0



“kenapa, Kung ?” lembut suara menyadarkan lelaki tipis dari lamunannya.
“ah, tak apa-apa,” lelaki itu tersenyum penuh cinta. Dipandangnya seraut wajah teduh nan damai, wajah seorang perempuan yang sampai detik ini mampu menggetarkan jiwanya. Ah, perempuan itu telah bersedia menemaninya lebih dari separuh abad.

“janganlah begitu. Kakungtak mungkin bisa berbohong dari Utie. Bicaralah, jangan dipendam dalam hati,”

Lelaki tua kembali menghela nafas, dan lagi-lagi ia tersenyum. Ada gambar ketampanan yang hampir pudar. Sisa-sisa kegagahannya tinggal sedikit. Tetapi jenis senyum yang mengembang ketika menatap istrinya, menggambarkan cinta kasih yang sedemikian agung dan mengakar kuat. Umur memang tak lagi muda, tetapi bilik cinta yang menjadi peraduan terakhirnya, seolah menjadi tempat paling teduh, paling damai, sekaligus paling indah di dalam sisa hidupnya.

“yah –yah –yah. Aku memang takkan bisa berbohong dari Utie, hehehehehhh .. uhuk  uhuk !! ” lelaki itu  terkekeh dan terbatuk. Terasa ada benda kecil yang menyangkut dan membuat gatal tenggorokan.

Kemudian lelaki itu meraih cangkir berisi kopi pahit, ia menyeruput dengan halus. Dinikmatinya seruputan kopi pahit yang membasahi  bibir. Aliran demi aliran, bibirnya yang basah berkerut mengerucut sambil mengecap-ngecap perlahan. Dan kemudian tatap matanya jauh menerawang.

“ada apa, Kung ?, sepertinya ada yang mengganggu batinmu,” perempuan tua menyediakan dirinya untuk berbagi. Seperti berpuluh tahun sebelumnya, ia pun tetap setia sepanjang mata masih membuka.
Utie masih ingat belasan tahun lalu ?, kejadian apa yang paling membuat kita sedih ?”, perlahan lelaki itu bertanya sambil menatap wajah istrinya. Tatap mata mereka bertemu.
“yang mana, Kung ?” perempuan itu berusaha menaut ingatan.
“ahhh ... kejadian yang betul-betul aneh dan tak habis pikir”, lelaki itu lagi-lagi menghembuskan nafas panjang. Kenangannya seketika terbentang lebar dan jelas. Perempuan yang dipanggilnya Utie kini juga mulai membuka ingatannya.
“Nahla maksudnya, Kung ?” lembut pertanyaan perempuan tua itu terucap.
“ya. Nahla. Kejadian yang sungguh di luar pikiran. Bagaimana bisa ada kejadian yang teramat menyedihkan seperti itu. Melihat  dia terusir dari kampungnya, ah –entah dimana kampungnya dulu. Aku dan Utiesama-sama tak tahu,” lelaki itu menggelengkan kepala perlahan.
“tapi kan ... sekarang semuanya sudah terselesaikan, Kung”
“yah ..  semoga Utie, tetapi permasalahan yang pelik pastilah berbuntut panjang, tak semudah melupakan permasalahan sepele,” lelaki itu lagi-lagi menatap wajah teduh istrinya.
“memang kasihan Nahla, Kung. Malahan sekarang ini ... aku lebih sering melihat dia melamun. Berbeda dengan tahun-tahun yang sebelumnya, kenapa ya ?” perempuan itu terheran. Wajahnya menabur sedih

“betul katamu Utie, Iakini lebih sering melamun. Makanya aku teringat peristiwa itu. Mungkin sebelumnya Nahla berusaha tegar karena semua yang dilakukannya pastilah demi Zweta dan Endro. Barangkali setelah anak-anaknya tumbuh besar, ia kini merasa kesepian dan diganggu kenangan masa lalunya. Ah, kasihan sekali. Ia pasti masih terpukul .. ”

