0

Walau kegundahan menyelimuti hati, perempuan bertopi rimba terus berjalan dengan langkah yang tegar. Kaki-kakinya tegas menapak, menyusuri jalanan aspal yang lurus memanjang namun kian menanjak. Ada gambaran kekuatan yang terlukis dari goyangan  ransel yang menggelayut di punggung, sementara “kompas bidik” menempel kuat-kuat bersama wadahnya di ikat pinggang.

Kini setelah hampir empatpuluh limamenit berjalan, ia telah sampai di gerbang desa terakhir sebelum memasuki areal hutan-hutan, di kaki Gunung Panderman.  
“huhhh ... istirahat dulu,” perempuan itu menghela nafas yang masih terburu.
Dilepaskannya ransel yang menggelayut, begitu pula topi rimba yang menutupi gerai rambutnya. Punggung tangan seketika menyeka keringat yang mulai membasahi kening. Dan kemudian topi rimba di tangannya terayun kanan-kiri menghembuskan kibasan angin.

Keletihan yang menaut tubuh dilepaskannya pelan-pelan. Hembusan nafas perlahan-lahan mulai teratur, dan kini tatap mata perempuan itu jauh memandangi gugusan bukit bersama hamparan pepohonan apel yang daunnya sedang bersemi. Sementara tanaman kol dan sayur mayur lainnya, dari kejauhan seakan membentuk titik-titik lurus yang berbaris rapi sempurna.

Tak jauh dari tempatnya duduk, terdapat rumah kayu sederhana  yang masih berlantaikan tanah. Rumah itu nampak kikuk menyendiri, jauh dari rumah-rumah yang lain. Sedangkan tak jauh dari rumah kayu terdapat sepetak pekarangan yang diperuntukkan bagi kandang sapi perah.


“sudah lama . .  terlampau lama,” perempuan itu menarik nafas dalam-dalam sambil memejamkan mata. Terasa sekali kalau dia begitu menikmati berada di dekat alam. Seolah kegelisahan yang selama ini terpendam sedikit terlipur. Seolah semua simpul masalah yang mengganggunya sedikit terlupakan.

Hingga tak lama kemudian dari dalam rumah kayu muncul nenek tua  yang berjalan mendekat. Langkah kakinya pelan terseok, namun perempuan muda yang kini duduk di atas tanah masih tak menyadari kehadiran nenek tua. Ia masih asik menggambar kekaguman di benaknya.

“mampir, Nak.” suara nenek tua mengajaknya masuk ke dalam rumah. Zweta spontan menoleh lantaran tak menyadari kehadiran nenek tua di sampingnya, ia sedikit terkejut.  
“terima kasih, Nek.” Zweta menguntai senyum.
“duduklah di dalam biar kubuatkan teh hangat”
“ah, tak usah merepotkan, Nek.”
“alah, kamu kansering kemari, seharusnya tak menganggap aku ini orang lain”

Perempuan tua itu tak mempedulikan kalimat Zweta. Ia langsung ngeloyor memasuki rumah dan  menuju dapur untuk menyiapkan secangkir teh. Sementara lenguhan panjang sapi perah terdengar kali-kali, akhirnya Zweta perlahan bangkit mengikuti langkah nenek tua memasuki rumah. 

“Desa yang begitu tenteram,” gumam Zweta dalam hati. Kedamaian dan harmoni alam memukau jiwanya. Serasa kesedihan yang selalu mengganggunya sedikit terlipur.

“terima kasih, Nek”, Zweta menerima teh yang diulurkan Nenek tua kepadanya. Dari tatap mata perempuan tua itu, Zweta menangkap gambaran kasih-sayang yang sangat kepadanya.
“kamu sendirian lagi ?”, Nenek tua tiba-tiba lembut bertanya. Pandang matanya menyapu Zweta yang sedang menyeduh teh hangat.
“ya Nek, sendirian, seperti biasanya,” Zweta tersenyum santun
 “Tadi banyak yang naik, Nek ?” Zweta bertanya kemudian.
“ada beberapa rombongan yang berangkat ke atas. Biasanya nanti malam lebih banyak,” Nenek tua tersenyum menggurat keriputnya..

***

Setelah limabelas menit meninggalkan rumah nenek tua, Zweta akhirnya tiba di batas desa yang memisahkan areal berpenduduk dan tidak berpenduduk.

