0

Lima bulan sudah semester awal terlewati. Mengacu kepada kalender akademik universitas, dua minggu lagi merupakan ujian akhir semester. Mereka yang sebelumnya menganut aliran santai, kini kelabakan menyalin catatan dari kawan yang rajin kuliah. Dado dan penghuni gazebo memilih cuti sejenak. Gugus tugas mengintai perempuan memasuki kalender reses. Akibatnya, beberapa mahasiswi fakultas ekonomi yang sering melintas menjadi heran, gerangan ajaran moral model apakah yang telah berhasil mengubah perilaku mereka. 

Adi, Astidan Rania semakin intens di perpustakaan. Tugas-tugas yang mereka kerjakan  nyaris menjadi acuan bagi kawan-kawan lain. Kesibukan kampus mencapai titik klimaks ketika minggu deadline tugas harus dipenuhi, dan itu akan terjadi dua minggu lagi. Deadline tugas menjadi semacam batas demarkasi yang harus dilewati dengan selamat, untuk itu mahasiswa rela begadang mengejar penyelesaian tugas siang dan malam.

Bagi mahasiswa baru, tugas matakuliah Statika dan Mekanika Bahan terasa sangat menyita pikiran. Tugas ini menyaratkan mahasiswa mengerjakan soal struktur yang menjadi dasar para insinyur menghitung kekuatan gedung dan perilaku material, oleh karena itulah tugas ini harus teliti dan meminta pemahaman matematika-fisika yang baik. Namun tugas Geologi Teknik terasa lain, tugas ini memberikan pemahaman calon insinyur tentang teori pembentukan batuan, patahan bumi, teori gempa, dan sejarah pembentukan lapisan bumi. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih, mereka seringkali pergi ke lapangan mencari contoh batuan.

Tak cuma musim ujian yang tiba sebentar lagi, namun begitu pula dengan musim penghujan. Awan telah seminggu menggelayut namun urung menurunkan hujan. Walau hujan telah lama tak datang, rerumputan taman masih segar menghijau. Bebungaan Alamanda dan Bougenville merekah tak mengenal musim. Namun, pelepah Palm hias sesekali jatuh.  Beberapa pelepah tua yang menguning tak mampu lagi menopang dirinya.


“Audrey”,  teriakan itu terdengar dari gedung yang baru saja ia tinggalkan. Perempuan berambut mayang itu menoleh ke belakang. Zweta dan Rania berjalan ke arahnya.

“ya ?”, Audrey menjawab singkat. Didekapnya diktat Statika dengan kedua tangannya.

“dicariin ! nylonong aja”, Zweta berkomentar.
“kebetulan, aku ada perlu dengan kalian, please. Adawaktu nggak ?”, Audrey berkata dengan wajah memelas.

“ada apa sih ?”, Zweta keheranan
“eh, itu tugas kamu sudah kelar belum ?”, Rania memotong. “bentar lagi deadline”, ia melanjutkan. 
“nyaris”, Audrey menjawabnya cepat

Dari jauh nampak Astidan Adi melambaikan tangan. Rupanya mereka pamit balik ke kost an masing-masing.

“ke perpustakaan yuk“,Audrey memohon. Matanya nampak mengharap kesediaan Zweta dan Rania.

“tumben”, Zweta memandang Rania dengan heran. Tak biasanya Audrey mengajak mereka ke Perpustakaan. Mendengar itu Rania hanya tersenyum simpul. Melihat gelagat keheranan kawannya, Audrey menarik nafas dalam-dalam.

“ada yang ingin aku omongkan. Penting !”,  Audrey memberikan alasannya singkat, namun Zweta dan Rania semakin merasa penasaran.

Ketiga perempuan itu berjalan menuju perpustakaan pusat di samping gedung rektorat. Sementara mahasiswa semakin sepi di kampus. Mereka sudah tak ada jam kuliah. Audrey menyimpan masalah yang lumayan besar dan harus diselesaikan. Ia merasa membutuhkan pertimbangan dari kawan dekatnya agar mendapat jalan keluar yang terbaik.

***
Di satu sudut pedestrian, lelaki tinggi ceking berjalan gontai. Siang ini setelah pelajaran Statika, Kompar melangkah pulang ke kost an. Ia berjalan menyusuri pedestrian ke arah Kutobarat di sebelah barat kampus. Dalam perjalanannya ia merasa heran, tak dilihatnya Damar datang kuliah hari ini. “mungkinkah dia sakit”, ia bertanya dalam hati.