“Sepertinya begitu,Kung. Perempuan mana yang bisa melupakan kejadian seperti itu menimpa keluarganya. Apalagi aku ingat saat itu Zweta menangis sambil menggelayut di tangan Nahla. Ia masih kecil sekali.”
“ya-ya. Aku juga ingat,” lelaki tipis itu mengangguk perlahan
“tapi setidaknya Tuhan tidak tidur, Kung.  Itu yang harus kita kita syukuri. Mereka kini sudah besar dan menjadi anak-anak yang berbakti,”
“alhamdulillah Utie, memang benar. Tuhan takkan mungkin tertidur,”

Dan kemudian merah senja perlahan menyapu lazuardi di sisi barat. Gugusan bukit dan puncak Gunung Panderman mulai dihiasi siluet tipis. Awan-awan  berarak, sementara masa lalu menyeret nostalgi sedih yang sisa puingnya terserak jauh hingga masa kini.   

“ada sesuatu yang Utie tak tahu tentang kejadian itu,” lelaki tua itu menatap wajah istrinya dalam-dalam. Tatapan yang bermendung sekaligus kelabu. Sejenak kemudian ia menghela nafas panjang. Ia mengusap wajahnya.

“tentang apa, Kung ?” perempuan itu lirih bertanya. Baginya permasalahan Nahla memang gelap tak tertafsirkan. Ia sendiri perempuan desa yang jauh dari pengetahuan. Ia hanya tahu segala sesuatu ketika diberitahu Kakung, suaminya.

Lelaki tua itu kembali menerawang jauh. Seolah pandangannya sedemikian jauh tak terjangkau. Menembusi awan-awan, mengunjungi letak matahari yang menabur warna merah senja. Sebentar kemudian, dipandangnya wajah Utie, istrinya.

Lelaki itu akhirnya bercerita tentang kejadian yang ia pahami dan ia saksikan. Bibirnya berucap pelan, matanya nanar menahan keharuan. Ia bercerita dengan sangat rinci sampai sekecil-kecilnya. Ingatan yang masih tersimpan seolah memutar gambaran yang nyata dan baru saja ia saksikan. Matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar sedih. Detail cerita yang selama ini rapat terkunci kini perlahan-lahan membuka. Selama ini tak diceritakan rahasia itu kepada orang lain, termasuk Utie istrinya.

“masya Allah,” perempuan tua itu hatinya tersentak.
“begitu berat beban yang dipikul Nahla, Kung.” Utie menggelengkan kepala. Ia tak percaya.
“ya memang berat ..  teramat berat”

Lelaki itu melanjutkan ceritanya. Ia bercerita ketika Nahla menangis dan mengiba di depannya. Ya –persis di beranda rumahnya ketika sore baru saja menjelang. Ia mengingat betul tiap kata yang diucapkan Nahla.

“Pak, tolonglah saya. Ijinkan saya menginap disini sementara. Saya tertimpa masalah yang pelik, Pak. Saya tak ingin anak-anak saya menyaksikan semua kegilaan yang saya alami,” perempuan muda itu berputus asa. Ada sorot mata yang lelah. Ia tahu perempuan muda itu dikejar nasib buruk.

“sabarlah Nak, sabar. Tinggallah disini bersama anak-anakmu. Nanti setelah semuanya tenang, kita cari jalan keluarnya,” ia ingat kala itu berkata lembut menenangkan.


***

“Setelah munculnya Nahla, seminggu kemudian muncul seseorang yang aku sampai saat ini tak tahu siapa namanya. Ia pemuda berbadan tegap. Umurnya masih muda. Barangkali waktu itu masih berumur duapuluh tujuh tahun .. ”
“siapa dia, Kung ?”
“itulah, aku sendiri tak mengerti. Tapi aku menduga kalau pemuda itu membuntuti Nahla sampai kemari”
“membuntuti ?!! sampai kemari ?” Utie hampir terbelalak
“ya sampai kemari”
“ia terlihat mondar-mandir di ujung jalan besar. Sesekali juga gerak-geriknya terlihat seperti mengintai”,
“mengintai? Untuk apa, Kung ?”
“entahlah. siapa yang sebenarnya menyuruh dia berbuat itu. Tapi, mungkin saja dia itu petugas”
“petugas, Kung ?”
“ya. Aku menduga kalau pemuda itu petugas. Aku semula tak curiga karena kupikir ia pendatang dari desa seberang yang memborong kerja memetik buah apel. Tapi melihat gerak-geriknya yang tak wajar dan sering mondar-mandir, akhirnya aku mulai curiga” lelaki itu menautkan pengalamannya ketika masa revolusi fisik di awal masa kemerdekaan. Masa ketika penuh gejolak dan ketidakpastian. Saat ketika dirinya menjadi kurir merangkap telik sandi di era agresi militer Belanda.