“Aku harus bergegas, 15 menit lagi harus sampai di mata-air,” Dilihatnya jam tangan menunjuk pukul 16.37.

Zweta melangkah semakin cepat. Ransel yang menggelayut di punggung terayun pelan. Ia menyusuri jalan setapak yang diapit ladang dan kebun sayur penduduk. Sementara dilihatnya pucuk pinus bergoyang pelan tertiup angin, nyanyian panjang serangga senja terdengar nyaring beriringan.

Zweta, apalah yang dicari anak manusia sepertinya selain pelarian diri. Pelarian dari ketidakmampuan mengungkap tabir gelap beserta misterinya. Sesuatu yang absurd,  kabur, bagai bayangan tak tersentuh. Bayangan masa kecil yang timbul tenggelam seakan menjelma menjadi awan gelap yang terus membayangi. Sisa-sisa kenangan yang berusaha diraih dan dipertahankan, memunculkan gelombang emosi yang mengamuk dan terus menghantami jiwanya. 

Zweta terus melangkah menyusuri jalan setapak yang tak menanjak. Bunyi air yang mengaliri kebun-kebun sayuran terdengar antik bergemericik. Sementara di ujung yang tak jauh mulai terlihat tepian hutan pinus yang merupakan tempat pemberhentian para pendaki. Disanalah alir air pegunungan dari mata-air Gunung Panderman bermula.


“sendirian ?” seorang pendaki menyapa Zweta ketika dirinya sampai di mata-air. Senyum ramah pendaki itu terkembang. Ia bersama keempat kawannya sedang mengisi botol perbekalan air.

“ya, sendirian. Banyak yang naik malam ini ?” Zweta balik bertanya, bibirnya menguntai senyum. Diletakkannya ransel tegak di atas tanah dan kemudian mengeluarkan botol perbekalan air.
“sepertinya lumayan banyak, tadi kita sempat ketemu empat rombongan disini. Mereka sudah naik ke atas,” salah satu dari mereka spontan menjawab.   
 “kalian rombongan dari mana ?”
“kita berlima dari Surabaya. Kebetulan sedang traveling mengelilingi beberapa obyek wisata alam di sekitar sini,” lelaki itu menjawab sambil menata lagi isi ransel. Mereka bersiap-siap melanjutkan perjalanan setelah perbekalan air terpenuhi.

“mau bareng ?”, lelaki itu menawarkan
“nggak usah, terima kasih. Ntar kita pasti ketemu di puncak,”  Zweta menolak ramah.
“oke, kalau begitu kita berangkat dulu. Sampai ketemu di atas,” pendaki itu melempar senyum, sementara pendaki yang lain berjalan gontai mengikuti jejaknya. Mereka berangkat membawa perasaan kagum dengan Zweta, sosok perempuan petualang yang menjelajah Gunung Panderman, sendirian.

Zweta memilih beristirahat di areal mata-air. Bunyi rincik-rincik air dan nyanyian serangga senja terdengar berpilinan. Suara tiupan angin di pucuk-pucuk pinus terdengar seperti desisan yang harmoni. Sementara langit di ufuk barat semakin memerah, dan cahaya senja terus menasbihkan siluet indah di sela dedaunan dan dahan-dahan.

***
 Di sebuah saddle Panderman, 17.43

Sayup-sayup terdengar Adzan maghrib berkumandang dari musholah di kaki gunung. Suaranya seakan timbul tenggelam, berpilinan dengan bunyi berisik angin yang meniupi pucuk –pucuk pinus dan juga nyanyian serangga senja. Zweta kini berhenti. Ia duduk terpekur di atas sebongkah batu besar berukuran 7 x 4 meter. Bongkahan batu itu melentang memanjang namun menancap sebagian ke dalam tanah. Dan kini tatap mata Zweta menyapu kegelapan lembah yang diapit dua punggung bukit di kanan kirinya.

“Tuhan, beri aku keteguhan hati,” Zweta termenung di tengah lembah yang mulai dingin. Sementara punggung bukit di sebelah kanan seakan menelan bayangannya. Sementara  tebing terjal di sebelah kiri menyisakan pohon Loh yang jangkauan dahan dan dedaunannya lebat menaung. Zweta serupa burung Nightingaleyang kesepian. Raganya duduk di atas batu namun jiwanya terbang jauh meninggalkan lembah Panderman.  