Langkah kaki Kompar seketika berubah arah. Ia membelokkan kaki menuju tempat kost Damar yang terletak di sebelah utara kampus Keprabuan. Terik matahari yang bersinar tak menyurutkan langkahnya. Ia semakin jauh melangkah meninggalkan areal kampus.

Tanggung jawab yang diemban Kompar memaksa dirinya harus mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh kawan-kawan seangkatan, termasuk Damar. Lelaki coklat itu menyisakan masalah bagi Kompar karena telah beberapa kali absen kuliah. Kalau saja bukan lantaran tanggung jawab moral, ia takkan susah-susah melangkahkan kaki mencari tahu permasalahan kawan-kawannya.

Untuk melaksanakan tanggung jawab moral sebagai Ketua Angkatan, Kompar biasanya mengecek absensi mahasiswa. Ia bisa dengan segera mengetahui mahasiswa mana yang tersandung masalah lewat daftar kehadirannya di kampus. Tercatat Damar telah 3 kali absen, dan ini berarti Damar terancam tak bisa mengikuti ujian lantaran prosentase presensi tak memenuhi.

Kompar merupakan jenis lelaki tegas yang cukup banyak bicara. Namun terkadang jalan pikirannya dirasa kurang tepat oleh banyak kawannya. Oleh karena itu, beberapa bulan lalu Zweta sempat menegur Kompar yang tak jeli melihat keadaan. Adabeberapa kawan yang kesulitan mengerjakan tugas namun semuanya seolah diam. Seharusnya mereka yang kesulitan bisa dibantu oleh kawan-kawan yang lain, begitulah pikiran Zweta. Dan Zweta meminta Kompar untuk melakukan koordinasi diantara kawan kawan. Adi, Astidan banyak kawan yang tugasnya telah rampung, juga telah bersedia untuk membantu penyelesaian tugas-tugas kuliah kawan-kawan yang belum rampung. 

Kepemimpinan Kompar memang cukup lumayan sebagai ketua angkatan. Namun, ada kalanya Ia bersedia bertindak ketika ada tendensi keuntungan di depan matanya. Ketika berdiskusi, Kompar seringkali berhadapan dengan Zweta. Ketidaksetujuan Zweta acapkali disebabkan Kompar yang lamban merespon permasalahan di Angkatan.

“tugas kamu mengayomi kita Par ! bukannya tak mau tahu”, Zweta suatu ketika pernah berbicara kepada Kompar lantaran ia tak menanggapi permasalahan di angkatan.
“banyak kawan  kita yang kesulitan mengerjakan tugas. Jangan diam saja. Aku sudah koordinasi dengan kawan-kawan yang lain. Asti, Adi, dan yang lain juga sudah siap bantu”
“terus aku harus berbuat apa ?”, Kompar sedikit kebingungan.
“coba kita data, ntar kita bantu bareng-bareng”
“kuliah itu sudah tanggung jawab pribadi,Ta“, Kompar Protes.
“ya. tapi kita ini masuk bersama-sama disini. Ingat ! kita ini punya kultur ! kebersamaan, Par !”, Zweta protes
“kultur lagi-kultur lagi !”,Kompar gerah dengan kata-kata itu
“oke deh kalau kamu muak dengan kata-kata kultur. Tapi kita semua ini kawan, Par ! bukan orang lain. Setidaknya kita diwajibkan menolong kawan”

Kompar menganggung-angguk. Dirasanya ada ketepatan dalam ucapan Zweta. Sejak saat itulah Kompar mengoordinasi permasalahan yang terjadi di angkatan dengan sepenuh hati.

***
Kompar kini melangkah memasuki Gang sempit. Ia ingat betul lokasi rumah kost Damar. Rumah itu terletak di bantaran kali yang curam dan berbahaya. Rumah kost itu dibuat bertingkat tiga, dan Damar menghuni kamar lantai II.

“Par !”, suara berat sedikit serak meneriakkan nama panggilannya.
Kompar seketika terkejut. Ia menoleh kiri-kanan kebingungan.
“lu celingukan gitu Par ! atas Par ! atas !”,  ternyata kepala Damar nongol dari sela-jendela kamarnya.
“dicari-cari kemana aja, Bos !” Kompar mendongak ke atas dan menyahuti panggilan Damar. Kompar nampak gembira karena usahanya menemukan Damar ternyata tak sia-sia.
“lurus, Par !, masuk aja”, Damar kembali lagi berteriak. Ia merasa senang dengan kehadiran kawan seangkatannya itu.


