0

Jl Magelang 21 A,

“kebenaran yang tanpa strategi pastilah kalah melawan kebatilan yang terencana dengan baik,” Abah membuka kalimat sambutannya dalam pertemuan diskusi terbuka.

Malam ini, kediaman Abah di jalan Magelang dipenuhi aktivis lingkungan. Mereka yang hadir nampak bersemangat, dan memang mereka harus segera merumuskan sikap atas rencana Penguasa Kota membangun pusat perbelanjaan termegah bernama BENTOS.

Kehadiran mereka kali ini seolah menjadi titik kulminasi pengakuan eksistensi. Setelah sekian lama berjuang melestarikan lingkungan, akhirnya mereka dihadapkan lagi dengan suatu tantangan. Ya, tantangan dari para birokrat pemegang kebijakan yang terus ngotot membangun Mega Mall di areal terbuka hijau.

Di halaman rumah yang cukup luas itu, lebih dari seratus orang telah hadir. Mereka duduk bersila di atas karpet yang terbentang berjajar. Obrolan mereka pun terlihat gayeng dan bersahaja, walau hanya diterangi bohlam-bohlam yang tak terang beserta puluhan nyala lilin yang bergoyang ringkih terombang-ambing angin. Dengan niatan yang masif, dinginnya udara terbuka yang menyentuhi kulit masing-masing takkan mampu membuat mereka bergeming.

Pembicara yang didapuk memaparkan masalah telah datang, mereka terdiri dari akademisi, ahli hukum, dan juga aktivis lingkungan, sementara posisi moderator diserahkan kepada Abah.

“kita semua tahu bahwa pembangunan kota tercinta ini sudah tak berbentuk lagi, tak punya karakter, dan tak punya tujuan yang jelas. Slogan-slogan pembangunan berwawasan lingkungan yang dijargonkan Penguasa, kini terbukti melenceng sejauh-jauhnya,” kalimat pembuka Abah menyita perhatian.  Zweta, Rania, Audrey, dan juga Anggun yang berada di barisan terdepan menyimak dengan seksama. 

“Seperti kita tahu dari sejarah, Thomas Karsten mendesain kota ini menjadi kota terpadu, nyaman, asri, dan berwawasan lingkungan. Garden city ! itulah konsepnya. Kota yang dipenuhi taman, ruang terbuka hijau, dan juga paru-paru kota. Namun saat ini, kita bisa menyaksikan degradasi lingkungan telah mencapai taraf yang memprihatinkan. Penguasa cenderung bermental makelar dan malah membuat kotakehilangan identitas alias jati diri,“
Semua yang hadir terpaku diam
“Dan kemudian, baru-baru ini kita disentakkan dengan desas-desus bahwa Legislatif Kota bersiap merevisi Perda yang mengatur RTRW rencana tata ruang dan tata wilayah. Adaapa ini ?, jelas ada hubungannya dengan rencana pembangunan Bentos, kita bisa menduga bahwa mereka ingin melegalkan Bentos dari sisi hukum. Kota yang kita cintai malah diacak-acak seenaknya oleh mereka yang seharusnya melindungi. Dan oleh karena itu kita tak akan tinggal diam !! Kita harus segera merapatkan barisan untuk memberi perlawanan,” Abah memberikan gambaran agar semua yang hadir tergugah. Dan benar saja, seluruh yang hadir serasa mendapat pencerahan. Beberapa di antara mereka terlihat membetulkan letak kaki.
“disini telah hadir akademisi dari Universitas Keprabuan yang akan menjelaskan masalah Bentos ditilik dari tata kotadan disiplin ilmu yang saya sendiri akan mlongo jika dijelaskan,  hehehe” Abah terkekeh sambil memandangi para pembicara.
“monggo saya sampaikan kepada Profesor Catur untuk menerangkan jenis pelanggaran dan penyimpangan terkait rencana pembangunan Bentos di kota kita .. silahkan ..” kata-kata Abah disambut tepuk tangan yang tak riuh. Mikrofon yang sebelumnya dipegang Abah kini beralih ke Profesor Catur yang berkumis putih dan berkepala botak.
“terima kasih Abah, beribu terima kasih saya haturkan,” Profesor Catur berucap santun sambil sekilas memandang Abah.
“Saya merasa sangat bangga berada di tempat ini. Berkumpul dengan para pejuang lingkungan, bersama-sama dengan para penjaga tradisi yang berusaha mempertahankan eksistensi keharmonian manusia dengan alam. Saya disini akan mencoba  memaparkan apa yang saya ketahui berdasarkan disiplin ilmu yang telah lebih dari 20 tahun saya geluti. Namun sebelumnya, saya merasa sangat prihatin atas apa yang sedang digagas oleh Penguasa terkait masalah BENTOS. Dan tentunya, saya menyatakan turut berbelasungkawa kepada para penjaga tradisi dan para pejuang lingkungan,” lelaki tua itu menghela nafas sejenak. Ia sedikit terbatuk sambil menjauhkan bibirnya dari mikrofon.