Tiba-tiba Zweta tersadar oleh sorot senter yang berkelebat dari kejauhan. Beberapa pendaki gunung meniti jalan mendekati posisinya. Zweta akhirnya perlahan bangkit sambil mengangkat ransel, botol air mineral menyentuh bibirnya untuk membasahi tenggorokannya yang kering.

limabelas menit lagi,“ Zweta menatap jam tangannya, ia kemudian melanjutkan perjalanan menuju pos Pelataran Ombo, sebuah tempat lapang di puncak bukit yang biasa dipakai bertenda. Jalan setapak yang dilaluinya mengitari punggung bukit, dan ia perlahan-lahan menyibak rimbunan ilalang setinggi dada yang menutupi jalur pendakian.

Sementara tandan rembulan mulai menautkan bayang-bayang perbukitan dan pepohonan. Tak jauh dari posisi Zweta, mulai terdengar suara para pendaki yang telah sampai lebih dulu di Pos Pelataran Ombo.

“itu pasti mereka,” Zweta berujar dalam hati sambil terus melangkah. Semakin lama suara itu semakin jelas, bahkan kini terdengar petikan gitar yang mengiringi suara sumbang bernyanyi.


“eh, ketemu lagi,” pendaki yang tadi ditemui di areal mata-air tiba-tiba menyapa Zweta. Ia menyandarkan punggung di batu besar bersama keempat kawannya. Sementara tujuh tenda telah berdiri di pos Pelataran Ombo. Masing-masing rombongan pendaki saling bercengkrama mengarungi malam, dan nyala perapian menggeliat membakari ranting dan dahan-dahan kering.

“ternyata cukup ramai,” Zweta berkomentar singkat
“ya, cukup ramai. Disini ada tujuh rombongan. Katanya sih ada beberapa yang sudah mencapai puncak. Itu api unggunnya !”, telunjuk pendaki di depan Zweta mengarah ke puncak Panderman.

“kalian mau ke puncak sekarang ?” Zweta bertanya santai.
“ mmm .. kita masih belum punya bayangan. Bagaimana kalau menurut kamu ?” lelaki itu ganti bertanya meminta pertimbangan
“kalau memang mau bermalam di puncak, mendingan berangkat sekarang. Tapi kalau tujuannya cuma melihat sunrise, lebih baik buka tenda disini dan berangkat sekitar jam tiga dini hari,” Zweta menyampaikan idenya.

“sepertinya kamu sering kemari ,” nada suara lelaki itu seakan menelisik.
“ya. Lumayan sering”. Zweta menjawab santai ketika tatap mata lelaki itu menyapu wajahnya.
“kamu mau summit attacksekarang ?”, lelaki itu bertanya lagi.
“tujuanku memang langsung ke puncak, cuma mau istirahat sebentar di sekitar sini. Ntar sekitar jam tujuh malam aku berangkat lagi”

***
Sekitar duapuluh limapendaki memilih bertenda di Pelataran Ombo. Mereka berasal dari banyak tempat dan ingin merasakan keeksotisan alam Panderman. Di tengah kegelapan dan naungan pendar rembulan, wajah-wajah mereka seakan timbul tenggelam diterangi nyala perapian yang menari tak beraturan.

Zweta memilih meninggalkan Pelataran Ombo. Langkah kaki gontainya membelah medan yang mulai menanjak. Dalam kesendiriannya kali ini, entah mengapa muncul niatan untuk mengekalkan sepi.   Ya, walau dirinya didera kelelahan hati, namun ia tak ingin melepaskan penderitaan yang terlanjur melekat kuat. Zweta seakan ingin menenggak candu yang melenakan, padahal ia sadar jikalau penderitaannya telah menjelma menjadi belenggu kuat yang terus-terusan membuatnya letih. Namun entahlah, dalam kebingungan hati, ia memilih untuk lari dan berteman sang sepi,  ia memilih menenggak candu lebih dalam, bahkan teramat dalam. Dan ketika Zweta memandangi kuncup kembang gunung, memandangi rembulan yang berpendar. Ia merasakan sesuatu yang memang ingin dirasakan. Kesunyian, kesepian, dan juga kesenyapan. 

