerraulagi-lagi mengalun pelan tanpa ada yang peduli, semua pengunjung masih berbincang-bincang. Pelayan cafe hilir mudik membawa talam berisi pesanan. Senyum ramahnya terus tersungging mengharap tulusnya ucapan terima kasih dari para pengunjung.

Damar menemui jalan buntu. Kegelisahan hatinyanya bukanlah satu hal yang seharusnya ia pikir saat ini. Ia kemudian bangkit dari sandaran sofa, dan kemudian menyeka wajah menggunakan telapak tangannya yang lebar dan kuat, Damar menarik nafas panjang. Kesemua jari kini ditautkan dan dibalik seketika, tangannya dijulurkan ke depan hingga berbunyi gemeletak. Ah –ia merasa lebih rileks, dan pikirannya kini sedikit terlipur.

Kesepuluh jari Damar akhirnya berlabuh di atas keyboard. Pikirannya mulai konsen, seakan muncul kekuatan magis yang perlahan menuntunnya memasuki alam absurd. Alam maya akhirnya membius lelaki coklat itu hingga kesadarannya tinggal sisa-sisa. Lamat-lamat suara manusia dan musik cafe semakin mengecil, Damar masuk semakin jauh ke dalam dunia yang ia ciptakan sendiri, ia terus terbius, melanglangkan pikiran sekaligus berbincang dengan kode-kode yang diterjemahkannya menggunakan otak dan tarian jemarinya.

Website yang dikelola Damar semakin banyak terakses. Kelihaian menyusun kode-kode bahasa pemrograman membuat website bertengger di titik tertinggi ketika user mengetikkan topik Bentos di mesin pencari. Tiga hari diluncurkan, website telah dikunjungi ratusan orang. Kebanyakan dari pengunjung web adalah para aktivis kampus dan aktivis lingkungan yang ingin mengetahui perkembangan kontroversi rencana pembangunan Bentos.

Ia membuat Website sebagai wadah pikiran yang keras, liar, dan tanpa sensor. Pikiran, ide, dan ulasan mahasiswa yang liar, bernas, dan berani, bertengger menyajikan uraian kalimat yang lugas, tegas, dan terpercaya. Fakta-fakta dikumpulkan dan diolah menjadi bahan perenungan, membentuk opini pembaca agar memahami permasalahan seputar kontroversi. Bahkan Damar juga mendesain agar para pengakses web dapat mendownload materi-materi yang dijadikan referensi, termasuk opini-opini yang kesemuanya telah dimuat. Keberhasian website telah sesuai dengan yang diharapkan, yaitu sebagai counter wacana, corong pengeras suara, sekaligus media yang diformat tanpa sensor dan cenderung menjadi alat perang opini.

“Ta, sebenarnya website itu tujuannya dipake untuk apa ?”, Damar pernah bertanya kepada Zweta sebelum memulai konsep pembuatan Website.  

“Mar, entry point pembuatan website adalah sebagai corong suara yang paling keras dan tanpa sensor. Kita kan tahu, Mar. Beberapa media sudah berat sebelah dan tak obyektif. Mereka tak pernah berani mengulas secara gamblang permasalahan inti pembangunan Bentos. Malah edisi minggu kemarin, beberapa koran sudah mengiklankan Bentos sebagai bangunan perbelanjaan di pusat kotayang strategis, paling gede, lengkap, dan bernilai investasi.   Stan-stan toko sudah dijual padahal Bentos belum terbangun. Media gadungan memang begitu, Mar. Mereka mencari sumber duit tanpa memperhitungkan kepentingan publik yang terlucuti. Mereka membentuk opini dan merangkai motif tertentu, pemberitaan mereka berat sebelah. Media-media itu memilih berdiri di pihak pemodal, bukan di pihak kita. Begitulah kelakuan media melarat moral !! seharusnya mereka membela kepentingan publik, bukan penguasa sinting dan pemodal kapitalis !!”