Pandangan seluruh peserta diskusi terpaku kepada Profesor Catur yang mencoba memaparkan kajian ilmunya sebagai salah satu profesor tata kota.

“Kita semua tahu, sejak beberapa dekade yang lalu kira-kira mulai era 1970-an, tata kota yang pada tahun 1914 digagas oleh Thomas Karsten telah sedikit-demi sedikit diubah oleh segelintir orang bodoh yang saya pikir sok pintar dan tak punya dasar pemikiran teknis yang dalam,” Prof Catur menggambarkan kata-katanya sambil tersenyum nakal. Senyumnya seakan melukis kesedihan dan keironian. Hadirinpun memberi aplaus atas keberanian komentarnya.

“kenapa saya bilang begitu, tentunya sebagai seorang akademisi, saya mempunyai alasan sekaligus dasar pemikiran yang jelas. Sebagai akademisi di bidang tata kota, saya menilai bahwa para Penguasa selama ini telah banyak menghilangkan ikon-ikon kota,  dan kehilangan ikon kalau menurut saya adalah kehilangan yang sangat besar bagi sebuah kotalayaknya kehilangan identitas dan kebanggaan sosio-kultural. Namun sayangnya, logika semacam ini jarang bercokol di otak para penguasa dalam merumuskan kebijakan publik. Hak-hak masyarakat sering dilanggar, dan mereka hanya memakai kalkulasi bisnis yang sering mengabaikan hak-hak publik mendapatkan fasilitas secara nyata, contohnya kasus Bentos ini,” lanjut Prof Catur seperti memberikan kuliah umum di depan anak didiknya.  Semua yang hadir terpaku dengan penjelasan profesor tua yang berbicara laksana seorang resi.

“untuk memberi pandangan lebih lanjut, mari kita tinjau kasus pembangunan Bentos berdasarkan Peraturan Daerah yang menjadi acuan pelaksanaan pembangunan. Perda beserta aturan pemerintah yang lain, seharusnya menjadi kitab suci dalam merumuskan kebijakan. Namun marilah kita tilik faktanya ..” Profesor Catur mengajak semuanya memahami konsep perumusan kebijakan.

“Bentos sejak awal perumusannya telah menabrak kebijakan Rencana Tata Ruang dan Rencana Tata Wilayah atau RT/RW yang dibuat sendiri oleh Penguasa dan Dewan Legislasi, bahwa kawasan itu sebenarnya termasuk dalam  RTH atau Ruang Terbuka Hijau, namun Penguasa berupaya mengubahnya menjadi kawasan perdagangan. Dan kemudian lucunya, mayoritas anggota Dewan Legislasi malah berupaya merevisi kebijakan RT/RW  dan membuat peraturan baru. Seolah disini ada upaya kongkalikong untuk membenarkan Penguasa kotadalam upayanya merobek-robek tatanan kotakita,” Profesor Catur berbicara sambil menggerakkan tangannya penuh semangat. Ia merasa harus menjadi pandega karena memang mempunyai kompetensi di bidang tata kota. Sedikit pencerahan akan menyadarkan masyarakat dari segala macam pembodohan. Ya, pembodohan wacana lewat opini “pembangunan kota” yang sengaja dihembuskan pemodal dan penguasa kota.