Kompar langsung melangkahkan kaki menuju kamar Damar di lantai II. Dilihatnya Damar bertelanjang dada sedang asik mengutak-atik laptop.  Melihat Kompar tiba di pintu kamar, Damar segera memakai baju seadanya dan mempersilahkan Kompar duduk di karpet bawah.

“tumben. Adaapa, Par ?”,  Damar berkata tenang. Ia betulkan kacamatanya. Kompar menghela nafas sejenak.
“kamu kemana aja, Mar ?, tugasmu sudah selesai apa belum ?”,Kompar langsung saja menanyakan inti permasalahan. Mendengar itu Damar tersenyum kecut tak menjawab.
“lagian Mar, kamu sudah absen 3 kali. Kamu terancam gak bisa ujian kalau sekali lagi absen”, lanjut Kompar sambil mengharap kesadaran Damar.
thanks Par, gua usahain gak bolos lagi lah”, Damar berkata sungkan.
“tugas kamu gimana ?”
“kalo yang itu gua bingung, Par. kalo digugurin aja gimana, Par?”, Damar seakan menyerah
“jangan lah. Masalahnya kenapa ?”
“kayaknya udah terlambat kalo gua jalanin sekarang. Mendingan gua ngulang tahun depan“
“jangan Mar, itu keputusan nggak tepat. Mendingan kamu kerjakan saja sekarang. Nanti aku minta bantuan Adi untuk membimbing kamu. Kita sudah sepakat masalah itu”
“beneran ?”
“ya. aku jaminannya”
“wah makasih banget, Par. Gua ambilin minum ya ! lu pasti haus !”
“gak usah, Mar !”
“halaaaahh !”
Emosi antar mahasiswa terbangun lewat jalan persaudaraan, begitulah nilai yang ditanamkan dan dipegang bersama di kampus mereka. Damar dan Kompar terasa bagai kawan dekat yang saling membutuhkan. Keterlibatan dan hubungan simbiosis  mutualisme terjalin secara baik. Maka tak heran jika mereka merasa memiliki ikatan batin yang sangat kuat.

Kompar merasa heran dengan kegiatan yang dilakukan Damar. Setiap kali bertemu di kampus, Kompar selalu melihat Damar membaca buku-buku yang tak lazim dimiliki mahasiswa teknik sipil. Damar malah terkadang asik membaca file-file dan kode-kode yang ia dapat dari internet lewat laptopnya. Damar bukannya lelaki penyendiri walau ia terkesan cool. Namun ketika Damar sudah tenggelam dan berkomunikasi dengan laptop, kehidupan di sekitar Damar terasa menguap dan hilang. Kompar terkadang penasaran dengan apa yang dilakukan Damar, termasuk juga kali ini.

“kamu sedang kerjakan apa, Mar. Serius sekali“, Kompar tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
“bukan apa-apa, gua lagi ada bisnis kecil-kecilan sama paman gua, lewat internet”, Damar menjawabnya ringan.
“Ooo”,  Kompar hanya mengangguk dan tak ingin tahu lebih banyak. Dirasanya rasa penasaran itu sudah terjawab. Dan kini ia terheran saat melihat deretan buku berjudul aneh terpajang di kamar Damar. Opensource Book, Master of Deception, dan banyak buku lain yang terlihat janggalnya.
“buku apaan, Mar ?”, Kompar mengambil buku berjudul The New Hacker’s Dictionary.
“oh itu .. buku pegangan tukang bandrek”, Damar tersenyum nakal
“sialan ..” , Kompar merasa dipecundangi.