Ia ingat Zweta menjawab dengan mimik serius, kata-kata kawannya itu terasa keras berdengung. Berputar-putar seperti tawon kumbang yang menyengat kesadaran tiap lawan bicara.

“Benar-benar perempuan sekeras cadas,” begitulah Damar menggambar sosok kawannya itu. 

Damar terus berkutat dengan kode-kode pemrograman, ia mengisi dan memasang opini baru yang ditulis para aktivis kampus dan aktivis lingkungan. Sementara keanggunan lagu I dont need no doctor, tak sanggup mengusiknya. Ia terus tenggelam walau keeksotisan suara John Scofield sekuat tenaga berusaha menggugah kesadaran dirinya. Dan, Damar tersenyum simpul saat membaca beberapa komentar pengakses website di forum diskusi.  

Seperti yang sudah disebutkan dalam berbagai pemikiran, (yang tidak dicantumkan sama sekali oleh koran pecundang semacam Posindo), permasalahan yang utama di BENTOS hanya ada 1, Jalan Pahlawan adalah kawasan pendidikan !!! (Joko Gendheng).

Bukan menghalangi orang belanja, aku sendiri maniak Shopping. Bukan menghalangi orang dapat kerjaan, aku sendiri kalo ada tawaran kerja di Mall juga mau. 
Tapi LOKASINYA !!! Guoblok Tenan !! (Miss Maniac Shopping)


Bangun BENTOS di tempat lain! sakkarepmu! tapi jangan di lokasi pendidikan, biarlah lokasi pendidikan tetap tenang, tanpa kemacetan, tanpa preman, tanpa banjir, tanpa lalu-lintas yang semrawut. (Hantu Kota)

Kita semua mau bertindak? weks jangan mimpi! Gimana mau bertindak kalau Godfather dan preman2nya siap mengacak-acak kota, mau bertindak gimana kalau Godfather dan preman2nya siap melancarkan terornya dengan menghalalkan berbagai cara, atau jangan2 gara2 tulisan ini Godfather siap2 mengejar saya, hahaha. (Alejandro del Piero)

BENTOS !!! LAWAN !!! Hidup Mahasiswa !!! Hidup Rakyat !!! (Andreko -teknik lingkungan Keprabuan)

Ide pembangunan Bentos di Jalan Pahlawan adalah “Jancok Ekponensial Pangkat Tujuhbelas”,  “Goblok berlapis-lapis”, dan kesintingan paling jenius dari potret penguasa berotak dengkul !! (Nogihando –si ganteng berpantat belang idola kaum hawa/ Keprabuan 2K)

Penguasa Kota Cap Tai Kebo !!! akal bangsat !!! muka kriminil !!! nggak bisa dipercaya !!! (Buaye Gile)

BENTOS CERMIN PEMBANGUNAN BERHASIL !!! (Kompar –Smooth Cafe Lesehan).

Kompar goblok otak makelar !! (Musashi Girl !)

Komentar-komentar dari pengakses website membuatnya terhibur. Isi yang berisi keprihatinan, penghujatan, bahkan komentar kontraproduktif bertengger tanpa sensor. Dalam seminggu ini telah lebih dari seribu tujuh ratus pengakses memberikan komentar. Beberapa dari mereka malah tertarik melakukan debat kusir daripada menanggapi opini. Damar telah berhasil melaksanakan tugasnya. Dua puluh artikel opini anti pembangunan Bentos sudah bertengger dan memberikan counter wacana. Opini-opini website seakan gagah menantang  koran-media yang telah terbeli pihak Bentos. Damar tersenyum bangga, ia merasa puas.