Akhirnya keterjalan medanyang menghadang semakin sering dijumpai. Tapak kaki Zweta terus lincah menetak pijak. Dan ketika keterjalan medanmemaksa dirinya merayap, maka tangannya meraih akar pohon pinus yang menonjol di tepi jalur sebagai pegangan. Hingga ketika sampai di tanah datar yang terlindung dari angin, Zweta kemudian bersandar beralas matras di bongkahan batu gunung setinggi dua meter.   

“Tuhan, sedemikian banyak misterimu. Tetapi kenapa yang kau bebankan kepadaku seakan terkunci rapat,” Zweta kembali melarung sunyi. Tatap matanya jauh mengunjungi letak para bintang. Ia berusaha memahami sesuatu yang tak dimengerti.

Tang ting tung ning nung. Tang ting tung ning nung.
Tiba-tiba ponsel Zweta berbunyi.  

“assalamualaikum, Ma”
[waalaikumsalam, Sayang. Sudah di  puncak ?]
“belum Ma, sebentar lagi masuk Pos Watugedhe, ini masih di tengah perjalanan”
[Kakakmu Mama suruh menemani kamu ya, biar dia berangkat sekarang]
“nggak usah Ma. Aku lagi pengen sendiri ..”, suara Zweta bernada berat.
“lagian disini juga rame pendaki  ..”, Zweta melanjutkan.
[ya sudah kalau begitu. Hati-hati ya. Perlengkapan kamu nggak ada yang ketinggalan ?]
“Sudah semua kok, Ma”, Zweta menjawab lembut.
[Hati-hati ya Sayang, Assalamualaikum]
“waalaikum salam.”

Selang beberapa detik Zweta terdiam beku. Ponsel yang tergenggam erat masih merapat di telinga. Zweta terdera kesepian yang merajalela. Ya, benar-benar sepi yang mampu membangkitkan seluruh emosi batinnya. Sepi yang sanggup menghanyutkan dirinya memasuki serpih-serpih ingatannya.

Perlahan-lahan Zweta mulai terseret memasuki masa lalu. Keping ingatannya mulai  tersusun membentuk rangkai-rangkai peristiwa. Ia teringat ketika terbelai rambutnya, terkecup keningnya, dan tercium penuh cinta. Ia teringat takala dirinya menggelayut manja di punggung lelaki itu. Ah, seseorang yang teramat dirindukannya.

“Tuhan, mengapa ..”
 Tatap mata Zweta menyapu langit bertabur bintang. Ia memandang tandan rembulan yang berpendar lembut. Ia menangis. Ah, Zweta akhirnya menangis. Ia terisak pelan hingga nyaris tak terdengar. Suara angin gunung seolah menemani rasa sedihnya yang luar biasa. Ia tak lagi bisa berkata-kata. Badai emosi tiba-tiba mengamuk yang memporak-porandakan seluruh ketenangannya.

Kalau saja tak terdengar pijak kaki rombongan pendaki yang bergerak mendekat, Zweta mungkin masih menangis di tengah pepohonan pinus yang berdiri tegak menghadang angin. Segera digulungnya matras dan ditalikan lagi di samping ransel. Tak dirasanya hawa dingin, tak dirasa pula haus yang menyerang tenggorokan.

Zweta kembali mengangkat ransel. Ditariknya nafas panjang, dan kemudian meneruskan perjalanan menapaki keterjalan jalur Panderman. Langkah kakinya semakin cepat, ia tak lagi gontai seperti sebelumnya. Kemampuan asli Zweta mendaki gunung mulai terlihat. Pijak-kakinya terasa ringan seolah tak menampakkan adanya beban berat yang menggelayut di punggung. Hingga waktu terus berjalan, tempo pendakiannya masih tetap terjaga. Di kemiringan medan yang curam, tangan-tangannya berpegangan kuat dan mencengkeram erat di tonjolan akar pinus dan perdu-perdu. Dengus nafas yang terburu mengalirkan bulir keringat di seluruh tubuh. Stamina Zweta masih prima untuk melakukan pendakian jalur panjang.