***

“aku bingung dengan masalah ini, Ta”, Audrey berkata dengan menampakkan wajah kusut. Diselipkan seuntai rambut mayang di sela telinganya.
“jelas aja kamu bingung, kalau begini kan kamu sendiri kena getahnya”, Rania berkata lembut. Ia seakan tak percaya dengan penjelasan Audrey.
“oke-oke, aku memang salah. Khilaf, Ran”, Audrey pasrah
“nggak ada yang gratis di dunia, Drey. Kamu harus tahu itu”, Zweta mengemukakan pendapatnya. Audrey semakin merasa bersalah. Pandangan matanya menyiratkan penyesalan. Ia kini terpojok.
“sekarang cari solusinya, Ta”, Rania meminta Zweta agar mencari jalan keluar permasalahan Audrey.
“kamu mau pacaran sama dia ?”, Zweta bertanya sambil tersenyum menggoda. Rania memandang Zweta dan ia tahan rasa gelinya dalam hati. Audrey makin terpojok
“heh. Jawab ! sapa tuh . .  si Gondhez kamu bilang ! Gondrong Ndeso !”, Zweta mendesak
Rania mulai tersenyum lebar. Senyuman melati itu menyungging di bibirnya. Dilihatnya Audrey kebingungan memutuskan, namun karena digoda, sesekali ia juga terkikik pelan.
“kamu sih pake menggadaikan cinta demi tugas !”,  Rania ikutan menggoda. Audrey terbelalak mendengar kalimat Rania.

“oke deh, sekarang dengerin penjelasanku“, Audrey meminta atensi.
“pokoknya cari solusi gimana caranya supaya aku terbebas dari masalah ini. Titik. Aku nggak mau dicap oportunis. Ntar malah timbul gosip kalo aku tukang manfaatkan lelaki“, Audrey makin sewot.
“terima aja pinangan cinta Baldo ! beres kan ?”, Zweta tertawa, Rania tertawa juga.
“husy ! bukan itu ! nonsense dengan cinta-cintaan”, Audrey sewot. “pokoknya tanpa melewati prosedur itu”, Audrey menandaskan. Ia benar-benar habis-habisan digoda kawan-kawannya.

“tenang aja fren, kita cari jalan keluar”, Zweta akhirnya berhenti menggoda Audrey.

Zweta dan Rania benar-benar tak percaya dengan kelakuan Audrey. Sebelumnya mereka heran, bagaimana bisa Audrey merasa tenang padahal deadline tugas nyaris di depan mata. Ternyata di balik kebebasan nongkrongnya, ada lelaki laiknya musang berbulu ayam yang mengendus kesempatan di balik kesempitan. Mahasiswa itu datang bagai ksatria bertopeng penolong perempuan lemah. Ia baik hati bersedia mengerjakan seluruh tugas-tugas Audrey dan mengajarinya. Didekatinya Audrey dengan cara yang teramat halus. Senior yang dulu garang ternyata berubah menjadi kucing persiadi depan Audrey. Berlagak manis, bersikap sopan, bahkan gaya bicara juga ada standar-operasional-prosedurnya. Audrey merasa senang ketika ia disodori tiga buah tugas yang telah selesai.  Tugas itu terjilid dengan rapi dan terbukti keakuratannya. Namun,

“Ardinia Audrey Alisyahbani, aku mencintaimu, bukankah kamu juga demikian ?“, begitulah kata-kata yang membuatnya merasa kecolongan. Kata-kata kepedean diucapkan Baldo ketika ia mengundang Audrey makan malam di sebuah resto cepat saji.

Saat itu Audrey celingukan tak menemukan kata. Lidahnya kelu, bibirnya terkunci. Akhirnya ia beralasan perutnya sakit hingga tak dapat berpikir. Audrey pun akhirnya benar-benar sakit perut memikirkan solusinya. Ia meminta tenggat waktu untuk berpikir jernih dan menimbang keputusan. Baldo tak bisa berbuat apa-apa dan mengiyakan permintaan Audrey. Dan kini, Audrey bingung mencari alasan paling tepat menolak pinangan cinta Baldo. 

Suasana perpustakaan masih lumayan ramai. Minggu-minggu akhir semester membuat perpustakaan menjadi tempat pelarian yang paling tepat. Para pustakawan terllihat sangat sibuk melayani mahasiswa yang meminjam maupun yang mengembalikan buku.

“tolak saja dengan tegas !”, Zweta akhirnya memberikan argumennya. Rania terlihat no-comment.
“yee, ntar malah dicap nggak tahu terima kasih. Oportunis. Yang sedikit halus dong !”, Audrey protes.  

Mereka bertiga masih berpikir keras mencari jalan keluar. Audrey semakin bingung lantaran ia berjanji dua hari lagi memberi jawaban pinangan cinta Baldo.

‘Tang ting tung – tang ting tung –tang ting tung’ , suara polyphonic ponsel nyaring terdengar

“HP kamu, Ran ?”, Audrey konsentrasinya pecah lantaran bunyi ringtone ponsel
“ya. alarm SMS“,  Rania menjawab singkat. Siang ini wajahnya memperlihatkan lelah. Sesekali ia sibak rambut lurusnya menyamping.