“Kalau selama ini banyak beredar kabar yang mengatakan bahwa pihak investor ataupun Penguasa telah mengantongi ijin persetujuan pembangunan dari masyarakat sekitar, maka saya nyatakan disini bahwa semua itu adalah Nonsense ! omong kosong !! sekaligus sampah !!!. Persetujuan masyarakat di sekitar Bentos hanyalah untuk peruntukan Teaching Hospital Fakultas Kedokteran Universitas Darul Ummah. Saya pikir dari sini, kita secara gamblang dapat melihat, bahwasanya Penguasa hanya berperan sebagai makelar dan selalu menuruti apa kata investor. Kebijakan yang dikeluarkan menjadi tidak pro publik, seluruh rencana pembangunan terkesan naif dan hipokrit,” lelaki tua itu terus saja berbicara mengenai Bentos dalam kacamata akademisi. Kata-kata lelaki tua itu bersemangat dan terus meluncur keluar. Para hadirin nampak emosional. Paparan profesor tua itu menggugah pemahaman mereka tentang konsep pembangunan kota. Mereka seakan mendapati fakta betapa gobloknya Penguasa dalam mengimplementasikan wewenang dan amanah.

“ketika kita berbicara mengenai tata kota yang berubah fungsi, maka pasti terdapat rentetan masalah yang timbul dan butuh solusi. Dalam kasus Bentos, pelanggaran ini sudah termasuk parah. Kenapa saya bilang parah, karena kita semua tahu bahwa kawasan kontroversi ini terletak di kawasan pendidikan. Disana ada 7 Universitas yang akan terkena imbas, ada 4 SMU, 4 SMP, empat buah sekolah SD, 4 Lembaga pendidikan profesi, bahkan kita semua tahu bahwa persis di samping Bentos terdapat satu Gedung Inkubator Bisnis dan satu sekolah Taman Kanak-Kanak. Dari hasil kalkulasi kawan-kawan Planologi, setidaknya terdapat 25 Institusi pendidikan yang akan terkena impak pembangunan Bentos, mulai dari aspek lingkungan, aspek sosial, aspek transportasi, aspek pendidikan, sosiologi, dan banyak hal lainnya,” Profesor Catur masih terus menerangkan kajiannya dengan penuh semangat. Ia kemudian menunjukkan beberapa bagan yang berisi kesimpulan kajiannya satu persatu.

“Kalau kita tinjau dari aspek transportasi, perubahan tata ruang di mana pun akan berdampak pada transportasi khususnya lalu lintas dan jalan, Jadi pihak Penguasa kota sebaiknya memperhatikan hal tersebut, bahwa perubahan RT/RW perlu dilakukan kajian mendalam dan dapat mempertanggungjawabkan dampaknya di masa depan. Kalau di negara maju atau bahkan di negara tetangga, mereka sudah memiliki standard method establishmentpembangunan yang menyangkut rencana tata ruang dan tata wilayah. Logikanya begini, mereka pihak Penguasa Kotadan Dewan Legislasi hanyalah sebagai pengelola RT/RW sedangkan rakyat sebagai pemilik utama RT/RW. Jadi kesimpulannya seluruh hak-hak rakyat tak boleh dilanggar seenak sendiri. Kabarnya dalam upaya mengatasi perubahan volume lalu lintas di jalan Pahlawan, jalan internal di Kampus Keprabuan akan dibuka untuk lalu lintas umum. Saya pikir solusi ini sangat tak masuk akal mengingat jalan itu hanya sebatas jalan tembusan yang jika diimplementasikan, lalu lintas menjadi semakin ruwet lantaran semakin banyak junction. Dan tentunya, saya sebagai salah satu alumni Universitas Keprabuan akan menolak sekuat tenaga usulan yang tak beres dasar teknisnya itu. Dan kesimpulan akhir kajian teknis yang dilakukan kawan-kawan planologi menyatakan, bahwa Bentos harus dipindah ke lokasi yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah. Bukannya dibangun di jalan Pahlawan, apalagi sampai menghapus hutan kota yang menjadi paru-paru lingkungan !!! “.
“Tolak Bentos !! Tolak penghapusan hutan kota !!” Prof Catur mengakhiri uraiannya sambil berteriak lepas.