“apa yang dicarinya, Kung?”
“Entahlah ..  pastinya aku juga tak tahu apa yang dicari lelaki itu. Tapi akhirnya aku sadar kalau ia hanya ingin mengawasi Nahla”
“mengawasi ? memangnya Nahla siapa, Kung?”

“hmmm. Entahlah Utie, aku tak faham sepenuhnya,” Ia menggeleng pelan. Adamendung menggelayut di atas kepalanya.  
Lelaki tua itu mencoba mengingat lagi apa yang pernah disaksikannya belasan tahun lalu.

“suatu ketika ..  kujumpai pemuda itu mendekati Zweta”
“disini ?” Utie terperanjat
“ya. disini. Di rumah ini. Zweta kala itu menangis karena digoda Endro, sedangkan Nahla dan Utie tak ada disini. Kalian berdua sedang berbelanja ke pasar”
“apa yang terjadi, Kung ?”
“pemuda itu mendekati Zweta dan menggendongnya”
“menggendongnya ? lalu ?”
“aku kala itu merapikan kembang di seberang sana. Aku cepat-cepat berlari. Takut-takut kalau lelaki itu akan berbuat sesuatu yang tidak-tidak kepada mereka berdua,” Kakung menceritakan potongan kejadian dengan seksama, sementara Utie nampak sabar menyimak. Setiap kata yang keluar dari bibir Kakung membuat batinnya beresonansi.

“setelah aku tiba di depan rumah, kuminta Zweta dari gendongannya”
“lalu ?”
“sebelum menyerahkan Zweta kepadaku, terlebih dulu diusapnya kepala Zweta dengan lembut .. aku yakin kalau pemuda itu sebenarnya terlibat banyak atas kejadian yang menimpa Nahla”
“apa yang sebenarnya dicarinya, Kung ? aku semakin tak mengerti”
“sepertinya dia tidak mencari apa-apa. Dia hanya mengawasi Nahla”
“aku masih bingung, Kung, mengawasi ??!!” Utie mengerutkan alis hingga ujungnya nyaris bertemu

“keesokan harinya, kucari lelaki itu. Dan benar saja, ia sedang menyepi di tepi kali Genjo. Di seberang barat sana, di daerah yang banyak batu kali seukuran badan kerbau”

Lelaki tipis itu mengisahkan peristiwa hampir lima belas tahun yang lalu. Masa-masa yang gelap penuh misteri, kejadian yang pelik tak terjelaskan. Walaupun umurnya menginjak senja, kala itu ia masih kuat untuk berjalan menyisiri tepian kali Genjo. Sepanjang jalan bibirnya merapal doa yang dipelajarinya dari pesantren dulu.  Doa yang mengharap agar dibukakan pintu kebuntuan, doa yang mengharap agar dijauhkannya dari petaka marabahaya.

“bismillahilladzi la yadhurru ma’a ismihi syaiun wala fis samaa’, wahuwa ala’ kulli syai’in qadir –Yaa farijal hamm, ya kasyifal gham. Ya man liabdihi yaghfiru wayarkham”, tiap makna doa serasa bertaburan mengiringi langkahya. Tubuhnya yang ringan bergerak cepat. Sementara pakaian serba hitam yang menempel di tubuhnya mengibar keresahan.  

Hingga tatkala dilihatnya lelaki tegap nampak duduk di atas sebongkah batu besar, lelaki tipis kemudian bergerak cepat menemui sosok yang merisaukan batinnya.