Rania, aku ada masalah pelik. Bs aku bertemu dgn km sekarang ?.Jamie
1 message inbox

Rania mengernyitkan dahi. Ia bingung dengan maksud pesan yang baru masuk ke ponselnya.  Ia perlihatkan pesan itu kepada Zweta dan Audrey, namun mereka berdua juga bingung. Jamie adalah kawan satu angkatan mereka. Walau sering ketemu, Jamie terkesan eksklusif dan jarang bergaul.

“kenapa pesan itu ditujukan ke Rania “, Zweta bertanya dalam hati

Rania tak butuh waktu lama mencernanya. Mendapat pesan kalau Jamie butuh bantuan, ia membalasnya seketika.

Masalah apa Jam?  aku lg di perpustakaan. sama Zweta n Audrey
1 message sent

“Jamie kenapa, Ran ?”,  Zweta bertanya.
“aku aja bingung, apalagi kamu”, Rania menjawab santai.
“tumben nyariin kamu”, Audrey turut berkomentar

kalau bs km aja. Aku sekarang ada di lantai II sblh kanan.
1 message inbox

“dia ada disini juga rupanya”, Rania berkata sambil menunjukkan isi pesan yang baru didapat.
“samperin aja, Ran. Sapa tahu dia memang ada masalah”, Audrey menimpali
“makanya Ran, kalo punya hutang cepet dibayar .. ditagih terus tuh”,  
“tul ”, Audrey mengiyakan kelakar Zweta
“yee, sembarangan !”, Rania mengelak. Ia kini bangkit dan berjalan menyusuri koridor perpustakaan. Ditujunya ruang perpustakaan lantai II yang berisi buku ilmu politik dan ilmu sosial. Rania sempat berpikir mengapa Jamie memintanya datang sendirian.

Setiba di   Lantai II, Ia memencet nomor ponsel Jamie. Sambil berjalan, ia mencoba menghubungi Jamie, namun ponsel yang ditujunya bernada sibuk. Di lantai II banyak mahasiswa yang serius membaca dan mencari data. Mereka terlihat tenang dan menumpuk literatur di meja masing-masing, sementara kipas angin yang melekat di plafon terus berputar.

Rania terus melangkah mencari-cari sosok Jamie, namun tak juga dilihatnya lelaki tambun itu. Langkah Rania kini menuju ke deretan kursi di samping rak buku. Di sanamemang diletakkan beberapa deretan bangku dan kursi yang ditata berpasangan dan berhadapan. Beberapa meja dan kursi di dekat jendela masih terlihat kosong.

“ah, itu dia”
senyum melati Rania seketika terkembang. Jamie yang sejak tadi ia cari ternyata duduk di bangku paling belakang. Jamie yang kelihatan gelisah kemudian melambaikan tangan sambil tersenyum.

“Maaf Ran, jadi merepoti kamu“, Jamie membuka percakapan ketika Rania tiba di depannya.
“ah gapapa,” Rania mnimpali ramah. Ia kemudian duduk di kursi tepat berhadapan dengan bangku Jamie. Senyum manisnya terkembang. 
“sudah lama disini ? ”  Rania bertanya basa basi
“lumayan. aku sebenarnya tahu kalau kamu, Zweta, dan Audrey ada di perpustakaan. Jadi aku kemari juga,” Jamie berkata sambil nyengir.

“membuntuti nih ceritanya ..” Rania menggoda Jamie
“bisa aja kamu,”  wajah Jamie merona.

“ada masalah apa, Jam ? ada yang bisa kubantu ?” Rania bertanya ramah sambil menyelipkan rambut di sela telinga.
“aku ada masalah, Ran. Dan ini menyangkut seseorang yang kamu kenal dengan baik.” wajah Jamie terlihat tegang.  
“mmm gitu, Trus apa yang bisa kubantu ?” Rania mulai fokus. Ia menatap wajah Jamie seakan menunggu.  Lelaki itu tiba-tiba nampak grogi, tenggorokannya tercekat.