Tepuk tangan dan applause membuntuti kata-katanya yang meluncur bebas tanpa rem. Ia kemudian menyerahkan mikrofon kepada Abah untuk melanjutkan jalannya diskusi. Abah kemudian mencoba mengurai kesimpulan dari pemaparan profesor Catur, beberapa catatan penting diucapkan kembali, dan kemudian Abah menyerahkan mikrofon kepada perempuan di samping Profesor Catur yang sedari tadi menunggu kesempatan berbicara, seorang aktivis Lembaga Bantuan Hukum.

“Oke. Selamat malam rekan-rekan !” perempuan paruh baya itu tersenyum manis. Gayanya yang lepas mampu melumerkan suasana yang sedari tadi tegang akibat pemaparan Profesor Catur. Dan memang, mereka yang datang akhirnya faham akar permasalahan yang menghujam. Mereka geram dan marah. Bahkan beberapa diantara mereka masih menggeleng tak percaya.

“membaca sebuah hukum laksana membaca kitab suci,”
“mengapa saya bilang begitu ?”, perempuan itu mengambil jeda kalimat.
“karena kita tak bisa menafsirkan dengan seenak udel sendiri”
“kita butuh metode, kita butuh alat, dan tentunya . .  seluruh produk hukum yang ada harus menjadi rujukan. Peraturan-peraturan harus dikaji secara mendalam, agar tidak terjadi salah interpretasi,” ia mencoba memaparkan.
“Penguasa Kota sebaiknya memahami tata urutan dalam penyelenggaraan pembangunan di wilayahnya. Urutan itu mulai dari RTRW yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRW), kemudian Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK), kemudian Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK), dan terakhir Rencana Tata Ruang dan Bangunan Lingkungan (RTBL). Jadi kesimpulannya, seluruh acuan yang dipakai dalam proses pembangunan di wilayah kotaharus konsisten mengacu kepada peraturan-peraturan tersebut secara bertahap, mulai dari aturan paling spesifik, sampai aturan paling global,” paparannya membuat seluruh yang hadir mencoba mencerna. Mereka mengernyitkan alis masing-masing, kebingungan mencerna.

“kita tahu bahwa rencana pembangunan Bentos sampai saat ini tak punya AMDAL, dan jika mereka bersikeras membangun tanpa AMDAL, tindakan itu sama saja dengan melecehkan aturan,”

“yang kedua, bahwa pembangunan Bentos menyalahi PERDA RT/RW, maka ini juga pelanggaran hukum. Penguasa malah menyalahi aturan yang mereka buat sendiri, maka sangat tepat jika Profesor Catur mengatakan bahwa Penguasa kita itu penguasa yang hipokrit dan naif ,” perempuan itu malah berapi-api hingga membuat para aktivis lingkungan nampak geram, tangan mereka gatal menuntut berbuat sesuatu.

“coba kita telaah macam peraturan yang mereka langgar,” perempuan itu memperlihatkan beberapa bagan.