Paman Gembul          :  gimana fren, lancar ?
Mercusuar                  :  lumayan Man, gua lagi ada kesibukan baru
Paman Gembul          :  kesibukan? Tumben.  ada yang bisa gua bantu ?
Mercusuar                  :  penguasa di tempat gua lagi kumat tengilnya.
Paman Gembul          :  napa nggak lu bakar aja rumahnya . .
Mercusuar                  :  wakakaka. Kasihan, Man
Paman Gembul          :  shock theraphy aja kalo gitu. Biar mereka rada mikir. Bakar aja berandanya.
Mercusuar                  :  bakar beranda ? omong-omong lu mau bantu ?  :)
Paman Gembul          :  as you wish, Bro. Cracker Brotherhood Forever  
Mercusuar                  :  wow ! thanks-thanks .. gitu aja pake sebutin semboyan segala !
Paman Gembul          : hehehe .. Btw, lu ada rumah lain yang bisa dibobol ?  
Mercusuar                  : kalo lu mau, coba aja bobol rumah duit negara. Ntar mereka lu kasih tau kelemahan gemboknya. Menantang tuh ! tapi duitnya jangan dirampok ! lu bisa kualat tiga belas ! ngrampok duit negeri sendiri ...
Paman Gembul          :  wah-wah. gila juga otak lu. Tp makan apa gua kalo kagak ngrampok !!!
Mercusuar                  : yaaahh ...  jangan ngrampok negeri sendiri lah ! kena kutukan ntar kepalamu muter di bawah persis jambu monyet !!
Paman Gembul          :  wakakaka :) betul itu !  haram hukumnya !!!
Mercusuar                  :  Man ! coba lu  bakar ni alamat rumah ! kerahin kawan-kawan.
Paman Gembul          :  Siap Juragan  !!!

Jari-jari Damar kemudian menari dengan cepat. Ia mengetik kode demi kode yang segera ia kirim melalui messenger. Wajahnya sesekali tersenyum. Kontak batin dengan sosok Paman Gembul membuat imajinasinya seolah berhadapan dengan bayang maya pikirannya. Dan Damar memang tak pernah tahu, siapa dan bagaimana bentuk raut wajah kawan cyber-nya itu.

target_operasi.txt
 1 file sent to Paman Gembul


Mercusuar                  : Man, sekalian disitu ada kunci gembok rekening para koruptor. Silakan aja lu colong asal jangan banyak-banyak. And dengan syarat ..  jangan lupa bunyi pasal 32 “fakir miskin dan anak terlantar di pelihara oleh Cracker”.
Paman Gembul          :  wakakaka ! kagak bisa gitu. Anak miskin dan anak terlantar bukan gua yang pelihara ! tapi negara ! but dont worry, gua tetep anak ideologis robinhood.
Mercusuar                  :  okeh okeh !! gua percaya Man ! btw sebenarnya lu anak mana sih ? gua jadi penasaran ;)
Paman Gembul          :  halah !!! nggak usah lu pake tahu !! yang jelas gua anak seribu pulau ! wakakakakaka.


“ah, Paman Gembul, gua penasaran juga sama lu,” Damar tersenyum sendiri. Ia masih terperangkap menikmati candu kode-kode bahasa pemrograman. Ia membuka lagi website yang kini menjadi rujukan fakta masalah, dan ia merasa puas.  Damar merasa menjadi manusia yang berguna, terlebih ketika eksistensi website telah menjadi garda opini sesuai dengan harapan banyak orang.

Sementara musik jazz telah lama berhenti. Sementara sore hampir mengundang malam. Damar masih duduk dan menautkan kode-kode pemograman di atas keyboard laptopnya.


***


Di sudut ruangan Emma tercenung. Pandang matanya tak fokus, ia nampak ketakutan seperti dikejar-kejar nasib buruk. Ia sesekali menggigil, nafasnya pun terburu tak teratur. Dicarinya bubuk putih penolong, Ia pelan beranjak dengan langkah kaki sedikit terhuyung. Dan Emma memang ingin segera lepas dari beban yang sekian lama menghimpitnya. 

Posting Komentar

 
Top