“Ran, kamu pasti kenal Audrey dengan baik,” Jamie kemudian bertanya sambil menggaruk kepala.
“tentu”
“ada sesuatu yang aku sendiri nggak berani bilang sebenarnya“, Suara Jamie memperlihatkan keraguan hati.
“memangnya masalah apa, Jam ?”, Rania sedikit heran. Dirasanya ada urusan yang melibatkan perasaan.
“ah enggak Ran, ini masalah hati”
“masalah hati ? kamu naksir Audrey ?” Rania tersenyum manis, sementara Jamie terdiam kikuk.
“ya sudah, Jam.Diomongin saja ke Audrey langsung”, lanjut Rania. Senyumnya terkembang.
“mmm... Gimana ya, “ Jamie mulai gelagapan.
“kok jadi bingung gitu,” Rania terkikik pelan
“heehh, nggak kok.” Jamie mengeles
“lah iya. Tuh mukanya merah”,
Kalimat Rania membuat Jamie semakin tersipu.

“jadi kesimpulannya gimana ?, masa aku yang menyampaikan ke Audrey .. cinta harus disampaikan sendiri, Jam.” Rania mencoba meneguhkan.
“iya Ran, makanya itu,” Jamie kebingungan menanggapi
i see. pantesan kamu nggak mau aku datang sama Audrey,“ Rania menandaskan. Ia ingin masalah Jamie secepatnya diakhiri dengan sebuah solusi.
“oke. Sekarang aku konfirmasi lagi pernyataan kamu. Beneran kamu lagi jatuh cinta ?” Rania bertanya lagi.
 “ya Ran”,
“oke ! kalau begitu kupanggilkan Audrey”, Rania segera bangkit dari kursi.
“eits tunggu, Ran !”, tiba-tiba saja Jamie berkata cepat.
“kenapa, Jam ?”, Rania terheran. Dirasanya ada sesuatu yang tak beres.
“bukan Ran, bukan Audrey”, Jamie berkata seakan mengiba. Mendengar kalimat Jamie daya logika Rania seketika berhenti. Ia makin tak mengerti.  

“trus jatuh cinta sama sapa, Jam ?”, spontan Rania terheran. Ia mengernyitkan dahi.
“kamu, Ran. aku cinta kamu !”
“hah ?!?! nggak salah ??!!”
***


Zweta kini menyerah. Semua solusi dan jalan keluar yang ditawarkannya ditolak mentah-mentah Audrey. Dan kini mereka berdua tak lagi berpikir keras mengenai solusi pinangan Baldo.

Sementara di koridor perpustakaan, seorang pustakawan mengumpulkan buku-buku yang telah dibaca dan dibiarkan tergeletak di atas meja. Ia menjalankan tugasnya penuh dedikasi. Ketika dijumpainya mahasiswa duduk dan membaca buku, ia sesekali menyapa mereka dengan ramah. Pustakawan itu berumur lima puluhan, namun diwajahnya seolah tergambar nyala semangat mengarungi sisa-sisa pengabdiannya.
“Drey, kamu ke UKM tiap hari apa ?”
“Tae-kwon- do  maksud kamu ?”
“ya iyalah !”
“tiap hari rabo dan minggu. Kenapa ? mau gabung ?”
“nggak, nanya aja. Aku sebenernya ingin gabung di UKM Pecinta Alam”
“ya sudah kesana aja. Tinggal daftar, ngikutin diklat, beres”
“kalo di Tae –Kwon –Do kamu sudah level berapa Drey ?”
“level ? bukannya level tapi sabuk . .”
“iya deh sabuk, sewot amat “
“hijau.”
“kenapa kamu suka banget Beladiri, Drey ?”, Zweta merasa ingin tahu.
“aku ini dibesarkan di lingkungan cowok, Ta. Bayangkan, aku anak bungsu dari tujuh bersaudara. Ke 6 kakakku semuanya cowok dan penggila beladiri. Kakak pertama dan kedua ikutan Karate, Kakak ke tiga dan ke empat ikutan silat, kakak ke limadan enam ikutan Tae-Kwon-Do, nah kakak ke enam itu ikut-ikutan ndaftarin aku ke Tae-Kwon-Do”
“emang kamu kalau manggil mereka kayak gitu, Drey ? dari kakak ke satu sampai kakak ke enam ?”
“ya iyalah. Habis kebanyakan sodara sih. Lagian kan asik juga, seperti dalam film kungfu ! “, Audrey tertawa-tawa.