“peraturan perundangan yang dilanggar yaitu Perda Kota No. 9 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Tahun 2001-2011. Pasal 17 ayat (5) yang menyatakan, 
Lokasi penting seperti kawasan Universitas Keprabuan atau kawasan lain yang memiliki lahan cukup luas dikembangkan konsep Ruang Terbuka Hijau yang ramah lingkungan, serta untuk kawasan perkantoran dan perguruan tinggi. Sedangkan khusus untuk hutan kota, keberadaannya selain diperuntukkan sebagai RTH yang ramah lingkungan juga diarahkan sebagai obyek wisata yang berorientasi pada pelestarian alam, dan juga  pendidikan lingkungan, perempuan itu menekan intonasi suaranya, sementara para aktivis lingkungan terhenyak tak percaya.

”selanjutnya Pasal 17 ayat (6) menyatakan, Ruang Terbuka Hijau yang ada sekarang keberadaannya tetap dipertahankan dan dihindari peralihan fungsi maupun pemanfaatan selain RTH atau sejenisnya,” perempuan itu terus memaparkan pasal demi pasal. Peraturan perundangan yang berkaitan dijabarkannya satu persatu. Seluruh aktivis lingkungan semakin geram tak percaya.

“goblok sekali pemimpin kita itu,” seorang aktivis lingkungan berujar kepada kawan di sampingnya. Mukanya terlihat gusar dan tak sabar.
“ya. Guoblok sekali !! otak kriminil  !!”,  kawan di sampingnya menimpali sambil menunjuk kepala.  

Zweta menahan gusar, demikian juga dengan Rania, Audrey, dan Anggun. Sementara sosok lelaki godrong bergiwang, Kang Diman, tak mampu lagi bersuara. Gigi gerahamnya bergemeretak menahan kedongkolan yang memukuli kepalanya.

“Dan satu lagi peraturan perundangan yang menjadi senjata kita untuk melawan,” perempuan itu akhirnya mengeluarkan kalimat sakti, setelah sekian lama satu persatu menjabarkan tiap permasalahan dari segi hukum.


”UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 37 ayat (7) menyatakan, Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang,” seluruh yang hadir mendapat pencerahan, mata mereka seakan menangkap cahaya di dalam kegelapan.


”Pasal 73 ayat 1 menyatakan,  Setiap pejabat pemerintah yang berwenang, yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (7), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”,

Tangan para aktivis lingkungan semakin gatal, mata mereka semakin berbinar. Seperti kucing bersiap menangkap tikus.

Kemudian ayat  (2) menyatakan, Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya”,

“mampus !!” Kang Diman tiba-tiba berdiri dan berteriak lantang sambil mengepalkan tangan kanannya. Ia seketika berdiri dan tertawa cengengesan.

“hahahahahaha !!! hahahahaha !!!”, seluruh yang hadir tertawa tak berkesudahan, apalagi saat menyaksikan wajah Kang Diman cengar-cengir ke segala arah.

***

“permasalahan lingkungan hidup jangan cuma dibayangkan  pembuangan limbah, pencemaran pabrik, pekatnya asap kendaraan, bencana kekeringan,  kebakaran hutan, atau bertambah panjangnya deret spesies langka yang nyaris punah”

“pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia untuk mendapatkan lingkungan hidup yang nyaman, serta pelecehan terhadap harmoninya lingkungan, juga merupakan permasalahan yang wajib mendapat perhatian serius. Seluruh materi tersebut wajib dirumuskan, membentuk sebuah rencana dan kebijakan penguasa atas pembangunan di wilayah administrasi masing-masing. Kegagalan institusi pemerintah menata lingkungan hidup, secara langsung akan berakibat pada manusia, vegetasi, flora dan fauna, serta elemen penyusun keseimbangan kehidupan”

Abah terdiam menyimak uraian ahli lingkungan yang kini memaparkan pengamatannya. Ia manggut-manggut membenarkan.