Sementara angin gunung terus menyanyi. Dari kejauhan tiupan angin menyentuhi pucuk-pucuk pinus. Membunyikan nada srrrr…srrrrr sssttttt, begitu serentak. Sesekali di jalur pendakian yang agak terbuka, tiup angin menampar lembut wajah Zweta dan mengurai juntai rambutnya. Ah – angin, ajaklah aku memahami misteri kehidupan.

Tak butuh lama, akhirnya Zweta telah sampai di Pos Watugedhe, sebuah  daerah yang ditandai dengan tanah lapang yang terdapat batuan besar di pintu arealnya. Batu berukuran besar itu seakan rebah dan tertancap kuat ke dalam tanah.

Di pos Watugedhe Zweta menjumpai serombongan pendaki yang beranggotakan tujuh  orang. Mereka menyandarkan punggung di sisi batu setinggi tiga meter lebih. Nampaknya mereka sedang mengisi tenaga dan menyiapkan diri menaklukkan puncak Panderman.

“sendirian ?”,
lagi-lagi Zwta disapa basa-basi khas pendaki gunung.
“Ya. Sendirian. Kalian mau ke puncak ?” Zweta balik bertanya. Ia mengatur nafas setiba di depan mereka. 
“Kita memang mau ke puncak. Berapa lama kira-kira ?” pendaki itu menatap setitik nyala perapian di puncak Panderman
“paling-paling nggak nyampe satu jam”,
“ah bercanda. Ini tinggal track terjal, Non. Nggak mungkin nyampe puncak kalo cuma sejam”
“mau taruhan ?”, Zweta melirik lawan bicaranya sambil tersenyum.
“wah-wah-wah .. mengajukan tantangan nih ceritanya,” ego cowok pendaki itu mulai terusik. Namun tatap matanya menyirat kekaguman.  
“mmm .. kalau kamu menganggap seperti itu sih ... boleh juga,” sambil tersenyum Zweta memandang wajah para pendaki itu bergantian.
Lady first,” pemimpin perjalanan itu akhirnya mengiyakan dan mempersilahkan Zweta berangkat terlebih dulu.
“yee .. kalian saja duluan. Aku masih mau istirahat. Baru juga nyampe,” Zweta berujar sekenanya. Ia menurunkan ransel dan mengambil botol air minum. Ditenggaknya air mineral yang perlahan-lahan meluncur membasahi tenggorokan.
“Tapi nanti kalau kamu minta ditunggu kasih kode ya,“ pemimpin rombongan memberikan syarat.
“sip !” Zweta menyahut singkat.

Lewat kode ayunan tangan sang pemimpin rombongan, ketujuh pendaki mulai mengangkat ransel masing-masing. Mereka mempercepat langkah dan bersiap merayap di sisa perjalanan menaklukkan puncak. Sementara pendaki bertubuh ceking paling belakang terus-menerus cengengesan mencuri pandang.

Setelah ketujuh pendaki menghilang dari pandangan, Zweta sejenak menangguhkan perasaan. Ia mengajak serombongan pendaki melakukan pendakian tempo cepat. Ya. tempo pendakian yang mampu meruntuhkan fisik pendaki gunung dalam tempo teramat singkat.

Namun sebelumnya Zweta masih beristirahat mengatur nafas. Samar-samar dari tempatnya duduk terlihat goyangan pucuk pinus yang dihempas angin gunung. Sementara dari sisi kanan yang tak jauh tiba-tiba terdengar teriakan beberapa ekor makaka vascicularis   

“mereka pasti sekawanan monyet ekor panjang,” Zweta berusaha mencari dengan sorot senter, namun tak dijumpainya wujud primata ekor panjang yang biasa mengeluarkan suara seperti itu. Kegelapan malam seakan menelan bayang-bayang hutan beserta penghuninya.

Telah limabelas menit rombongan pendaki berangkat dari pos Watugedhe, dan Zweta kini bersiap diri. Dengan langkahnya yang pasti, Zweta perlahan menjejakkan kaki. Nafasnya mulai memburu, hawa tubuhnya pun terasa hangat. Serasa diburu waktu tempo pendakian Zweta semakin bertambah.