Audrey dengan semangat menceritakan keluarga besar Alisyahbani. Keluarga hasil perkawinan Ayahnya yang masih keturunan Arab dan ibunya yang asli Surabaya. Konon buyut moyang Audrey terkenal sebagai pedagang ulung, kini bakat berdagang itu diwariskan juga ke lelaki yang dipanggilnya Aby-ayahnya. Aby Audrey adalah pedagang sarung di salah satu pusat grosir Surabaya. Mata Audrey yang bulat dan hitam diwarisinya dari Aby. Sementara rambut mayangnya yang indah diwarisinya dari Ummy-nya.

“ngomong-ngomong soal seni beladiri, kamu harus baca novel Mushashi karya Eiji Yoshikawa, ceritanya bagus. Mengisahkan seorang pendekar yang mencari jati diri lewat jalan pedang”, Audrey seakan-akan bergitu terinspirasi dengan novel itu. Ia terlihat bersemangat saat menceritakannya.
“ah itu sih gara-gara kamu seneng beladiri saja”
“eit jangan nge-judge dulu dong, baca dulu  !”
“ beneran bagus ?”
 “ya. kata banyak orang sih gitu. Dan aku juga sudah membuktikan. Sehabis baca itu, seolah-olah aku pengen jadi Mushashi perempuan yang tak kenal menyerah”, Audrey mencoba memaparkan kesannya
“kayaknya masuk daftar wajib baca tuh buku”
“ya. ntar kamu baca dan kita bisa berdiskusi tentang karakter dalam cerita itu”,

“eh Drey, aku dari dulu lupa pengen nanya ke kamu. Mumpung sekarang lagi inget. Nggak tahu kenapa dari dulu selalu lupa pas mau nanya”
“kenapa, Ta ?”
“inget pas kita pertama kali ketemu di Auditorium Teknik ?”
“ya. trus?”
“aku lihat baju kamu berantakan dan ada garis merah di leher kamu. Yang itu tuh, ada satpam ngikutin kamu. Emang kamu habis berantem, Drey?”
“O yang itu, ya aku inget. Itu gara-gara aku mematikan rokok di mulut seseorang. Karena itulah leherku kena cakar”
“cuma gara-gara itu kamu kena cakar ?”,  Zweta berujar tak percaya
”lah iya, soalnya rokok yang masih menempel di bibirnya kuinjek pake kaki”, Audrey berkata sambil tertawa-tawa
“hah ?!”

Audrey dengan detail menceritakan kejadian waktu pertama kali menginjakkan kaki di kampus. Dan baru pertama kali itulah ia merasa sangat beruntung mempelajari beladiri, karena sebelumnya ia tak pernah berkelahi betulan dengan orang lain. Ia ingat betul bagaimana cakaran lelaki ceking mengarah ke wajahnya. Saat tangan lelaki ceking nyaris menyentuh wajah, dengan lincah Audrey berhasil menghindar. Namun tak ayal cakaran itu mendarat di lehernya dan mengoyak baju panjang yang ia pakai. Emosi Audrey tetap tenang walau lehernya tergores, ia merasa seperti sedang melakukan latihan rutin bersama kakak keenam. Dan setelahnya, beberapa kali pukulan Audrey bersarang di hidung lelaki ceking hingga berdarah-darah. Ketiga lelaki itu akhirnya digelandang satpam setelah perkelahian mereka dilerai beberapa mahasiswa yang melihat perkelahian tak seimbang.

Audrey memang penuh perhitungan ketika melakukan tindakan. Walau ada kemungkinan kalah dan tak siap, ia tahu betul kalau banyak pihak pasti membantunya. Walau dua kawan lelaki ceking itu tak mengusiknya, ia merasa beruntung mampu mempecundangi lawan yang cukup tangguh bagi seorang cewek sepertinya. Dan ketika di ruang keluarga ia bercerita kepada semua kakaknya mengenai perkelahian itu,  semua yang hadir tertawa terbahak-bahak dan mengacungkan jempol masing-masing. Dan karena menertawakan perkelahian Audrey itulah, semua kakak termasuk dirinya dimarahi habis-habisan oleh Umy-ibu mereka yang telah menginjak usia senja.

“pantang pagi seorang Musashi untuk mundur, Ta !”, Audrey menutup ceritanya dengan kalimat khas yang hanya dimiliki dan keluar dari bibirnya.

***
Sementara hari semakin sore, Rania masih tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Ketika ia datang ke tempat semula, Zweta dan Audrey masih asik berbincang. Senyum tak percaya masih menyungging di bibir Rania saat mengingat kejadian barusan. Bagaimana bisa Jamieddin alias Jamie yang tak ada hujan tak ada angin langsung bilang cinta.
“ah ada-ada saja”, Rania tak percaya dengan kalimat yang  baru saja diucapkan Jamie.