“proses pembangunan yang tak menghiraukan keseimbangan lingkungan merupakan bunuh diri ekologis. Dampaknya tak terasa seketika, namun sedikit demi sedikit menumpuk laksana lemak kolesterol. Ketika kolesterol sudah menumpuk dan berlebih, Blapp !! ia mampu menyumbat pembuluh darah. Saat itulah kita tak sempat lagi mengerang kesakitan, nyawa kita sudah megap-megap dicengkeram maut !” lelaki itu memilih kalimat yang sangat dramatis. Persis seorang penyair menyampaikan larik-larik deklamasi.
  
Jakun Kang Diman bergerak naik turun, ia menelan ludah. Gaya pemaparan lelaki itu mempesona, semua yang hadir seketika membayangkan kengerian yang terjadi.  

“musim hujan ingkar janji, pancaroba yang tak pasti, suhu kota memanas, kekeringan mematikan, banjir bandang menggulung kampung, longsor menimbun rumah kala penghuninya lelap tertidur,” lelaki itu menyebut sekian banyak bencana yang mulai terlihat akrab di layar televisi.

“sepertinya penguasa kita ikut andil memupuk terjadinya bencana-bencana di atas,” lelaki itu melanjutkan setelah berhenti sejenak.

“bencana kemanusiaan ..”, Abah ikut berpendapat.
“ya. benar yang dikatakan Abah. Bencana kemanusiaan, bukan bencana alam,” gaya suara lelaki itu masih mirip gaya pembaca deklamasi. Ia melirik Abah.

“saya mencoba menyajikan fakta yang cukup miris mengenai perkembangan lingkungan kotakita,” lelaki itu menatap lurus ke depan. Tatap matanya tajam
 
“Penelitian yang kami lakukan di tahun 2005 menyimpulkan bahwa kebutuhan minimal oksigen untuk kotaini sebesar 1000,5 ton per hari. Hal tersebut dapat dipenuhi dengan luas kawasan hijau dan peresapan air sebesar 39%. Namun faktanya,“ jeda berhenti lelaki itu membuat semua yang hadir menahan nafas.

“sekarang ini kawasan terbuka hijau kurang dari 4 %, itupun termasuk hutan kota  yang sebentar lagi disulap menjadi Mall Bentos !!”

“Sinting !!!”, “Sontoloyo !!”, terdengar beberapa kata umpatan timbul tenggelam. Fakta yang terdengar seakan menjadi kabar buruk.

“Untuk masalah suhu udara,“lelaki itu lagi-lagi berhenti dan memancang penasaran. Tepat sekali ia mengatur manajemen emosi.

“Berdasarkan data dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Stasiun Klimatologi, suhu maksimum absolut tahun 1990 berkisar 29,10°C- 33,20°C dengan suhu minimum 15,50°C. Pada tahun 2006 Suhu maksimum absolut 33,80°C dengan suhu minimum berkisar 20°C. Sejak sepuluh tahun lalu, terjadi peningkatan suhu sebesar 0,05°C setiap tahun”

“Goblok !!!”, “otak singkong  !!!”, “Jiangkrik !!”,
 lagi-lagi terdengar umpatan bernada kecewa dari beberapa aktivis. Sementara Kang Diman terpekur makin dalam.