Zweta melewati areal datar di Watugedhe. Sebuah daerah yang hanya ditumbuhi sesemakan liar dan juga ilalang setinggi kepala. Hamparan ilalang itu seakan terbelah dan membentuk jalan setapak menuju tanjakan selanjutnya. Sementara  ilalang yang tumbuh lebat menyuarakan bunyi gemeresak saat bergesekan dengan ransel dan tubuhnya. Di beberapa areal terbuka, beberapa pendaki gunung sedang bertenda melawan dinginnya malam. Mereka menyapa dan mempersilahkan Zweta mampir menikmati minuman penghangat, namun Zweta menolaknya dengan halus.

Butuh sepuluh menit menyeberangi daerah sesemakan ini, dan selanjutnya, Zweta melewati tanjakan yang dipenuhi bolder dan gravel, sebuah jalur rawan longsor yang dipenuhi bolder besar yang seolah siap runtuh. Perempuan itu memasuki putaran lereng yang menikung. Beberapa runtuhan bolder cukup berbahaya apabila ia tak berhati-hati. Dan saat menapaki jalur ini, langkah kakinya perlahan-lahan diperlambat. Ia faham benar bagaimana safety dalam kegiatan alam bebas adalah sesuatu yang tak bisa ditawar lagi. Hingga ketika dijumpai sebuah pohon pinus tua yang tinggi menjulang, Zweta telah sampai di ujung jalur terjal yang dibatasi jurang curam di sisi kiri. Dan tatkala dilihatnya tujuh kedipan senter berhenti di tengah tanjakan, bibir Zweta merekah menyungging senyum tak percaya.

Tanjakan Setan, begitulah para pendaki menyebutnya. Sebuah tanjakan rawan longsor dengan memiliki kemiringan 70 derajat lebih. Di kiri jalur terdapat jurang sedalam lebih dari dua puluh meter, sementara posisi pendaki pun seakan terbuka tak berpelindung. Tak ada vegetasi yang menghalangi angin gunung hingga tamparan angin bisa dirasakan dengan sangat.
Ternyata ketujuh pendaki yang berangkat sebelum Zweta terengah-engah kehabisan tenaga. Mereka limbung serupa mobil tua yang ngadat di tengah tanjakan. Mental mereka telah patah.

Dari kejauhan, Zweta tersenyum melihatnya. Ia segera menjejakkan kaki di tanjakan terjal dengan semangat penuh. Langkah kakinya yang ringan mampu mengantarnya hingga sampai di posisi mereka yang rebah kelelahan.

“terima kasih sudah ditunggu,” senyum Zweta merekah, nafasnya pun terburu. Keterjalan tanjakan ini menjadi sajian terakhir sebelum menaklukkan puncak Panderman.

“wadhuh, Non ! kita lagi orgasmus!”, pemimpin pendakian berkomentar tak jelas maksudnya. Ia terengah-engah mengatur nafas.
“orgasmus ??!! maksudnya ?”, Zweta terheran dengan istilah yang digunakan pemimpin rombongan.
“terengah engah dihajar tanjakan bejat ! Orgasme bin Orgasmus ! hahahaha !”, pendaki itu berujar sambil tertawa. 
“tempat ini namanya bukan tanjakan bejat ! tetapi Tanjakan Setan !” kalimat Zweta tiba-tiba menyela tawa lelaki itu
“tanjakan setan ? beneran ?” salah satu dari mereka nampak terkejut
“iya bener ! katanya sih beberapa pendaki sering melihat penampakan ! ya di bawah itu ! persis di pohon paling besar ! makanya dikasih nama Tanjakan Setan !” Zweta mencoba mengusili mereka.
“sumpah ?!!!”, pendaki paling belakang terkejut gelagapan
“Jangkrikkk !!!  gitu tadi kau ninggalin aku di bawah !” mereka mulai saling menyalahkan.
“makanya ayo buruan ! “ Zweta mulai melangkah lagi. Seketika ia langsung berada di urutan terdepan.


“keparat ! bikin merinding saja ! gitu pake ngomong kalo disini ada setan !” pendaki nomer dua dari belakang menyumpah pelan
“wadhuh Man ! aku tadi kencing di dekat pohon itu Man !” pendaki ceking yang paling belakang bergetar ketakutan
“hahaha siapa suruh ! sebentar lagi testismu anjlok dibetot setan !”
“jancok ! jangan ngomong begitu, Man !” pendaki ceking itu menyumpah keras-keras  
“hoi ! jaga mulutmu ! dikencingi makhluk halus tahu rasa kau  ! “, pemimpin rombongan berteriak dari atas.
“gapapa ... lumayan dikencingi .. nambah-nambah suplemen ,” sosok pendaki yang berada di tengah tertawa geli. Ia sendiri merasa keder dan bersiap meninggalkan Tanjakan Setan.  