“kamu bilang ini mengangkut orang yang paling kukenal Jamie”, Rania protes ketika tak disangkanya Jamie mengarahkan tembakan asmara ke dirinya. Saat itu ia tak percaya dan terbelalak kaget. Ia menggelengkan kepala sesekali sehingga membuat Jamie merasa tak enak dan kikuk.
“tapi bener kan, Ran, orang yang paling kamu kenal adalah diri kamu sendiri”, begitu alasan Jamie, sebuah alasan yang masuk di akal.

Ketika melihat Rania senyumnya terus terkembang, Zweta dan Audrey merasa penasaran. Tak seperti biasa Rania memperlihatkan gelagat seperti itu.
“kenapa, Ran ?”, Zweta bertanya heran.
“iya nih anak ! aneh banget “, Audrey menimpali.

Rania akhirnya bercerita bagaimana Jamieddin alias Jamie menyatakan cinta kepada dirinya. Bahkan detail kata serta ekspresi wajah Jamie tak luput ia sampaikan. Audrey dan Zweta hanya tertawa tak berkesudahan.

“trus  kamu jawab apa, Ran ?”
“rahasia !”
“ceritain lah !”, Audrey mengiba

Akhirnya Rania menceritakan apa yang ia sampaikan kepada Jamie tentang pinangan cintanya.

Ia menceritakan bagaimana Jamie gelagapan dan tak bisa menjawab pertanyaan yang ia ajukan.

“ia awalnya bisa menjawab dengan lancar ketika kutanya alasan pinangan cintanya ke aku. Seperti biasalah jawaban standar lelaki, aku suka senyummu lah, merasa terbayang lah, ada perasaan aneh lah, kamu perempuan terbaiklah. Ya, gimana ya . . itu sudah pernyataan dari kesekian lelaki yang pernah kudengar “

Audrey dan Zweta masih mendengar dengan seksama,

“trus aku nanya ke dia, Emang kalo aku jadi pacar dia harus ngapain. dia bilang gini Drey, ‘ya standar gitu Ran. Emang kamu belum pernah pacaran’. Aku cuman ketawa aja”

“trus aku nanya lagi, apa ada yang harus kuubah seandainya aku jadi pacar dia, nah dia jawab ‘nggak usah, aku mencintai kamu apa adanya Ran’ ”

“lah aku kasih argumen gini, bukankah kalau memang begitu adanya akan lebih baik aku tetap seperti saat ini,  dalam artian jadi teman kamu”
“trus ?”
“ya ..  dia merengek. Aku bilang ke dia gini, Jamie, seseorang yang sungguh-sungguh mencintai akan membuat orang yang ia cintai merasa bebas. Dan aku lebih memilih tak percaya dengan cara berhubungan yang tak jelas hak dan kewajibannya. Aku nggak mau menjadikan cinta itu berhala yang selalu dijadikan alasan pengekangan. Jadi mohon maaf, bukannya aku tak percaya dengan kamu, tapi akan lebih baik kalau kita tetap menjadi kawan baik seperti sebelumnya. Gapapa ya ?
“trus Jamie gimana, Ran ?”, Audrey bertanya penasaran
“ya pastinya patah hati. Tapi semoga cuman sebentar. Katanya sih, kalau kita menghadapi permasalahan yang melibatkan emosi cowok, kita harus memakai cara pandang seperti cowok juga. Cara berpikir mereka kan simpel. Kalo ya, bilang aja ya. kalau tidak, bilang aja tidak. Jangan setengah-setengah atau merasa kasihan, ntar malah disangkanya kita memberi harapan. Tapi ingat, menyampaikannya harus dengan cara yang baik dan lembut”
“kamu tahu itu dari mana, Ran ?”, Zweta merasa tertarik dengan hal yang didengarnya baru.
“Kak Granada”
“ngapain nggak kamu katakan dari tadi !!! kanurusan si Gondrong ndeso kanbisa beres sejak tadi !!! “, Audrey sewot setengah mati.


Matahari semakin turun, jam terus berdetak. Tiga anak manusia bergegas pulang. Namun, serangga senja sebentar lagi menyongsong matahari terbenam.
  
***


Posting Komentar

 
Top