“dan satu lagi berita duka bagi rekan-rekan,” lelaki itu berucap seakan mempersiapkan berita kematian. Seluruh aura wajah terlihat makin meredup.
“Berdasar penelitian pada tahun 2004, rata-rata per tahun ruang terbuka hijau di Kota ini terus berkurang. Pada tahun 1994 jumlah RTH termasuk taman kotamasih sekitar 7.150 hektar. Jumlah itu menurun menjadi 6.702 hektar pada tahun 1996, 6.617 hektar pada tahun 1998, 6.414 hektar pada tahun 2000, dan tinggal 6.369 hektar pada tahun 2002”,
“data yang paling mencengangkan justru diambil dari meja kantor Penguasa yang menyatakan bahwa di tahun 2004, ruang terbuka hijau tersisa 3.183 hektar, atau sekitar 2.89 persen dari seluruh luas wilayah kota yang mencapai 111 kilometer persegi ..”
Seluruh yang hadir menunduk makin dalam, mereka tak pernah memperhitungkan bahwa degradasi lingkungan telah mencapai titik nadir.
“dan perkembangan paling akhir“, suara lelaki di depan tiba-tiba menyentak mereka. Seluruh yang hadir terlihat mempersiapkan diri menerima berita paling buruk.
“Di tahun 2007, luas RTH tinggal 1.8 persen atau sekitar 1900 hektar saja”
“sontoloyo !!!!”, “otak dengkul !!!”, “keparat bangsat !!”, “Penguasa otak dedak !!”
Beberapa umpatan semakin keras meluncur. Mereka terpekur makin dalam. Berita sedih membuat mereka lemas. Persis sayur terong yang terlalu lama direbus.
“Abah ..” sang pembicara akhirnya menyerahkan mikrofon kepada Abah. Keheningan seketika merajalela. Wajah-wajah sedih jelas tergambar.
Dan angin malam seakan berhenti bertiup. Pendar rembulan menampilkan kemuraman, hingga beberapa serangga kecil terlihat meniti cahaya.
“mulai hari ini mari kita tautkan emosi masing-masing. Sebagai warga negara yang baik, mari kita proaktif berusaha menyelamatkan aset publik yang masih tersisa. Memang benar jika kebijakan Penguasa saat ini  adalah kebijakan tabrak lari. Dilakukan dahulu, baru kemudian sosialisasi .. sungguh pengecut. Namun jangan retak semangat dan larut dalam kesedihan, marilah kita mengintegrasikan elemen kerakyatan, termasuk tokoh masyarakat, mahasiswa, pengajar, seniman, LSM, aktivis hukum, wartawan, dan berbagai lapisan lain untuk menyatukan suara perlawanan,“ Abah mengendapkan emosi yang turut keluar melalui getar suaranya.

“Hentikan kebijakan publik yang tidak propublik. Itu yang akan kita teriakkan,” Abah perlahan namun pasti mulai berapi-api.

"Integrasi kekuatan intelektual bisa menghentikan kebijakan yang tidak pro rakyat. Tidak perIu memakai kekerasan. Kalau represi dilawan represi, yang tersisa hanyalah kehancuran demokrasi,” Abah masih memberikan suntikan semangat.

“setelah pemaparan para ahli, mari kita berdiskusi dan membuat strategi perlawanan. Menyelamatkan sisa-sisa ruang terbuka hijau agar tidak senasib dengan taman Tetrakila yang dulunya dipenuhi kolam teratai namun kini disulap menjadi perumahan mewah. Mari kita merapatkan barisan,” Abah berkata-kata penuh emosi.
Kalimatnya mengingatkan seluruh peserta bahwa cukup sudah Ruang Terbuka Hijau dirampok dan dijadikan stasiun SPBU, perumahan mewah, dan areal pertokoan.
Sementara Anggun masih terpaku, betapa ia tak percaya fakta yang tersaji sedemikian memiriskan. Ia bersiap memberikan informasi guna konsolidasi antar elemen.
“Ta, kamu siap-siap memaparkan website,” Anggun berkata dengan suara sedih. Tenggorokan Zweta pun masih tercekat. Ia hanya bisa membalas kalimat Anggun dengan tatapan mata yang sayu.
“ya, Kak” suara Zweta seperti dipaksakan keluar.
Sementara pendar rembulan semakin sayu, sementara nyala lilin yang berlimbungan terus melelehkan tubuhnya hingga tinggal sisa-sisa.

***

Posting Komentar

 
Top