Zweta semakin jauh meninggalkan tujuh pendaki yang dihantui kengerian Tanjakan Setan. Ia telah sampai di ujung tanjakan dan mulai menapak di pintu puncak Panderman. Sementara ketujuh pendaki masih terengah-engah tak karuan.

“Wadhuh Man ! tunggu Man ! kakiku Man !“ pendaki ceking paling belakang berteriak kencang-kencang sambil memegangi kakinya. Ia baru pertama kali mendaki gunung.
“alaaahhh ! alessan ! bilang saja kau ketakutan dan sudah ngompol disini ! dasar gempor !“, kawan yang berada di atasnya merasa kesal dengan kecerewetan si ceking.
“sumpah Man ! sumpah ! kakiku Man !”, pendaki ceking itu memelas dan minta ditunggui. Jarak antar keduanya terpaut lima meter arah menanjak.
“ya sudah ! naik kesini kau !”
“nggak bisa Man ! kau yang turun Man !“
“dasar pendaki cap taek ! cerewet betul mulutmu ! kau ini lebih cerewet dari kucing kawin !”, kawan si ceking itu akhirnya turun menghampiri lelaki ceking. 
“kenapa kakimu  hahh ?!!!”
“sekarang sudah OK Man ! ternyata sudah sembuh ! aku naik duluan ya Man” si Ceking berujar cengengsean . Sebenarnya ia hanya takut berada di urutan paling bawah.
“Muonyeeettt !!!!”, pendaki yang dikerjai itu hanya bisa menyumpah-nyumpah tak karuan.


“cewek setan !” umpat pemimpin rombongan. Ia tak lagi bisa menemukan posisi Zweta. Terakhir kali dilihatnyaa sorot senter Zweta menghilang di balik batu besar.
“cepat sekali dia mendaki,” ia melanjutkan umpatannya. Jarang sekali ia menemui perempuan yang mempunyai stamina tangguh melebihi dirinya. Dan kini ia menemui salah satunya.

***
Puncak Panderman, 2000 M DPL
22.13

Dome warna merah berdiri membentuk cungkup di puncak Panderman. Sedangkan tujuh tenda lain yang telah terbangun seakan saling berjauhan. Di depan tenda masing-masing, para pendaki mengitari perapian sambil duduk-duduk menyeduh kopi dan makanan penghangat. Mengarungi pelukan dingin, menikmati indahnya kelap-kelip lampu kotadari puncak Panderman.

Sementara malam menggelar kecantikan langit malam. Menampakkan taburan berjuta cahaya dan cerat-cerat panjang bintang jatuh. Kedip bintang seakan semakin terang, mengerling nakal bergantian walau terkadang nampak bersamaan. Di keheningan malam, Zweta dengan pakaian hangatnya duduk mendekap kaki menghadap geliat api unggun. Tangannya memegang sebuah foto yang menyimpan banyak kenangan. Ya. momen di foto itu adalah serpihan karunia paling indah dalam hidupnya, momen yang sampai kapanpun akan dipegangnya erat-erat.

“Papa ..,”

Zweta menatap penuh rindu. Sembari diterangi nyala perapian, jemarinya membelai lembut foto itu berkali-kali. Lelehan air mata di pipinya seakan menjadi muara emosi, namun Zweta terus memandangi foto sambil sesekali menyelipkan untaian rambut di sela telinganya.

Sementara angin gunung yang bertiup semakin terasa kasar. Pucuk-pucuk pohon pinus di puncak Panderman seakan menemani kerinduan Zweta. Sedangkan  Ilalang-ilalang yang berhimpitan mengangguk meliuk kesana-kemari, berjabatan tangan menyatukan hati.

Sesekali Zweta menatap langit dengan wajah penuh cinta. Namun entah mengapa wajah sedih bersama lelehan air matanya, seakan tak mampu dihibur oleh kedip dan senyum rasi bintang yang membentuk gambar maya.

***











Posting Komentar

 
Top