“maafkan aku jikalau mengganggumu, Anak muda”  lelaki tipis itu menabur senyum. Sapaannya membangunkan kesadaran lelaki tegap yang sedang asik memandangi kejernihan kali Genjo.
“ya, Kek. Adayang bisa aku bantu,” lelaki tegap kemudian memutar tubuh. Ia sedikit was was.
“aku cuma ingin bertanya kepadamu. Adakah di antara kami yang berbuat salah sehingga engkau menetap di dusun kami,” lelaki tipis kembali berkata lembut penuh emosi. Pembawaannya tenang bersahaja, terpancarlah kebijakan dalam raut wajah yang damai.

“maksudnya, Kek ?” lelaki tegap itu berusaha mengelak. Ia bangkit berdiri.

“aku ini sudah cukup tua, Nak. Tahu mana yang ganjil dan tidak. Setidaknya berkatalah jujur. Adakah diantara kami yang kau cari sehingga membuatmu mondar-mandir di kampung kami”

“tidak ada apa-apa, Kek. Saya cuma numpang mampir,” lelaki itu menggurat wajah yang mungkir. Sorot matanya tak kuasa melawan tatap mata Kakung yang teduh. Lelaki tegap itu akhirnya membuang muka.

“Nak, sekali lagi kutanyakan. Apakah memang ada yang engkau cari di tempat kami .. ”
“Tidak, Kek .. tidak ada” lelaki itu masih berusaha melawan tatapan mata Kakung.

 “Nak, berkatalah jujur dan bersumpahlah !! DEMI ALLAH !!!!”
demi Allah ??!! Astaghfirullah !!
lelaki tegap terpekik lirih. tubuhnya bergetar hebat. Mendengar kalimat sumpah diucapkan lelaki tua di depannya, tabir dirinya tiba-tiba tersungkur. Ah. Betapa luar biasa sebuah kata magis yang diucapkan oleh seseorang yang sepanjang hidupnya selalu berusaha jujur. Seolah tangan malaikat menampar pipinya keras-keras, entah kenapa suara teduh itu tiba-tiba membuatnya gentar.

“mm.. sa .. saya ..”  lelaki itu seketika terbata-bata. Ia kehilangan kontrol diri.
“bicaralah, Nak”
Lelaki tegap masih terlihat grogi. Wajahnya ragu tak tenang.
“Demi Allah Nak, apa yang kau cari di tempat ini,” lelaki tua itu mengucapkan kata-katanya dengan lembut. Disentuhnya punggung lelaki tegap dengan halus. Ia mengajaknya duduk kembali di batuan besar kali Genjo.


“ss .sayya .. ditugaskan untuk ini, Kek !” lelaki itu menunjukkan foto Nahla beserta lelaki yang tak dikenalnya.
“ada apa dengan mereka? apakah mereka melakukan kesalahan ?”
“tidak, Kek. Tidak “
“apakah mereka bermasalah dengan hukum ?”
“tidak, Kek. Sama sekali tidak”
“tapi kenapa harus dibuntuti ?” Kakung mencecar dengan suara lembut penuh emosi.
“katakan Nak, apakah perempuan seperti Nahla layak kau buntuti. Dia sekarang berada di rumahku. Kau pun sudah tahu itu “
“ya Kek, aku sudah tahu. Dia tidak seharusnya menerima perlakuan seperti ini Kek, tidak seharusnya” mata lelaki itu tiba-tiba berkaca-kaca. Ia tertunduk.

“kalau begitu kenapa ?”
“saya hanya menjalankan tugas, Kek “ lelaki itu menegakkan lagi wajah sedihnya

“anak muda, aku tahu kamu lelaki yang baik. Dengarkanlah nuranimu. Dia lebih tahu mana yang baik dan mana yang tak baik“
“ya Kek, anak kecil itu, ah kasihan dia. Tidak seharusnya Kek, tidak seharusnya.
Besok saya akan pergi dari tempat ini”
“besok ? dan kemudian membawa lebih banyak lagi kawanmu ? untuk menggantikan kamu ?”
“tidak Kek, demi Allah tidak. Saya berjanji masalah ini akan berhenti sampai disini. Saya berjanji. Saya bersumpah”
“saya titip ini, Kek. Tolong diberikan kepada Nahla. Saya mendapatkannya sudah seperti ini, jadi tolong ... saya benar-benar tak tahu apa-apa“


***

Posting Komentar

 
Top